Oleh :
Anthony Johan G99161018
Mahardika Kartikandini G99161058
Yurike Rizkhika G99161113
Pembimbing :
dr. Rachmi Fauziah R, Sp.Rad
0
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan
1
Pada pembahasan mengenai gambaran radiologi komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak bertujuan untuk :
a. Mengetahui struktur anatomi otak.
b. Mengetahui definisi, jenis, dan komplikasi dari penyakit jantung
bawaan.
c. Mengetahui manifestasi dan penegakkan diagnosis komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak dengan pemeriksaan radiografi.
3. Manfaat
Pada pembahasan mengenai gambaran radiologi pada komplikasi
penyakit jantung bawaan pada otak bermanfaat untuk :
a. Memberikan pengetahuan tentang struktur anatomi otak.
b. Memberikan pengetahuan tentang definisi, jenis, dan komplikasi dari
penyakit jantung bawaan.
c. Memberikan pengetahuan tentang manifestasi dan penegakkan
diagnosis komplikasi penyakit jantung bawaan pada otak dengan
pemeriksaan radiografi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
kanan tanpa aliran pirau melalui sekat di jantung, misalnya aortic
stenosis (AS), coarctatio aorta (CoA) dan pulmonary stenosis (PS).
b. Penyakit jantung bawaan sianotik
Pada PJB sianotik didapatkan kelainan struktur dan fungsi
jantung sedemikian rupa sehingga sebagian atau seluruh darah balik
vena sistemik yang mengandung darah rendah oksigen kembali
beredar ke sirkulasi sistemik. Terdapat aliran pirau dari kanan ke kiri
atau terdapat percampuran darah balik vena sistemik dan vena
pulmonalis. Sianosis pada mukosa bibir dan mulut serta kuku jari
tangankaki dalah penampilan utama pada golongan PJB ini dan akan
terlihat bila reduce haemoglobin yang beredar dalam darah lebih dari 5
gram %.
Bila dilihat dari penampilan klinisnya, secara garis besar
terdapat 2 golongan PJB sianotik, yaitu (1) yang dengan gejala aliran
darah ke paru yang berkurang, misalnya Tetralogi of Fallot (TF) dan
Pulmonal Atresia (PA) dengan VSD, dan (2) yang dengan gejala aliran
darah ke paru yang bertambah, misalnya Transposition of the Great
Arteries (TGA) dan Common Mixing (Roebiono, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit jantung bawaan antara lain
(Allen et al, 1995)
a. Sindrom Eisenmenger. Komplikasi ini terjadi pada PJB non-sianotik
yang menyebabkan aliran darah ke paru yang meningkat. Akibatnya
lama kelamaan pembuluh kapiler di paru akan bereaksi dengan
meningkatkan resistensinya sehingga tekanan di arteri pulmonal dan di
ventrikel kanan meningkat. Jika tekanan di ventrikel kanan melebihi
tekanan di ventrikel kiri maka terjadi pirau terbalik dari kanan ke kiri
sehingga anak mulai sianosis. Tindakan bedah sebaiknya dilakukan
sebelum timbul komplikasi ini.
b. Serangan sianotik. Komplikasi ini terjadi pada PJB sianotik. Pada saat
serangan anak menjadi lebih biru dari kondisi sebelumnya, tampak
4
sesak bahkan dapat timbul kejang. Kalau tidak cepat ditanggulangi
dapat menimbulkan kematian.
c. Abses otak. Abses otak biasanya terjadi pada PJB sianotik. Biasanya
abses otak terjadi pada anak yang berusia di atas 2 tahun. Kelainan ini
diakibatkan adanya hipoksia dan melambatnya aliran darah di otak.
Anak biasanya datang dengan kejang dan terdapat defisit neurologis.
2. Anatomi otak
Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang
dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria
dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis
dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri.
Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi
daerah lebih kecil yang disebut lobus (Moore & Argur, 2007).
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh
sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian
tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus.
Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus tersebut masing-
masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital dan lobus
temporal (Moore & Argur, 2007).
i. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah
serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus
sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus
parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis (Sylvian).
Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf
sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan
mengenali segala jenis rangsangan somatik (Ellis, 2013).
5
ii. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling
depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior
sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik
untuk mengontrol gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca
sebagai pusat bicara; dan area prefrontal (area asosiasi) yang
mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2013).
iii. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus
oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari
ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam
kemampuan 10 pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa
dalam bentuk suara (Ellis, 2013).
iv. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang
memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap
objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis, 2013).
b. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di
belakang 11 batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak
fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh,
mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Selain
itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan serangkaian
gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil,
gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya
(Moore & Argur, 2007).
c. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang
otak maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat
6
wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan
sakit kepala ketika bangun (Ellis, 2013).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
i. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah
bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan
serebelum. Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak
tengah. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon
penglihatan, gerakan mata, 12 pembesaran pupil mata, mengatur
gerakan tubuh dan pendengaran (Moore & Argur, 2007).
ii. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara
midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial
posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons (Moore
& Argur, 2007).
iii. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari
batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla
oblongata terletak juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan
XII disosiasikan dengan medulla, sedangkan CN VI dan VIII
berada pada perhubungan dari pons dan medulla (Moore & Argur,
2007).
3. Radiologi
Ada beberapa jenis pemeriksaan radiologi yang dapat digunakan untuk
memeriksa kepala, antara lain :
7
a. Cranium X Ray
Pemanfaatan foto polos cranium dalam praktek umum sangat
jarang. Pada umumnya dilakukan pada kejadian fraktur cranium.
b. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Sudah menjadi hal yang umum, sejak ditemukan tahun 1970, CT
scan banyak membantu penegakan diagnosis penyakit dan kelainan
neurologic (Chowdhury et al, 2010).
Penggunaan CT-scan disarankan pada:
i. Trauma akut atau baru saja, di mana CT-scan sangat baik
mendeteksi perubahan parenkim otak akibat pendarahan.
ii. Pasien dengan pendarahan intrakranial, untuk mendeteksi
Stroke hemoragik ataupun pendarahan intrakranial akibar
kecelakaan.
iii. Penyakit tulang kranium: metastasis, ada keganasan
iv. Pada pasien dengan kontraindikasi MRI (pasien dengan alat
pacu jantung, dengan implantasi logam) (Chowdhury et al,
2010).
Hasil CT scan akan menunjukkan gambaran radiologik:
i. Hypodense: hitam, biasanya daerah yang berisi cairan
ii. Isodense: jaringan parenkim otak sendiri
iii. Hyperdense: padat, kalsifikasi, pendarahan (Chowdhury et al,
2010).
CT scan polos atau tanpa kontras dilakukan pada diagnosis stroke
infark atau pendarahan. CT scan kontras, dilakukan dengan
menyuntikkan kontras melalui arteria terdekat. Pada kondisi inflamasi,
ada tumor, metastasis atau ekstravasasi pendarahan, maka akan muncul
enhancement (Chowdhury et al, 2010).
c. Angiography
Kateter angiography masih dianggap standar emas untuk
pencitraan otak pembuluh darah. angiography diagnostik juga biasanya
dilakukan sebagai langkah pertama selama prosedur neurointervensi
(Harrigan & Deveikis, 2013).
8
Indikasi :
i. Diagnosis penyakit primer neurovaskular (misalnya, aneurisma
intrakranial, malformasi arteri, fistula arteriovenosa dural,
stenosis aterosklerosis, vaskulopati, vasospasme serebral,
stroke iskemik akut)
ii. Merencanakan prosedur neurointerventional
iii. bantuan Intra-operatif dengan operasi aneurisma
iv. Tindak lanjut pencitraan setelah pengobatan (misalnya, setelah
aneurisma melingkar atau kliping, pengobatan fistula
arteriovenosa) (Harrigan & Deveikis, 2013).
d. MRI
Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) adalah suatu alat diagnostik
muthakhir untuk memeriksa dan mendeteksi tubuh dengan
menggunakan medan magnet yang besar dan gelombang frekuensi
radio, tanpa operasi, penggunaan sinar-x, ataupun bahan radioaktif,
yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh /
organ manusia dengan menggunakan medan magnet berkekuatan
antara 0,064 1,5 tesla ( 1 tesla = 1000 Gauss ) dan resonansi getaran
terhadap inti atom hidrogen. Merupakan metode rutin yang dipakai
dalam diagnosis medis karena hasilnya yang sangat akurat. Dengan
beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya, terutama kemampuannya
membuat potongan koronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak
memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk
diagnostik jaringan lunak, terutama otak, sumsum tulang belakang dan
susunan saraf pusat dan memberikan gambaran detail tubuh manusia
dengan perbedaan yang kontras, dibandingkan dengan pemeriksaan
CT- Scan dan x-ray lainnya sehingga anatomi dan patologi jaringan
tubuh dapat dievaluasi secara detail ( Bushberg et al, 2011).
Ada beberapa kelebihan MRI dibandingkan dengan pemeriksaan
CT-Scan, yaitu :
9
i. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada
jaringan lunak seperti otak, sumsum tulang serta
muskuloskeletal.
ii. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
iii. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti
pemeriksaan difusi, perfusi dan spektroskopi yang tidak dapat
dilakukan dengan CT-Scan.
iv. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan
miring tanpa merubah posisi pasien.
v. MRI tidak menggunakan radiasi pengion (Bushberg et al,
2011).
10
MRI telah melaporkan berbagai kelainan termasuk perdarahan
intrakranial, ventrikulomegali dengan pelebaran ruang subarachnoid
mewakili atrofi otak, cedera materi abu-abu, trombosis vena serebral,
thromboembolisms, infark, leukomalacia periventrikel dan penutupan
operculum yang tidak lengkap.
a. Atrofi otak
CT dan MRI sama-sama mampu menunjukkan atrofi korteks, tetapi
MRI lebih sensitif dalam mendeteksi perubahan focus atrofi fokus
dalam inti. Fitur karakteristik termasuk sulci otak menonjol (yaitu
korteks atrofi) dan ventrikulomegali (yaitu pusat atrofi) tanpa
menonjol dari lekukan ventrikel ketiga. Ini bisa sulit untuk
membedakan ini dari perubahan terlihat pada hidrosefalus tekanan
normal. (Brant & Helms, 2007).
11
Gambar 3. atrofi otak pada CT Scan
b. Perdarahan intraventrikuler
Perdarahan intravaskuler diartikan sebagai terdapatnya darah pada
system ventrikuler pada otak, dan bertanggung jawab atas angka
morbiditas karena perkembangan hidrosefalus obstruktif. Perdarahan
intraventrikuler dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu primer
dan sekunder. Perdarahan intraventrikuler primer adalah terdapatnya
darah pada ventrikel. Perdarahan intraventrikuler sekunder adalah
terdapatnya komponen ekstraventrikuler yang berekstensi ke dalam
ventrikel.
Pada CT Scan, Darah pada ventrikel tampak sebagai massa
hiperdens, lebih berat dibandingkan cerebrospinal fluid (CSF) dan
cenderung bermuara pada cornu occipital. Apabila ventrikel ini terisi
darah, dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan menjadi cast. MRI
merupakan modalitas yang lebih sensitive untuk mendeteksi darah
yang sedikit, terutama pada fossa posterior. (Giray et al, 2009).
12
Gambar 4. Gambaran perdarahan intraventrikuler pada MRI.
13
hematogen sering terjadi pada anak-anak dengan penyakit jantung
bawaan sianotik dengan right-to-left shunt, contohnya pada Persistent
Left Superior Vena Cava (PLSCV) dan Tetralogy of Fallot (TOF)
diketahui menjadi predisposisi abses serebri dan kejadian
tromboemboli. Terjadinya bacteremia dari flora orofaringeal. Kuman
pathogen ini tidak dapat bertahan pada situasi yang kaya oksigen dan
dapat dieliminasi oleh sel makrofag alveolar atau system limfatika.
Perubahan aliran jantung menjadi right-to-left shunt ini mengakibatkan
kuman pathogen dapat melewati paru-paru, dan langsung menuju
pembuluh darah arteri, dan mencapai otak. (Lee et al, 2011).
Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada
jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan
kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan.
Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan
pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses.
Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang
nekrotikan. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan
dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang
konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4
stadium yaitu :
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang local dengan infiltrasi polymofonuklear
leukosit, limfosit, plasma sel, dan sel-sel inflamasi dengan
pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama dan
meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika
adventisia dari pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis
infeksi. Peradangan perivaskular ini disebut cerebritis. Saat ini
terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa karena
pembesaran abses.
2) Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
14
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti.
Daerah pusat nekrosis membesar oleh karena
peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis
didapati daerah sel radang, makrofag-makrofag besar dan
gambaran fibroblast yang terpencar. Fibroblast mulai menjadi
reticulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini
edema otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3) Stadium pembentukan kapsul dini (Early Capsule Formation)
Pusat nekrosis mulai mengecil, makrofag menelan acellular
debris dan fibroblast meningkat dalam pembentukan kapsul.
Lapisan fibroblast membentuk anyaman reticulum mengelilingi
pusat nekrosis. Di daerah ventrikel, pembentukan dinding sangat
lambat oleh karena kurangnya vaskularisasi di daerah substansi
putih dibandingkan substansi abu. Pembentukan kapsul yang
terlambat di permukaan tengah memungkinkan abses membesar ke
dalam substansi putih. Bila abses cukup besar, dapat robek ke
dalam ventrikel lateralis. Pada pembentukan kapsul, terlihat daerah
anyaman reticulum yang tersebar membentuk kapsul kolagen,
reaksi astrosit di sekitar otak mulai meningkat.
4) Stadium pembentukan kapsul lanjut (Late Capsule Formation)
Pada stadium ini, terjadi perkembangan lengkap abses
dengan gambaran histologis sebagai berikut:
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel
radang.
Daerah tepi dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang
berlanjut.
15
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
(Muzumdar & Goel, 2011).
16
dengan demikian membantu dalam perencanaan pengobatan. Abses
hematogen, yang dapat dilihat pada keadaan endokarditis, cardiac
shunt, atau malformasi pembuluh darah paru, biasanya beberapa,
diidentifikasi di persimpangan abu-abu putih, dan terletak di wilayah
arteri serebral tengah (Muzumdar & Goel, 2011). Pada CT Scan,
gambaran abses serebri yang terlihat adalah :
i. Cincin jaringan iso atau hiperdens, biasanya ketebalan
homogen
ii. Terdapat atenuasi central yang biasanya diisi oleh cairan atau
pus
iii. Densitas rendah pada sekitar (edema vasogenik)
iv. Tampak ventrikulitis (Toh et al, 2012)
17
Gambar 6. Gambaran abses serebri pada CT Scan dengan kontras pada
pasien dengan fraktur cranium depresi. Tampak abses spatium subgaleal
(SGA), abses spatium epidural (EDA), dan abses pada hemisfer kiri (CA).
Abses diikuti dengan edema (panah kuning), dengan dinding abses
enhancement (panah putih)
18
Gambar 7. Gambar kiri : gambaran lesi bulat pada lobus frontalis kiri,
curiga abses (panah putih) pada pemeriksaan MRI kepala pada pasien
47 tahun dengan atrial fibrillation dan serangan kejang
Gambar kanan : pemeriksaan MRI ulang setelah 8 minggu setelah
drainase otak, menunjukkan tidak ada pengulangan abses. (Lee et al,
2011)
Gambar 8. Gambaran abses otak pada MRI potongan sagittal pada pasien
dengan demam pasca trauma kepala. Tampak gambaran osteomyelitis pada
19
daerah trauma (panah kuning). Tampak abses pada otak (panah merah),
dengan tepi mass effect pada lobus parietalis kiri (panah putih).
20
BAB III
PENUTUP
Komplikasi pada otak merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien
dengan penyakit jantung bawaan terutama penyakit jantung bawaan yang sianotik.
Beberapa komplikasi yang terjadi pada otak adalah abses serebri, atrofi otak,
perdarahan intraventrikuler, keterlambatan perkembangan saraf, dan cedera
substansia alba. Teknologi dalam bidang radiografi yang saat ini telah mengalami
kemajuan yang pesat dapat dengan tepat menilai kondisi-kondisi tersebut.
Beberapa komplikasi tersebut juga memiliki gejala yang tidak khas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang radiologi untuk menetapkan diagnosis lebih
dini. Karena ketepatan diagnosis sedini mungkin akan berpengaruh pada
keberhasilan dari pengobatan pasien tersebut, sehingga dapat meminimalisir defek
permanen yang bisa timbul karena komplikasi tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Allen HD, Franklin WH, Fontana ME. Congenital heart disease: untreated and
operated. Dalam: Emmanoulides GC, Riemenschneider TA, Allen HD,
Gutgesell HP, penyunting. Moss and Adams heart disease in infants,
children, and adolescents. Edisi ke-5. Baltimore: Williams & Wilkins;
1995. h. 657-64.
Bushberg JT, Seibert JA, Leidholdt EM, Boone JM. 2011. The Essential Physics
of Medical Imaging. Third Edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins
Chowdhury R, Wilson I, Rofe C, Lloyd-Jones G. 2010. Radiology at a Glance.
London : John Wiley & Sons.
Ellis H. 2013. Clinical Anatomy Thirteenth Edition. US : Blackwell Publishing.
Harrigan MR & Deveikis JP. 2013. Handbook of Cerebrovascular Disease and
Neurointerventional Technique. New York : Springer Sience & Business
Media
Isada, Carlos M. 2010. Brain Abcess. Cleveland Clinic.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i
nfectious-disease/brain-abscess/ - diakses Januari 2017
Lee M, Pande RL, Rao B, Lanzberg MJ, Kwong RY. 2011. Cerebral Abscess Due
to Persistent Left Superior Vena Cava Draining Into the Left Atrium.
Circulation 124:2362-4
22
Miller SP, McQuillen PS. 2007. Neurology of congenital heart disease: insight
from brain imaging. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 92(6): F435F437.
Moore KL dan Agur AMR. 2007. Anatomi Klinis Dasar. alih bahasa, Hendra
Laksman. (Ed) Vivi Sadikin dan Virgi Saputra. Jakarta: EGC.
Muzumdar D & Goel SJA. 2011. Brain abcess : An overview. International
Journal of Surgery 9:136-144
Rollins CK, Newburger JW. 2014. Neurodevelopmental Outcomes in Congenital
Heart Disease. Circulation 130(14): 124-6
23