Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Meningitis Meningokoken

Pembimbing :

dr. Nur Faizah Sp.A

Disusun Oleh:

Nunung Hasanah

G4A015048

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

HALAMAN PENGESAHAN
Telah dipresentasikan serta disetujui referat dengan judul :
Meningitis Meningokoken

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:

Nunung Hasanah
G4A015048

Purwokerto, Januari 2017

Mengetahui,
Dokter Pembimbing,

dr. Nur Faizah Sp.A

DAFTAR ISI

2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 4
B. Tujuan........................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi...................................................................................... 6
B. Epidemiologi............................................................................. 7
C. Etiologi dan Faktor Resiko........................................................ 8
D. Anatomi dan Fisiologis Selaput Otak....................................... 8
E. Patofisiologi.............................................................................. 10
F. Manifestasi Klinis..................................................................... 12
G. Penegakan Diagnosis................................................................ 13
H. Diagnosis Banding.................................................................... 16
I. Terapi......................................................................................... 17
J. Pencegahan................................................................................ 18
K. Prognosis................................................................................... 21
L. Komplikasi ............................................................................... 22

BAB III KESIMPULAN............................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 24

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Chemoprofilaxis meningitis meningococcus................................. 21

3
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. CT Scan kepala menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intracranial yang merupakan salah satu komplikasi awal meningitis
meningococcus.......................................................................... 6
Gambar 2. Anatomi Selaput Otak............................................................... 9
Gambar 3. Exanthema meningococcus........................................................ 12
Gambar 4. Pemeriksaan rangsang meningeal.............................................. 15

4
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Meningitis pyogenic akut merupakan suatu respon inflamasi terhadap
infeksi bakteria yang mengenai piamater dan arakhnoid. Tiga organisme
utama yang dapat menyebabkan meningitis pyogenic adalah Diplococcus
pneumonia, Neisseria meningitis dan Haemophilus influenzae. Insiden dari
type bakteri penyebab bervariasi menurut umur penderita. Pada Neonatal (0-2
bulan) bakteri penyebab meningitis adalah Streptococcus Group B, E. Coli,
Staph. Aureus, Enterobacter dan pseudomonas. Pada anak-anak sering
disebabkan oleh Haemophilus influenzae, N. Meningitidis dan S. pneumoniae.
Pada dewasa muda (6-20 tahun) yaitu N. meningitidis. S. pneumonia dan H.
influenzae. Sedangkan pada dewasa (>20 tahun) adalah S. pneumonia, N.
Meningitidis, Streptococcus dan Staphylococcus. (Japardi, 2002)
Meningitis meningococcus (International Classification of Disease-9
[ICD-9] code: 036.0) telah dilaporkan menjadi permasalahan yang serius
selama hampir 200 tahun. Pertama kali diidentifikasi secara pasti di
Vieusseux, Genewa pada tahun 1805. Setelah ditemukan adanya vaksinasi
untuk Haemophilus, maka Neisseria meningitidis menjadi patogen meningitis
utama di Negara berkembang. Meningococci menyebabkan penyakit sistemik
dan koagulopati intravascular. WHO memperkirakan sedikitnya terdapat
500.000 kasus baru per tahun di seluruh dunia, dimana angka kematiannya
mencapai 5000 kasus (Stephens et al, 2007)
Organisme penyebabnya, Neisseria meningitidis, merupakan gram
negative, aerobic, diplokokus berkapsul yang tumbuh dengan baik di media
yang subur seperti agar cokelat Mueller-Hinton, pada suhu 37 C dan di udara
dengan 5-10% karbondioksida. (Japardi, 2002)
Penyakit meningococcus masih dihubungkan dengan angka mortalitas
yang tinggi dan kerusakan neurologis yang persisten, yang menyerang bayi
dan anak-anak. Terapi pertama yang berhasil untuk meningitis dengan
penisilin melalui intravena dan inratekal dilaporkan pada tahun 1944, dan
penelitian clinical trial pertama dengan menggunakan penisilin intravena
dosis tinggi sebagai monoterapi meningitis dilaporkan pada tahun 1950. Sejak
itu, penisilin dianjurkan sebagai drug of choice untuk meningitis

5
meningococcus (Casado Flores, 2008). Seiring perkembangannya, saat ini
IDSA menetapkan ceftriaxone atau cefotaxime sebagai drug of choice
meningitis meningococcus. (Tunkel et al., 2004)

B. Tujuan
a Mengetahui definisi meningitis meningococcus
b Mengetahui epidemiologi, etiologi dan faktor resiko meningitis
meningococcus
c Mengetahui anatomi dan fisiologis selaput otak
d Mengetahui kelainan dan manifestasi klinis meningitis meningococcus
e Mengetahui penegakan diagnosis meningitis meningococcus
f Mengetahui tatalaksana meningitis meningococcus
g Mengetahui prognosis meningitis meningococcus

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.

6
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis
serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan
serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri
adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus
serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus (Brouwer, 2010).
Meningitis Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling
sering terjadi (Brouwer, 2008).
Meningitis meningococcus merupakan meningitis bakteri yang
sebagian besar disebabkan oleh bakteri diplokokus gram negative, spherical
bacterium, Neisseria meningitidis (Brouwer, 2008).
Gambar 1. CT Scan kepala menunjukkan adanya peningkatan tekanan

intracranial yang merupakan salah satu komplikasi awal meningitis


meningococcus.

B. Epidemiologi
Infeksi meningococcus dapat terjadi secara endemik maupun
epidemik. Secara klinis keduanya tidak dapat dibedakan, tetapi serogroup dari
strain yang terlibat berbeda. Kasus endemik pada negara-negara berkembang
disebabkan oleh strain serogroup B yang biasanya menyerang usia dibawah 5
tahun, kebanyakan kasus terjadi pada usia antara 6 bulan dan 2 tahun. Kasus
epidemik disebabkan oleh strain serogroup A dan C, yang mempunyai
kecendrungan untuk menyerang usia yang lebih tua. Lebih dari setengah
kasus meningococcus terjadi pada usia antara 1 dan 10 tahun. Penyakit ini

7
relatif jarang didapatkan pada bayi usia 3 bulan. Kurang dari 10% terjadi
pada pasien usia lebih dari 45 tahun. Di AS dan Finlandia, hampir 55% kasus
pada usia dibawah 3 tahun selama keadaan non epidemik, sedangkan di Zaria,
Nigeria insiden tertinggi terjadi pada pasien usia 5 sampai 9 tahun. (Center
for Disease Control and Prevention, 2007)
Lebih dari 98% kasus penyakit meningococcus di Amesrika Serikat
merupakan sporadic. Tahun 2008 di Amerika Serikat disebabkan oleh
serogroup B (32% kasus), serogroup C (32% kasus), dan serogroup Y (24%
kasus) dan sebagian besar merupakan penyakit endemis, menyebabkan
meningitis sebanyak 53%. (Gardner, 2006)
Keadaan geografis dan populasi tertentu merupakan predisposisi
untuk terjadinya penyakit epidemik. Kelembaban yang rendah dapat merubah
barier mukosa nasofaring, sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya
infeksi. Meningococcal epidemik di daerah Sao Paulo dari 1971 sampai 1974
dimulai pada bulan Mei dan Juni, yang merupakan peralihan dari musim
hujan ke musim panas. African outbreaks terjadi selama musim panas dari
bulan Desember hingga Juni (Brouwer, 2010). Di daerah Sub-saharan
Meningitis Belt (Upper volta, Dahomey, Ghana dan Mali di barat, hingga
Niger, Nigeria, Chad, Sudan di timur) di mulai pada musism panas atau
winter dry season (November-Desember), mencapai puncaknya pada akhir
April sampai awal Mei, saat angin gurun Harmattan berkepanjangan dan
tingginya suhu udara sepanjang hari; diakhiri secara mendadak dengan
dimulainya musim penghujan (Gardner, 2006).
C. Etiologi dan Faktor Resiko
Walaupun terpaparnya populasi yang rentan terhadap strain baru yang
virulen mungkin merupakan penyebab epidemik, beberapa faktor lain
termasuk lingkungan yang padat penduduk, adanya kuman saluran nafas
pathogen lain, hygiene yang rendah dan lingkungan yang buruk merupakan
pencetus untuk terjadinya infeksi epidemik. (Leimkugel, 2009). Infeksi N.
meningitidis semata-mata hanya mengenai manusia. Telah terbukti bahwa
tidak didapatkan adanya host antara, reservoar atau transmisi dari hewan ke
manusia pada infeksi N. meningitidis. Nasofaring merupakan reservoar alami
bagi meningococcus, transmisi dari kuman tersebut terjadi lewat saluran

8
pernafasan (airbone droplets), serta kontak seperti dalam keluarga atau situasi
recruit training. (Gardner, 2006; Tully, 2006)
Pada suatu studi yang dilakukan oleh Artenstein dkk, didapatkan
bahwa sebagian besar partikel dari droplet saluran nafas mengandung
meningococcus. Meningococcus bisa didapatkan pada kultur dari nasofaring
manusia sehat, keadaan ini disebut carrier. Hal tersebut dapat masuk ke
meningeal tergantung kepada kemampuan dari kapsel polisakarida untuk
menghambat aktivitas sistim komplemen bakterisidal yang klasik dan
menginhibisi fagositosis neutrofil. Aktivasi dari sistim komplemen
merupakan hal yang sangat penting dalam mekanisme pertahanan terhadap
infeksi N. meningitidis. (Leimkugel, 2009). Pasien dengan defisiensi dari
komponen terminal komponen (C5, C6, C7, C8 dan mungkin C9) merupakan
resiko tinggi untuk terinfeksi Neisseria (termasuk N. Meningitidis). (Tully
2006; Fijen et al., 1994)

D. Anatomi dan Fisiologis Selaput Otak


Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang
melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi
cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu: (Japardi, 2002)
1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah.
Durameter terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput
tulang tengkorak (periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal)
meliputi permukaan tengkorak untuk membentuk falks serebrum,
tentorium serebelum dan diafragma sella.
2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara
durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit
cairan jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat
pembuluh darah arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan
meningen serta dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)

9
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh
darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak.
Lapisan ini melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari
otak. Ruangan diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid.
Pada reaksi radang ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan
serebrospinalis dari otak ke sumsum tulang belakang.
Gambar 2. Anatomi Selaput Otak

E. Patofisiologi
Mekanisme dari invasi bakteri kedalam ruang subaracnoid masih
belum diketahui. Salah satu faktor yang berperan mungkin adalah jumlah atau
konsentrasi bakteri dalam darah. Virulensi kuman mungkin merupakan faktor
yang penting di dalam invasi bakteri kedalam CNS. Pelepasan
lipopolisakarida dari N. Meningitidis merupakan salah satu faktor yang
menentukan patogenitas organisme ini. Setelah terjadi invasi kedalam ruang
subarakhnoid, bakteriemia sekunder dapat terjadi sebagai akibat dari proses
supurative lokal dalam CNS (Hoffman, 2009).
Mekanisme pertahanan didalam ruang subarakhnoid.
Jika bakteri meningeal patogen dapat memasuki ruang subarakhnoid, maka
berarti mekanisme pertahanan tubuh tidak adekuat. Pada umumnya didalam
CSF yang normal kadar dari beberapa komplemen adalah negatif atau
minimal. Inflamasi meningeal mengakibatkan sedikit peningkatan konsentrasi
komplemen. Konsentrasi komplemen ini memegang peranan penting dalam

10
opsonisasi dari pengapsulan meningeal patogen, suatu proses yang penting
untuk terjadinya fagositosis. Aktifitas opsonik dan bakterisidal tidak
didapatkan atau hampir tidak terdeteksi pada pasien dengan meningitis.
(Hoffman, 2009; Japardi, 2002)
Induksi inflamasi ruang subarakhnoid.
Walaupun telah terbukti bahwa bakterial kapsul sangat penting bagi
organisme meningeal patogen untuk dapat survive didalam ruang
subarakhnoid dan intravaskuler, kapsul lipopolisakarida diketahui bersifat
noninflamatory. Lipopolisakarida menyebabkan inflamasi melalui perannya
dalam pelepasan inflamatory mediator seperti interleukin-1 dan tumor
necrosis faktor kedalam CSF (Hoffman, 2009; Japardi, 2002).
Perubahan dari sawar darah otak.
Perubahan dari permeabilitas sawar darah otak merupakan akibat dari
vasogenik serebral udem, peningkatan volume CSF, peningkatan tekanan
intrakranial dan kebocoran protein plasma ke dalam CSF. (Hoffman, 2009;
Japardi, 2002)
Peningkatan tekanan intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan akibat dari kombinasi keadaan
udem cerebri, peningkatan volume CSF dan peningkatan dari volume darah
cerebral. (Hoffman, 2009; Japardi, 2002)
Perubahan dari cerebral blood flow
Abnormalitas dari cerebral blood flow disebabkan oleh peninggian tekanan
intra kranial, hilangnya autoregulasi, vaskulitis dan trombosis dari arteri, vena
dan sinus cerebri. Menurut Hardman (1968), kelainan patologis utama yang
didapatkan pada infeksi meningococcus adalah myocarditis, meningitis dan
perdarahan (cutaneous, muscosal, serosal dan adrenal). Derajat myocarditis
bervariasi dari neutrophilic inflamatory infiltrate hingga multiple infiltrate
dengan nekrosis miokardial. Disekitar jantung terdapat akut vaskulitis dengan
perdarahan. Pada infiltrat mungkin terlihat bakteri gram negatif intraseluler.
Sering ditemukan bendungan dan udem paru serta effusi pleura, dan
kemungkinan bermanifestasi sebagai gagal jantung. Myocarditis didapatkan
pada 85% pasien dewasa dan 57% pada pasien bayi dan anak (Hoffman,
2009; Japardi, 2002).
Perdarahan terjadi pada beberapa organ, bervariasi dari ptekhial
hingga purpura. Secara mikroskopis, karakteristik didapatkan vaskulitis akut

11
dan kadang-kadang timbunan fibrin pada arteriol dan kapiler. Kelainan CNS
berupa inflamasi pada leptomeningen dan perivascular space, vaskulitis akut
dan kadang-kadang deposit fibrin intraluminal pada vena-vena kecil
meningeal. Bila terdapat encephalitis, bervariasi dari invasi perivasculer fokal
hingga infiltrasi parenchymal diffuse tetapi pembentukan abses jarang
didapatkan. Berdasarkan eksperimen dan kelainan patologis yang didapat,
dapat disimpulkan bahwa paling sedikit terdapat 2 mekanisme yang terlibat
didalam patogenesis infeksi meningococcus, yaitu efek endotoksin dan
kompleks antigen antibodi. Endotoksin (lipopolisakarida adalah yang
bertanggung jawab terhadap shock (udem paru, gagal jantung dan perdarahan
adrenal) dan DIC yang terlihat pada septikemia akibat infeksi. Vasculitis dan
arthritis disebabkan oleh adanya deposit antigen antibodi kompleks
(Hoffman, 2009; Japardi, 2002)

F. Manifestasi Klinis
Meningococcus bakterimia merupakan akibat dari invasi bakteri ke
dalam blood stream pada infeksi nasofaring. Keadaan meningococcemia yang
lebih berat berupa sepsis, endotaksemia, shock, DIC dan Waterhouse
Friderickson syndrome dengan perdarahan adrenal. Pada shock syndrome
yang disebabkan oleh meningococcemia, vascular collapse berkembang
dengan cepat menyebabkan kematian dalam beberapa jam. Situasi lethal ini
disebabkan karena akibat myocarditis dan vasculitis. (Japardi, 2002; Brouwer,
2010)
Gejala dari meningococcal meningitis tidak berbeda dengan
meningitis yang disebabkan oleh bakteri pyogenik lainnya. Gejala dapat
berupa febris atau demam, nyeri kepala, kaku kuduk, mual, muntah,
penurunan kesadaran sampai koma. Komplikasi dari CNS berupa transient
palsy dari N.IV, VI, VII dan VIII. Biasanya didapatkan riwayat infeksi saluran
nafas bagian atas dalam dua atau tiga hari sebelum onset penyakit, gejala
dapat didahului oleh muntah dan diare. Exanthema walaupun tidak selalu
didapatkan, merupakan cardinal sign didalam membedakan etiologi
meningococcus dengan yang lainnya. Lesi yang paling sering berupa
petechial atau purpura, masing-masing lesi berukuran antara 1 sampai 15 mm.
Hal ini biasanya didahului oleh suatu makular rash, dapat pula timbul lesi

12
makulopapular. Pada infeksi yang berat dapat berkembang menjadi suatu lesi
ekimosis dan bila lesi sangat besar dan ulseratif, mungkin memerlukan suatu
skin graft setelah infeksi teratasi. (Hoffman, 2009; Japardi, 2002; Brouwer,
2010)
Gambar 3. Exanthema meningococcus

Pasien meningitis dengan DIC dan shock lebih sering disertai dengan
skin rash berupa purpura/ekimosis. Lesi kulit ini timbul 5-9 hari setelah onset
infeksi berupa lingkaran berwarna gelap dengan bagian tepi yang lepuh/lecet
sebesar 1-2 cm, dalam 24 jam terbentuk bulla yang steril yang akan menjadi
ulcerasi dan akan sembuh dengan cepat. Pada pasien didapatkan satu atau
lebih lesi yang sering terjadi pada daerah dorsum dari tangan, atau pada kaki
dan daerah deltoid. Secara histologis lesi setril ini adalah suatu alergic
vasculitis, yang menurut whittle dkk (1973) merupakan deposit kompleks
antigen antibodi. Adanya suatu DIC harus dipertimbangkan bila terdapat
ekimosis atau hemorrhagic bullae yang besar. (Japardi, 2002)
Meningococcemia kronis merupakan varian yang jarang berupa febris
yang rekuren, rash, migratory arthralgia, myalgia dan toksisitas yang
minimal. Rash biasanya berupa makulopapular terutama pada ekstremitas,
tetapi dapat pula berbentuk nodular dan petekhial. Pada biopsi didapatkan lesi
yang amat berbeda dari meningococcemia akut, berupa infiltrat mononuklear
perivaskuler serta thrombosis vaskuler, nekrosis dan infiltrat granulosit.
Manifestasi cardial merupakan manifestasi klinis yang jarang ditemukan pada
infeksi meningococcus, meningococcus kadang-kadang menyebabkan
endokarditis, pericarditis baik serous atau purulen dapat timbul dengan atau
tanpa gejala sistemik (Brouwer, 2010; Japardi, 2002).

13
Myocarditis didapatkan pada 78% dari kasus meningococcus yang
fatal. Arthritis didapatkan hampir 10-20% pasien dengan infeksi
meningococcus, biasanya timbul 1-10 hari setelah onset dari gejala
bakteriemia dan berlangsung sekitar 1 minggu. (Brouwer, 2010)

G. Penegakan Diagnosis
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat
pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi
secara akut dengan gejala panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan,
kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan konstipasi, biasanya selalu
ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami lebih kurang
44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan
gangguan saluran pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan
gejala panas tinggi, nyeri kepala hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri
punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh atau purulen. (Brouwer,
2010)
Meningeal sign dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pasien
dengan meningitis. (Brouwer, 2010)
Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
1 Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan
kekakuan dan tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri
dan spasme otot. Dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. (Japardi, 2002)
2 Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi
lutut tidak mencapai sudut 135 (kaki tidak dapat di ekstensikan
sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri. (Japardi,
2002)

14
3 Pemeriksaan Tanda Brudzinski I (Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya
dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian
dilakukan fleksi kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin.
Tanda Brudzinski I positif (+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi
involunter pada leher. (Japardi, 2002)
4 Pemeriksaan Tanda Brudzinski II (Brudzinski Kontra Lateral
Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif
(+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul
dan lutut kontralateral. (Japardi, 2002)
Gambar 4. Pemeriksaan Rangsang Meningeal

Diagnosa pasti dari meningitis meningococcus hanya dengan isolasi


organisme dari CSF. Diagnosa relatif dapat ditegakkan sebelum terdapat
hasil isolasi pada pasien dengan nyeri kepala, muntah, febris, kaku kuduk
dan rush kulit petechial, terlebih bila terdapat epidemik dari meningitis
meningococcus atau adanya kontak dengan kasus meningococcus yang jelas.
Untuk menegakkan diagnosa meningitis meningococcus, perlu dilakukan
kultur dari lesi kulit, sekret nafosaring, darah dan CSF. Pada beberapa kasus
diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan apus dari sedimen
CSF/gram stain (Japardi, 2002; Brouwer, 2010).
Pemeriksaan Laboratorium

15
Gambaran laboratorium dari infeksi meningococcus adalah seperti
umumnya infeksi pyogenic, yaitu berupa peningkatan jumlah leukosit
sebesar 10.000 sampai 30.000/mm3 dan eritrosit sedimentation. Pada urine
dapat ditemukan albuminuria dan sel darah merah.(Hoffman, 2009;
Brouwer, 2010). Pada kebanyakan kasus, meningococcus dapat dikultur dari
nasofaring, dari darah ditemukan lebih dari 50% dari kasus pada stadium
awal, serta dari lesi kulit dan CSF. CSF kultur menjadi steril pada 90-100%
kasus yang diobati dengan antimikrobal terapi yang apropiate, meskipun
tidak terdapat perubahan yang signifikan dari gambaran CSF. Pada pasien
meningitis, pemeriksaan CSF ditemukan leositosis dan purulen. Walaupun
pada fase awal dapat predominan lymphocytic, dalam waktu yang singkat
menjadi granulocytic. Jumlah sel bervariasi dari 100 sampai 40.000 sel/ul.
Tekanan CSF meningkat biasanya antara 200 dan 500 mm H2O. protein
sedikit meningkat dan kadar glukosa rendah biasanya dibawah 20 md/dl.
Pemeriksaan gram stain dari CSF dan lesi petechial, menunjukkan
diplococcus gram negatif. Diagnosa pasti didapatkan dari kultur CSF, cairan
sendi, tenggorokan dan sputum. Kultur dapat positif pada 90% kasus yang
tidak diobati. Counter Immuno elektrophoresis (CIE) dapat mendeteksi
sirculating meningococcal antigen atau respon antibodi. Pada kasus dengan
gambaran CSF yang khas tapi gram stain negatif, dapat dilakukan
pemeriksaan latex aglutination test untuk antigen bakteri. Sensitivitas dari
test ini sekitar 50-100% dengan spesifisitas yang tinggi. Bagaimanapun test
yang negatif belum menyingkirkan diagnosa meningitis yang disebabkan
oleh meningococcus. Polymerase chain reaction dapat digunakan untuk
pemeriksaan DNA dari pasien dengan meningitis meningococcus dengan
sensitivitas dan spesifisitas. (Japardi, 2002; Brouwer, 2010)

H. Diagnosis Banding
Meningitis meningococcus harus dibedakan dengan penyebab utama lainnya
pada anak-anak, yaitu haemophilus influenza dan streptococcus dapat
ditegakkan. Bila rash tidak didapatkan, diagnosa harus berdasarkan pada
gram-stain dari CSF dan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pada keadaan non
epidemik, beberapa infeksi viral dan rickketsia harus dipertimbangkan dalam

16
differensial diagnosa. Rash dan athlargia didapatkan pada infeksi rubella, pada
infeksi picorna virus (terutama coxsackie dan echo virus) dapat timbul rash,
dan sering menyebabkan meningitis aseptik. Leptospirosis dapat mempunyai
beberapa gambaran klinis yang mirip dengan infeksi meningococcus. (Japardi,
2002; Brouwer, 2010)
Terdapat infeksi bakterial yang mirip dengan infeksi meningococcus.
Infeksi gonokokus bakterimia pada umumnya lebih ringan dibandingkan
dengan meningococcu. Karakteristik berupa erupsi makulopapular dan
demam, tetapi gambaran purpura dan kolaps tidak ditemukan. Infeksi
moraxella urethralis dapat menyebabkan febris, erupsi kulit dan meningitis
(Japardi, 2002; Brouwer, 2010).

I. Terapi
Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur.
Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan
secara intravena setiap 2 jam. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg.
Diberikan 8 juta unit/hari,anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
diberikan 4 juta unit/hari. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-
400 mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak.
Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan sampai 5 hari
bebas panas. (Japardi, 2002)
Walaupun penisilin sudah ditetapkan sebagai drug of choice untuk
meningococcus, namun terdapat beberapa laporan kasus tentang gagalnya
terapi karena resistensi penisilin. Penelitian Spanyol menyimpulkan adanya
resistensi penisilin pada anak-anak di RS menggambarkan peningkatan
jumlah resistensi penisilin untuk N. meningitides dari 9,1% di tahun 1986
menjadi 71,4% di tahun 1997. (Goldani, 1998). Walaupun sebagian besar
pasien dengan N. meningitides dapat diterapi dengan penisilin dan berespon
dengan baik, namun penelitian Spanyol lainnya menjelaskan adanya
hubungan antara resistensi penisilin dengan peningkatan resiko kematian atau
kecacatan saraf pada anak dengan meningitis meningococcus. Berdasarkan
data yang dikumpulkan, untuk pasien dengan kecurigaan meningitis
meningococcus, berdasarkan epidemiologi, kemungkinan besar mengalami

17
resistensi penisilin, sehingga diperlukan antibiotic golongan sefalosporin
(cefotaxime atau ceftriaxone) sampai penelitian in-vitro dilaporkan. (Tunkel
et al. 2004)
Penelitian meta-analysis tentang pemberian dexamethason pada
meningitis bakterialis melaporkan bahwa terdapat 517 orang dewasa dan
anak-anak (25%) dengan meningitis meningococcus masuk ke dalam
penelitian dengan total pasien 2.074 orang. Tingkat mortalitas yang rendah
dilaporkan pada subgroup pasien meningitis meningococcus: 9 pasien (3,5%)
diterapi dengan dexametason dari total 258 kematian, dibandingkan dengan
13 (5%) kasus kematian pada grup placebo (relative risk, 0.71; confidence
interval, 0.31 to 1.62) (Van de Beck et al., 2007). Meta analisis tahun 2004
menunjukkan tidak adanya penurunan angka kematian pada pasien yang
diterapi dexametason pada kasus meningitis meningococcus (relative risk,
0.9; 95% confidence interval, 0.3 to 2.1) (van de Beck et al., 2004)
Terapi lain yang sudah diuji untuk penyakit meningococcus adalah
bactericidal/permeability-increasing protein (BPI), protein natural dari
endotoksin. Penelitian memasukkan 393 anak dengan penyakit
meningococcus berat, 37 yang sudah didiagnosis mengitis meningococcus,
dievaluasi tentang efek kombinasi BPI dan tidak menunjukkan efek yang
menguntungkan pada angka kematian (odds ratio, 0.76; 95% confidence
interval,0.36 to 1.61) (Levin, 2000). Efek dari HA-1A sudah dievaluasi pada
penelitian yang memasukkan 269 anak dengan shock septic meningococcus;
dan dilaprkan hasil yang non signifikan (odds ratio, 0.59; 95% confidence
interval, 0.31 to 1.05) (Derkx et al., 1999).
Terapi suportive seperti memelihara status hidrasi dan oksigenasi
harus diperhatikan untuk keberhasilan terapi. Untuk DIC, beberapa penulis
merekomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit diberikan dengan
pemberian cepat secara intravena dan dipertahankan pada dosis yang cukup
untuk memperpanjang clotting time dan partial thromboplastin time menjadi
2 atau 3 kali harga normal. Untuk mengontrol kejang diberikan
antikonvulsan. Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau
corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari impending
herniasi. (Latorre et al., 2000)
J. Pencegahan

18
Imunisasi
Vaksin meningococcus sangat penting untuk epidemis controlling di Negara
ketiga dimana selalu terdapat infeksi meningococcus group A, dengan
epidemi setiap beberapa tahun. Imunitas yang didapat tidak bertahan
selamanya, dan akan berkurang dalam 3-5 tahun setelah vaksinasi.
Polisakarida grup C menghasilkan respon immun yang lebih rendah
dibandingkan dengan polisakarida grup A, dan mempunyai efek
immunogenic yang amat rendah pada anak dibawah usia 2 tahun.
Immunoprofilaksis terhadap infeksi meningococcus menggunakan vaksin
polisakarida quadrivalent (seregrup A, C, Y dan W 135). Pada infant, hanya
komponen vaksin meningococcus grup A yang menghasilkan protektif
antibodi. Vaksinasi hanya direkomendasikan untuk individu dengan resiko
tinggi, termasuk pengunjung negara dengan penyakit hiperendemik atau
epidemik, pada keadaan ledakan yang disebabkan oleh serogrup yang
terdapat dalam vaksin, orang-orang dalam barak militer, dan orang-orang
dengan resiko tinggi berupa defisiensi komponen terminal komplemen serta
individu yang telah mengalami splenectomy.(Japardi, 2002)
Pada negara berkembang, penyebab infeksi meningococcus adalah
dari serogrup B. Kapsul polisakarida dari organisme ini mempunyai
immunogenisitas yang sangat rendah, sebab anti-B polisakarida antibodi tidak
bersifat bakterisidal di dalam komplemen manusia. Untuk meningkatkan
immunogenisitas dari polisakaridal serogrup B, telah dikembangkan suatu
polisakarida protein conjugate vaksin yang serupa dengan conjugate vaksin
haemophilus influenzae type B. Pada Jnuari, 2015, vaksin untuk serogroup B
telah diterima di dunis (Bexsero). (FDA,2015)
Saat ini terdapat 3 macam conjugate vaksin yaitu:
1. HbOC, dimana protein carrier berasal dari non toksigenik mutant dari
toksin diphteria yang berikatan dengan rantai pendek oligosaccharida/OC
dari polyribosylribitolphospate/PRP kasul polisakarida haemophilus
influenzae tipe B.
2. PRP-OMP, conjugate vaksin yang berisi outer membrane proteins dari N.
Meningitidis/OMP, yang berikatan dengan rantai PRP polymer
3. PRP-D, berisi toksoid diphteria yang berikatan dengan rantai sedang PRP
polymer

19
Berdasarkan rekomendasi dari Immunization Practice Advisory Committee (1991)
dan Committee on Infectious Disease of the American Academy of Pediatrics
(1991), penggunaan vaksin tersebut adalah sabagai berikut:
1. Seluruh bayi di imunisasi Hib conjugate vaksin (Hb-OC atau PRP-OMP),
dimulai pada usia 2 bulan. Pemberian dari vaksin dimulai sat 6 minggu.
Pemberian imunisasi dapat bersamaan dgnjadwal imunisasi lain seperti
DPT, Polio dan MMR. Vaksin diberikan secara intramuskular pada tempat
yang berbeda dengan menggunakan syringe yang berbeda.
2. Bila menggunakan Hb-OC, pada infant usia 2-6 bulan diberikan 3 dosis
dengan selang paling sedikit 2 bulan. Infant usia 7-11 bulan diberikan 2
dosis dengan selang paling sedikit 2 bulan sebelum mencapai usia 15
bulan. Booster diberikan saat usia 15 bulan paling sedikit 2 bulan setelah
dosis terakhir. Bila menggunakan PRP-OMP, pada infant usia 2-6 bulan
diberikan 2 dosis dengan selang 2 bulan, dan booster diberikan saat
berusia 12 bulan. Anak usia 7-11 bulan diberikan 2 dosis dengan selang 2
bulan, sedangkan anak usia 12-14 bulan diberikan single dose, pada kedua
kelompok tersebut booster diberikan saat usia 15 bulan, paling sedikit 2
bulan setelah dosis terakhir. Pada kelompok usia dewasa diberikan single
dose secara subcutan. Vaksinasi ini memberikan perlindungan terhadap
penyakit sebesar 90%, tetapi tidak cukup potent untuk mengurangi kasus
carrier. (FDA, 2015)
Chemoprophylaxis
Resiko dari meningitis pada kontak keluarga sekitar 4 dalam 1000, kurang lebih
500 sampai 1000 kali lipat dibandingkan dengan populasi secara umum, dan
resiko akan meningkat pada anak-anak. Resiko untuk terkena meningitis menjadi
tinggi segera setelah kontak dengan penderita, dimana kebanyakan kasus timbul
pada minggu pertama setelah kontak, paling lambat dalam 2 bulan. Pada kasus
dengan penderita, secepatnya harus diberikan chemoprophylaxis. Kontak
didefinisikan sebagai keluarga, perawat yang kontak dengan sekret oral dari
pasien dan petugas kesehatan yang melakukan tindakan resusitasi mouth to mouth
secara langsung.(Japardi, 2002)

Tabel 1. Chemoprofilaxis meningitis meningococcus

20
Antibiotik Dosis

Dewasa : 600 mg setiap 12 jam selama


2 hari
Anak (>1 tahun) : 10 mg/kgBB setiap
Rifampin (Oral)
12 jam selama 2 hari
Anak (<1 tahun) : 5 mg/kgBB setiap 12
jam selama 2 hari

Dewasa : 250 mg
Ceftriaxone (IM)
Anak : 125 mg

Ciprofloxacin (Oral) 750 mg


Dewasa : 1g setiap 12 jam selama 2
hari
Anak (1-12 tahun) : 500 mg setiap 12
Sulfisoxazole (Oral)
jam selama 2 hari
Anak (<1 tahun) : 500 mg/hari selama 2
hari

K. Prognosis
Angka mortalitas pada kasus yang tidak diobati sangat bervariasi teragntung
daerah opidemik, biasanya berkisar antara 50-90%, 75-100%. Dengan terapi
saat ini, angka mortalitas sekitar 10%, dan insiden dari komplikasi dan
sequelle rendah. Faktor yang mempengaruhi prognosa adalah usia pasien,
bacteriemia, kecepatan terapi, komplikasi dankeadaan umum dari pasien
sendiri. Fatality rate yang rendah terlihat pada kelompok usia antara 3 dan 10
tahun. Angka mortalitas yang tinggi didapatkan pada infant, pasien dewasa
dengan keadaan umum yang buruk, dan pasien dengan perdarahan adneral
yang extensive (Heckenberg, 2008; Pelkonen, 2009; Bingen, 2005; Luaces,
1997).

L. Komplikasi
Komplikasi yang biasanya timbul berhubungan dengan proses inflamasi pada
meningens dan pembuluh darah serebral berupa kejang, parese nervus
kranialis, lesi serebri fokal, dan hidrosefalus. Dan komplikasi yang disebabkan
oleh bakteri meningokokus pada organ tubuh lainnya seperti infeksi okular,
arthritis, purpura, pericarditis, endicarditis, myocarditis, orchitis,
epididimitis,pneumonia,abses paru, peritonitis dan infark ginjal, albuminuria

21
atau hematuria dan perdarahan adrenal. DIC dapat terjadi sebagai komplikasi
dari meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran
napas bagian atas, telinga tengah dan paru-paru ( Estrabrook, 2000).

BAB III

KESIMPULAN

Meningitis meningococcus merupakan radang selaput otak yang disebabkan oleh


N. Meningitidis. N. meningitides sendiri dikatakan sebagai bakteri nomor satu
penyebab meningitis bakterialis di negara-negara berkembang. Ketepatan dalam
mendiagnosa dan kecepatan pemberian terapi yang adequat dapat menekan angka
mortalitas serta gejala sisa yang timbul kemudian. Penisilin masih merupakan
pilihan pertama (drug of choice) dalam terapi meningococcus. Antibiotik
golongan cephalosporin bisa dipertimbangkan diberikan bagi pasien-pasien yang
resisten terhadap penisilin. Penyakit ini dapat dicegah dengan memperhatikan
faktor epidemiologi dan pemberian vaksinasi serta chemoprofilaksis pada individu
dengan resiko tinggi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Bingen, E., C. Levy, F. de la Rocque, M. Boucherat, E. Varon, J. M. Alonso,et all.


2005. Bacterial meningitis in children: a French prospective study. Clin.
Infect.Dis. 41: 10591063.
Brouwer, M. C., J. de Gans, A. R. Tunkel, and D. van de Beek. 2010.
Epidemiology, Diagnosis, and Antimicrobial Treatment of Acute Bacterial
Meningitis. 23 (3): 467-492.
Brouwer, M. C., J. de Gans, S. G. Heckenberg, A. H. Zwinderman, et all. 2009.
Host genetic susceptibility to pneumococcal and meningococcal disease: a
systematic review and meta-analysis. Lancet Infect. Dis. 9: 3144.
Casado-Flores, J., C. Rodrigo, et al. 2008. Decline in pneumococcal meningitis in
Spain after introduction of the heptavalent pneumococcal conjugate
vaccine. Pediatr. Infect. Dis. J. 27: 10201022.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Active bacterial
coresurveillance. Centers for Disease Control and Prevention, Atlanta, GA.
http://www.cdc.gov/abcs/survreports/mening08.pdf

23
Derkx, B., J. Wittes, and R. McCloskey. 1999. Randomized, placebo-controlled
trial of HA-1A, a human monoclonal antibody to endotoxin,in children
with meningococcal septic shock. European Pediatric Me-ningococcal
Septic Shock Trial Study Group. Clin. Infect. Dis.28:770777
Estabrook, Michele. 2000. Infeksi Meningokokus dalam Waldo E. Nelson,
Richard E.B., Robert K., Ann M.A ( Eds.). Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Edisi 15 Volum 2. Jakarta : EGC.hlm 946-949

FDA News Release. FDA approves a second vaccine to prevent serogroup B


meningococcal disease. 2015. Available at
http://www.fda.gov/NewsEvents/Newsroom/PressAnnouncements/ucm43
1370.htm. Accessed: January 3, 2017.

Fijen, C. A., E. J. Kuijper, H. G. Tjia, M. R. Daha, and J. Dankert. 1994.


Complement deficiency predisposes for meningitis due to nongroupable
meningococci and Neisseria-related bacteria. Clin. Infect. Dis. 18: 780
784
Gardner, P. 2006. Clinical practice. Prevention of meningococcal disease. N. Engl.
J. Med. 355: 14661473.
Goldani, L. Z. 1998. Inducement of Neisseria meningitidis resistance to ampicillin
and penicillin in a patient with meningococcemia treated with high doses
of ampicillin. Clin. Infect. Dis. 26: 772.

Heckenberg, S. G., J. de Gans, et all .2008. Clinical features, outcome, and


meningococcal genotype in 258 adults with meningococcal meningitis: a
prospective cohort study. Medicine (Baltimore) 87: 185192
Hoffman, O. Pathophysiology and treatment of bacterial meningitis. 2009. Ther
Adv Neurol Disord2(6): 401-412
Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis meningococcus. Fakultas Kedokteran Bagian
Bedah Universitas Sumatera Utara. p1-8
J. Leimkugel, V. Racloz, L. Jacintho da Silva, and G. Pluschke. 2009. Global
review of meningococcal disease. A shifting etiology. Journal of
Bacteriology Research Vol. 1(1): 006-018.
Latorre, C., A. Gene, T. Juncosa, C. Munoz, and A. Gonzalez-Cuevas. 2000.
Neisseria meningitidis: evolution of penicillin resistance and phenotype in
a childrens hospital in Barcelona, Spain. Acta Paediatr. 89: 661665

24
Levin, M., P. A. Quint, B. Goldstein, et all . 2000. Recombinant
bactericidal/permeability-increasing protein (rBPI21) as adjunctive
treatment for children with severe meningococcal sepsis: a randomised
trial. rBPI21 Meningococcal Sepsis Study Group. Lancet 356: 961967.
Luaces, C. C., J. J. Garcia Garcia, M. J. Roca, and C. L. Latorre Otin. 1997.
Clinical data in children with meningococcal meningitis in a Spanish
hospital. Acta Paediatr. 86: 2629.

Pelkonen, T., I. Roine, L. Monteiro, M. Correia, A. Pitkaranta, L. Bernardino, and


H. Peltola. 2009. Risk factors for death and severe neurological sequelae
in childhood bacterial meningitis in sub-Saharan Africa. Clin. Infect. Dis.
48: 11071110.

Schwartz B, Al-Tobaiqi A, Al-Ruwais A, et al. Comparative efficacy of


ceftriaxone and rifampicin in eradicating pharyngeal carriage of group A
Neisseria meningitidis. Lancet. 1988 Jun 4. 1(8597):1239-42.

Shao PL, Chang LY, Hsieh SM, Chang SC, Pan SC, Lu CY, et al. Safety and
immunogenicity of a tetravalent polysaccharide vaccine against
meningococcal disease. J Formos Med Assoc. 2009 Jul. 108(7):539-47.

Stephens, D. S., B. Greenwood, and P. Brandtzaeg. 2007. Epidemic meningitis,


meningococcaemia, and Neisseria meningitidis. Lancet 369: 21962210.

Tully, J., R. M. Viner, P. G. Coen, J. M. Stuart, et all. 2006. Risk and protective
factors for meningococcal disease in adolescents: matched cohort study.
BMJ 332: 445450.
Tunkel, A. R., B. J. Hartman, S. L. Kaplan, et all. 2004. Practice guidelines for the
management of bacterial meningitis. Clin. Infect. Dis. 39: 12671284
Van de Beek, D., J. de Gans, P. McIntyre, and K. Prasad. 2004. Steroids in adults
with acute bacterial meningitis: a systematic review. Lancet Infect. Dis.4:
139143.
Van de Beek, D., J. de Gans, P. McIntyre, and K. Prasad. 2007. Corticosteroids for
acute bacterial meningitis. Cochrane Database Syst. Rev. 2007: CD004405

25

Anda mungkin juga menyukai