PENDAHULUAN
angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas
(cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi
merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki,
pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya
neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Sekarang ada
dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun. Jaraknya, bervariasi antara umur
Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti
1
pada Timur Tengah dan Amerika. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir
dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT. (2, 3)
Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.
Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu
mikroskopik. (1)
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan di bagian
posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus
superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma
nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan
oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner
pseudokompleks.4
3
Gambar 1. Anatomi laring pada potongan koronal (3)
4
2. ETIOLOGI
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak
dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal
beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak
reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP),
pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-
studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.
pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi
dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen
disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan
5
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi
pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua
Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil
biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu
hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita JNA.
terdapatnya GSTM1. Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah
JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan
6
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP
ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada
Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa
sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan
penelitian tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan
3. LOKASI
Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar
nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya
muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen
tumor. (1, 2)
4. PATOLOGI
merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu
7
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan
tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan
otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika
berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas
endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya
terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel
8
Gambar 3. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang
besar, tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya
berada dalam nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai
(pedunculated) atau polypoi.(6)
9
Gambar 4. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit
berbentuk bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh
darah berdinding tipis (tanda panah). (6)
5. PATOFISIOLOGI
10
mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini.Bukannya
menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak
atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian
ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan
menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus
(cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih
dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)
dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus
6. MANIFESTASI KLINIS
11
Gejala
2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna
7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the
Tanda
12
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal
rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian
Gambar 5. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor. (6)
13
Gambar 6: Pada endoskopi terlihat lesi di rongga hidung kanan. S: septum
hidung, I: konka rendah, M: konka tengah, T: tumor. (4)
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Biopsi
14
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan
klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi
tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik
Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di
Pemeriksaa Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada
daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah
15
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang
besar, atau invasif dari pterygmaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat
lesi JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan
keganasan yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan
dengan gambaran jaringan lunak homogeny lainnya seperti peradangan sinus dan
mukosa hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Selain itu CT scan dan
MRI dapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada
Gambar 7b. CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus
paranasal (9)
16
Gambar 8. CT scan axial menunjukkan angiofibroma nasopharingeal
menempati rongga hidung kanan. (10)
ANGIOGRAFI
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
17
Gambar 8. Gambaran angiogram JNA (11)
STADIUM
18
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring
fossa.
Stadium IIB Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi
kerusakan tulang.
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
19
8. DIAGNOSIS BANDING
7. Karsinoma nasofaring.(1, 8)
9. PENATALAKSAAN
EMBOLISASI
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri
maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis
20
(9a) (9b)
OPERASI
stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin
(tunor stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-
nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk
lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan
21
mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial
diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut. (10, 11)
untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga
22
Gambar 10a dan 10b. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan mid
facialde gloving. Dengan pendekatan ini bias dibuka akses membuka tulang-
tulang mid fasial tanpa meninggalkan luka / scar di wajah. Beberapa fraktur
fasial dan tumor-tumor mid fasial lain juga bias ditangani dengan
pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari ruang
post nasal. (10)
Gambar 11. Reseksi angiofibroma melalui insisi sekitar daerah wajah. (11)
HORMONAL
sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak
RADIOTERAPI
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau
ekspansif kedaerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau
23
resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila
fraksi standard untuk mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang
berhenti tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar
JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang
akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi
komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu
dan keratopatiradiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan
leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. (8, 9, 10)
radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek
stadium tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang
10. KOMPLIKASI
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury
24
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila
tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii. (7, 8)
namun ini jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi
11. PROGNOSIS
intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada
dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor
25
BAB III
PENUTUP
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
dan remaja.
26
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah
mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan
27
DAFTAR PUSTAKA
28
7) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-
21-773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006
10) Frenz D, Smith RV. Surgical Anatomy of The Pharynx and Esophagus.
In Otolaryngology Basic Science and clinical Review. Thieme. New York.
2006; pg; 552-565.
11) Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 4thEdition. Lippincot Williaws &Wilkins. 2006; pg; 1815-
1817
29