Anda di halaman 1dari 8

perencanaan lumpur pemboran PERENCANAAN LUMPUR PEMBORAN BERDASARKAN

KARAKTERISTIK BATUAN FORMASI YANG AKAN DITEMBUS PROPOSAL


KOMPREHENSIF Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat pada kurikulum Jurusan Teknik
Perminyakan Oleh : RENNDY WIRANATA 09.01.015 JURUSAN TEKNIK PERMINYAKAN
SEKOLAH TINGGI TEKNLOGI MINYAK DAN GAS BUMI BALIKPAPAN 2013
PERENCANAAN LUMPUR PEMBORAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK BATUAN
FORMASI YANG AKAN DITEMBUS PROPOSAL KOMPREHENSIF Disetujui untuk Jurusan
Teknik Perminyakan STT Migas Balikpapan Oleh : KATA PENGANTAR Puji dan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan pertolongannya sehingga penulis mampu
menyelesaikan proposal komprehensif ini. Proposal komprehensif ini berjudul PERENCANAAN
LUMPUR PEMBORAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK BATUAN FORMASI YANG
AKAN DITEMBUS, proposal ini disusun untuk memberikan gambaran mengenai latar belakang,
tujuan dan materi yang akan dibahas didalam penyusunan komprehensif di Jurusan Perminyakan,
Sekolah Tinggi Teknologi Minyak Dan Gas Bumi Balikpapan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun material,
sehingga penyusunan proposal ini dapat selesai dengan baik. Penulis meyakini sepenuhnya bahwa
dalam penulisan proposal ini masih terdapat banyak kekurangannya, sehingga kritik dan saran yang
membangun akan sangat berarti bagi penulis. Akhirnya, semoga proposal komprehensif ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang memerlukannya. Balikpapan, 24 February 2013
Penulis DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii KATA PENGANTAR
iii DAFTAR ISI iv I. JUDUL 1 II. LATAR BELAKANG 1 III. MAKSUD DAN TUJUAN
PENULISAN 1 IV. TINJAUAN PUSTAKA 2 4.1. Karakteristik Batuan Formasi 3 4.2. Sifat Fisik
Batuan 5 4.3. Dasar Lumpur Pemboran 14 V. METODOLOGI PENULISAN 24 VI. RENCANA
DAFTAR ISI 24 VII. RENCANA DAFTAR PUSTAKA 29 I. JUDUL PERENCANAAN
LUMPUR PEMBORAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK BATUAN DAN KONDISI
FORMASI YANG DITEMBUS II. LATAR BELAKANG Di dalam pekerjaan pemboran, pengaruh
karakteristik dan kondisi formasi terhadap perencanaan dalam penggunaan lumpur bor (drilling
fluid) merupakan hal yang sangat perlu diperhatikan dalam mencapai suatu keberhasilan dalam
operasi pemboran. Lumpur bor sangat berpengaruh terhadap kemampuan lapisan produktif yang
berkaitan dengan produktifitas formasi, sedangkan produktifitas formasi juga banyak dipengaruhi
oleh kerakteristik formasi reservoir suatu lapangan. Dengan demikian keterkaitan anatara lumpur
pemboran dan karakteristik formasi reservoir merupakan suatu sistem siklus yang saling
berhubungan. Oleh karena itu identifikasi reservoir yang akan ditembus, terutama yang berkaitan
dengan karakteristik batuan maupun fluida reservoir dan kondisi reservoir bawah permukaan harus
mutlak diketahui. Dalam hal ini pemakaian lumpur pemboran yang sesuai akan mengurangi efek
gangguan-gangguan yang timbul selama pemboran, yang nantinya diharapkan akan dapat hasil yang
optimal. Komposisi lumpur bor terdiri dari komponen cair, yaitu air, minyak atau campuran
keduanya, komponen padat yang terdiri dari padatan yang tidak bereaksi (inert solid) dan padatan
yang bereaksi (reactive solid) dan additive yaitu material-material campuran lain yang ditambahkan
ke dalam lumpur dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur pemboran sehingga dapat
digunakan sesuai dengan fungsi serta memperkecil kemungkinan atau mengatasi problem akibat
pemakaian lumpur pemboran tersebut tanpa menimbulkan perubahan-perubahan sifat fisik maupun
kimia reservoir akibat kontaminasi lumpur itu sendiri. Didalam pemilihan fluida pemboran
mempertimbangkan faktor-faktor meliputi jenis batuan formasi, tekanan, temperatur, kerapuhan
formasi dan jenis kandungan clay maupun garam dan efek lainnya. III. MAKSUD DAN TUJUAN
Penulisan komprehensif ini bertujuan untuk merencanakan lumpur pemboran yang akan digunakan
dalam operasi pemboran disuatu lapangan dengan berdasarkan karakteristik batuan yang akan
ditembus pada suatu lapangan. IV. TINJAUAN PUSTAKA 4.1. Karakteristik Formasi Yang
Ditembus 4.1.1. Karakteristik Batuan Batuan merupakan bahan pembentuk kerak bumi, sehingga
mengenal macam-macam dan sifat batuan adalah sangat penting. Batuan adalah semua bahan yang
menyusun kerak bumi dan merupakan suatu agregat (kumpulan) mineral-mineral yang telah
menghablur. Tidak termasuk batuan adalah tanah dan bahan lepas lainnya yang merupakan hasil
pelapukan kimia ataupun mekanis serta proses erosi batuan. Batuan dapat dibagi berdasarkan sifat-
sifat tertentu yang sekaligus menunjukkan cara terjadinya (klasifikasi genesis). Hal-hal yang
penting dalam mendeskripsikan batuan antara lain meliputi : 1. Tekstur, 2. Struktur penyusun, 3.
Komposisi mineral. Berdasarkan cara terbentuknya, batuan dibagi menjadi tiga jenis : 1. Batuan
beku (Igneous rock). Batuan yang berasal dari penghabluran mineral-mineral magma yang
mendingin, bertekstur hablur (kristalin). 2. Batuan sedimen (Sedimentary rock). Batuan yang
terbentuk dari hasil pengendapan bahan-bahan rombakan baik secara kimiawi maupun fisik dari
batuan sebelumnya, setelah mengalami proses transportasi melalui media : angin, sungai,
gelombang dan lain sebagainya, kemudian terendapkan di suatu tempat yang lazim disebut sebagai
sedimen klastik/sedimen mekanis. Sedangkan hasil pengendapan semua organis maupun proses
kimiawi disebut batuan sedimen non-klastik. 3. Batuan metamorf (Metamorfic rock). Merupakan
batuan ubahan oleh proses metamorfism. Perubahan batuan tanpa melalui fase cair terlebih dahulu,
dengan tekstur hablur (kristalin). 4.1.1.1. Batuan Beku Berdasarkan cara pembentukannya batuan
beku berasal dari pembekuan magma dari permukaan bumi, atau pembekuan magma di permukaan.
Pada umumnya sifat atau ciri batuan beku antara lain : 1. Umumnya kristalin, 2. Butirannya
interlocking secara rapat, 3. Masif. Mineral-mineral dari batuan beku yang sering dijumpai pada
umumnya terbentuk pada saat penurunan temperatur dari magma yang menerobos ke atas, peristiwa
ini dikenal dengan istilah penghabluran. 4.1.1.2. Batuan Sedimen Batuan sedimen adalah batuan
yang terjadi akibat lithifikasi hasil reaksi kimia tertentu dari hancuran batuan lain, diendapkan
dalam kenampakan berlapis, pada permukaan lithosfer dan pada kondisi tekanan dan temperatur
yang rendah. Lithifikasi batuan adalah proses yang meliputi kompaksi, yaitu proses terubahnya
material pembentuk batuan yang bersifat lepas (unconsolidated rock forming materials) menjadi
batuan yang kompak (consilidated, ciherent rock). Batuan sedimen dapat diklasifikasikan dengan
memperhatikan tekstur maupun struktur yang dimiliki batuan tersebut. A. Batu Pasir Batupasir
termasuk golongan batuan klastik detritus dan sebetulnya yang dimaksud batupasir disini adalah
batuan detritus yang pada umumnya berkisar dari lanau sampai konglomerat. Porositas yang
didapatkan didalam batupasir ini hanya bersifat intergranular. Pori-pori ini terdapat diantara butir-
butir dan khususnya terjadi secara primer, jadi rongga terjadi pada waktu pengendapan. Batupasir
merupakan reservoir yang paling banyak di dunia, 60 % dari pada semua batuan reservoir adalah
batupasir. B. Batuan Karbonat Batuan karbonat mempunyai 3 komposisi utama, yaitu Kalsite
(CaCO3), Dolomite (CaMg(CO3)2) dan Aragonite (CaCO3). Beberapa komposisi utama mineral
batuan karbonat tersebut juga dapat membentuk batuan dengan komposisi mineral baru, misalnya
batugamping (limestone) merupakan campuran antara kalsite dan aragonite, dolimitic limestone
atau calc-dolomite merupakan campuran antara kalsit dan dolomite. Mineral-mineral pada
batugamping umumnya terbentuk pada saat permulaan hingga proses lithifikasi berlangsung.
Diantaranya kalsedon, kuarsa, glaukonit, pirite, gypsum, anhidrite dan alkali feldspar. Apabila
batugamping kaya akan mineral aksesoris maka nama batuannya glaoconotic, sandy dan
argillaceous (lempung) C. Batuan Shale Shale merupakan batuan dengan tekstur berlapis
(laminated), berbutir halus, dengan kandungan mineralnya adalah lempung dan silt. Shale
mempunyai porositas yang kurang baik, tetapi jika mengalami peretakan maka permeabilitasnya
semakin besar sehingga dapat bertindak sebagai batuan reservoir. 4.1.1.3. Batuan Metamorf Batuan
metamorf adalah batuan yang terjadi karena proses ubahan dari batuan asal oleh suatu proses
metamorfisme. Batuan asal tersebut dapat terdiri dari batuan beku, batuan sedimen maupun batuan
metamorf itu sendiri. Proses metamorfisme yaitu suatu proses dimana batuan asal mengalami
penambahan atau kenaikan tekanan atau temperatur secara bersama-sama. Metamorfisme terjadi
dalam suatu lingkungan yang sangat berbeda dengan lingkungan dimana batuan asalnya terbentuk.
Banyak mineral-mineral hanya stabil dalam batas-batas tertentu dalam temperatur, tekanan, dan
kimiawi. Jika batuan tersebut dikenakan temperatur dan tekanan yang lebih tinggi, maka batas
kestabilan mineral dapat dilampaui, penyesuaian mekanis dan kimiawi dapat terjadi meliputi
proses-proses rekristalisasi, reorientasi batuan dan membentuk mineral-mineral baru dengan
penyusunan kembali elemen-elemen kimia yang sebelumnya sudah ada yang stabil dalam kondisi
baru dalam batas-batas tertentu. Proses ini berlangsung dari fase padat ke fase padat tanpa tanpa
melalui fase cair atau sering disebut sebagai proses isokimia, dimana komposisi kimia batuan asal
tidak berubah, tapi yang berubah adalah susunan mineraloginya sehingga terbentuk mineral baru.
4.2. Sifat Fisik Batuan Pada dasarnya semua batuan memiliki karakteristik masing masing sesuai
komposisinya, antara batuan dan lumpur pemboran terjadi interaksi langsung. Oleh karena itu
dalam identifikasi batuan selanjutnya akan banyak berhubungan dengan sifatsifat fisik terutama
batuan sedimen, disamping batuan beku atau metamorf. 4.2.1. Porositas Porositas ( ( ) didefinisikan
sebagai fraksi atau persen dari volume ruang pori pori terhadap volume batuan total (bulk
volume). Besarkecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida
reservoir. Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai : (2-1) Keterangan : Vb = Volume
batuan total (bulk volume) Vs = Volume padatan batuan total (volume grain) Vp = Volume ruang
pori-pori batuan. Porositas batuan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1. Porositas absolut,
adalah persen volume pori-pori total terhadap volume batuan total (bulk volume). (2-2) 2. Porositas
effektif, adalah persen volume poripori yang saling berhubungan terhadap volume batuan total
(bulk volume). (2-3) 3. Porositas total, adalah penjumlahan dari porositas absolut dengan porositas
effektif. 4.2.2. Permeabilitas Permeabilitas didefinisikan sebagai suatu bilangan yang menunjukkan
kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas batuan merupakan fungsi
dari tingkat hubungan ruang antar pori-pori dalam batuan Definisi kuantitatif permeabilitas
pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris dengan bentuk
differensial sebagai berikut : (2-4) Keterangan: V = kecepatan aliran, cm/sec m = viskositas fluida
yang mengalir, cp dP / dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm k = permeabilitas media
berpori. Tanda negatif pada Persamaan 2-4. menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam satu
arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa
anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam Persamaan 2-4 adalah : 1. Alirannya mantap (steady
state), 2. Fluida yang mengalir satu fasa, 3. Viskositas fluida yang mengalir konstan, 4. Kondisi
aliran isothermal, 5. Formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, 6. Fluidanya
inkompressibel. Permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu : Permeabilitas absolut, adalah
permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal
hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas effektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida
yang mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau
ketigatiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan
permeabilitas absolut. 4.2.3. Saturasi Fluida Pada umumnya formasi yang mengandung minyak
dipercaya bahwa dulunya merupakan batuan yang terinvasi oleh air kemudian terjebak di dalamnya.
Selanjutnya hidrokarbon berat dan mature melakukan migrasi dari posisi statis hingga mencapai
kesetimbangan dinamis (dynamic equilibrium) yang menggeser air di sela-sela bagian teratas dari
struktur reservoir. Minyak tidak bisa menggeser seluruh air yang berada mula-mula di pori-pori
batuan reservior. Sehingga batuan reservoir secara normal terisi oleh kedua fluida tersebut,
hidrokarbon dan air (sering kali disebut connate water) pada ruang pori-pori yang sama atau
berdekatan. Untuk menentukan kuantitas akumulasi hidrokarbon dalam pori batuan reservoir,
diperlukan juga saturasi fluida (gas, minyak dan air) dari material batuan tersebut. Saturasi fluida
batuan didefinisikan sebagai perbandingan antara volume pori total batuan yang ditempati oleh
suatu fluida tertentu dengan volume pori total pada batuan tersebut. Saturasi minyak (So) adalah:
(2-9) Saturasi air (Sw) adalah: (2-10) Saturasi gas (Sg) adalah: (2-11) Jika pori-pori batuan diisi
oleh gas-minyak-air maka berlaku hubungan: Sg + So + Sw = 1 (2-12) Jika diisi oleh minyak dan
air saja maka : So + Sw = 1 (2-13) Terdapat tiga pengertian yang penting mengenai saturasi fluida,
pengertian-pengertian yang dimaksud adalah sebagai berikut: Saturasi fluida akan bervariasi dari
satu tempat ke tempat lain dalam reservoir, saturasi air cenderung untuk lebih besar dalam bagian
batuan yang kurang porous, karena air lebih berat dari minyak dan minyak lebih berat dari gas,
sehingga akan cenderung terjadi gravity segregation dari ketiga fluida tersebut. Saturasi fluida
akan bervariasi dengan kumulatif produksi minyak. Jika minyak diproduksikan maka tempatnya di
reservoir akan digantikan oleh air dan atau gas bebas, sehingga pada reservoir apabila yang
diproduksikan minyak maka saturasi fluida berubah secara kontinyu. Saturasi minyak dan saturasi
gas sering dinyatakan dalam istilah pori-pori yang diisi oleh hidrokarbon. Jika volume contoh
batuan adalah V, ruang poriporinya adalah (V, maka ruang pori pori yang diisi oleh hidrokarbon
adalah: So.(.V + Sg.(.V = (1-Sw).(.V (2-14) 4.2.4. Kompresibilitas Batuan Menurut Geerstma
(1957) terdapat tiga konsep kompresibilitas batuan, antara lain : 1. Kompresibilitas matriks batuan,
yaitu fraksi perubahan volume material padatan (grains) terhadap satuan perubahan tekanan. 2.
Kompresibilitas bulk batuan, yaitu fraksi perubahan volume bulk batuan terhadap satuan perubahan
tekanan. 3. Kompresibilitas poripori batuan, yaitu fraksi perubahan volume poripori batuan
terhadap satuan perubahan tekanan. Batuan yang berada pada kedalaman tertentu akan mengalami
dua macam tekanan, antara lain : Tekanan hidrostatik fluida yang terkandung dalam poripori
batuan. Tekanan luar (external stress) yang disebabkan oleh berat batuan yang ada diatasnya
(overburden pressure). Pengosongan fluida dari ruang pori-pori batuan reservoir akan
mengakibatkan perubahan tekanan dalam pada batuan, sehingga resultan tekanan pada batuan akan
mengalami perubahan pula. Adanya perubahan tekanan ini akan mengakibatkan perubahan pada
butir-butir batuan, pori-pori dan volume total (bulk) batuan reservoir. Untuk padatan (grains) akan
mengalami perubahan yang serupa apabila mendapat tekanan hidrostatik fluida yang dikandungnya.
Perubahan bentuk volume bulk batuan dapat dinyatakan sebagai kompressibilitas Cr atau : (2-15)
Sedangkan perubahan bentuk volume pori-pori batuan dapat dinyatakan sebagai kompressibilitas
Cp atau : (2-16) Keterangan : Vr = Volume padatan batuan (grains). Vp = Volume pori-pori batuan.
P = Tekanan hidrostatik fluida di dalam batuan. P* = Tekanan luar (tekanan overburden). 4.2.5.
Wettabilitas Apabila dua fluida bersinggungan dengan benda padat, maka salah satu fluida akan
bersifat membasahi permukaan benda padat tersebut, hal ini disebabkan adanya gaya adhesi.
Gambar 2.11 memperlihatkan sistem air minyak yang kontak dengan benda padat, dengan sudut
kontak sebesar o(derajat). Sudut kontak diukur antara fluida yang lebih ringan terhadap fluida yang
lebih berat, yang berharga 0o-180o, yaitu antara air dengan padatan, sehingga tegangan adhesi (AT)
dapat dinyatakan dengan persamaan : AT = so- sw = wo x cos (wo (2-17) Keterangan : sso =
Tegangan permukaan minyakbenda padat, dyne/cm. ssw = Tegangan permukaan airbenda padat,
dyne/cm. swo = Tegangan permukaan minyakair, dyne/cm. qwo = Sudut kontak minyakair. Suatu
cairan dikatakan membasahi zat padat jika tegangan adhesinya positip ( q < 90o ), yang berarti
batuan bersifat water wet. Sedangkan bila air tidak membasahi zat padat maka tegangan adhesinya
negatip ( q > 90o), berarti batuan bersifat oil wet. 4.2.6. Tekanan Kapiler Tekanan kapiler ( Pc )
didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang ada antara permukaan dua fluida yang tidak
tercampur (cairan-cairan atau cairan-gas) sebagai akibat dari terjadinya pertemuan permukaan yang
memisahkan mereka. Besar tekanan kapiler ini dipengaruhi oleh adanya tegangan permukaan, sudut
kontak antara minyak-air-zat padat dan jari- jari lengkungan pori. Besarnya sudut kontak yang
terjadi berkisar antara 00 1800, dengan demikian dikenal dua system kebasahan, yaitu : a. Water
wet (basah air) Merupakan permukaan air yang menyebar, dimana dalam penyebarannya air
mempunyai kemampuan untuk membasahi batuan (benda padat), dengan sudut kontak yang terjadi
kurang dari 900. b. Oil wet (basah minyak) Merupakan permukaan minyak yang menyebar dalam
penyebarannya minyak mempunyai kemampuan untuk membasahi batuan (benda padat) dengan
sudut kontak yang terjadi lebih besar dari pada 900 dan lebih kecil dari 1800. Perbedaan tekanan
dua fluida ini adalah perbedaan tekanan antara fluida nonwetting phase (Pnw) dengan fluida
Wetting phase (Pw) 4.2.7. Densitas Batuan Densitas batuan atau satuan berat batuan adalah
spesific weight yang dinyatakan dalam pound per cubic feet atau kilo Newton per cubic meter.
Spesific gravity suatu padatan (G) adalah perbandingan densitas padatan dengan densitas air, yang
diperkirakan mendekati 1gram-force/cm3 (9.8KN/m3 atau 0.01 MN/m3. Densitas dibedakan
menjadi dua, yaitu : Natural density (bobot isi asli). Dry density (bobot isi kering). 4.3. Dasar
Lumpur Pemboran Pada mulanya dalam operasi pemboran hanya menggunakan air untuk
mengangkat serpih batuan (cutting). Seiring berkembangnya teknologi, maka lumpur pemboran
mulai digunakan. Untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur, zat-zat kimia (additive) ditambahkan dan
akhirnya digunakan pula udara dan gas untuk pemboran walaupun penggunaan lumpur tetap
bertahan. Lumpur pemboran merupakan cairan yang berbentuk lumpur, dibuat dari pencampuran
zat cair, zat padat dan zat kimia. 4.3.1. Fungsi Lumpur Pemboran Fungsi lumpur pemboran itu
sendiri meliputi : Mengangkat cutting ke permukaan, Mendinginkan dan melumasi bit dan
drillstring, Memberi dinding pada lubang bor dengan mud cake, Mengontrol tekanan formasi,
Membawa cutting dan material pemberat pada suspensi jika sirkulasi lumpur dihentikan sementara,
Melepaskan cutting dan pasir di permukaan, Menahan sebagian berat drillpipe dan casing,
Mengurangi efek negative pada caving formasi, Mendapatkan informasi dari mud logging, Media
logging. 4.3.2. Komposisi Lumpur Pemboran 4.3.2.1. Komponen Cair. Fasa cair yang dimaksud
adalah air, yang merupakan fasa kontinyu dari fresh water maupun salt water, tergantung pada
tersedianya air yang akan digunakan di lapangan. Fungsi utama dari fasa kontinyu cair adalah
memberikan inisial viskositas yang selanjutnya dapat dimodifikasi untuk mendapatkan sifat
rheologi lumpur yang diinginkan pada kondisi standart, yaitu pada 14.7 psi dan 60F, viskositas air
sama dengan 1.1 cp. Fasa cair dari lumpur pemboran merupakan fase dasar dari lumpur yang mana
dapat berupa air atau minyak atau pun keduanya yang disebut dengan emulsi. Emulsi ini dapat
terdiri dari dua jenis yaitu emulsi minyak didalam air atau emulsi air didalam minyak. Fasa cair
lumpur pemboran meliputi : 1. Air Lebih dari 75% Lumpur pemboran menggunakan air, disini air
dapat dibagi menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin, sedangkan air asin sendiri dapat dibagi
menjadi dua, air asin jenuh (brine) dan air asin tak jenuh. Untuk pemilihan air hal ini tentu
disesuaikan dengan lokasi setempat, manakah yang mudah didapat dan disesuaikan juga dengan
formasi yang akan ditembus. Viskositas air merupakan fungsi dari temperatur, tekanan dan
konsentrasi larutan garam. Dengan meningkatnya temperatur, maka volume akan mengembang
dengan ditandai friksi molekul yang rendah sehingga terjadi resisten alirannya kecil, viskositas air
menurun. Efek temperatur terhadap viskositas air dapat dilihat pada Gambar 3.1. Sedangkan air,
jika mendapatkan tekanan maka akan mengalami kenaikan resitansi aliran akibat berkurangnya
volume total. Secara umum pengaruh temperatur dan tekanan pada fasa kontinyu cair sangat kecil
sehingga dapat diabaikan. Sedangkan viskositas air asin naik selain dipengaruhi temperatur dan
tekanan, juga dipengaruhi oleh kenaikan konsentrasi garam, dimana biasanya viskositas lebih besar
1,7 kali dari fresh water pada temperatur yang sama. 2. Emulsi Invert emulsions adalah
pencampuran minyak dengan air dan mempunyai komposisi minyak 50 70 % (sebagai fasa
continyu) dan air 30 50 % (sebagai fasa discontinyu) emulsi terdiri dari dua macam, yaitu : Water
in oil Emulsion dan Oil in water emulsion. Oil in Water Emulsion. Disini air merupakan fasa yang
kontinyu dan minyak sebagai fasa yang terelmusi. Air bisa mencapai 70 % volume sedangkan
minyak sekitar 30 % volume. Water in Oil Emulsion. Disini fasa kontinyu yang dimaksud adalah
minyak sedangkan fasa yang terelmusi adalah air. Minyak bisa mencapai sekitar 50 70% volume
sedangkan air 30 50% volume. 3. Minyak Fasa cair jenis ini berupa minyak, maka minyak yang
digunakan merupakan minyak yang diolah (refined oil). Tabel III-1 merupakan rekomendasi untuk
penggunaan diesel ataupun crude oil sebagai fase emulsi. Minyak yang digunakan harus
mempunyai sifat sifat sebagai berikut: Aniline Number yang tinggi. Aniline number merupakan
suatu angka yang menunjukkan kemampuan untuk melarutkan karet. Makin tinggi aniline number
suatu minyak maka kemampuan melarutkan karet makin kecil. Dalam operasi pemboran banyak
peralatan yang dilewati lumpur berupa karet, seperti pada pompa lumpur, packer, plug untuk
penyemenan dan lain-lain. Flash Point yang tinggi. Flash Point adalah suatu angka yang
menunjukkan dimana minyak akan menyala. Makin rendah flash point suatu minyak, maka
penyalaan akan cepat terjadi, atau minyak makin cepat terbakar. Pour Point yang rendah. Pour
Point adalah suatu angka yang menunjukkan pada temperatur berapa minyak akan membeku. Jadi
kita tidak menginginkan lumpur bahan dasar minyak yang cepat membeku. Molekul minyak yang
stabil, dengan kata lain tidak mudah terpecahpecah. Mempunyai bau serta fluorencensi yang
berbeda dengan minyak mentah (crude oil). Kalau tidak demikian maka akan sulit untuk
menyelidiki apakah minyak berasal dari formasi yang ditembus atau berasal dari bahan dasar dari
lumpur. 4.3.2.2. Komposisi Padat Fasa solid merupakan fasa padatan yang ditambahkan dalam
lumpur yang berfungsi untuk memberikan kenaikan berat jenis dan untuk membuat lumpur
mempunyai kekentalan tertentu. Secara garis besar, berdasarkan daya kerekatifannya terhadap
komponen komponen dalam lumpur dan kondisi formasinya, fasa solid lumpur pemboran
dikelompokkan menjadi dua, yaitu : inert solid dan reactive solid. 3.2.2.1. Inert Solid. Inert solid
merupakan komponen padatan dari lumpur yang tidak bereaksi dengan fasa cair lumpur pemboran.
Didalam lumpur pemboran inert solid berguna untuk menambah berat atau berat jenis lumpur, yang
tujuannya untuk menahan tekanan dari formasi. Inert solid dapat pula berasal dari formasi-formasi
yang di bor dan terbawa oleh lumpur seperti chert, pasir atau clay-clay nonswelling, dan padatan
seperti ini bukan disengaja untuk menaikkan density lumpur dan perlu dibuang secepat mungkin
(biasanya menyebabkan abrasi dan kerusakan pompa dan lain-lain). Dengan alasan bahwa berat
clay ditambah air dalam lumpur pemboran dianggap kurang mampu untuk menahan dan mengontrol
tekanan formasi, maka berat material yang terkandung dalam lumpur harus ditambah untuk
memperoleh berat lumpur yang diinginkan. Material pemberat adalah material yang secara kimiawi
memilki berat jenis atau densitas cukup untuk mengimbangi tekanan hidrostatik yang berkembang.
Beberapa material pemberat inert solid harus memberikan harga berat jenis yang tinggi dan
memiliki watabilitas terhadap air. Material pemberat yang digunakan dalam lumpur harus water-wet
sesuai dengan suspensi fasa kontinyunya. Lapisan film tebal yang terbentuk pada permukaan water-
wet seperti barite, akan meningkatkan daya melumasi (lubricant) lumpur. Penambahan material
pemberat juga meningkatkan volume total lumpur yang merupakan fungsi berat jenis material
tertentu. Berkembangnya volume total, hasil dari penambahan berat jenis lumpur yang besar, akan
memerlukan penanganan lumpur di permukaan sehingga perhitungan dalam penambahan material
pemberat merupakan prioritas permulaan yang harus diperhatikan. Inert solid yang memberikan
kontribusi terhadap kandungan padatan dalam lumpur akan sangat berpengaruh terhadap sifatsifat
lumpur pemboran. Sebagai contoh yang umum digunakan sebagai inert solid dalam lumpur
pemboran adalah : Barite (BaSO4). Keuntungan menggunakan barite adalah murah harganya, barit
jenis 4,2 bersih, tidak reaktif mengadung impurities silica sedikit, berwarna putih dan mempunyai
kekerasan 2,5 3,5 skala mohs. Oksida Besi (Fe2O3). Mempunyai sifat yang kurang sempurna
bila dibanding dengan barite, karena barasif dan berwarna merah, selain itu biaya transportasi dan
pengolahan selama proses pembuatannya mahal. Calcium Carbonat (CaCO3). Digunakan terutama
pada oil base mud dan mengakibatkan settling ratenya rendah, mempunyai berat jenis 2,7 dan dapat
diperoleh dari kulit kerang atau shell yang dihaluskan kemudian dicuci dan dikeringkan. Galena
(PbS). Pada formasi yang mempunyai tekanan abnormal umumnyamenggunakan galena, karena
mempunyai berat jenis yang lebih besar yaitu 6,8 sehingga diharapkan dapat untuk mengimbangi
tekanan normal formasi. 3.2.2.2. Reactive Solid. Reactive solid atau fasa padatan yang bereaksi
dengan sekelilingnya membentuk koloid yang merupakan suspensi yang reaktif terdispersi dalam
fasa kontinyu (sifat koloid lumpur yang merupakan lembaran clay yang berukuran 10- 20 Amstrong
dan terdispersi dalam fasa kontinyu air). Dalam hal ini clay akan menghisap fasa cair air dan
memperbaiki lumpur dengan meningkatkan densitas, viskositas, gel strength serta mengurangi fluid
loss. Mud engineer biasanya membagi clay yang digunakan untuk lumpur menjadi tiga, yaitu :
montmorillonite, kaolinite dan illite. Montmorillonite yang paling sering digunakan karena
kemampuannya yang mudah swelling menghasilkan clay yang homogenous bercampur dengan
fresh water. Dalam literature pemboran manual, montmorillonite direferensikan dengan bentonite,
karena bentonite identik dengan clay montmorillonite. 4.3.3. Additive Lumpur Lumpur secara
konvensional terdiri dari dua komponen fasa seperti yang telah disebutkan sebelumnya, namun
hingga kini telah dibuatkan formulasi secara kimawi dengan tujuan-tujuan tertentu, yang terdiri dari
organik dan inorganik. Fasa ini lazim dikenal dengan zat-zat additif untuk lumpur pemboran.
Didalam lumpur pemboran selain terdiri atas komponen pokok lumpur, maka ditambahkan additif
yang berfungsi mengontrol dan memperbaiki sifat-sifat lumpur agar sesuai dengan keadaan formasi
yang dihadapi selama operasi pemboran. Berikut ini akan disebutkan beberapa additif yang
dimaksud. 4.4.3.1. Material Pemberat (Weighting agent) Material pemberat adalah bahan bahan
yang memiliki specific gravity tinggi yang ditambahkan kedalam lumpur untuk menaikan densitas
fluida guna mengontrol tekanan formasi, bahan yang biasa digunakan sebagai Weighting agent
adalah sebagai berikut: Barite (BaSO4). Galena (PbS). Calcium Carbonat (CaCO3). Ilmenite
(FeO TiO2) Hematite (Fe2O3) Larutan garam (Brine Solution) Sodium Chloride (NaCl)
Chloride (CaCl2) 4.4.3.2. Pengental (Viscosifier) Viscosifier digunakan untuk menaikkan viscositas
pada lumpur, bahan yang digunakan sebagai viscosifier adalah sebagai berikut: Bentonite
Sepiolite Attapulgite Asbestos fiber Xanthan gum Sodium carboxymethyl cellulose (CMC)
4.4.3.3. Pengencer (Thinner) Thinner digunakan untuk menurunkan atau mengurangi viskositas
pada lumpur atau sebagai pengencer, dengan cara memutus ikatan plat-plat clay yang melalui tepi
(edge) dan muka (face) yang kemudian menyambungkan dirinya dengan plat clay sehingga dapat
menahan gaya tarik antar lembaran clay. Bahan yang digunakan sebagai thinner antara lain adalah:
Lignosulfonate Phosphat SAPP (Sodium Acid Phyrophosphat) SHMP (Sodium
Hexametaphospate) STP (Sodium Tetraphospate) TSPP (Tetra Sodium Phospate) Quebracho
(Tannate) Lignite Air (Water) 4.4.3.4. Fluid Loss Control Digunakan untuk menjaga integritas
lubang, melindungi lumpur dari shale yang sensitif terhadap air dan meminimalkan hole wash out
untuk mencapai casing cement job yang lebih baik. Ada berbagai jenis additif lumpur yang
digunakan untuk mengontrol fluid loss. Pada umumnya bahan ini digunakan bersamaan dengan
bentonite, sementara sebagian lain digunakan secara terpisah dengan kandungan clay yang ada pada
lumpur. Bentonite Merupakan bahan multi guna yang membantu mengontrol fluid loss, suspensi
barite dan viskositas untuk kemampuan pembersihan lubang bor, pada range 6 % berat cocok untuk
mengurangi fluid loss. Batasan penggunaan bahan ini sebagai fluid loss antara lain: Tidak cocok
digunakan pada konsentrasi ion sodium, kalsium atau pottasium yang tinggi tanpa prehidrasi,
Rentan terhadap kontaminasi pada formasi garam atau anhydrite (CaSO4) Clay rentan terhadap
panas dalam bentuk flokulasi clay yang meningkatkan fluid loss. Starch (Pregelantized) Dapat
berfungsi dengan baik dengan hadirnya ion kalsium dan sodium. Cocok digunakan untuk lumpur
salt water atau lime. Batasan penggunaan pada kisaran temperatur 250 0F. Sodium carboxymethyl
cellulose (CMC) Merupakan produk untuk penanganan fluid loss dan viscosifier, sangat aktif
meskipun ada kontaminasi oleh ion konsentrasi tinggi. Cocok digunakan pada lumpur inhibited
mud. CMC dapat stabil hingga penggunaan pada temperatur 300 0F. X C Polymer Dihasilkan
dari Polysaccaride gum, stabil terhadap adanya kandungan garam. Bahan ini bersifat membangun
viskositas, struktur gel dan viskositas rendah pada shear rate yang tinggi. Ben X Rantai panjang
polymer yang dirancang penggunaanya untuk low solid muds, bahan ini mengikat partikel clay
bersamaan pada shear rate yang rendah. Lignins, Tannins dan Lignosulfonate Produk-produk ini
memiliki stabilitas yang baik pada kisaran temperatur 3500F 4000F, namun formulasi khusus
lignite dapat menghasilkan stabilitas hingga mencapai temperatur 450 0F. Kekurangan lignins
adalah rentan terhadap kontaminasi ion kalsium yang dapat mnyebabkan flokulasi. Lignins
cenderung menangkap ion kalsium yang dapat mengurangi keeffektifannya sebagai fluid loss agent.
4.4.3.5. Lost Circulation Material (LCM) Digunakan untuk mengurangi efek masuknya lumpur
kedalam formasi dan untuk mendapatkan kembali sirkulasi setelah terjadi hilang sirkulasi. Lost
circulation material dapat definisikan sebagai material yang menyumbat (sebagai seal / penyekat)
pada lapisan permeabel ataupun fractured formation guna mencegah hilangnya lumpur pemboran.
Sebagian besar bahan ini digunakan untuk penanganan lost of circulation. Material-material ini
dapat dikategorikan kedalam empat macam, yaitu: Fibrous Lost-Circulation Materials Flake
Lost-Circulation Materials Granular Lost-Circulation Materials Blended Lost-Circulation
Materials Slurries V. METODOLOGI PENULISAN Metode yang dikembangkan dalam
penyusunan kolokium ini berasal dari pustaka buku-buku literatur, handbook dan majalah
perminyakan yang berhubungan dengan tema, yang dituangkan dalam setiap bab dan sub-bab pada
rencana daftar isi. VI. RENCANA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN
PENGESAHAN HALAMAN PERSEMBAHAN RINGKASAN KATA PENGANTAR DAFTAR
ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I. PENDAHULUAN
BAB I I. KARAKTERISTIK FORMASI YANG DITEMBUS 2.1. Karakteristik Batuan 2.1.1.
Batuan Beku. 2.1.1.1. Tekstur Batuan Beku 2.1.1.2. Struktur Batuan Beku 2.1.1.3. Komposisi
Mineral Batuan Beku 2.1.1.4. Klasifikasi Batuan Beku 2.1.2. Batuan Sedimen 2.1.2.1. Batupasir
2.1.2.2. Batuan Karbonat 2.1.2.3. Batuan Shale 2.1.3. Batuan Metamorf 2.1.3.1. Tekstur Batuan
Metamorf 2.1.3.2. Struktur Batuan Metamorf 2.1.3.3. Komposisi Mineral Batuan Metamorf 2.1.3.4.
Klasifikasi Batuan Metamorf 2.1.4. Sifat Fisik Batuan 2.1.4.1. Porositas 2.1.4.2. Permeabilitas
2.1.4.3. Saturasi Fluida 2.1.4.4. Kompresibilitas Batuan 2.1.4.5. Wettabilitas 2.1.4.6. Tekanan
Kapiler 2.1.4.7. Densitas Batuan 2.1.5. Sifat Mekanik Batuan 2.1.5.1. Compresive Strength 2.1.5.2.
Elasticity 2.1.5.3. Drillability 2.1.5.4. Hardness 2.1.5.5. Abrasiveness 2.2. Kondisi Bawah
Permukaan 2.2.1. Tekanan Hidrostatik 2.2.2. Tekanan Overburden 2.2.3. Tekanan Formasi 2.2.3.1.
Tekanan Formasi Normal 2.2.3.2. Tekanan Formasi Abnormal 2.2.3.3. Tekanan Formasi Subnormal
2.2.3.4. Tekanan Rekah Formasi 2.2.2. Temperatur Bawah Permukaan BAB.III. DASAR LUMPUR
PEMBORAN 3.1. Fungsi Lumpur Pemboran 3.1.1. Mengangkat cutting ke permukaan. 3.1.2.
Mendinginkan dan melumasi bit dan drillstring. 3.1.3. Memberi dinding pada lubang bor dengan
mud cake. 3.1.4. Mengontrol tekanan formasi. 3.1.5. Membawa cutting dan material pemberat
3.1.6. Melepaskan cutting dan pasir di permukaan. 3.1.7. Menahan sebagian berat drillpipe dan
casing. 3.1.9. Mendapatkan informasi dari mud logging. 3.1.10. Media logging. 3.2. Komponen
Lumpur Pemboran. 3.2.1. Komponen Cair. 3.2.2. Komponen Padat. 3.2.2.1. Inert Solid. 3.2.2.2.
Reactive Solid. 3.2.3. Additive Lumpur 3.2.3.1. Material Pemberat (Weighting agent) 3.2.3.2.
Pengental (Viscosifier) 3.2.3.3. Pengencer (Thinner) 3.2.3.4. Fluid Loss Control 3.2.3.6.
Emulsifier 3.2.3.7. Additive Khusus 3.3. Sifat Fisik Lumpur Pemboran 3.3.1. Densitas 3.3.2.
Viskositas 3.3.3. Gel Strength 3.3.4. Yield Point 3.3.5. Sand Content 3.4. Sifat Kimia Lumpur
Pemboran. 3.4.1. Padatan 3.4.2. pH 3.4.3. Kesadahan 3.4.4. Alkalinitas 3.4.5. Salinitas 3.5. Jenis
Lumpur Pemboran 3.5.1. Water Base Muds 3.5.1.1. Fresh Water Muds 3.5.1.2. Salt Water Muds
3.5.2. Oil in Water Emulsion Muds 3.5.2.1. Fresh Water 3.5.2.2. Salt Water 3.5.3. Oil Base dan Oil
Base Emulsion Muds 3.5.4. Gaseous Drilling Fluids 3.6. Hidrasi Clay 3.6.1. Dispersi 3.6.2.
Flokulasi 3.6.3. Aggregasi 3.6.4. Deflokulasi 3.7. Pemeliharaan Lumpur Pemboran BAB. VI.
PERENCANAAN LUMPUR PEMBORAN 4.1. Rheologi Lumpur Pemboran 4.1.1. Klasifikasi
Fluida Pemboran 4.1.1.1. Fluida Newtonian 4.1.1.2. Fluida Non Newtonian 4.1.2. Sifat Aliran
Lumpur Pemboran 4.1.1.1. Aliran Laminar 4.1.1.2. Aliran Turbulen 4.2. Kondisi kondisi yang
Mempengaruhi Perencanaan Lumpur Pemboran 4.2.1. Pengaruh Karakteristik Batuan dan Kondisi
Formasi 4.2.1.1. Tipe Formasi 4.2.1.2. Kandungan Shale dan Clay 4.2.1.3. Filtrate Loss 4.2.1.4.
Kandungan Kepasiran 4.2.1.5. Gas Cutting 4.2.1.6. Tekanan Formasi 4.2.1.7. Temperatur Bawah
Permukaan 4.2.2. Pengaruh Proses Pemboran 4.2.2.1. Pipa Terjepit (Pipe Sticking) 4.2.2.2. Shale
Problem 4.2.2.3. Lost Circulation 4.2.2.4. Kick dan Blow Out 4.3. Faktor Yang Mempengaruhi
Perencanaan Lumpur Pemboran 4.3.1. Faktor Formasi 4.3.1.1. Formasi Batuan Pasir 4.3.1.2.
Formasi Batuan Karbonat 4.3.1.3. Formasi Shale 4.3.1.4. Formasi Garam 4.3.2. Tekanan dan
Temperatur Tinggi 4.3.2.1. Tekanan Formasi 4.3.2.2. Temperatur Tinggi 4.3.3. Kontaminasi Pada
Lumpur Pemboran 4.4. Pengontrolan Lumpur Pemboran. 4.4.1. Densitas Lumpur 4.4.2. Viskositas
Lumpur 4.4.2.1. Pengaturan Viskositas 4.4.2.2. Pemilihan Viskositas Lumpur. 4.4.3. Efek Invasi
Lumpur Pemboran 4.4.3.1. Mekanisme Invasi Lumpur Pemboran 4.4.3.2. Pengukuran Volume
Filtrat Lumpur 4.4.3.3. Pengaruh Komposisi Kimia Filtrat Lumpur 4.4.3.4. Pengaruh Padatan
Lumpur Pemboran 4.4.3.5. Mengurangi Pengaruh pengaruh Filtrat Lumpur 4.4.4. Distribusi
Kecepatan di Annulus 4.4.5. Efek Rotasi dari Drill Pipe BAB. V. PEMBAHASAN BAB. VI.
KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN VII. RENCANA DAFTAR PUSTAKA Amoco
Production Company. Drilling Fluids Manual Bailey. T. 8/94. Overview of KCl / PHPA Polymer
Muds M3. Miri. Sedco 600 Baroid The Complete Fluids Company Handbook Dowell Drilling
Fluids Technical Manual Schlumberger Ketua Jurusan M. Nur Mukmin. ST Pembimbing M. Nur
Mukmin. ST 1

Anda mungkin juga menyukai