Anda di halaman 1dari 17

HAEMORAGIK GASTER DAN USUS

A. Definisi

Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti

inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah proses

inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme

protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat

dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005:

422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat

bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.

Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh

ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu

berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau

terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).

Gastritis Akut Hemoragik

Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena minum

alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin

atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan pada

kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua

adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang

mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya

(Suyono, 2001).

Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal yang

timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda dengan ulserasi
menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus profunda ke

dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif,

erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi

yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan yang mengancam nyawa.

Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan

membagi gastritis kronik menjadi :

1. Gastritis kronik superficial

Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa

superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar

tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.

2. Gastritis kronik atrofik

Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan destruksi

sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis kronik

superfisialis.

3. Atrofi lambung

Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur

kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan

sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan

mengapa pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.

4. Metaplasia intestinal

Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar-kelenjar

mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi
secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan

bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik dapat

dibagi menjadi tifa bagian, yaitu :

1. Gastritis Kronis Tipe A

Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya

autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan dengan

tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan

tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik.

Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik

untuk mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).

Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena

kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung

menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan

asam (Chandrasoma, 2005 : 522).

Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa sekitar

sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak

didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar

dikelilingi oleh sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia

intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa

menjadi atrofi dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 : 522).
2. Gastritis Kronis Tipe B

Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai

daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.

Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis ini

memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar gastrin

yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh

Helicobacter pylori. Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol yang

berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori (Prince,

2005: 423).

Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat

predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik pada

mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan

dengan munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus antrum.

Pada saat lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus

lambung. Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus antrum dan

metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).

Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis atau

kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya

memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi

Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).

Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang

muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen kelenjar.

Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan, menyebabkan
deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa

lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan

gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan

pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan erat dengan

peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut

inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).

3. Gastritis kronis tipe AB

Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya menyebar

keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat dengan bertambahnya

usia (Suyono, 2001: 130).

2. Anatomi dan Fisiologi


1. Anatomi Lambung

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di daerah

epigastrik, di bawah diafragma dan di depan pankreas. Dalam keadaan kosong, lambung

menyerupai tabung bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas

normal lambung adalah 1 samapi 2 L (Prince, 2005). Secara anatomis lambung terdiri atas empat

bagian, yaitu: cardia, fundus, body atau corpus, dan pylorus. Adapun secara histologis, lambung

terdiri atas beberapa lapisan, yaitu: mukosa, submukosa, muskularis mukosa, dan serosa.

Lambung berhubungan dengan usofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum

melalui orifisium pilorik (Ganong, 2001).

Mukosa lambung mengandung banyak kelenjar dalam. Di daerah pilorus dan kardia,

kelenjar menyekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar mengandung sel

parietal (oksintik), yang menyekresikan asam hidroklorida dan faktor intrinsik, dan chief cell (sel

zimogen, sel peptik), yang mensekresikan pepsinogen. Sekresi-sekresi ini bercampur dengan
mukus yang disekresikan oleh sel-sel di leher kelenjar. Beberapa kelenjar bermuara keruang

bersamaan (gastric pit) yang kemudian terbuka kepermukaan mukosa. Mukus juga disekresikan

bersama HCO3- oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara kelenjar-kelenjar (Ganong, 2001).

Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai saraf

parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf

vagus. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut

aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta

peradangan, dan dirasakan di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut eferen simpatis

menghambat motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (auerbach) dan

submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan mengoordinasi

aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung (Prince, 2005).

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan limpa) terutama

berasal dari arteri siliaka atau trunkus seliakus, yang mempercabangkan cabang-cabang yang

menyuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah

arteria gastroduodenalis dan arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan

sepanjang bulbus posterior duodenum (Prince, 2005).

2. Fisiologi Lambung

Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung,

dapat berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-

enzim seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi

pencernaan dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein

oleh pepsin dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan,

sekresi mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas
sehingga makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus

yang berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas

penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran

makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan

dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam

usus halus (Prince, 2005).

Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk

mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan

yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus

kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml

cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl

membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH

yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas.

Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal

mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung

mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja

yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang

bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang

menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi

meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua,

fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam

lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam
lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai

mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur.

Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut

memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong,

2001).

B. KOMPLIKASI

Komplikasi yang timbul pada Gastritis Akut, yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA)

berupa hemotemesis dan melena, berakhir dengan syock hemoragik, terjadi ulkus, kalau

prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.

Komplikasi yang timbul Gastritis Kronik, yaitu gangguan penyerapan vitamin B 12, akibat

kurang pencerapan, B 12 menyebabkan anemia pernesiosa, penyerapan besi terganggu dan

penyempitan daerah antrum pylorus.

C. Manifestasi Klinis
1. Gastritis Akuat

Adanya keluhan abdomen tidak jelas, seperti anoreksia dan mual, Sakit kepala Mengalami

ketidaknyamanan, malaise, Nyeri epigastrium, Muntah dan cegukan, Pendarahan

2. Gastritis Kronik
Adanya perasaan penuh

Anoreksia

Nyeri hulu hati setelah makan

Kembung

Rasa asam dimulut

Mual dan muntah

Faktor-faktor Penyebab Gastritis

1. Pola Makan

Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola

makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan,

sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.

2. Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif.

Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut

sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-

rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan

dengan kosongnya lambung (Okviani, 2011).

Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada saat

perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan

mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri (Ester, 2001).
Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah

yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak

terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam

lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang

diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta

menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).

Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal

itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi

dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat

menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang

menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul, 2005). Produksi asam lambung diantaranya

dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut

secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan

makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).

3. Jenis Makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap

akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi

makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan

pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).

Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan,

terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri

di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin

berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali
dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi

pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani, 2011).

Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu

yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih mentah, daging mentah,

kari, dan makanan yang banyak mengandung krim atau mentega. Bukan berarti makanan ini

tidak dapat dicerna, melainkan karena lambung membutuhkan waktu yang labih lama untuk

mencerna makanan tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya. Akibatnya, isi

lambung dan asam lambung tinggal di dalam lambung untuk waktu yang lama sebelum

diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan menyebabkan rasa panas di ulu hati

dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).

4. Porsi Makan

Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi pada

tiap kali makan. Setiap orang harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai bahan bakar

untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan, kelebihannya akan disimpan

di dalam tubuh dan menyebabkan obesitas (kegemukan). Selain itu, Makanan dalam porsi besar

dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat kekuatan dinding

lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka pada lambung

(Baliwati, 2004).

5. Kopi

Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan dan

senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut dengan

fenol, vitamin dan mineral.


Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga

menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang

bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic.

Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor seperti

keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya asam lambung.

Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung jawab (Anonim, 2011).

Kafein dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem

pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran setiap minum

kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat,

tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat

sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung dan

pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung

yang sangat asam dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang meningkat dapat

menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).

Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum kopi adalah

gastritis (peradangan pada lapisan lambung). Beberapa orang yang memilliki gangguan

pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau lambung biasanya disaranakan untuk

menghindari atau membatasi minum kopi agar kondisinya tidak bertambah parah (Warianto,

2011).

6. Teh

Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku The Miracle of Enzyme menemukan

bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan lebih dari dua gelas secara

teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang
mengandung banyak antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan

berjenis polifenol yang mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun,

jika beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin. Tannin inilah

yang menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat dan mudah

teroksidasi (Shinya, 2008).

Tannin merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein

pada mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung). Akibatnya terjadi

proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang permeabel.

Proses tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan zat

kimia iritan. Dosis tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat

mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).

Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah berubah

menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa lambung. Asam

tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga sel-sel mukosa lambung

menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang tersebut menderita berbagai masalah

lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung

(Shinya, 2008).

7. Rokok

Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok,

terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam asap rokok

yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon monoksida,
nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen,

bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan

lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun

lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto,

2010).

Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus dan

pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi

bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH

duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin.

Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung)

dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut

memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok

dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di

mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena

infeksi H. pylori. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan

risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).

Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi perokok

menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan berbagai penyakit

di saluran cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti merokok (Departemen

Kesehatan RI, 2001).


SOAL

1. Seoorang wanita gemuk, selalu makan makanan yang berlemak. Kalau tidur malam

selalu tersedak (hiccugh). Penderita lama mengalami sakit ulu hati, kembung, dan kalau

makan cepat kenyang.

Apa diagnosis yg paling mungkin :


a. Gastritis erosiva

b. Ca. oesophagus

c. Gastritis hipertrophica

d. GERD

e. Semua salah

2. Seorang perempuan 12 tahun, 4 bulan masuk rumah sakit dgn perasaan lemah. Perasaan

pernah dirasakan sejak 1 tahun yg lalu dan semakin terasa 1 minggu terakhir. Tidak ada

riwayat demam, kejang, batuk maupun sesak. Penderita mual-mual, sering-sering muntah

dan nyeri uluhati sejak 4 bulan yg lalu. BAB dan BAK dalam batas normal. Pd

pemeriksaan fisik didapatkan penderita pucat. Hasil pemeriksaan laboratorium : Hb 6.9 g

%, Leukosit 8000/mm3, eritrosit 3 A 106/mm3, trombosit 400000 /mm3

Diagnosis kerja yg mungkin dari kasus diatas adalah :

a. Ulkus ventrikuli d. invaginasi

b. Gastritis

c. Anemia defisiensi

3. Perempuan 45 tahun MRS dengan keluhan muntah & melena, Sebelimnya ada riwayat

uluhati sejak 5 tahun lalu. Saat ini penderita kurus, anoreksia, setiap kali makan

penderitah muntah. Hb 7,8 golongan darah A


Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnose

a. Foto BNO c. Endoskopi sel cerna atas + biopsi

b. Foto colon inloop e. Endoskopi sel cerna bawah+biopsi

c. CT-Scan abdomen

4. Garam-garam mineral tidak mengalami proses pencernaan makanan, sebab garam

mineral ...
a. bukan makanan
b. tak dapat dicernakan
c. larut dalam air dan mudah merembes selaput plasma
d. tidak bereaksi dengan enzim
e. memerlukan pH yang tinggi
5. Penyerapan zat-zat makanan oleh sel-sel epitelium usus adalah dalam bentuk ...
a. protein diserap dalam bentuk asam amino dan gliserol
b. karbohidrat diserap dalam bentuk disakarida yang larut dalam air
c. vitamin dalam bentuk asam amino
d. protein dalam asam amino
e. lemak dalam bentuk asam amino dan asam lemak

Anda mungkin juga menyukai