Anda di halaman 1dari 4

Bisa dimasukkan di pendahuluan kalo kurang

Ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang
saling berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi.
Pembangunan ketahanan pangan memerlukan harmonisasi dari pembangunan ketiga sub sistem
tersebut. Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan
keseimbangan penyediaan pangan yang berasal dari produksi, cadangan dan impor.
Pembangunan sub sistem distribusi bertujuan untuk menjamin aksesibilitas pangan dan
menjamin stabilitas harga pangan strategis. Dan pembangunan sub sistem konsumsi bertujuan
untuk menjamin agar setiap warga mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan gizi yang cukup,
aman dan beragam. Pembangunan ketiga sub sistem tersebut dilaksanakan secara simultan dan
harmonis dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,
pendekatan sistem usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan
desentralistis, dan melalui pendekatan koordinasi.

Impor bahan pangan dalam menunjang ketersediaan bahan pangan

Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dibidang pertanian. Kelapa sawit, karet, dan coklat
produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun dalam konteks produksi
pangan memang ada suatu keunikan. Meski menduduki posisi ketiga sebagai Negara penghasil
pangan di dunia, hampir setiap tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan
produksi pangan sehingga terus mengimpor bahan pangan dari luar. Di Indonesia, ketahanan
pangan masih berupa wacana. Permasalahan ketahanan pangan masih terus terjadi, yang
mencakup aspek produksi dan ketersediaan pangan. Produksi bahan pangan belum mampu untuk
memenuhi kebutuhan penduduk. Menurut Dwijdono dan Darwanto (2005) hal ini disebabkan
oleh laju pertumbuhan produksi pangan yang relatif lebih lambat dari permintaannyaSecara
umum produksi komoditas tanaman pangan mengalami peningkatan, namun demikian untuk
menigkatkan produksi pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai kendala. Menurut
Suryana (2001) kendala peningkatan produksi komoditas tanaman pangan antara lain adalah
terus berlanjutnya konversi lahan pertanian ke non pertanian, semakin langkanya ketersediaan
sumber daya air untuk pertanian, fenomena iklim yang semakin tidak menentu. Dilihat dari sisi
ketersediaan, kinerja ketersediaan pangan nasional menunjukkan perkembangan yang kurang
menggembirakan. Untuk mengimbangi permintaan pangan, pemerintah mengambil kebijakan
impor untuk komoditas yang ketersediaannya tidak dapat dipenuhi dari domestic. Angka
ketergantungan impor yang relative tinggi adalah susu, beras dan kedelai. Krisnamukti (2003)
menjelaskan bahwa impor beras masih dilakukanuntuk memenuhi kebutuhan nasional yaitu
dengan jumlah rata-rata per tahun mencapai sekitar 1.043.140 ton atau sekitar 4,7% dari pasokan
nasional. Hal ini menunjukkan bahwa kesetimbangan neraca perberasan nasional masih ditopang
oleh impor walaupun dengan tingkat/persentase pemenuhan pasokan domestik yang cenderung
menurun selama empat dekade terakhir. Laju pertumbuhan impor beras pada dekade terakhir
turut memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ketersediaan beras nasional walaupun
jumlah nominalnya relatif masih lebih kecil dari tingkat produksi. Namun demikian jika ditinjau
pula laju pertumbuhan konsumsi beras dalam dua dekade terakhir yang relatif lebih tinggi
(2,31% per tahun) dari laju pertumbuhan produksi (1,88% per tahun) maka dapat diperkirakan
bahwa peranan impor akan semakin besar pada laju pertumbuhan ketersediaan beras nasional.
Semakin meningkatnya kontribusi laju pertumbuhan impor beras pada kondisi lemahnya peranan
pemerintah untuk melindungi produksi sekaligus produsen dalam negeri dapat berakibat semakin
lemahnya posisi tawar petani sebagai produsen beras di pasar domestik. Menurut Darwanto
(2005) impor bahan pangan disebabkan oleh berbagai hal diantaranya:

a) Jumlah penduduk yang sangat besar dan terus meningkat. Hal ini membuat kebutuhan
pangan di Indonesia menjadi semakin besar. Akibatnya, produksi pangan dalam negeri
tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan seluruh masyarakatnya sehingga Indonesia
harus mengimpor bahan pangan dari luar.
b) Tingkat ketergantungan konsumsi beras. Saat ini mayoritas masyarakat Indonesia
menjadikan beras sebagai makanan pokok. Penduduk Indonesia merupakan pemakan
beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan
rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philipina
100 kg. walaupun produksi beras Indonesia tinggi tetapi belum bisa mencukupi
kebutuhan penduduknya. Selain itu Indonesia masih mengimpor komoditas pangan
lainnya seperti 45% kebutuhan kedelai dalam negeri, 50% kebutuhan garam dalam
negeri, nahkan 70% kebutuhan susu dalam negeri dipenuhi melalui impor
c) Perubahan iklim. Pergeseran musim hujan dan musim kemarau menyebabkan petani
kesulitan dalam menetapkan waktu yang tepat untuk mengawali masa tanam, benih serta
pupuk yang digunakan, dan system pertanaman yang digunakan. Sehingga penyediaan
benih dan pupuk yang semula terjadwal, permintaannya menjadi tidak menentu yang
dapat menyebabkan kelangkaan karena keterlambatan pasokan benih dan pupuk.
Akhirnya hasil produksi pangan waitu itu menurun. Bahkan terjadinya anomaly iklim
yang ekstrim dapat secara langsung menyebabkan penurunan produksi tanaman pangan
tertentu, karena tidak mendukung lingkungan yang baik sebagai syarat tumbuh suatu
tanaman.
d) Luas lahan yang semakin sempit. Terdapat kecenderungan bahwa konversi lahan
pertanian menjasi lahan non pertanian mengalami percepatan. Dari tahun 1995 sampai
2011 terjadi konversi lahan sawah di Pulau Jawa seluas 15 juta Ha dan 5,7 juta Ha di luar
pulau Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah
seluas 0,52 juta Ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta Ha di luar Pulau Jawa, namun
kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi tidak
mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor
e) Mahalnya biaya transportasi. Biaya transportasi di Indonesia mencapai 34 sen dolar AS
per kilometer. Sepanjang kepastian pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetepa
tinggi maka industry produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan
baku.
f) Kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Contoh kebijakan pemerintah
yang semakin menambah ketergantungan kita akan produksi pangan luar negeri adalah
praktek privatilisasi, liberalisasi dan deregulasi. Lebih besar dari itu ternyata Negara dan
rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi,
distribusi dan konsumsi di sector pangan. Saat ini disektor pangan kita telah terantung
oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Faktanya Bulog
dijadikan privat, dan industry hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasi oleh
perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand.

Pengaruh impor beras terhadap ketersediaan beras nasional yang diindikasikan oleh rasio
harga domestik dan internasional untuk jangka panjang ternyata tidak signifikan namun
dalam jangka pendek mempunyai pengaruh yang signifikan. Sebelum krisis, setiap
penurunan satu persen rasio harga domestik terhadap harga internasional akan menyebabkan
kenaikan ketersediaan beras nasional sebesar 0,1 persen per tahun yang berarti bahwa impor
beras tetap dilakukan oleh pemerintah cq Bulog walaupun tingkat harga domestik relatif
lebih rendah. Namun setelah krisis dengan kondisi tidak ada monopoli dari Bulog ternyata
kenaikan harga beras domestik relatif terhadap harga internasional mendorong terjadinya
impor yang langsung berpengaruh terhadap kenaikan tingkat ketersediaan beras nasional. Hal
ini menunjukkan kontribusi peranan beras impor terhadap ketersediaan beras nasional
walaupun masih relatif kecil yaitu setiap kenaikan satu persen relatif harga domestik terhadap
harga internasional akan meningkatkan impor sebesar 0,19 persen per tahun (Darwanto,
2005)

Secara keseluruhan dapat diketahui bahwa ketersediaan beras nasional setelah krisis
meningkat secara signifikan, baik dari produksi dalam negeri maupun impor, namun
peningkatan produksi domestik dengan laju pertumbuhan yang semakin lambat akan
menyebabkan meningkatnya peranan beras impor terhadap ketersediaan beras nasional.
Selain itu, terjadi pula kondisi yang dilematis selama ini antara upaya peningkatan
ketersediaan beras/pangan nasional dengan menurunnya tingkat kesejahteraan rumahtangga
petani umumnya (Darwanto, 2005)

Dwidjono, H. Darwanto. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani,
Jurnal Ilmu Pertanian 12 (2): 13-19.

Suryana, A. 2001. Critical Review on Food Security in Indonesia. Makalah pada Seminar
Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.

Krisnamurthi, B. 2003. Perum Bulog dan kebijakan pangan Indonesia: Kendaraan tanpa tujuan,
Jurnal Ekonomi Rakyat 2 (7)

Darwanto, D. H. 2005. Ketahanan pangan berbasis produksi dan kesejahteraan petani. Jurnal
Ilmu Pertanian 12 (2): 152-164.

Anda mungkin juga menyukai