Makalah
Oleh :
Aditya Hernoto
011323042
Indeks Pembangunan Manusia provinsi NTB tahun 2011 tercatat 66,23 dan
tergolong dalam kelompok menengah bawah. Angka ini jauh di bawah rata-rata
nasional dan menempati posisi 32 dari 33 provinsi di Indonesia. Rendahnya IPM
Provinsi NTB disebabkan oleh rendahnya kinerja bidang pendidikan dan
kesehatan, sementara kinerja ekonomi yang ditunjukkan oleh daya beli
masyarakat sudah cukup tinggi. Umur harapan hidup masyarakat NTB pada tahun
2011 mencapai 62,4 tahun. Angka melek huruf serta rata-rata lama sekolah
masing-masing mencapai 83,24 persen dan 6,97 tahun. Kemampuan Daya Beli
Masyarakat NTB tahun 2011 mencapai Rp. 642.800,- per kapita per bulan. Di lain
pihak, kecepatan pembangunan manusia yang tercermin dari besaran angka
reduksi shortfall, maka NTB termasuk provinsi yang tinggi kenaikannya yaitu
sebesar 2,97 point di tahun 2011.
Pertanian merupakan sektor andalan di Provinsi NTB dimana sumbangan sektor
pertanian terhadap perekonomian di NTB tercatat nomor dua setelah sektor
pertambangan dan penggalian. Hampir 50 persen dari tenaga kerja yang ada
bekerja di sektor ini. Provinsi NTB ditetapkan sebagai daerah swasembada beras
dan juga sebagai salah satu daerah penyangga pangan nasional. Produksi padi di
NTB tahun 2011 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2010 yaitu sebesar
6,98 persen atau 123.834 ton (BPS 2012). Mesti luas panen sedikit menurun,
namun meningkatnya produktivitas yaitu dari 47,41 kw/ha menjadi 51,41 kw/ha
merupakan penyebab terjadinya peningkatan produksi
itu. Hampir semua komoditas padi dan palawija mengalami peningkatan produksi
pada tahun 2011, kecuali ubi jalar dan kedelai.
Tingkat kemiskinan di provinsi NTB terus mengalami penurunan namun masih
tergolong tinggi. Data terakhir menunjukkan bahwa angka kemiskinan tahun 2012
adalah 18,02 % jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional (11,66 %). Provinsi
NTB telah menetapkan indikator kinerja pembangunan tahun 2012, untuk
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen dan angka kemiskinan 16 persen.
Namun realisasinya ternyata di bawah target yakni 18,02 persen untuk kemiskinan
dan 5,72 persen untuk pertumbuhan ekonomi.
Arena Masyarakat Sipil mencatat nilai yang sama untuk keenam prinsip yakni
6,40 dan masuk dalam kategori cenderung baik. Nilai partisipasi dan efektivitas
rata-rata nasional tercatat lebih baik dibandingkan NTB yakni masing-masing
6,53 dan 6,48 sementara keadilan (6,28), akuntabilitas (6,17), transparansi (6,28)
dan efisiensi (6,22) menunjukkan kinerja NTB di atas rata-rata nasional.
Dari kesimpulan di atas dan bahasan pada bab sebelumnya dapat dijabarkan
sejumlah rekomendasi, sebagai berikut.
1. Pemerintah provinsi NTB perlu meningkatkan anggaran APBD per kapita
untuk non-belanja pegawai pada bidang pendidikan, kesehatan dan
penanggulangan kemiskinan. Alokasi anggaran untuk ketiga bidang ini di
NTB jauh di bawah rata-rata nasional. Peningkatan anggaran hendaknya
dialokasikan untuk program-program yang berorientasi pada hasil (outcome)
dan dampak (impact).
2. Tingkat kemiskinan penduduk NTB masih relatif tinggi, jauh di atas angka
nasional. Demikian pula dengan Indeks Pembangunan Manusia yang rendah,
menempati posisi 32 dari 33 provinsi. Kondisi ini diperparah dengan tingkat
kesenjangan (gini ratio) dan lebarnya disparitas pendapatan antar
kabupaten/kota dan provinsi. Terhadap hal ini, Pemerintah Provinsi hendaknya
mampu mendorong pemerintah kabupaten kota yang teridentikasi memiliki
kinerja buruk terhadap indikator-indikator tersebut.
3. Pemerintah provinsi hendaknya mampu meningkatkan kualitas lingkungan
hidup baik menyangkut air, udara, dan tutupan hutan. Data yang ada
menunjukkan kualitas lingkungan hidup NTB berada di bawah rata-rata
nasional. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keseimbangan dan
keserasian antara penduduk dan lingkungan hidup.
4. Pemerintah provinsi NTB hendaknya mampu mendorong peningkatan nilai
investasi yang sekaligus diharapkan berperan dalam membuka lapangan kerja
baru. Terkait hal ini, tidak saja diperlukan kemudahan untuk mengurus
perijinan tetapi diperlukan juga jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para
investor.
5. Di bidang pendidikan masih nampak kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan. Demikian pula dengan kesempatan sebagai anggota legislatif
maupun menempati jabatan eksekutif. Untuk itu, program-program yang
berorientasi pada kesetaraan jender diperlukan untuk mempersempit
kesenjangan itu.
6. Melihat kondisi sosial ekonomi NTB yang relatif memprihatinkan, prioritas
program hendaknya berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin dengan
banyak melibatkan mereka mulai dari perencanaan hingga monev partisipatif.
Dengan demikian pro-poor program and pro-poor budget tidak sekedar slogan.
7. Studi ini terkesan sangat komprehensif dengan penerapan metode yang ketat
dan rumit terhadap 89 indikator. Hal ini sekaligus memunculkan issu metodologis.
Penggunaan tiga sumber data (obyektif, subyektif, dan penilaian) yang tidak
seimbang pada arena dan prinsip merupakan satu keterbatasan studi ini. Sebagai
contoh, semua indikator kinerja Masyarakat Sipil didasarkan atas penilaian
subyektif yang didasarkan atas persepsi WIP. Hal ini menyebabkan homogenitas
skor semua indikator pada keenam prinsip tata pemerintahan yang dinilai.
Demikian pula, hampir semua indikator Masyarakat Ekonomi didasarkan atas
penilaian subyektif, sehingga skornya menyerupai apa yang ditunjukkan oleh
Masyarakat Sipil. Selain itu, penerapan central tendency (dalam hal ini median)
untuk data kategorik/ordinal yang ditransformasikan menjadi data kontinyu juga
memunculkan persoalan/perdebatan tersendiri.