Anda di halaman 1dari 8

TEKTONIK SETTING DAN POTENSI KEGEMPAAN

DI WILAYAH PAPUA

Sabar Ardiansyah1,2
1
Stasiun Geofisika Kepahiang-Bengkulu
2
Akademi Meteorologi dan Geofisika_jakarta
E-mail : sabar.ardiansyah@bmkg.go.id

ABSTRAK

Daerah Papua merupakan salah satu wilayah dengan tingkat kegempaan yang tinggi.
Tataan tektonik wilayah ini merupakan susunan tektonik yang kompleks. Secara garis besar,
generator gempabumi di wilayah Papua dibagi menjadi dua zona yaitu zona subduksi dan zona
patahan. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui tektonik setting dan potensi
kegempaan di wilayah Papua secara umum. Metode yang digunakan dalam penulisa paper ini
adalah kajian pustaka. Berdasarkan hasil kajian menunjukkan bahwa potensi gempabumi di
zona subduksi dimasa yang akan datang bisa mencapai kekuatan lebih dari 8,2 SR. Sedangkan
potensi gempabumi yang diakibatkan oleh sistem patahan di wilayah Papua berkisar antara 6,0
SR hingga 6,5 SR. Untuk zona gempabumi diffuse, potensi kegempaan mencapai kekuatan 7,2
SR dengan periode ulang 72 tahun.

Kata kunci : Zona subduksi, patahan, potensi gempabumi.

===========================================================================
1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu kawasan di dunia yang memiliki potensi kegempaan
yang tinggi. Wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh interaksi lempeng Eurasia, Indo-
Australia, dan Pasifik (gambar 1.1). Interaksi ini menunjukkan bahwa Lempeng Eurasia bergerak
relatif ke arah tenggara dengan kecepatan 0,4 cm/tahun. Pergerakan lempengan Indo-Australia
ke arah utara-timur laut dengan kecepatan 7 cm/tahun dan lempeng Pasifik dengan dua lempeng
mikro yaitu lempeng mikro Filipina yang bergerak relatif ke arah barat laut dengan kecepatan 8
cm/tahun dan lempeng mikro Karolina yang bergerak ke arah barat-barat laut dengan kecepatan
10 cm/tahun (Minster & Jordan, 1978 dalam Hastuti & Susilo, 2007).
Konsekuensi dari pertemuan tiga lempeng ini membuat hampir seluruh wilayah Indonesia
menjadi kawasan langganan terjadinya gempabumi. Tidak terkecuali untuk kawasan Indonesia
di bagian timur, Papua dan sekitarnya. Melalui paper ini penulis mencoba menganalisis potensi
kegempaan di kawasan Papua berdasarkan kajian pustaka.
Gambar 1.1 Peta tektonik Indonesia (Irsyam, et al 2010).

2. TATAAN TEKTONIK WILAYAH PAPUA

Tataan tektonik wilayah Papua telah diulas oleh beberapa ahli geologi seperti Dow et al.
(1985), Smith (1990), dan Mark Closs (1990) dapat dijadikan sebagai kerangka dalam
menerangkan posisi dan sejarah tektonik. Konfigurasi tektonik pulau Papua pada saat ini berada
pada bagian tepi utara lempeng Australia yang berkembang akibat adanya pertemuan antara
lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan lempeng Pasifik yang bergerak ke barat.
Tektonik Papua, secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Badan Burung
atau Papua bagian timur dan Kepala Burung atau Papua bagian barat. Kedua bagian ini
menunjukkan pola kelurusan barat-timur yang ditunjukan oleh Tinggian Kemum di Kepala
Burung dan Central Range di Badan Burung. Kedua pola ini dipisahkan oleh jalur lipatan
Anjakan Lengguru berarah baratdaya-tenggara di daerah Leher Burung dan juga oleh Teluk
Cenderawasih (Gambar 2.1).
Daerah Kepala Burung mengalami kompresi ke selatan sejak era Oligosen. Kompresi ini
merupakan hasil interaksi konvergen miring (oblique) antara Lempeng Benua Indo-Australia dan
Lempeng Samudera Pasifik-Caroline (Dow & Sukamto, 1984). Elemen-elemen struktur utama
pada zona ini adalah Sesar Sorong, Blok Kemum Plateu Ayamaru di utara, Sesar Ransiki, Jalur
Lipatan-Anjakan Lengguru, Cekungan Bintuni-Salawati di timur, Sesar Tarera-Aiduna, Antiklin
Misool-Onin-Kumawa, dan Cekungan Berau di selatan dan barat daya.
Blok Kemum adalah bagian dari tinggian batuan dasar, dibatasi oleh sesar Sorong di
utara dan sesar Ransiki di timur yang dicirikan oleh batuan metamorf, pada beberapa tempat
diintrusi oleh granit Permo-Trias. Batas selatannya dicirikan oleh kehadiran sedimen klastik
tidak termetamorfosakan berumur Paleozoikum-Mesozoikum dan batu gamping Tersier (Pigram
dan Sukanta, 1981; Pieters dkk., 1983). Blok Kemum terangkat pada masa Kenozoikum akhir
dan merupakan daerah sumber sedimentasi utama pengisian sedimen klastik di utara Cekungan
Bintuni. Cekungan Bintuni merupakan cekungan Tersier di selatan Blok Kemum, di
bagian timurnya dibatasi oleh jalur Lipatan Anjakan Lengguru. Cekungan ini dipisahkan dari
Cekungan Salawati oleh Paparan Ayamaru dan dari Cekungan Berau oleh Perbukitan Sekak.
Sebagai konsekuensi dari divergensi zona strike slip sesar sorong, maka terbentuk Pull-apart
basin yang dapat dapat dijumpai di cekungan Salawati (gambar 2.2).
Plateu Ayamaru dan Pematang Sekak merupakan tinggian di tengah Kepala Burung yang
dicirikan oleh sedimen tipis berumur Mesozoikum dan Tersier. Kedua tinggian ini memisahkan
Cekungan Bintuni dan Salawati (Visser and Hermes, 1962; Pigram and Sukanta, 1981).
Antiklin Misol-Onin-Kumawa merupakan bagian antiklinorium bawah laut
yang memanjang dari Peninsula Kumawa sampai ke Pulau Misool (Pigram et al, 1982). Jalur
Lipatan Anjakan Lengguru berarah barat daya-tenggara diperlihatkan oleh suatu seri bentukan
ramps dan thrust. Di bagian selatannya, jalur ini terpotong oleh zona sesar Tarera-Aiduna
(Hobson, 1997). Tanjung Wandaman pada arah selatan-tenggara merupakan jalur sesar
yang dibatasi oleh batuan metamorf. Daerah ini dapat dibagi menjadi zona metamorfisme derajat
tinggi di utara dan derajat rendah di selatan (Pigram et al,1982).
Zona Sesar Tarera-Aiduna merupakan zona sesar mendatar mengiri di daerah selatan
Leher Burung. Jalur Lipatan Anjakan Lengguru secara tiba-tiba berakhir di zona berarah barat-
timur ini (Dow et al, 1985). Sesar ini digambarkan (Hamilton, 1979; Doutch, 1981 dalam Pigram
et al, 1982) memotong Palung Aru dan semakin ke barat menjadi satu dengan zona subduksi di
Palung Seram.

Gambar 2.1 Tataan tektonik wilayah Papua (Irsyam et al., 2010).


Gambar 2.2 Salawati basin, pull-apart basin di Papua, (www.http://tektonesiana.wordpress.com).

3. POTENSI KEGEMPAAN DI WILAYAH PAPUA

Dari uraian tataan tektonik wilayah Papua di atas, maka bisa dikatakan bahwa wilayah
Papua didominasi oleh dua jalur sumber gempabumi utama, yaitu zona konvergensi (subduksi)
lempeng Pasifik dan Pulau Papua NewGuinea yang kompleks, jalur Sesar Sorong, dan Jalur
Sesar Aiduna- Tarairua. Penyebab utama gempabumi di daerah Papua adalah akibat tumbukan
atau pertarungan lempeng Pasifik dengan lempeng Australia.
Aktivitas penukikan lempeng kerak bumi di utara Papua, dimulai sejak miosen dan terus
aktif sampai sekarang (Hamilton, 1979). Seno dan Kaplan (1988) menyatakan bahwa zona
penukikan tersebut sebetulnya tidak aktif. Aktivitas gempabumi di daerah ini lebih dikontrol
oleh patahan Sorong di bagian utara dan aktivitas patahan Tarera-Aiduna di selatan. Akan tetapi
data kegempaan menunjukkan bahwa kejadian gempabumi di utara Papua berkaitan dengan
aktivitas penujaman, sehingga di daerah utara Papua masih dapat dibedakan gempabumi
intraplate dan interplate (Kertapati, 2006).
Pada zona subduksi di utara wilayah Papua, sebaran kedalaman gempabumi umumnya
menengah berkisar antara 60 km hingga 200 km. Sebaran pusat gempabumi di wilayah ini
melukiskan lajur aktif miring ke selatan sampai kedalaman di atas 200 km dari aktivitas
penujaman. Informasi ini merefleksikan suatu kejadian gempabumi berkaitan dengan penujaman
di daerah ini (Seno & Kaplan, 1988). Sebagai zona sumber gempabumi utama di wilayah Papua,
lempeng Pasifik dan lempeng Australia bertumbukan di sepanjang parit Nugini, terletak di utara
Papua dan Papua Nugini. sejarah kegempaan di zona tumbuan collision-zone dengan kedalaman
60 km sampai 200 km tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh dehydration faulting. Karakteristik
gempabumi di wilayah Papua pada umumnya merusak.
Dengan kecepatan gerak relatif lempeng Pasifik yang sekitar 120 mm/tahun, maka bisa
diterka bahwa wilayah ini mempunyai potensi bencana gempabumi sekitar dua kali lipat lebih
besar dibandingkan wilayah Sumatra dan Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 50-70
mm/tahun. Hal ini didukung dengan data bahwa di daerah ini sudah sangat sering terjadi
gempabumi besar di masa yang lalu. Misalnya gempabumi yang disertai tsunami di Biak pada
tanggal 17 Februari 1996 dengan kekuatan 8.2 Mw pada kedalaman 33 km dengan koordinat
0.89 LS - 136.95 BT yang memakan korban ribuan jiwa. Gempabumi ini berjarak 101 km timur
laut dari Biak. Dengan melihat historis kegempaan pada zona subduksi ini, maka potensi
kegempaan pada zona ini di masa yang akan datang bisa mencapai 8,5 Mw dengan periode ulang
76 tahun (Haresh & Boen, 1996).
Ke arah barat mulai dari posisi 138.0 BT, di bawah Papua tidak terdapat kegiatan
gempabumi yang berhubungan dengan system penujaman. Aktivitas kegempaan di wilayah ini
lebih banyak di kontrol oleh kegiatan patahan-patahan aktif di daerah Papua. Di wilayah ini pada
umumnya pusat gempabumi hanya mencapai kedalaman sekitar 60 km (Seno & Kaplan, 1988).
Patahan yang bisa menimbulkan potensi kegempaan pada wilayah ini adalah patahan Sorong,
Yapen, Waipago, Rasinki, Tarera-Aiduna, Lengguru Ford, Membramo, Highland Fold Thrust,
Foreland Fold Thrust, dan patahan Aru.
Segmen patahan Sorong memiliki panjang 2.500 km (Tjia, 1973) dimulai dari Sulawesi
Tengah melewati Sula dan Banggai, Salawati, Sorong, Teluk Cenderawasi, Yapen, daratan
Papua, sampai Wewak dengan lebar bervariasi dari ratusan meter sampai 10 km, (Pieters et al,
1985). Patahan ini bergerak mendatar dan telah bergeser sepanjang 350 km. Gempabumi akhir-
akhir ini yang terjadi pada segmen ini (sesar Yapen) yaitu gempabumi tanggal 16 Juni 2010
dengan kekuatan 6,2 SR terletak pada koordinat 2.03 LS - 136.67 BT, kedalaman 10 km, kurang
lebih 52.2 km tenggara Serui. Berdasarkan sejarah kegempaan yang pernah terjadi pada zona
ini, potensi gempabumi bisa mencapai kekuatan 6,5 SR dengan mekanisme sesar geser pada
kedalaman berkisar 10 km sampai 60 km.
Segmen patahan Tarera-Aiduna membujur ke arah barat-timur memotong zona
penujaman di utara cekungan Banda. Menurut Dow dan Ratman, (1981) sebagian dari patahan
ini ada yang termasuk patahan Sungkup dengan sudut ke utara. Ke arah timur patahan ini
menerus dengan Foreland Frontal Fault Zone di areal penambangan PT. Freeport Indonesia. Slip
rate patahan Tarera-Aiduna berturut-turut 2 mm/tahun sampai 10 mm/tahun dan 13,5 mm/tahun
(PTFI, 1997), sedangkan Foreland-Frontal Fault Zone mempunyai slip rate 3 mm/tahun sampai
6 mm/tahun. Patahan ini mampu menggeserkan endapan fanglomerat setinggi 100 meter dan
pengangkatan endapan teras setinggi 50 meter sampai 550 meter (PTFI, 1997). Gempabumi
besar yang pernah terjadi di zona patahan ini antara lain gempabumi tanggal 19 Januari 1981
dengan kekuatan 6,5 SR dan gempabumi pada tanggal 4 September 1989 dengan kekuatan 6,1
SR berjarak sekitar 48 km dari lokasi penambangan.
Untuk segmen patahan Rasinki, memiliki panjang 43 km dan lebar 2,5 km. Indikasi
kegiatan tektonik diantaranya adanya pengangkatan di bagian utara Kepala Burung (Pieters et al,
1985). Sejarah kegempaan yang terkait aktivitas segmen ini antara lain gempabumi pada tanggal
29 Juni 1961 dengan kekuatan mencapai 5,6 SR. Pada tanggal 10 Oktober 2002 patahan ini
menunjukkan aktivitas kembali dengan terjadinya gempabumi berkekuatan 6,5 mb atau 7,6 Mw
pada koordinat 1.76 LS-134.30 BT atau 31 km tenggara Ransiki-Papua Barat dengan kedalaman
10 km.
Untuk segmen patahan naik Membramo, memiliki slip rate rata-rata pertahun 20 mm
sampai 25 mm (PTFI, 1997). Sejaraha gempabumi yang pernah terjadi pada segmen ini antara
lain gempabumi tanggal 25 November 1989 dengan kekuatan mencapai 6,0 SR. Akhir-akhir ini
pada zona ini terjadi gempabumi dengan kekuatan 7,3 Mw pada tanggal 6 April 2013 berpusat di
koordinat 3.49 LS - 138.54 BT pada kedalaman 66 km. Gempabumi ini menewaskan dua
orang dan mengakibatkan kerusakan yang cukup parah karena pusat gempabumi berada di darat.
Dengan demikian, potensi gempabumi dimasa yang akan pada segmen ini adalah gempabumi
berkekuatan di atas 7,0 Mw.
Sumber gempabumi lainnya di daerah Papua adalah zona sumber gempabumi yang
berkaitan dengan aktivitas kerak bumi dangkal (shallow crustal) di Central Range yang
disebabkan oleh aktivitas pegunungan Jaya Wijaya. Sejarah kegempaan yang berkaitan dengan
aktivitas zona ini antara lain gempabumi tanggal 26 Juni 1976 dengan kekuatan Ms = 7,1 pada
kedalaman 33 km intensitanya mencapai VII MMI. Selain itu juga pernah terjadi gempabumi
tanggal 15 September 1985 dengan kekuatan Ms = 6,2 pada kedalaman 10 km. Pada tanggal 12
Agustus 1989, di zona ini juga terjadi gempabumi dengan kekuatan Ms = 5,8 pada kedalaman 25
km intensitas gempabumi mencapai VIII-IX. Goncangan gempabumi diikuti oleh retakan, tanah
longsor, dan diikuti suara gemuruh. Gejalah ini merupakan cerminan dari gerak patahan naik
berarah barat timur, akibat tegasan gaya dominan dari utara lempeng Pasifik (Kertapati, 2006).
Selain itu, di daerah Papua juga terdapat zona gempabumi diffuse yang terletak pada
zona cekungan atau Terbanan Aru, lokasinya di selatan leher burung. Zona sumber gempabumi
ini meliputi daerah Seram Timur, sebelah barat Papua, dan Kepulauan Aru. Aktivitas
gempabumi pada zona ini pada umumnya tergolong rendah dengan kekuatan gempabumi
berkisar 5,0 SR, jarang memcapai 6,6 SR. Mekanisme gempabumi lebih banyak dikontrol atau
terjadi akibat adanya lajur hancuran di tepian lempeng Australia (Tjia, 1978). Kajian gempabumi
terakhir menunjukkan adanya aktivitas gerakan sesar mulai dari daratan bagian selatan Papua
masuk ke perairan Cekungan Aru (Seno & Kaplan, 1988). Potensi kegempaan pada zona ini
kekuatan gempabumi maksimum yang terjadi mencapai 7,2 SR dengan periode ulang 72 tahun
(Haresh & Boem, 1996).
Propinsi Papua memiliki potensi tingkat bahaya gempabumi yang tinggi baik disebabkan
oleh aktivitas subduksi maupun aktivitas patahan atau sesar. Daerah yang memiliki tingkat
kerawanan tinggi terutama wilayah bagian utara di Kabupaten Sarmi. Sedangkan di Propinsi
Papua Barat, sebagian besar wilayahnya memiliki tingkat potensi yang tinggi untuk daerah
Manokwari, Sorong, Teluk Bintuni, Nabire, dan Kaimana. Gambar 3.2 memperlihatkan peta
percepatan maksimum daerah Papua.
Saat ini populasi penduduk di wilayah Papua memang masih tergolong sedikit, demikian
juga infrastrukturnya masih terbelakang sehingga walaupun hazard-nya tinggi namun risk-nya
masih tergolong rendah. Namun perlu diingat bahwa faktor resiko bencana ini akan terus naik
sejalan dengan laju populasi dan pembangunan, kalau tidak mengindahkan faktor bencana akan
terus mengisi daerah-daerah yang rawan bencana (Hilman, 2007). Mengingat tinggi potensi
kegempaan dimasa yang akan datang, maka sudah sepatutnya semua pihak selalu waspada dan
menyiapkan langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi bencana gempabumi sehingga
dapat meminimalisir korban jiwa dan kerusakan dimasa yang akan datang.

Gambar 3.1 Peta percepatan tanah maksimum daerah Papua, (Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, 2007).

4. KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa potensi kegempaan yang
terjadi di wilayah Papua untuk zona subduksi mencapai dua kali lipat lebih besar dari potensi
gempabumi di wilayah Sumatera dan Jawa dengan kekuatan gempabumi mencapai diatas 8,2 SR.
Sedangkan pada zona sesar atau sistem patahan, berdasarkan historis kegempaan potensi
gempabumi pada zona ini mencapai kekuatan 6,0 SR hingga 6,5 SR. Untuk zona gempabumi
diffuse, potensi kegempaan mencapai kekuatan 7,2 SR dengan periode ulang 72 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Analisa Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah Longsor-Banjir-
Gempabumi-Tsunami). 2007. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Deputi Bidang
Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas.
Dow, D.B., dan Sukamto, R. 1984. Western Irian Jaya: the end-product ofoblique plate
convergence in the Late Tertiary. Tectonophysics. 106, p.109-139.
Emergence of New Petroleum System in the Mature Salawati Basin: Keys from
Geochemical Biomarkers. http://tektonesiana.wordpress.com, diakses tanggal : 12
Desember 2013.
Hamilton, W.R. 1979. Tectonics of the Indonesian Region, US Geological Survey. Professional
Paper 1078, 345 pp.
Hastuti, Endang Wiwik Dyah., Budhi Kuswan Susilo. 2007. Tektonik Lempeng dan Bencana
Geologi di Sumatera dan Jawa. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia Bagian
Barat. Pelembang 3-5 Juli 2007.
Irsyam, M. 2001. Development of Earthquake Microzonation and Site Specific Response Spectra
to Obtain More Accurate Seismic Base Shear Coefficient. Final Report for University
Research for Graduate Education (URGE) Project. Department of Civil Engineering,
Institute of Technology Bandung.
Kertapati, Engkon K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral Badan Geologi, Pusat Survey Geologi.
Pigram, C.J., Robinson, G.P., dan Tobring, S.L. 1982. Late Cainozic Origin forthe Bintuni Basin
and Adjacent Lengguru Fold Belt, Irian Jaya. Proceedings Indonesian Petroleum
Association. 11th Annual Convention, p. 109-126
Pigram, C.J., dan Sukanta, U. 1981. Report on the geology of the Taminabuansheet area.
Indonesian Geological Research and Development Centre, Open File Report.
Potensi Bencana Geologi Propinsi Banten. http://pertambangan-geologi.blogspot.com/2011/04/
potensi-bencana-geologi-di-provinsi.html, diakses tanggal : 12 Desember 2013.
Setting Tektonik. www.http://distamben.papua.go.id/pr011111.htm, diakses tanggal : 12
Desember 2013.
Tektonik Papua Dalam Ilmu Geologi. http://demimaki.wordpress.com/geofisika/tektonik-papua-
dalam-ilmu-geologi/, diakses tanggal : 11 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai