Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Abses Otak pada Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan

Oleh :
Anthony Johan G99161018
Mahardika Kartikandini G99161058
Yurike Rizkhika G99161113

Pembimbing :
dr. Rachmi Fauziah R, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2016

0
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penyakit jantung bawaan (PJB) adalah penyakit dengan kelainan


pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir
yang terjadi akibat adanya gangguan atau kegagalan perkembangan
struktur jantung pada fase awal perkembangan janin. Ada 2 golongan
besar PJB, yaitu non sianotik (tidak biru) dan sianotik (biru) yang masing-
masing memberikan gejala dan memerlukan penatalaksanaan yang
berbeda. Angka kejadian PJB dilaporkan sekitar 810 bayi dari 1000
kelahiran hidup dan 30 % diantaranya telah memberikan gejala pada
minggu-minggu pertama kehidupan. Bila tidak terdeteksi secara dini dan
tidak ditangani dengan baik, 50% kematiannya akan terjadi pada bulan
pertama kehidupan.
Komplikasi pada otak merupakan salah satu komplikasi yang
sering terjadi pada PJB. Banyak komplikasi tersebut yang gejalanya tidak
khas sehingga seringkali menyebabkan keterlambatan diagnosis yang
akan berpengaruh terhadap hasil akhir pengobatan. Untuk mencapai
penatalaksanaan yang tepat maka penegakan diagnostik juga harus tepat
dan didukung oleh pemeriksaan penunjang yang baik, salah satunya
adalah pemeriksaan radiologi.
Seiring dengan kemajuan teknologi terutama di bidang kesehatan,
maka telah berkembang pula alat-alat penunjang diagnostik seperti
radiografi. Dengan menggunakan pemeriksaan radiografi, maka
komplikasi pada otak yang kebanyakan dapat dinilai secara pasti melalui
gambaran radiologi dapat ditatalaksana sedini mungkin.

2. Tujuan

1
Pada pembahasan mengenai gambaran radiologi komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak bertujuan untuk :
a. Mengetahui struktur anatomi otak.
b. Mengetahui definisi, jenis, dan komplikasi dari penyakit jantung
bawaan.
c. Mengetahui manifestasi dan penegakkan diagnosis komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak dengan pemeriksaan radiografi.

3. Manfaat
Pada pembahasan mengenai gambaran radiologi pada komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak bermanfaat untuk :
a. Memberikan pengetahuan tentang struktur anatomi otak.
b. Memberikan pengetahuan tentang definisi, jenis, dan komplikasi dari
penyakit jantung bawaan.
c. Memberikan pengetahuan tentang manifestasi dan penegakkan
diagnosis komplikasi penyakit jantung bawaan pada otak dengan
pemeriksaan radiografi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Penyakit Jantung Bawaan


Di negara maju hampir semua jenis PJB telah dideteksi dalam
masa bayi bahkan pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan di negara
berkembang banyak yang baru terdeteksi setelah anak lebih besar,
sehingga pada beberapa jenis PJB yang berat mungkin telah meninggal
sebelum terdeteksi. Pada beberapa jenis PJB tertentu sangat diperlukan
pengenalan dan diagnosis dini agar segera dapat diberikan pengobatan
serta tindakan bedah yang diperlukan. Untuk memperbaiki pelayanan di
Indonesia, selain pengadaan dana dan pusat pelayanan kardiologi anak
yang adekuat, diperlukan juga kemampuan deteksi dini PJB dan
pengetahuan saat rujukan yang optimal oleh para dokter umum yang
pertama kali berhadapan dengan pasien. Ada dua pembagian besar
penyakit jantung bawaan (Roebiono, 2009) :
a. Penyakit jantung bawaan non sianotik
Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan
struktur dan fungsi jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai
dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung sehingga terjadi
pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa
adanya lubang di sekat jantung. Masing-masing mempunyai spektrum
presentasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai berat tergantung
pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru.
Ada 2 kelompok besar PJB non sianotik; yaitu (1) PJB non
sianotik dengan lesi atau lubang di jantung sehingga terdapat aliran
pirau dari kiri ke kanan, misalnya ventricular septal defect (VSD),
atrial septal defect (ASD) dan patent ductus arteriosus (PDA), dan (2)
PJB non sianotik dengan lesi obstruktif di jantung bagian kiri atau

3
kanan tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung, misalnya aortic
stenosis (AS), coarctatio aorta (CoA) dan pulmonary stenosis (PS).
b. Penyakit jantung bawaan sianotik
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi
jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik
vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali
beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri
atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari
tangankaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan
terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5
gram %.
Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar
terdapat 2 golongan PJB sianotik, yaitu (1) yang dengan gejala aliran
darah ke paru yang berkurang, misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan
Pulmonal Atresia (PA) dengan VSD, dan (2) yang dengan gejala aliran
darah ke paru yang bertambah, misalnya Transposition of the Great
Arteries (TGA) dan Common Mixing (Roebiono, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain
(Allen et al, 1995)
a. Sindrom Eisenmenger. Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik
yang menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya
lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi dengan
meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di
ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan melebihi
tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri
sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya dilakukan
sebelum timbul komplikasi ini.
b. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat
serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak

4
sesak bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat ditanggulangi
dapat menimbulkan kematian.
c. Abses otak. Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya
abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini
diakibatkan adanya hipoksia dan melambatnya aliran darah di otak.
Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.

2. Anatomi otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria
dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis
dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri.
Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi
daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore & Argur, 2007).
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian
tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-
masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal (Moore & Argur, 2007).
i. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus
sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus
parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian).
Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf
sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan
mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2013).

5
ii. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling
depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior
sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik
untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang
mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2013).
iii. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari
ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis, 2013).
iv. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis, 2013).
b. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di
belakang 11 batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak
fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain
itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya
(Moore & Argur, 2007).
c. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat

6
wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan
sakit kepala ketika bangun (Ellis, 2013).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
i. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah
bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak
tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, 12 pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran (Moore & Argur, 2007).
ii. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore
& Argur, 2007).
iii. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari
batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla
oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan
XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur,
2007).

Gambar 1. Anatomi otak

3. Radiologi
Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan untuk
memeriksa kepala, antara lain :

7
a. Cranium X Ray
Pemanfaatan foto polos cranium dalam praktek umum sangat
jarang. Pada umumnya dilakukan pada kejadian fraktur cranium.
b. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Sudah menjadi hal yang umum, sejak ditemukan tahun 1970, CT
scan banyak membantu penegakan diagnosis penyakit dan kelainan
neurologic (Chowdhury et al, 2010).
Penggunaan CT-scan disarankan pada:
i. Trauma akut atau baru saja, di mana CT-scan sangat baik
mendeteksi perubahan parenkim otak akibat pendarahan.
ii. Pasien dengan pendarahan intrakranial, untuk mendeteksi
Stroke hemoragik ataupun pendarahan intrakranial akibar
kecelakaan.
iii. Penyakit tulang kranium: metastasis, ada keganasan
iv. Pada pasien dengan kontraindikasi MRI (pasien dengan alat
pacu jantung, dengan implantasi logam) (Chowdhury et al,
2010).
Hasil CT scan akan menunjukkan gambaran radiologik:
i. Hypodense: hitam, biasanya daerah yang berisi cairan
ii. Isodense: jaringan parenkim otak sendiri
iii. Hyperdense: padat, kalsifikasi, pendarahan (Chowdhury et al,
2010).
CT scan polos atau tanpa kontras dilakukan pada diagnosis stroke
infark atau pendarahan. CT scan kontras, dilakukan dengan
menyuntikkan kontras melalui arteria terdekat. Pada kondisi inflamasi,
ada tumor, metastasis atau ekstravasasi pendarahan, maka akan muncul
enhancement (Chowdhury et al, 2010).

c. Angiography
Kateter angiography masih dianggap standar emas untuk
pencitraan otak pembuluh darah. angiography diagnostik juga biasanya
dilakukan sebagai langkah pertama selama prosedur neurointervensi
(Harrigan & Deveikis, 2013).

8
Indikasi :
i. Diagnosis penyakit primer neurovaskular (misalnya, aneurisma
intrakranial, malformasi arteri, fistula arteriovenosa dural,
stenosis aterosklerosis, vaskulopati, vasospasme serebral,
stroke iskemik akut)
ii. Merencanakan prosedur neurointerventional
iii. bantuan Intra-operatif dengan operasi aneurisma
iv. Tindak lanjut pencitraan setelah pengobatan (misalnya, setelah
aneurisma melingkar atau kliping, pengobatan fistula
arteriovenosa) (Harrigan & Deveikis, 2013).
d. MRI
Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) adalah suatu alat diagnostik
muthakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan
menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi
radio, tanpa operasi, penggunaan sinar-x, ataupun bahan radioaktif,
yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh /
organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan
antara 0,064 1,5 tesla ( 1 tesla = 1000 Gauss ) dan resonansi getaran
terhadap inti atom hidrogen. Merupakan metode rutin yang dipakai
dalam diagnosis medis karena hasilnya yang sangat akurat. Dengan
beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya, terutama kemampuannya
membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak
memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk
diagnostik jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan
susunan saraf pusat dan memberikan gambaran detail tubuh manusia
dengan perbedaan yang kontras, dibandingkan dengan pemeriksaan
CT- Scan dan x-ray lainnya sehingga anatomi dan patologi jaringan
tubuh dapat dievaluasi secara detail ( Bushberg et al, 2011).
Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan
CT-Scan, yaitu :

9
i. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada
jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang serta
muskuloskeletal.
ii. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
iii. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti
pemeriksaan difusi, perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat
dilakukan dengan CT-Scan.
iv. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan
miring tanpa merubah posisi pasien.
v. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Bushberg et al,
2011).

4. Gambaran radiologi komplikasi PJB pada otak


Penyakit jantung bawaan mengacu pada berbagai malformasi
jantung saat lahir, dengan dua jenis kelainan yaitu asianotik dan sianotik.
Penelitian sebelumnya mencatat adanya kelainan neurologis pada lebih
dari sepertiga pasien yang didiagnosis dengan penyakit jantung bawaan
sianotik. Kelainan neurologis tersebut meliputi antara lain keterlambatan
belajar, kelainan tingkah laku, keterlambatan perkembangan. (Miller &
McQuillen, 2007).
PJB dapat mempengaruhi otak dalam beberapa cara. Pertama,
jantung memompa darah yang membawa nutrisi dan oksigen ke otak untuk
memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang. Beberapa tipe dari PJB
dapat mengurangi jumlah darah yang mencapai otak atau kandungan
oksigen dari darah. Dimulai pada periode janin, berkurang aliran darah dan
kadar oksigen mungkin menghambat pematangan otak. Bayi lahir aterm
dengan penyakit jantung bawaan memiliki kematangan otak yang tertunda
(Rollins & Newburger, 2014).
Studi sebelumnya melaporkan bahwa anak dengan PJB
memperlihatkan lesi-lesi di otak, antara lain atrofi otak, pelebaran
ventrikel atau spatium subarachnoid, perdarahan intraventrikuler,
echodensitis linear dari substansia grisea, dan abses otak.

10
MRI telah melaporkan berbagai kelainan termasuk perdarahan
intrakranial, ventrikulomegali dengan pelebaran ruang subarachnoid
mewakili atrofi otak, cedera materi abu-abu, trombosis vena serebral,
thromboembolisms, infark, leukomalacia periventrikel dan penutupan
operculum yang tidak lengkap.
a. Atrofi otak
CT dan MRI sama-sama mampu menunjukkan atrofi korteks, tetapi
MRI lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan focus atrofi fokus
dalam inti. Fitur karakteristik termasuk sulci otak menonjol (yaitu
korteks atrofi) dan ventrikulomegali (yaitu pusat atrofi) tanpa
menonjol dari lekukan ventrikel ketiga. Ini bisa sulit untuk
membedakan ini dari perubahan terlihat pada hidrosefalus tekanan
normal. (Brant & Helms, 2007).

Gambar 2. Gambaran mikrocephal pada MRI potongan sagittal pada pasien


dengan prematuritas dan PJB. Tampak gambaran penurunan volume serebrum
dan serebelum dan ventrikel prominen

11
Gambar 3. atrofi otak pada CT Scan
b. Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan intravaskuler diartikan sebagai terdapatnya darah pada
system ventrikuler pada otak, dan bertanggung jawab atas angka
morbiditas karena perkembangan hidrosefalus obstruktif. Perdarahan
intraventrikuler dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu primer
dan sekunder. Perdarahan intraventrikuler primer adalah terdapatnya
darah pada ventrikel. Perdarahan intraventrikuler sekunder adalah
terdapatnya komponen ekstraventrikuler yang berekstensi ke dalam
ventrikel.
Pada CT Scan, Darah pada ventrikel tampak sebagai massa
hiperdens, lebih berat dibandingkan cerebrospinal fluid (CSF) dan
cenderung bermuara pada cornu occipital. Apabila ventrikel ini terisi
darah, dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan menjadi cast. MRI
merupakan modalitas yang lebih sensitive untuk mendeteksi darah
yang sedikit, terutama pada fossa posterior. (Giray et al, 2009).

12
Gambar 4. Gambaran perdarahan intraventrikuler pada MRI.

c. Keterlambatan perkembangan saraf


Etiologi defisit perkembangan saraf pada anak dengan PJB adalah
multifaktorial berkaitan dengan baik waktu dan mekanisme. Diduga,
mekanismenya adalah gangguan dalam fungsi metabolisme otak,
cedera otak dan perkembangan otak yang abnormal, dengan beberapa
kontribusi dari kondisi genetik yang terkait. Selain itu, bayi yang baru
lahir memiliki penurunan parah oksigenasi mitokondria selama induksi
hipotermia dan keterlambatan dalam pemulihan oksigenasi
mitokondria berikut penangkapan peredaran darah (Miller &
McQuillen, 2007).
d. Abses serebri
Penyebaran infeksi pada kasus abses serebri terjadi melalui tiga
rute, yaitu melalui struktur yang berdekatan, hematogen atau cara
metastasis. Penyebaran infeksi secara melalui struktur yang berdekatan
sering berasal dari infeksi sinus, contohnya sinusitis frontalis
menyebar ke lobus frontal, sinusitis sphenoidalis menyebar ke sinus
kavernosus, dan infeksi mastoid telinga menyebar ke lobus temporalis
dan otak kecil (Muzumdar & Goel, 2011). Penyebaran infeksi secara

13
hematogen sering terjadi pada anak-anak dengan penyakit jantung
bawaan sianotik dengan right-to-left shunt, contohnya pada Persistent
Left Superior Vena Cava (PLSCV) dan Tetralogy of Fallot (TOF)
diketahui menjadi predisposisi abses serebri dan kejadian
tromboemboli. Terjadinya bacteremia dari flora orofaringeal. Kuman
pathogen ini tidak dapat bertahan pada situasi yang kaya oksigen dan
dapat dieliminasi oleh sel makrofag alveolar atau system limfatika.
Perubahan aliran jantung menjadi right-to-left shunt ini mengakibatkan
kuman pathogen dapat melewati paru-paru, dan langsung menuju
pembuluh darah arteri, dan mencapai otak. (Lee et al, 2011).
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan.
Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses.
Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan
dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit, plasma sel, dan sel-sel inflamasi dengan
pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena
pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)

14
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.
Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena
peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis
didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi
reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini
edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.
Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi
pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat
lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi
putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang
terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke
dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke
dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses
dengan gambaran histologis sebagai berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.

15
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
(Muzumdar & Goel, 2011).

Karena sulitnya mendiagnosis abses otak hanya dari gejala


klinis saja, peran neuroimaging adalah sangat diperlukan. Secara
umum, kelainan yang terlihat pada radiografi tergantung pada tahap
abses otak. Salah satu kegunaan neuroimaging adalah untuk
memperkirakan lama abses otak. Lesi pada tahap cerebritis awal atau
akhir dapat ditatalaksana agak berbeda dibandingkan dengan abses
pada tahap akhir yang sudah kehilangan kapsulnya. CT Scan dengan
kontras pada tahap 1 (cerebritis awal) mungkin hanya menampilkan
edema daerah yang terlihat hipodens - yang mungkin atau mungkin
tidak meningkat dengan kontras. Jika dilakukan sangat awal dalam
perjalanan infeksi, CT Scan kontras mungkin normal. Selama tahap
lanjutan, ada perkembangan lesi menempati ruang - dengan pusat
hipodens dan kontras dapat meningkatkan densitas bagian luar abses
(cincin), yang sering dikelilingi oleh daerah edema yang besar.
Kadang-kadang, peningkatan densitas cincin bisa pada cerebritis akhir;
kemunculan kontras yang terlambat mengisi hipodensitas pusat abses
adalah suatu petunjuk bahwa lesi masih dalam tahap cerebritis.
Meskipun menggunakan kontras, CT scan dianggap sensitif untuk
mendeteksi abses otak, namun tidak spesifik. Abses otak cenderung
memiliki halus kapsul berdinding tipis, sedangkan tumor cenderung
memiliki kapsul lebih teratur. Ada karakteristik tambahan tumor otak,
namun beberapa tumpang tindih dengan abses otak. Penting untuk
dicatat bahwa abses otak dan tumor otak mungkin memiliki
penampilan yang identik pada CT scan. (Isada, 2010)
CT Scan memudahkan deteksi dini, lokalisasi yang tepat, dan
karakterisasi akurat, penentuan jumlah, ukuran dan staging abses. CT
Scan juga mampu mendeteksi hidrosefalus, peningkatan TIK, edema
dan infeksi yang terkait seperti empiema subdural, ventrikulitis dan

16
dengan demikian membantu dalam perencanaan pengobatan. Abses
hematogen, yang dapat dilihat pada keadaan endokarditis, cardiac
shunt, atau malformasi pembuluh darah paru, biasanya beberapa,
diidentifikasi di persimpangan abu-abu putih, dan terletak di wilayah
arteri serebral tengah (Muzumdar & Goel, 2011). Pada CT Scan,
gambaran abses serebri yang terlihat adalah :
i. Cincin jaringan iso atau hiperdens, biasanya ketebalan
homogen
ii. Terdapat atenuasi central yang biasanya diisi oleh cairan atau
pus
iii. Densitas rendah pada sekitar (edema vasogenik)
iv. Tampak ventrikulitis (Toh et al, 2012)

Gambar 5. Gambaran abses otak pada CT Scan

17
Gambar 6. Gambaran abses serebri pada CT Scan dengan kontras pada
pasien dengan fraktur cranium depresi. Tampak abses spatium subgaleal
(SGA), abses spatium epidural (EDA), dan abses pada hemisfer kiri (CA).
Abses diikuti dengan edema (panah kuning), dengan dinding abses
enhancement (panah putih)

MRI memiliki pencitraan yang lebih sensitif dibandingkan CT,


dan MRI biasanya dapat mendeteksi infeksi pada tahap cerebritis awal.
MRI scan di fokus cerebritis biasanya menunjukkan hipointensitas luas
pada T1WI dan T2WI. Penampilan karakteristik abses otak dewasa
pada MRI adalah lesi fokal dengan intensitas rendah pada gambar
T1WI, dengan kapsul berbatas jelas yang meningkat dengan
gadolinium IV. Pada gambar T2WI, bagian tengah abses hiperintens
dan kapsul sekitarnya hipointens. Di sekitarnya tampak edema luas
dalam banyak kasus. Temuan kapsul yang hipointens pada T2WI dan
agak hiperintens pada gambar T1WI adalah gambaran sugestif dari
kapsul abses (Isada, 2010).

18
Gambar 7. Gambar kiri : gambaran lesi bulat pada lobus frontalis kiri,
curiga abses (panah putih) pada pemeriksaan MRI kepala pada pasien
47 tahun dengan atrial fibrillation dan serangan kejang
Gambar kanan : pemeriksaan MRI ulang setelah 8 minggu setelah
drainase otak, menunjukkan tidak ada pengulangan abses. (Lee et al,
2011)

Gambar 8. Gambaran abses otak pada MRI potongan sagittal pada pasien
dengan demam pasca trauma kepala. Tampak gambaran osteomyelitis pada

19
daerah trauma (panah kuning). Tampak abses pada otak (panah merah),
dengan tepi mass effect pada lobus parietalis kiri (panah putih).

e. Cedera substansia alba


Adalah pola karakteristik dari cedera otak pada bayi baru lahir
prematur pada MRI dan sangat terkait dengan risiko hasil
perkembangan saraf yang merugikan. Dengan kemajuan MRI,
spektrum cedera substansia alba sekarang dapat ditampilkan, dengan
leukomalacia periventrikel cystic sebagai manifestasi yang paling
parah. Data baru mengungkapkan kejadian mencolok tinggi cedera
substansia alba pada bayi dengan PJB, dengan karakteristik pencitraan
serupa dengan yang terlihat pada bayi baru lahir premature (Miller &
McQuillen, 2007).
Patogenesis cedera substansia alba pada bayi baru lahir prematur
terkait dengan kerentanan iskemik sekunder dengan anatomi pembuluh
darah periventrikel. progenitor akhir oligodendrocyte dan neuron
subplate dua jenis sel yang rentan terhadap hipoksia-iskemia dan
perkembangannya puncak dalam substansia alba sepanjang periode
berisiko tinggi untuk cedera substansia alba pada bayi baru lahir
prematur. Selanjutnya, distribusi sel oligodendrocyte progenitor rentan,
dalam model ovin, mendasari anatomi spasial cedera substansia alba,
bukan aliran darah otak (Miller & McQuillen, 2007).

20
BAB III
PENUTUP

Komplikasi pada otak merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung bawaan terutama penyakit jantung bawaan yang sianotik.
Beberapa komplikasi yang terjadi pada otak adalah abses serebri, atrofi otak,
perdarahan intraventrikuler, keterlambatan perkembangan saraf, dan cedera
substansia alba. Teknologi dalam bidang radiografi yang saat ini telah mengalami
kemajuan yang pesat dapat dengan tepat menilai kondisi-kondisi tersebut.
Beberapa komplikasi tersebut juga memiliki gejala yang tidak khas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang radiologi untuk menetapkan diagnosis lebih
dini. Karena ketepatan diagnosis sedini mungkin akan berpengaruh pada
keberhasilan dari pengobatan pasien tersebut, sehingga dapat meminimalisir defek
permanen yang bisa timbul karena komplikasi tersebut.

21
DAFTAR PUSTAKA

Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease: untreated and
operated. Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen HD,
Gutgesell HP, penyunting. Moss and Adams heart disease in infants,
children, and adolescents. Edisi ke-5. Baltimore: Williams & Wilkins;
1995. h. 657-64.
Bushberg JT, Seibert JA, Leidholdt EM, Boone JM. 2011. The Essential Physics
of Medical Imaging. Third Edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins
Chowdhury R, Wilson I, Rofe C, Lloyd-Jones G. 2010. Radiology at a Glance.
London : John Wiley & Sons.
Ellis H. 2013. Clinical Anatomy Thirteenth Edition. US : Blackwell Publishing.
Harrigan MR & Deveikis JP. 2013. Handbook of Cerebrovascular Disease and
Neurointerventional Technique. New York : Springer Sience & Business
Media
Isada, Carlos M. 2010. Brain Abcess. Cleveland Clinic.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i
nfectious-disease/brain-abscess/ - diakses Januari 2017
Lee M, Pande RL, Rao B, Lanzberg MJ, Kwong RY. 2011. Cerebral Abscess Due
to Persistent Left Superior Vena Cava Draining Into the Left Atrium.
Circulation 124:2362-4

22
Miller SP, McQuillen PS. 2007. Neurology of congenital heart disease: insight
from brain imaging. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 92(6): F435F437.
Moore KL dan Agur AMR. 2007. Anatomi Klinis Dasar. alih bahasa, Hendra
Laksman. (Ed) Vivi Sadikin dan Virgi Saputra. Jakarta: EGC.
Muzumdar D & Goel SJA. 2011. Brain abcess : An overview. International
Journal of Surgery 9:136-144
Rollins CK, Newburger JW. 2014. Neurodevelopmental Outcomes in Congenital
Heart Disease. Circulation 130(14): 124-6

23

Anda mungkin juga menyukai