Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal

angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak

namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas

ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak

(cranial vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi

merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki,

pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya

tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenile nasopharyngeal

angiofibroma). Tetapi istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena

neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Sekarang ada

kesepakatan bersama bahwa ini semata-mata khususnya terdapat pada laki-laki

dan umur rata-rata yang terkena sekitar 14 tahun. Jaraknya, bervariasi antara umur

7 dan 19 tahun dengan insidensi puncak pada dekade kedua kehidupan.

Angiofibroma Nasofaring jarang pada pasien lebih dari 25 tahun. Jika remaja putri

didiagnosis JNA, maka sebaiknya feminisasi testikuler harus disingkirkan.(1, 2, 3)

Walapun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada

nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher.

Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti

1
pada Timur Tengah dan Amerika. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir

dan India. Insiden rata-rata JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT. (2, 3)

Tumor ini tidak berkapsul dan sangat vaskuler namun tidak bermetastasis.

Eksisi JNA yang tidak sempurna dapat menyebabkan rekurensi. Walaupun begitu

pada eksisi yang sempurnapun masih meninggalkan sisa jaringan tumor

mikroskopik. (1)

Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi

belum ada yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik. (1, 2)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ANATOMI

Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat dengan

beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring

berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di

bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan di bagian

superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra. Tuba

eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior dan

posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus

tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian

superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma

nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan

pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi

oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner

pseudokompleks.4

3
Gambar 1. Anatomi laring pada potongan koronal (3)

Gambar 2. Anatomi Kepala dan Leher (3)

4
2. ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak

dikemukakan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa JNA berasal

dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate

cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa

beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah masa remaja (puberty). Banyak

bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon, seperti

reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron (RP),

pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-

hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive

immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang memperlihatkan reseptor

tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari penyimpanan jaringan, dan

studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA, RP, dan RE.

Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining, menunjukkan adanya RA

pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif antibodi RP dan negatif dengan antibodi

dengan RE. Hasil membuktikan langsung adanya antibodi dari reseptor androgen

pada angiofibroma. (2)

Penelitian lain menunjukkan adanya faktor pertumbuhan yang memediasi

proliferasi agresif sel stromal dan angiogenesis. Transforming Growth Factor-1

(TGF-1) atau faktor pertumbuhan pengubah-1 adalah polipeptida yang

disekresikan dalam bentuk inaktif, dipecah untuk menghasilkan bentuk aktif, dan

5
kemudian tidak diaktifkan dalam jaringan. TGF-1 mengaktifkan proliferasi

fibroblas dan dikenal sebagai induksi angiogenesis. TGF-1 aktif diidentifikasi

pada sel nukleus stromal dan sitoplasma dan pada endotelium kapiler pada semua

spesimen angiofibroma nasofaring juvenile. (3, 4)

Hasil analisis hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil

mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk daerah untuk tumor suppressor

genep 53 sama seperti Her-2/neuoncogene. (4, 6)

Gen glutation-S-transferase M1 (GSTM1) yang biasa terdapat pada sel

manusia dan mempunyai fungsi sebagai sitoprotektor terhadap antioksidan

biasanya gen ini menghilang pada para perokok. Hilangnya GSTM1 memicu

keganasan pada traktus respiratorius bagian atas. Gautham dkk menyelidiki

hubungan perubahan pada GSTM1 pada pasien non perokok yang menderita JNA.

Hasilnya menunjukkan tiga dari delapan pasien tidak menunjukkan tidak

terdapatnya GSTM1. Growth factor yang mirip dengan insulin II (IGFII) adalah

protein perangsang pertumbuhan yang terlibat dalam pertumbuhan janin. IGFFII

ditemukan bersamaan dengan pertumbuhan jaringan tumor pada 53 % dari pasien

JNA. Ini juga membuktikan bahwa gen IGFII mungkin terlibat pada pertumbuhan

tumor JNA. (4, 6)

Hubungan kausal sudah pernah dilaporkan antara JNA dengan familiar

adenomatous polyposis syndrome (FAP). Sindrom ini adalah suatu kondisi

autosomal dominan yang ditandai dengan beberapa adenoma di traktus

gastrointestinal, kecenderungan terjadinya adenokarsinoma dan keganasan-

6
keganasan lain di ekstrakolon. JNA merupakan salah satu maifestasi FAP

ekstrakolon dengan JNA yang terjadi dengan frekuensi 25 kali lebih tinggi pada

pasien dengan sindrom ini. (4, 6)

Pengetahuan tentang patologi dari JNA sudah mulai ditelti sejak beberapa

dekade yang lalu. Dengan kemajuan di bidang studi anatomopatologik masih

sedikit penelitian mengenai aspek genetik dan molekular dari JNA. Kebanyakan

penelitian tentang genetika JNA memberikan hasil yang tidak bisa disimpulkan

atau tidak menambah banyak informasi tambahan terhadap pengetahuan tentang

tumor tersebut. (4, 6)

3. LOKASI

Lokasi dari tumor masih menjadi perdebatan. Awalnya dikira muncul dari akar

nasofaring atau dinding anterior dari tulang sfenoid tetapi sekarang dipercaya

muncul dari bagian posterior dari kavum nasi dekat dengan tepi dari foramen

sphenopalatina. Dari sini tumor bertumbuh masuk kedalam kavum nasi,

nasofaring dan kedalam fossa pterygopalatina, berjalan dibelakang dinding

posterior dari sinus maksillaris dimana menekan kedepan dari pertumbuhan

tumor. (1, 2)

4. PATOLOGI

Secara makroskopik, angiofibroma nampak keras, berlobulasi membengkak

agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya bervariasi dari

merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring dan karena itu

7
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian

yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau

abu-abu. Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa

padat menyisipkan dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan

konfigurasi. Pembuluh darah biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan

tunggal dari endotelium. Karena dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan

otot halus, pembuluh darah ini tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika

terjadi trauma, menyebabkan perdarahan yang berlimpah. Tumor yang

berlangsung lama, cenderung kearah penekanan perlahan dari sinusoid, jadi batas

endotelial sel terdorong saling berlawanan arah seperti kabel, sementara lainnya

terjadi trombosis intravaskular. Komponen fibrosa biasanya padat dan seluler. Sel

stromal, yang melambangkan fibroblas dan atau miofibroblas, mengelilingi pada

nukleus stellata dan kadang-kadang, nekleolus prominent. Mitosis tidak ada.

Mikroskop elektron memperlihatkan karakteristik dari granula kromatin padat

terdistribusi dalam nukleus dari fibroblas. (6, 7)

8
Gambar 3. Reseksi pasca operasi dari JNA. Tampak sebuah massa yang
besar, tidak bertangkai (sessile), berwarna kemerahan yang sebelumnya
berada dalam nasofaring. JNA juga dapat berbentuk bertangkai
(pedunculated) atau polypoi.(6)

9
Gambar 4. Gambaran histologis dari JNA. Tampak gambaran fibrosit
berbentuk bintang (tanda *) dalam stroma jaringan ikat, dan pembuluh
darah berdinding tipis (tanda panah). (6)

5. PATOFISIOLOGI

Menurut Mansfield E (2006) , asal mula JNA terletak di sepanjang dinding

posterior-lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen

sfenopalatina dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin

10
mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini.Bukannya

menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah

menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak

dan menekan melalui perbatasan yang banyak tulangnya.Pada 10-20% kasus,

terjadi perluasan intrakranial. (1, 4, 7)

Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh di dekat foramen

sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed)

atau dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian

yang lainnya meluas ke fossa pterigopalatina. Pertumbuhana anterior terjadi pada

membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan inferior menuju

ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan

septumnya berdeviasi (bengkok) ke sisi lainnya.Pertumbuhan superior langsung

menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded). Cekungan sinus

(cavernous sinus) dapat diserbu atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih

lanjut. Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak

dinding posterior sinus maksila. Lalu, fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.

Adakalanya bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid)

dapat ter-erosi, membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus

optikus jika fissura orbita didesak oleh tumor. (4, 5, 7))

6. MANIFESTASI KLINIS

11
Gejala

1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala

yang paling sering, terutama pada permulaan penyakit.

2. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna

darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisan, yang berkisar 45-60% ini,

biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).

3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.

4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.

5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke

rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.

7. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi

(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya

sensitivitas terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata

(eye pain), tuli (deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-

langit mulut (swelling of the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the

cheek), dan rhinolalia. (1, 6)

Tanda

1. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal

posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat

tidak bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian

massa di hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.

12
2. Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a

bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal

mucosa mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma

(umumnya disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di

rongga mata (orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian

untuk mata menonjol (proptosis) sekitar 10-15%.

3. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,

pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang

merupakan tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal.

Juga terdapat penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting,

namun hal ini jarang terjadi. (1, 6)

Gambar 5. Foto seorang anak dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan
bagian tengah wajahnya karena penekanan dari tumor. (6)

13
Gambar 6: Pada endoskopi terlihat lesi di rongga hidung kanan. S: septum
hidung, I: konka rendah, M: konka tengah, T: tumor. (4)

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada

keadaan ini. (1)

Biopsi

Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah

dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam

pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi

dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat

14
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan

terjadi perdarahan. (6, 8)

Karena karakteristik klinis dan gambaran raadiografi mungkin banyak

klinisi yang merasa perlu untuk melakukan biopsi. Akan tetapi biopsi dari lesi

JNA dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Kebanyakan kasus dari angiofibroma

nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum reseksi defenitif.

Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada

tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik

tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi.

Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai angiofibroma dapat dilakukan di

ruang operasi. (8)

Pemeriksaa Radiologis

FOTO SINAR-X

Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam

nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada

foto lateral, yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang sehingga fissura

pterigopalatina membesar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di

daerah nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arjus zigoma dan daerah

di sekitar nasofaring. (9)

CT SCAN dan MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING)

15
Memperlihatkan perluasan ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang

besar, atau invasif dari pterygmaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat

MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari

lesi JNA sehingga bisa menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan

keganasan yang lain. Lesi juga menunjukkan peningkatan kontras pada CT scan

dan MRI dan aliran vaskuler dalam lesi akan

teridentifikasi pada MRI. Gambaran pembesaran yang

hamper homogeny dari lesi ini membedakannya dengan

massa vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk membedakan

dengan gambaran jaringan lunak homogeny lainnya seperti peradangan sinus dan

mukosa hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI. Selain itu CT scan dan

MRI dapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada

kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial. (9)

(7a) (7b) (7c)

Gambar 7a. CT scan coronal dari lesi yang


mengisi rongga hidung kiri dan sinus
ethmoidalis. Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi
berdeviasi ke kanan. (9)

Gambar 7b. CT scan axial yang menutuprongga hidung kanan dan sinus
paranasal (9)

Gambar 7c. CT scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus


kavernosus. (9)

16
Gambar 8. CT scan axial menunjukkan angiofibroma nasopharingeal
menempati rongga hidung kanan. (10)

ANGIOGRAFI

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada

Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri

maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan

adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan

sebelumnya gagal. (11)

17
Gambar 8. Gambaran angiogram JNA (11)

STADIUM

Sebagai neoplasma dari nasofaring, diperlukan evaluasi individu dan

pengobatannya. Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan

bedah untuk mengeluarkan JNA, Chandler dkk merekomendasikan sistem

stadium untuk kanker nasofaring oleh AJC: (8)

Stadium I : Tumor di nasofaring.

Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa

pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.

Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

Klasifikasi Menurut Sessions

Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.

18
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring

dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.

Stadium IIA Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary

fossa.

Stadium IIB Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa erosi

superior dari tulang-tulang orbita.

Stadium IIIA Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial

fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa

perluasan ke sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch

Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa

kerusakan tulang.

Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal

dengan kerusakan tulang.

Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio

parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.

Stadium IV Tumors menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik,

dan atau fossa pituitari.

19
8. DIAGNOSIS BANDING

1. Polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids,

inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous.

2. Epistaksis, sistemik atau lokal.

3. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

4. Polip koanal (choanal polyp).

5. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

6. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

7. Karsinoma nasofaring.(1, 8)

9. PENATALAKSAAN

EMBOLISASI

Tujuan embolisasi pada pembuluh darah tumor supaya tumor menjadi

jaringan parut dan menghentikan perdarahannya. Embolisasi dilakukan dengan

memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.

Biasanya agen embolisasi dimasukkan melalui arteri karotis eksterna lalu ke arteri

maksilaris interna. Suplai darah yang cukup masih bisa didapat dari arteri karotis

interna dan arteri-arteri etmoidalis. Dengan embolisasi saja cukup untuk

menghentikan perdarahan hidung, atau dapat langsung diikuti dengan

pembedahan untuk mengangkat tumor. Embolisasi mampu untuk mengurangi

pendarahan saat pembedahan sebanyak 60 80%. (9, 10)

20
(9a) (9b)

Gambar 9a. Gambaran angiografi JNA sebelum embolisasi (9)

Gambar 9b. Gambaran angiografi setelah embolisasi (9)

OPERASI

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs

anatomis di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan

stadium tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin

berbeda. Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil

(tunor stadium I) ,metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-

tumor tertentu di beberapa RS. (9, 10)

Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari

nasofaring dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk

lesi dengan pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan

transfacial melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial

degloving bisa juga digunakan.(10)

Lesi dengan penyebaran yang luas ke luar nasofaring akan memerlukan

kombinasi dari pendekatan-pendekatan pembedahan basis cranii untuk

21
mendapatkan pembukaan yang cukup untuk mengeluarkan lesi. Pendekatan facial

translocation dikombinasikan dengan Weber-Ferguson incision dan untuk

perluasan koronal digunakan frontotemporal craniotomy dengan midface

osteotomies untuk jalan masuk. Pendekatan lateral melalui fossa infratemporal

diperlukan untuk mereseksi tumor yang membesar ke regio tersebut. (10, 11)

Terapi medikamentosa dengan diethylstilbestrol 2-3 minggu pre-operatif

untuk mengurangi perdarahan saat operasi. Anastesi yang bersifat hipotensif juga

dipilih untuk lebih baik lagi mengurangi perdarahan. (10, 11)

22
Gambar 10a dan 10b. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan mid
facialde gloving. Dengan pendekatan ini bias dibuka akses membuka tulang-
tulang mid fasial tanpa meninggalkan luka / scar di wajah. Beberapa fraktur
fasial dan tumor-tumor mid fasial lain juga bias ditangani dengan
pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari ruang
post nasal. (10)

Gambar 11. Reseksi angiofibroma melalui insisi sekitar daerah wajah. (11)

HORMONAL

Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan

terapi hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat

reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II

sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak

digunakan secara rutin. (8, 9)

RADIOTERAPI

Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau

ekspansif kedaerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau

23
resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila

dilakukan pembedahan. Biasanya dosis sebesar 30 40 Gy digunakan dalam

fraksi standard untuk mengontrol lesi. Pembesaran tumor yang signifikan memang

berhenti tetapi tumor tidak lagsung mengecil setelah radioterapi. Karena itu agar

efektif radioterapi sebenarnya harus dibarengi dengan terapi pembedahan.

Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi

radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan

JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Dari 27 pasien yang

dilaporkan, tumor berhasil dikendalikan pada 23 (85%) dan empat pasien

akhirnya mengalami rekurensi setelah dua hingga lima tahun. Akan tetapi

komplikasi jangka panjang dari radioterapi muncul pada empat pasien (15%) yaitu

gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporalis, katarak,

dan keratopatiradiasi. Selain itu beberapa juga melaporkan keganasan kepala dan

leher sekunder sebagai efek samping dari radioterapi terhadap JNA. (8, 9, 10)

Bagaimanapun hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi

radiasi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu perlu diperhatikan juga efek

samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi sendiri ditentukan oleh

stadium tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium rendah tapi kurang

memberi hasil pada tumor stadium akhir. (8, 9, 10)

10. KOMPLIKASI

Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit

stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, dan iatrogenic injury

24
terhadap struktur vital. Infeksi SSP dan defisit neurologis bisa terjadi apabila

tumor sudah berekspansi ke intrakranial atau pasca operasi basis cranii. (7, 8)

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive

bleeding). Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi,

namun ini jarang terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi

dengan insisi Weber-Ferguson. Untuk komplikasi dari radioterapi

Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata, katarak,

Transformasi keganasan (malignant transformation), gangguan pertumbuhan,

panhipopituitarisme, dan nekrosislobus temporalis. (7, 8)

11. PROGNOSIS

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah

keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan

intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada

tidaknya sisa tumor. (4, 6)

Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan

(recurrence). Rata-rata kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100%

dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan 70% dengan tumor

intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua

jika terjadi kekambuhan. (4)

25
BAB III

PENUTUP

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,

pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.

Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas

dan remaja.

26
Etiologi tumor ini masih belum jelas, ada dua teori yaitu teori asal jaringan

asal dan teori ketidakseimbangan hormonal.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah

mukosa sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke

arah bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior.

Gejala yang sering ditemukan adalah sumbatan hidung yang progresif dan

epistaksis berulang yang masif. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya

tumor dan arah pembesarannya.

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang

seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Tindakan operasi merupakan

pilihan utama selain terapi hormonal atau radioterapi.Pada kasus-kasus di mana

pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan dapat dikatakan memiliki

prognosis yang baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1) Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia.


Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Editor: Soepardi EA, dkk. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:188-190.

2) Adams L. George, Boies R. Lawrence, Higher H. Peter. BOIES Buku


Ajar Penyakit THT. Editor: Effendi Harjanto. Edisi 6. Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997. Hal: 324-325

3) Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of


Management. International Journal of Pediatrics. published online Nov 17,
2011; [cited april 1 2014]. available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3228400/

4) Tewfik TL MD. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma, [online],


(http://emedicine.medscape.com/article/872580-overview#showall) [cited
on oktober 2016]

5) Ondrey FG, Wright SK. Neoplasm of the Nasopharynx. In:Bellengers


Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck surgery.BC Decker. 2003;
492-495

6) Tony R, Bull. Color Atlas of ENT Diagnosis 4 th Edition. Thieme. 2003;


148

28
7) Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Treated with Gamma Knife Surgery. In: http://jkms.org/fulltext/html/jkms-
21-773.html . Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2006

8) Rahmani, Shervin et.al. Meningitis And Coma As The First Manifestation


Of Juvenile Angiofibroma. In:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_otorhinolaryngolog
y/volume_4_number_1_37/article/meningitis_and_coma_as_the_first_ma
nifestation_of_juvenile_angiofibroma.html . The Internet Journal of
Otolaryngology ISSN:1528-8420.

9) Sivanandan R, Jr. WFE. Benign and Malignant Tumors of The


Nasopharynx, in Cummings Otolaryngology-Head & Neck Surgery.
4thedition. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005; pg ; 1669-1681

10) Frenz D, Smith RV. Surgical Anatomy of The Pharynx and Esophagus.
In Otolaryngology Basic Science and clinical Review. Thieme. New York.
2006; pg; 552-565.

11) Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery-
Otolaryngology. 4thEdition. Lippincot Williaws &Wilkins. 2006; pg; 1815-
1817

29

Anda mungkin juga menyukai