Dark Infinity (Bab1)
Dark Infinity (Bab1)
memandanginya di sini. Semburat sinar matahari senja membuat rambut emasnya seolah tampak
berkilau. Wajahnya menengadah dengan mata terpejam. Dia tidak sedang tidur, aku tahu itu.
Mulutnya bergerak pelan menandakan dia memang tidak tidur. Aku tidak bisa mendengar
gumamannya, tapi aku bisa mendengar jelas desahan napasnya. Napasnya panjang, berat, dan
tidak teratur seakan ia berusaha mengeluarkan beban hidup dari setiap mili karbondioksida yang
dihembuskan. Jari-jari kakinya bergerak gelisah. Salah satu kakinya dilipat di atas kaki yang lain.
Ombak pantai berdesir menyapu beribu pasir yang berada beberapa inci dari kakinya.
Setelah beberapa waktu yang kurasa cukup lama untuk hanya memandanginya saja, aku tidak
tahan lagi. Aku melompat ke tanah dengan indah dari atas pohon ek, sepuluh meter dari
tempatnya berada. Aku berjalan pelan menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
Aku menatapnya tak percaya. Dia tak pernah terlihat begitu terkejut sebelumnya.
"Bahkan kau melumpuhkan inderamu," aku mendengus, memutar posisiku menghadapnya. "Jadi
kita akan pindah lagi?" Aku bertanya untuk yang kedua kali.
"Kau selalu bersikap seperti ini saat kau merasa kita tidak aman lagi di suatu tempat."
"Kita sudah terlalu lama di sini. Satu tahun. Mereka tersebar dimana-mana. Hanya soal waktu
sampai mereka menemukan kita dan menjadikan kita kelinci percobaan lagi."
Bulu kudukku meremang mendengar pernyataannya. Dia mengalihkan pandangannya dari
mataku. Berusaha menyembunyikan pancaran ketakutan yang sama dari balik matanya.
Aku mengikuti arah pandangannya. Matahari mulai menghilang di ufuk barat. Memancarkan
cahaya kemerahan yang membasuh kulitku dengan hangat. Ombak pantai bergerak pelan dengan
anggun. Terdengar kicauan merdu burung-burung parkit di atas awan diiringi suara-suara
binatang malam lainnya. Membentuk simponi yang indah. Orkestra musik alam yang luar biasa.
"Aku akan merindukan tempat ini," ucapku lirih. Aku yakin dia juga mendengar nada sedih
dalam suaraku.
"Tidak, Rey. Kita tidak bisa. Kita sudah terlalu lama di sini, kau benar."
"Beberapa bulan?" Rey mencoba berdiplomasi. Tapi aku tahu dia hanya sedang menghiburku.
Dia selalu mengutamakan perasaanku di atas segalanya. Aku tidak suka itu.
Aku menatap matanya. Mencoba terlihat meyakinkan. Tapi aku bisa melihat bayangan wajahku
sendiri dari retina matanya. Terlihat menyedihkan. Sial.
Kami saling diam bergeming begitu lama. Hanya saling menatap, mencoba saling membaca satu
sama lain. Sangat lama. Tapi akhirnya dia tersenyum, dan aku mengembuskan napas lega.
"Katakan."
Itu tidak benar. Aku tidak pernah melihat Rey marah selama tujuh tahun kebersamaan kami.
Tidak pernah sekalipun.
Dia menarik tubuhnya begitu cepat, membuat setengah tubuh atasku hampir limbung ke tanah.
Aku bersyukur memiliki refleks yang baik, sehingga aku bisa menyeimbangkan tubuhku dengan
cepat. Aku mendelik pada Rey. Mendengus kesal.
"Aku suka tempat ini. Di sini tenang. Sangat tenang. Bahkan terlalu tenang. Aku bosan dan..
kesepian. Aku tahu kau selalu bersamaku. Tapi saat terjaga di malam hari, aku selalu teringat
Mike. Setiap hari. Aku ingin dia bersama kita. Dia sudah mengorbankan dirinya agar kita bisa
melarikan diri. Tapi aku sangat menyesal dia tertangkap. Dan entah penyiksaan apa yang sudah
dia terima. Aku.. aku ingin menyelamatkannya."
Aku menggigit bibirku menahan tangisku pecah. Sebutir air mata menggantung di pelupuk mata.
Dengan segenap tekad kucoba membendungnya. Aku tidak mau melihatkan sisi lemahku di
hadapan Rey.
"Itu berbahaya. Kita tidak tahu dia di mana. Bahkan kita tidak tahu apa dia masih.. hidup."
Bulatan air berbentuk nol yang sedari tadi kutahan, akhirnya jatuh juga. Rey membuang
mukanya ke arah lain. Dia benci jika dia tahu dia melukaiku. Tapi toh dia melakukannya.
"Dia masih hidup." Aku mengatakannya lebih untuk meyakinkan diriku sendiri.
"Aku tidak bisa memasuki pikirannya. Alam bawah sadarnya memiliki perisai tersendiri."
"Rey..."
"Kumohon."
Rey menatapku prihatin. Aku memasang wajah memohon sebaik mungkin. Dan berhasil.
"Besok pagi."