Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum, zat cair membentuk kristal ketika mengalami proses
pemadatan. Pada kondisi ideal, hasilnya bisa berupa kristal tunggal, yang semua
atom-atom dalam padatannya "terpasang" pada kisi atau struktur kristal yang
sama, tapi, secara umum, kebanyakan kristal terbentuk secara simultan sehingga
menghasilkan padatan polikristalin. Misalnya, kebanyakan logam yang kita temui
sehari-hari merupakan polikristal.
Struktur kristal mana yang akan terbentuk dari suatu cairan tergantung
padat kimia cairannya sendiri, kondisi ketika terjadi pemadatan, dan tekanan
ambien. Proses terbentuknya struktur kristalin dikenal sebagai kristalisasi.
Meski proses pendinginan sering menghasilkan bahan kristalin, dalam keadaan
tertentu cairannya bisa membeku dalam bentuk non-kristalin. Dalam banyak
kasus, ini terjadi karena pendinginan yang terlalu cepat sehingga atom-atomnya
tidak dapat mencapai lokasi kisinya.Suatu bahan non-kristalin biasa disebut bahan
amorf atau seperti gelas.Terkadang bahan seperti ini juga disebut sebagai padatan
amorf, meskipun ada perbedaan jelas antara padatan dan gelas. Proses
pembentukan gelas tidak melepaskan kalor lebur jenis (Bahasa Inggris: latent heat
of fusion). Karena alasan ini banyak ilmuwan yang menganggap bahan gelas
sebagai cairan, bukan padatan.Topik ini kontroversial, silakan lihat gelas untuk
pembahasan lebih lanjut.Meskipun istilah "kristal" memiliki makna yang sudah
ditentukan dalam ilmu material dan fisika zat padat, dalam kehidupan sehari-hari
"kristal" merujuk pada benda padat yang menunjukkan bentuk geometri tertentu,
dan kerap kali sedap di mata. Berbagai bentuk kristal tersebut dapat ditemukan di
alam. Bentuk-bentuk kristal ini bergantung pada jenis ikatan molekuler antara
atom-atom untuk menentukan strukturnya, dan juga keadaan terciptanya kristal
tersebut. Bunga salju, intan, dan garam dapur adalah contoh-contoh kristal.
Beberapa material kristalin mungkin menunjukkan sifat-sifat elektrik khas, seperti
efek feroelektrik atau efek piezoelektrik.Kelakuan cahaya dalam kristal dijelaskan
dalam optika kristal. Dalam struktur dielektrik periodik serangkaian sifat-sifat
optis unik dapat ditemukan seperti yang dijelaskan dalam kristal fotonik.

1.2 Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari praktikum Isometri dan Tetragonal yaitu untuk

menentukan sistem kristal berdasarkan atas panjangsumbu,posisi sumbu, jumlah

sumbu serta besar sudut yang dibentuk atas sumbu pada bentuk

kristal.Menentukan Sistem kristal berdasarkan Herman-

Mauguin.Mendeskripsikan bentuk kristal berdasarkan parameter penggambaran,

jumlah,dan posisi sumbu kristal dan bidang krisral yang dimiliki oleh setiap

bentuk kristal.
1.3 Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan pada praktikum kali ini yaitu:
1. Penggaris
2. Pensil
3. Kertas
4. Sampel Kristal sebanyak 4 buah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Kristal
Kata kristal berasal dari bahasa Yunani crystallon yang berarti tetesan
yang dingin atau beku. Menurut pengertian kompilasi yang diambil untuk
menyeragamkan pendapat para ahli, maka kristal adalah bahan padat homogen,
biasanya anisotrop dan tembus cahaya serta mengikuti hukum-hukum ilmu pasti
sehingga susunan bidang-bidangnya memenuhi hukum geometri; Jumlah dan
kedudukan bidang kristalnya selalu tertentu dan teratur. Kristal-kristal tersebut
selalu dibatasi oleh beberapa bidang datar yang jumlah dan kedudukannya
tertentu. Keteraturannya tercermin dalam permukaan kristal yang berupa bidang-
bidang datar dan rata yang mengikuti pola-pola tertentu. Bidang-bidang ini
disebut sebagai bidang muka kristal. Sudut antara bidang-bidang muka kristal
yang saling berpotongan besarnya selalu tetap pada suatu kristal. Bidang muka itu
baik letak maupun arahnya ditentukan oleh perpotongannya dengan sumbu-sumbu
kristal. Dalam sebuah kristal, sumbu kristal berupa garis bayangan yang lurus
yang menembus kristal melalui pusat kristal. Sumbu kristal tersebut mempunyai
satuan panjang yang disebut sebagai parameter.

2.2 Sistem Kristal

Sistem kristal terbagi atas 7 sistem diantaranya yaitu:


1. Sistem Isometrik
Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan
sistem kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk
masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = =
= 90. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( , dan )
tegak lurus satu sama lain (90).

Gambar 1 Sistem Isometrik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :
1. Tetaoidal
2. Gyroida

3. Diploida

4. Hextetrahedral

5. Hexoctahedral

Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite,
galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)

2. Sistem Tetragonal

Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu


kristal yang masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan
panjang sama. Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih
pendek. Tapi pada umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak
sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi = = = 90. Hal
ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalografinya ( , dan ) tegak lurus
satu sama lain (90).

Gambar 2 Sistem Tetragonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:
1. Piramid

2. Bipiramid

3. Bisfenoid

4. Trapezohedral

5. Ditetragonal Piramid

6. Skalenohedral

7. Ditetragonal Bipiramid

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil,
autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)

3. Sistem Hexagonal

Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus


terhadap ketiga sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk
sudut 120 terhadap satu sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama.
Sedangkan panjang c berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya
lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a = b = d c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan
sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi = = 90 ; = 120. Hal ini berarti, pada sistem ini,
sudut dan saling tegak lurus dan membentuk sudut 120 terhadap sumbu .

Gambar 3 Sistem Hexagonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu
a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan
sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan).
Dan sudut antar sumbunya a+^b = 20 ; d^b+= 40. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 20 terhadap sumbu b dan sumbu d membentuk
sudut 40 terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7:
1. Hexagonal Piramid

2. Hexagonal Bipramid

3. Dihexagonal Piramid

4. Dihexagonal Bipiramid

5. Trigonal Bipiramid

6. Ditrigonal Bipiramid

7. Hexagonal Trapezohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz,
corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

4. Sistem Trigonal

Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama
lain yaitu Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam
sistem kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama.
Perbedaannya, bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang
terbentuk segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik
sudut yang melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan
sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut
kristalografi = = 90 ; = 120. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut dan
saling tegak lurus dan membentuk sudut 120 terhadap sumbu .

Gambar 4 Sistem Trigonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3,
dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^b = 20 ; d^b+= 40. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20 terhadap sumbu b dan
sumbu d membentuk sudut 40 terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:
1. Trigonal piramid

2. Trigonal Trapezohedral

3. Ditrigonal Piramid

4. Ditrigonal Skalenohedral

5. Rombohedral

Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini adalah


tourmaline dan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977)

5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri
kristal yang saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang berbeda.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi = = = 90. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya
saling tegak lurus (90).

Gambar 5 Sistem Orthorhombik


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak
ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada
sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 30 terhadap sumbu b.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:
1. Bisfenoid

2. Piramid

3. Bipiramid

Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini adalah


stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)

6. Sistem Monoklin

Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga
sumbu yang dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus
terhadap sumbu c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga
sumbu tersebut mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang
paling panjang dan sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi = = 90 . Hal ini berarti, pada ancer ini, sudut dan saling
tegak lurus (90), sedangkan tidak tegak lurus (miring).

Gambar 6 Sistem Monoklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya
tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada
sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^b = 30. Hal ini menjelaskan bahwa
antara sumbu a+ memiliki nilai 45 terhadap sumbu b.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:
1. Sfenoid

2. Doma

3. Prisma

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite,
malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)

7. Sistem Triklin

Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya
tidak saling tegak lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak
sama.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a b c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak
ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut
kristalografi = 90. Hal ini berarti, pada system ini, sudut , dan tidak
saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.

Gambar 7 Sistem Triklin


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan
yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan
sudut antar sumbunya a+^b = 45 ; b^c+= 80. Hal ini menjelaskan bahwa antara
sumbu a+ memiliki nilai 45 terhadap sumbu b dan b membentuk sudut 80
terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:
1. Pedial

2. Pinakoidal

Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite,
anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase

2.3 Daya Ikat Kristal

Daya yang mengikat atom (atau ion, atau grup ion) dari zat-zat yang
terdapat pada kristal bersifat elektrostatis secara alami.. Tipe dan intensitasnya
sangat berkaitan dengan sifat-sifat fisik dan kimia dari mineral. Kekerasan,
belahan, daya lebur, kelistrikan dan konduktivitas termal, dan koefisien ekspansi
termal berhubungan secara langsung terhadap daya ikat. Secara umum, ikatan
kuat memiliki kekerasan yang lebih tinggi, titik leleh yang lebih tinggi dan
koefisien ekspansi termal yang lebih rendah. Ikatan kimia dari suatu kristal dapat
dibagi menjadi 4 macam, yaitu: ionik, kovalen, logam dan van der Waals.
2.4 Simbolosasi Hermann-Mauguin

Simbolisasi Hermann-Mauguin ini berfungsi untuk mengidentikfikasi


lebih detail mengenai sistem Kristal atau sebagai penciri sistem Kristal, dilihat
dari sudut pandang nilai sumbu dan ada tidaknya pusat simetri tergantung aturan-
aturan pada simbolisasi ini. Aturan-aturan tesebut terbagi dalam :

1. Sistem Isometrik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom,
yaitu :
Kolom I: Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus
(disebut dengan mirror,dalam simbolisasi di tuliskan m jika ada) sumbu
tersebut.
Kolom II: Nilai sumbu yang terletak antara tiga sumbu atau sumbu yang
menembus bidang (111) dan ada tidaknya mirror
Kolom III: Nilai sumbu yang terletak antara dua sumbu Kristal atau sumbu
yang menembus bidang (110) serta ada tidaknya mirror
2. Sistem Tetragonal, Trigonal, dan Heksagonal
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom,
yaitu :
Kolom I: Nilai sumbu c dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus
(disebut dengan mirror,dalam simbolisasi di tuliskan m jika ada) sumbu
tersebut.
Kolom II: Nilai sumbu Kristal yang horizontal (a, b, atau d) dan ada
tidaknya mirror
Kolom III: Nilai sumbu yang terletak antara 2 sumbu horisotal serta ada
tidaknya mirror
3. Sistem Ortorombik
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini terbagi menjadi 3 kolom,
yaitu :
Kolom I: Nilai sumbu a dan ada tidaknya bidang simetri yang tegak lurus
(disebut dengan mirror,dalam simbolisasi di tuliskan m jika ada) sumbu
tersebut.
Kolom II: Nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
Kolom III: Nilai sumbu c serta ada tidaknya mirror
4. Sistem Monoklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi
1 kolom, yaitu nilai sumbu b dan ada tidaknya mirror
5. Sistem Triklin
Simbolisasi Hermann-Mauguin untuk sistem ini hanya terbagi menjadi
1 kolom, yaitu ada tidaknya pusat simetri.1 berarti tidak memiliki pusat
simetri.

Anda mungkin juga menyukai