Anda di halaman 1dari 3

Edisi 054/Tahun 2

The Lost Generation


Judul ini bukan cerita tandingan karya Sir Arthur Conan Doyle, The Lost World. Tapi sekadar
ingin menggambarkan bagaimana generasi kita saat ini. Utamanya generasi muda. Terus
terang saja, kita prihatin banget bila menyaksikan tingkah polah generasi harapan bangsa
ini. Suer, mata kita, hampir tiap hari disuguhi pemandangan yang bikin pedih dan perih.
Banyak banget anak-anak dan remaja yang jauh dari nilai-nilai Islam dalam aktivitas
hidupnya. Seks bebas, narkoba, dan kriminalitas terus menghiasai kehidupan remaja kita.
Dalam keadaan seperti itu, anehnya lagi media kita, khususnya televisi nggak ramah sama
anak-anak dan remaja. Media cetak juga melengkapi gambaran buruk bagi generasi muda
Islam.
Bayangin aja, film, musik, dan acara-acara khusus anak-anak dan remaja dijejali
dengan gambaran yang buruk tentang kehidupan. Meski sebagian kalangan masyarakat
ada yang berani protes atas masalah tersebut, namun teriakannya tenggelam dalam
gemuruh budaya pop yang telah mengakar dalam jiwa anak-anak dan remaja kita.
Ibaratnya, kita berteriak hingga serak di tengah samudera yang luas saat badai Tsunami
beraksi. Wah, siapa yang mau peduli, ya? Asli, dikacangin!
Meski Iklan layanan masyarakat yang peduli dengan masa depan anak-anak terus
diputar, namun pengelola televisi hatinya seperti nggak tersentuh sedikitpun, keras
membatu. Buktinya, beragam tayangan yang bisa memberi efek buruk pada anak-anak
tetap jalan terus. Iklan tinggal iklan, sebab tayangan yang nggak mendidik dengan benar
dan baik lebih akrab dan gesit mendatangi anak-anak dan remaja. Bila ini terus berlanjut,
nggak mustahil kita bakal kehilangan generasi yang unggul dalam menata kehidupan ini.
Yes, the lost generation, bukan omong kosong.
Rekan remaja, kita udah sering dibikin sakit kepala menyaksikan beragam tontonan
yang nggak menjadi tuntunan. Terus terang saja, tayangan film buat anak-anak dan remaja
banyak yang bermasalah. Sebut saja sinetron Bidadari, yang mengandung unsur syirik.
Gimana nggak, Ayu Ibu Peri Azhari seringkali jadi tempat meminta tolong bagi Lala
(diperankan Marshanda) saat ia kesulitan menghadapi sebuah peristiwa yang
mendebarkan. Selintas, emang kayaknya itu sekadar hiburan. Namun inget, justru film
adalah salah satu media komunikasi massa yang pengaruhnya cukup besar, apalagi bila itu
pengaruhnya buruk. Dengan kata lain, adik-adik kita udah dididik dan diajarkan untuk
menggeluti dunia klenik dan menjadi pemimpi.
Nggak cuma itu, tayangan seperti Panji Manusia Milenium, Shinchan, Doraemon,
Pokemon, Gerhana, MGM (Misteri Gunung Merapi), Jin dan Jun, Jinny oh Jinny, Mr. Hologram,
dan yang lainnya kerap menjadi pilihan utama tontonan anak-anak. Selain ceritanya
mudah dicerna, sebab nggak lepas dari jalur perseteruan si jahat dan si baik, juga
dilengkapi dengan visualisasi yang canggih tapi bikin kita merinding bulu roma, malah ada
yang nggak masuk akal. Dengan begitu, kita mulai dituntun untuk menyelami dunia para
dukun, tukang sihir, dan para pengkhayal. Celakanya lagi, tayangan itu seperti bentuk
pembenaran yang kudu diikuti atau paling nggak dianggap wajar. Waduh, berbahaya
banget kan?
Benar, adik-adik kita dan temen-temen remaja udah diformat untuk melakukan apa
saja yang ditayangkan televisi. Inilah satu sisi keberhasilan sebuah propaganda.
Sayangnya, ini propaganda yang salah. Memang dalam dunia komunikasi massa, siapa
yang berhasil mendominasi opini, dialah yang akan menjadi trendsetter. Itu sebabnya,
komunikasi yang berjalan nggak seimbang ini bakal menimbulkan efek spiral kebisuan.
Artinya, opini yang disebarkan terus-terusan tanpa ada tandingannya, cenderung bakal
menjadi mainstream alias arus utama. Maksudnya, yang jadi obrolan, yang jadi bahan
cerita dan diskusi adalah informasi yang memang mendominasi pikiran penerima
informasi. Akibatnya, orang yang nggak ngomongin atau nggak ikut dengan tren tersebut
jadi merasa terasingkan alias teralienasi. Akhirnya, bagi yang nggak punya idealisme,
malah ikut dengan arus tersebut. Meskipun salah. Gaswat bener kan?

Yang menang, yang mendominasi


Ngomong-ngomong soal dominasi, kayaknya kita kudu mengakui Amrik. Suer,
dengan segala sarana yang dimilikinya, negerinya Paman Sam ini berhasil merebut
perhatian penghuni dunia ketiga untuk tunduk pada aturan main yang dibuatnya. Jadi,
emang siapa yang kuat dialah yang menang dalam berebut pengaruh. Itu sebabnya, tren
yang paling getol digembar-gemborkan yang bakal menarik massa. Coba tengok, tren apa
yang lagi marak di remaja. Saat ini, yang disebut remaja unggul, adalah remaja yang
paling gaul. Yang disebut remaja modern, adalah remaja yang paling keren dalam soal
gaya hidup. Kenapa bisa begitu? Sebab yang selalu digembar-gemborkan adalah gaya
hidup bercita-rasa Barat yang bebas nilai. Makin sering tren tersebut dipublikasikan
sementara pesaingnya nggak pernah munculalamat ide tersebut bakal jadi arus utama
dan jelas digandrungi.
Itu sebabnya, ketika ada remaja yang berani bicara soal Islam, mereka dianggap
sebagai orang yang ketinggalan jaman. Kuno bin kuper. Malah oleh sebagian yang katanya
disebut kaum intelektual, mereka menyebut Islam sebagai aturan main padang pasir. Wah?
Kenapa bisa begitu? Sebab sekarang jamannya Westernisasi alias pembaratan. Mulai
soal makanan, hiburan, pakaian, sampai aturan hidup. Semua seragam ala Amrik. Suer,
lidah kita ikut-ikutan dilatih merasakan makanan koboi. Kita takut dibilang kere dan
kampungan kalo nggak makan di Kentucky atawa McD. Padahal, makanan khas
negerinya Prabu Siliwangi ini adalah onta alias oncom tahu, tempe, ikan peda, sambal
terasi, dan lalapnya pete, jengkol, dan sejenisnya. Kalo pun sekalinya makan enak, itu
nggak jauh dari daging ayam, kambing, atau sapi, yang dimasak biasa.
Tapi kenyataannya sekarang, sungguh aneh tapi nyata, banyak penduduk pribumi
yang mulai berselera Amrik. Segala makanan dari Amrik, anggapannya pasti bermutu dan
dijamin bikin gengsi kita melambung. Padahal jenis makanannya sama dengan yang
dimiliki negeri ini. Kenapa bisa begitu? Sebab orang Amrik pinter bikin kemasan.
Prinsipnya, isi boleh sama tapi kemasan bisa berbeda. Tapi inilah tren, sobat. Akhirnya,
rekan remaja kita seperti latah kudu mengikuti aturan main yang dibuat orang-orang
Amrik.
Itu baru soal makanan, belum lagi dengan pakaian. Di jalur ini, temen-temen remaja
lebih suka memakai baju keluaran produk Amrik dan Eropa. Sebut saja merek-merek
seperti Calvin Klein, DKNY, Giani Versace, Dorce and Gabana, Giorgio Armani, dan yang
lainnya udah akrab dalam ingatan sebagian besar remaja kita. Sementara jilbab, yang
merupakan identitas wanita muslimah, dianggap ketinggalan jaman, dan hanya boleh
dikenakan di padang pasir (baca: Arab). Wuah, bagaimana bisa kebalik-balik begini? Sekali
lagi, ini tren. Siapa yang kuat publikasinya, dialah yang bakal jadi trendsetter. Digandrungi
dan jadi standar.
Bagaimana dengan dunia hiburan? Kondisinya serupa, sobat. Kita prihatin banget,
tayangan film dan musik di televisi juga cerita di videogame udah mengarah kepada
pembaratan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang rusak. Sekarang aja, orangtua lebih
senang bila anaknya yang masih balita bergenit-genit dalam videoklip musik. Itu artinya,
putra-putri Islam sudah diarahkan untuk menjadi sampah. Para ortu bukan tak tahu
risikonya bila anaknya jadi selebriti cilik, tapi soal fulus memang di atas segalanya. Artinya,
mereka rela mengorbankan masa depan generasi ini demi sebuah ambisi meraih materi.
Kasihan banget.
Bila ini terus berlanjut, nggak mustahil sepuluh atau dua puluh tahun lagi, kita bakal
kehilangan generasi Islam yang unggul; baik dalam soal ilmu maupun ketakwaannya. Terus
terang, kita nggak ingin terulang kejadian di Spanyol. Dimana warisan kejayaan Islam yang
sangat maju dan tinggi, namun nggak dikenal oleh generasi sekarang. Ingatan remaja
sekarang tentang Spanyol barangkali cuma seputar klub-klub sepakbola seperti Real
Madrid, Barcelona, Valencia dan yang lainnya. Padahal, di wilayah yang pernah menjadi
pusat pemerintahan Islam itu banyak tersimpan warisan Islam yang tak ternilai harganya.
Valencia, dulu di masa kejayaan Islam, dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan dan
sarangnya para intelektual muslim. Sekarang? Tinggal kenangan. Malah mungkin ingatan
kita tentang Valencia cuma sebatas Gaizka Mendieta, playmaker andal klub Valencia. Naif
sekali.
Itu baru warisan yang bersifat materi. Lebih parah lagi, bila kita kehilangan juga
warisan pemikiran Islam. Kita nggak mau terulang kembali. Mungkin cukup sampai di tahun
ini aja. Seterusnya, kitalah yang kudu mendominasi dunia dengan pemikiran Islam. Agar
kita tak kehilangan generasi Islam yang sehat, kuat, tangguh, berilmu, dan bertakwa.

Bagaimana seharusnya?
Memang menyakitkan banget bila harus kehilangan generasi Islam yang handal.
Saat ini saja, kita sudah merasakan gejalanya. Remaja kita lebih gandrung dengan segala
sesuatu yang berasal dari Barat dan Amrik. Hiburan, makanan, dan pakaian, bahkan aturan
kehidupan semua produk Amrik. Yang berlabel Islam, sengaja dibuang jauh-jauh.
Alasannya, agama seringkali dianggap sebagai penghalang dalam berbuat. Aduh, kok
begitu sih?
Teman, perjuangan agar generasi Islam ini nggak hilang emang agak berat. Tapi
bukan berarti kita gampang menyerah. Nggak boleh. Kita kudu terus bersemangat dan
nggak kenal lelah. Pemikiran, kita lawan dengan pemikiran, tsaqofah, juga kita lawan
dengan tsaqafah. Walhasil, yang kudu kita lakukan adalah melawan hegemoni Amrik dan
Barat. Teknisnya?
Pertama, isi otak kita dengan pemikiran Islam yang benar dan baik dalam pengajian. Perasaan kitapun
wajib islami. Kedua, kita kudu memahami Islam dengan utuh, yakni sebagai akidah dan syariat. Ketiga, kita wajib
mendakwahkan Islam kepada seluruh kaum muslimin. Keempat, kita kudu berani membongkar dan mengungkap
segala rencana musuh-musuh Islam (baca: Amrik dan Barat). Utamanya rencana menghancurkan generasi muda
Islam lewat film, nyanyian, musik, dan gaya hidup. Kelima, kita menggalang kekuatan bersama; individu,
masyarakat, dan negara dalam melawan hegemoni Amrik dan Barat, juga siapa saja yang memusuhi Islam.
Insya Allah, bila mulai sekarang kita berbenah, belum terlambat untuk bangkit. Dan untuk itu semua, kita emang
kudu pede, sobat. Sebab kita adalah umat yang terbaik. Firman Allah Swt.:
















Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah
dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imrn [3]: 110) n

Anda mungkin juga menyukai