Anda di halaman 1dari 16

mengandung 4000 jenis bahan kimia dengan berbagai jenis daya kerja terhadap

tubuh.5

2.1.2 Kandungan Rokok

Setiap kali menghisap sebatang rokok, beresiko terpapar 45 jenis bahan

kimia beracun. Sebenarnya terdapat lebih dari 200 unsur. Beberapa senyawa penting

namun berbahaya adalah lutidin, rubidin, formaldehide, asam karbolik, metalimin,

akreolit, colidi, viridin, arsenik, asamformik, nikotin, hidrogen sulfida, pirel, furfurol,

benzopiren, metil alkohol, asam hidrosianik, korodin, amonia, metana, karbon

monoksida, dan piridin.6

1. Nikotin

Nikotin adalah obat perangsang ( stimulus drug ) yang biasa memberikan

rangsangan, ketagihan, perasaan senang sekaligus menyenangkan. Nikotin berbentuk

cairan, tidak berwarna, merupakan basa yang mudah menguap. Nikotin berubah

warna menjadi coklat dan berbau mirip tembakau setelah bersentuhan dengan udara

kadarnya dalam tembakau antara 12%.6

Nikotin mendorong terjadinya adhesi platelet yang diasosiasikan dengan penyakit

kardiovaskuler dan hipertensi. Nikotin merupakan bahan yang mempunyai aktifitas

biologi yang poten yang akan menaikkan tingkat epinefrin dalam danah, menaikkan

tekanan darah, menambah denyut jantung dan menginduksi vasokonstriksi perifer.

Nikotin selain dimetabolisme di hati, paru-paru dan ginjal, juga diekskresi melalui air

susu.6

6
Nikotin dengan produk dekomposisi, khususnya pyridine merupakan substansi

penghasil stain yang sering terlihat pada gigi perokok. Unsur tersebut akan

membentuk deposit berpigmen yang melekat erat pada permukaan gigi, berwarna

coklat sampai hitam serta menimbulkan bau yang menyengat. Stain selain

menimbulkan problem estetik juga menyebabkan iritasi gingival dengan

menciptakan permukaan gigi yang kasar sehingga menunjang akumulasi dan retensi

plak.6

Pada perokok berat, kadar nikotin dalam air susu dapat mencapai 0,5 mg/l.

Nikotin umumnya diyakini menyebabkan gejala akut yang berkembang setelah

merokok dan menyebakan terganggu kesehatannya apabila merokok terus-menerus.6

2. Karbondioksida

Karbondioksida adalah gas tidak berwarna dan tidak berbau. Karbondioksida

mengikat hemoglobin dalam darah untuk membentuk carboxyhemoglobin yang 2,1

kali lebih kuat daripada mengikat oksigen dengan hemoglobin untuk membentuk

oksihemoglobin. Karbondioksida tidak hanya untuk hemoglobin, tetapi juga untuk

banyak protein lainnya (Goldsmith et al 1958). Konsentrasi karbondioksida dalam

asap rokok dari sekitar 2,9-5,1%. Asap rokok ini mengandung gas dan bahan-bahan

kimia yang bersifat racun atau karsionogenik.6

3. Tar

Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-

paru. Tar adalah kumpulan dari ratusan bahkan ribuan bahan kimia dalam komposisi

padat asap rokok setelah dikurangi nikotin dan air. Tar ini mengandung bahan-bahan

7
karsinogen (dapat menyebabkan kanker). Kandungan tar di Indonesia berkisar antara

19-33 mg. 6

2.1.3 Klasifikasi Perokok dan Jenis Rokok

1. Klasifikasi Perokok

Menurut Sitopoe (2000), perokok dibagi atas empat bagian yaitu :

a. Perokok ringan adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 1-10

batang perhari.
b. Perokok sedang adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 11-20

batang perhari
c. Perokok berat adalah seseorang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20

batang perhari.7

2. Jenis Rokok

Rokok dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan ini didasarkan atas bahan

pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan

penggunaan filter pada rokok.7

Rokok berdasarkan bahan pembungkus yaitu :

Rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung.


Kawung: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren.
Sigaret: rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas.
Cerutu: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau.

Rokok berdasarkan bahan baku atau isi yaitu :

Rokok Putih: rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau yang

diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.

8
Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan

cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau,

cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan

aroma tertentu.

Rokok berdasarkan penggunaan filter yaitu :

Rokok Filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.
Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat

gabus.

2.1.4 Kebiasaan Merokok

Kebiasaan merokok tidak terjadi secara kebetulan karena ada beberapa tahap

yang dilalui seorang perokok sebelum ia menjadi perokok regular yaitu seseorang

yang telah menganggap telah menjadi bagian dari hidupnya. Seperti yang telah

diungkapkan oleh Leventhal dan Clearly terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok

sehingga menjadi perokok yaitu:7

a. Tahap Preparatory
Seseorang mendapatkan gambaran yang menyenangkan gambaran yang

menyenangkan mengenai merokok dengan cara mendengar, melihat, atau dari

hasil bacaan. Hal-hal menimbulkan minat untuk merokok.


b. Tahap Intiation
Tahap perintisan merokok yaitu tahap apakah seseorang akan meneruskan

ataukah tidak terhadap perilaku merokok.


c. Tahap Becoming a smoker
Apabila seseorang telah mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang per hari maka

mempunyai kecenderungan menjadi perokok.


d. Tahap Maintenance of smoking

9
Tahap ini merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri

(self-regulating). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang

menyenangkan.

2.2 DAMPAK MEROKOK

2.2.1 Terhadap Mukosa Mulut

Merokok menyebabkan perubahan panas pada jaringan mukosa mulut. Initasi

kronis dan panas menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi kelenjar liur.

Rangsangan asap rokok yang lama dapat menyebabkan perubahan-perubahan yang

bersifat merusak bagian mukosa mulut yang terkena, yang bervariasi dan penebalan

menyeluruh bagian epitel mulut (smokers keratosis) sampai bercak putih keratotik

yang menandai leukoplakia dan kanker mulut. Leukoplakia bervariasi dan lesi putih

yang rata/halus sampai lesi yang tebal dan keras. Tembakau merupakan penyebab

keratosis yang paling sering dalam mulut. Pasien sering kali mempunyai kebersihan

mulut yang buruk dan berada pada dekade kehidupan ke lima atau enam. Lebih

sering menyerang pria daripada wanita dan ada hubungan antara jumlah rokok dan

jumlah serta keparahan lesi. Jumlah rokok yang dihisap lebih penting daripada

lamanya merokok. Kerentanan individu tampaknya menjadi faktor yang penting

dalam menentukan derajat dan sifat seta hyperkeratosis. 6

2.2.2 Terhadap Kebersihan Mulut

Preber dan Kant (1973), meneliti efek merokok pada anak sekolah usia 15

tahun dan melaporkan terjadi peningkatan indeks kebersihan mulut pada perokok

bila dibanding dengan bukan perokok. Dan Pindborg et al. menyimpulkan bahwa

terdapat hubungan antara konsumsi tembakau dan deposisi ka1ku1us. Analisis

10
selanjutnya dan data yang sama oleh Kowalski menunjukkan bahwa bukan perokok

mempunyai kalkulus supragingival yang lebih kecil daripada bukan perokok.8

Penelitian-penelitian epidemiologis lainnya seperti oleh MacGregor dan edgar

yang melakukan pemeriksaan air liur dan menunjukkan terjadinya peningkatan plak

(prevelensi lebih tinggi pada supragingiva), deposisi kalkulus,dan stain dalam rongga

mulut yang lebih besar pada perokok daripada bukan perokok.8

Merokok tampaknya memperburuk status kebersihan mulut seorang individu

dan bersama-sama dengan kebersihan mulut yang buruk, ia bertindak sebagai ko-

faktor untuk terjadinya gingivitis dan periodontitis.8

2.2.3 Terjadinya Gingivitis

Beberapa penelitian kros-seksional menunjukkan bahwa pada perokok

dijumpai ambang inflamasi gingiva yang lebih rendah (sampai batas ambang plak

tertentu) dibanding bukan perokok Pada penelitian ini digunakan indeks gingiva dan

evaluasi bleeding secara dikotomi pada probing. Selain itu hasil observasi ternyata

komposisi plak kurang begitu berbeda pada perokok dan bukan perokok. Lebih

lanjut, perkembangan inflamasi gingiva dalam merespons akumulasi plak pada

perokok kurang begitu menonjol dibandingkan bukan perokok.9

2.2.4 Terjadinya Periodontitis

Berbagai penelitian bertujuan mengetahui keterkaitan kerusakan jaringan

periodontal dengan merokok. Melalui pengukuran probing depth, hilangnya

attachment klinis dan hilangnya tulang alveolar dapat diketahui bahwa keadaan

11
menjadi lebih prevalen dan lebih berat pada perokok dibanding kontrol yang bukan

perokok.9
Perokok memiliki faktor resiko terjadinya keparahan kerusakan periodontal

daripada bukan perokok. Perokok menunjukkan 2-7 kali lebih mungkin terjadinya

peridontitis.10 Perokok juga memilki frekuensi rata-rata kedalaman poket yang lebih

dalam daripada bukan perokok yaitu PPD>4mm.11 Tidak hanya itu kehilangan

perlekatan, kehilangan tulang alveolar, kehilangan gigi selama perawatan periodontal

juga terjadi pada perokok Selama periode 10 tahun, kehilangan tulang dilaporkan dua

kali lebih cepat pada perokok dibandingkan bukan perokok.12

2.3 JARINGAN PERIODONTAL

Jaringan periodontal adalah jaringan yang mengelilingi gigi dan berfungsi

sebagai penyangga gigi, terdiri dari gingiva, sementum, ligamen periodontal dan

tulang alveolar.13

2.3.1 Gingiva

Gingiva tersusun dari epitel berkeratin dan jaringan ikat. Gingiva sacara anatomis

terbagi menjadi:13

1. Marginal gingival
Bagian gingival yang mengelilingi leher gigi, tidak melekat secara langsung

pada gigi dan membentuk dinding jaringan lunak sulkus gingival. Bagian gusi

ini meluas dari tepi gingival hingga ke ceruk (groove) gingival.


2. Attached gingival
Attached gingiva merupakan kelanjutan dari marginal gingiva. Jaringan padat ini

terikat kuat dengan periosteum tulang alveolar dibawahnya. Permukaan luar dari

12
attached gingiva terus memanjang ke mukosa alveolar yang lebih kendur dan

dapat digerakkan, bagian tersebut disebut mucogingival junction


3. Interdental gingival
Interdental gingiva mewakili gingival embrasure, dimana terdapat ruang

interproksimal dibawah tempat berkontaknya gigi. Interdental gingiva dapat

berbentuk piramidal atau berbentuk seperti lembah.


4. Sulkus gingival
Ruang/celah yang dibatasi oleh gigi dan gingival bebas serta didasari oleh

epithelium jungsional (penghubung).

2.3.2 Ligamen periodontal

Ligamen periodontal terdiri atas serabut jaringan ikat berkolagen, berwarna

putih, yang mengelilingi akar gigi dan melekat ke prosesus alveolar. Serabut elastik

yang terdapat pada ligamen ini relatif sedikit. Elastisitas yang terjadi adalah hasil dari

konfigurasi bergelombang serabut principal, yang memugkinkan adanya sedikit

pergerakan saat gigi berada dibawah tekanan.14

2.3.3 Sementum

Sementum adalah struktur terkalsifikasi yang menutupi akar anatomis gigi,

terdiri atas matriks terkalsifikasi yang mengandung serabut kolagen. Kandungan zat

anorganik dalam sementum sekitar 45-50%.14

2.3.4 Tulang alveolar

Tulang alveolar (alveoral bone) adalah bagian dari tulang maksila dan

mandibula yang membentuk dan mendukung soket gigi (alveoli). Tulang ini

terbentuk sewaktu gigi erupsi yang berfungsi untuk memberikan tempat perlekatan

bagi ligamen periodontal yang akan terbentuk. Pada gigi yang tidak erupsi seperti

13
pada kasus anodonsia, tulang alveolar tidak terbentuk. Tulang alveolar dapat dibagi

menjadi daerah yang terpisah dari basis anatomi, tetapi fungsinya merupakan satu

kesatuan dengan semua bagian yang saling berhubungan diantara jaringan

pendukung gigi.14

1. Struktur anatomi tulang alveolar

Tulang alveolar dibentuk pada masa fetus melalui proses ossifikasi

intramembranous terdiri dari matriks terkalsifikasi dengan osteosit yang berada di

dalam suatu ruang yang dinamakan lakuna (lacunae). Tulang alveolar terdiri dari 2/3

bahan anorganik dan 1/3 matriks organik. Komposisi utama bahan anorganik tulang

alveolar antara lain kalsium, fosfat, hidroksil, karbonat, sitrat, natrium, magnesium

dan fluor. Garam mineral dijumpai dalam bentuk kristal-kristal hidroksiapatit yang

sangat halus dan merupakan komposisi tulang alveolar yang terbesar yakni sekitar

65-70 %. Sedangkan matriks organik tulang alveolar terdiri dari kolagen tipe I sekitar

90 % dan sejumlah kecil fosfoprotein dan proteoglikans.15

Tulang alveolar terdiri dari tiga bagian, yakni:

a. Keping kortikal eksternal yang dibentuk oleh tulang Havers dan lamella tulang

kompak. Keping kortikal eksternal menutupi tulang alveolar dan lebih tipis pada

bagian facial. Keping kortikal eksternal berjalan miring kearah koronal untuk

bergabung dengan tulang alveolar sejati dan membentuk dinding alveolar dengan

ketebalan sekitar 0,1-0,4 mm. Dinding alveolar dilalui oleh pembuluh darah dan

pembuluh lymph serta saraf yang masuk ke dalam ruang interdental melalui

sejumlah kanal kecil ( Kanal Volkmann ).

14
b. Dinding soket berupa tulang kompak tipis yang dinamakan tulang alveolar

utama. Dinding soket yang tipis pada bagian dalam tulang kompak disebut tulang

alveolar sejati yang terlihat seperti lamina dura pada gambaran radiografis.

c. Trabekula kanselous berada diantara lapisan tulang kompak dan tulang alveolar

sejati. Septum interdental terdiri dari trabekula kanselous yang mendukung

tulang dan menutupi bagian dalam border tulang kompak.14

Berdasarkan radiografi, anatomi normal tulang alveolar adalah sebagai berikut :

Tulang alveolar yang sehat dan normal memiliki tampilan yang khas pada

radiografis. Secara radiografis, puncak alveolar berjarak 1 - 2 mm dibawah

cementoenamel junction (CEJ). Rata-rata jarak CEJ ke puncak tulang alveolar adalah

1,4 0,7 mm pada usia 15-24 tahun, dan akan meningkat sampai usia 45 tahun

( 3mm ), kemudian tetap stabil. Bentuk puncak alveolar dapat bervariasi dari bulat ke

flat. Crest alveolar biasanya 1-2 milimeter bawah cementoenamel junction (CEJ).

Antara gigi insisivus, crest alveolar biasanya akan muncul runcing. Antara gigi

premolar dan molar crest alveolar akan sejajar dengan garis antara CEJs berdekatan -

di mana enamel menipis dan menghilang. Crest alveolar akan terus-menerus dengan

lamina dura pada gigi yang berdekatan. Saat melihat lamina dura dan ligamentum

periodontal, hanya terlihat bagian interproksimal. Daerah bukal dan lingual tidak

terlihat pada radiografi. Pelebaran ruang ligamentum periodontal dan lamina dura

hilangnya dapat diartikan sebagai resorpsi tulang alveolar.16

15
Gambar 2.1 : Normal alveolar bone support around
maxillary incisors.

Availablefrom:URL:http://www.lsusd.lsuhsc.edu/Documents/ Thunthy_book/Chapter
%2006%20Periodontal%20Disease.pdf

Tinggi keseluruhan dari tulang crestal alveolar dalam hubungan ke

cementoenamel junction memberikan bukti apakah kehilangan tulang telah terjadi.

Distribusi kehilangan tulang diklasifikasikan sebagai lokal atau umum, tergantung

pada jumlah daerah yang terkena. Kehilangan tulang yang dilokalisir terjadi di

daerah terpencil; kehilangan tulang secara umum melibatkan mayoritas tulang

crestal. Awalnya, periodontitis berkembang sebagai erosi lokal dari crest alveolar.

Banyak perubahan yang tidak dapat terdeteksi oleh radiografi sampai mereka maju.

Sebagai keparahan periodontitis meningkat, lebih banyak tulang alveolar hancur.16

16
Gambar 2.2 : Normal alveolar bone support around canine and premolars.

Available from: URL:http://www.lsusd.lsuhsc.edu/Documents/


Thunthy_book/Chapter%2006%20Periodontal%20Disease.pdf

2. Mekanisme kerusakan tulang pada penyakit periodontal

Faktor yang terlibat dalam kerusakan tulang pada penyakit periodontal adalah

bakteri dan host. Produk bakteri plak menyebabkan differensiasi sel progenitor

tulang menjadi osteoklas dan menstimulasi sel gingival untuk mengeluarkan

mediator yang mempunyai efek yang sama. Pada penyakit dengan perkembangan

yang cepat seperti localized juvenile periodontitis, terdapat mikrokoloni bakteri atau

sel bakteri yang berada diantara serat kolagen dan diatas permukaan tulang yang

dapat memberikan efek langsung.14,17

Beberapa faktor host dikeluarkan oleh sel inflamasi dapat menyebabkan resorpsi

tulang secara in vitro dan dapat berperan dalam penyakit periodontal, termasuk

prostaglandin dan prekursornya, interleukin 1- dan , dan Tumor Necrosis Factor

(TNF)- yang dihasilkan oleh host.14,17

17
Ketika diinjeksikan secara interdental, prostaglandin E2 menyebabkan perubahan

vaskular yang terlihat pada inflamasi, apabila diinjeksikan diatas permukaan tulang

akan menyebabkan resorpsi tulang tanpa adanya sel inflamasi dan dengan sedikit

multinucleated osteoklas. Obat anti-inflamasi non steroid (AINS) seperti flurbiprofen

atau ibuprofen dapat menghambat produksi prostaglandin E2, memperlambat

kehilangan tulang pada penyakit periodontal. Efek ini terjadi tanpa perubahan pada

inflamasi gingiva dan kambu kembali 6 bulan setelah pengehentian obat.14

Kecepatan kerusakan tulang bervariasi tergantung pada tipe penyakit yang ada.

Didasarkan pada kerusakan interproksimal diklasifikasikan menjadi :17

1. Rapid progression dan penyakit periodontal, kehilangan tulang 0,1-1 mm

dalam satu tahun.


2. Moderate progressive periodontal disease, kehilangan tulang alveolar

sebesar 0,05-0,5 mm dalam satu tahun.


3. Perkembangan kerusakan minimal atau tidak ada yaitu jika perkembangan

kerusakan 0,05-0,09 mm dalam satu tahun.

3. Pola kerusakan tulang pada penyakit periodontal


Penyakit periodontal dapat merubah gambaran morfologi tulang alveolar

sehingga terjadi penurunan ketinggian tulang.14


a. Resorpsi tulang horizontal
Resorpsi tulang horizontal merupakan pola kehilangan tulang yang paling

sering ditemukan pada penyakit periodontal. Puncak tulang alveolar

18
mengalami penurunan, tetapi margin tulang yang tersisa tegak lurus terhadap

permukaan gigi. Septum interdental serta bagian facial dan lingual juga

mengalami kerusakan, tetapi derajat kerusakan disekeliling gigi berbeda-

beda.14
b. Defek vertikal atau angular
Defek vertikal atau angular terjadi dalam arah oblique, membuat lubang

yang menembus ke dalam tulang di sepanjang akar, dasar defek terletak ke

arah apikal di sekitar tulang. Defek angular disertai poket infrabony yang

mendasari defek angular.14


Defek angular diklasifikasikan berdasarkan jumlah dinding osseus.

Defek angular dapat memiliki satu, dua atau tiga dinding. Jumlah dinding

pada bagian apical defek lebih besar daripada bagian oklusal yang disebut

combined osseus defect.14


Defek vertikal terjadi pada interdental yang dapat terlihat secara jelas

pada gambaran radiografis,walaupun kadang tertutup oleh kepingan tulang

yang tebal. Defek angular juga terdapat pada permukaan facial dan lingual

atau palatal, tetapi defek ini tidak terlihat pada gambaran radiografis.

Pembedahan merupakan cara yang pasti untuk mengetahui adanya bentuk

defek tulang vertikal.14


Defek vertikal meningkat sesuai dengan usia. Hampir 60% orang dengan

defek angular interdental hanya mempunyai satu defek. Defek vertikal dapat

dideteksi dengan pemeriksaan radiografi yang telah dilaporkan bahwa banyak

terlihat pada permukaan distal dan mesial, akan tetapi defek dengan tiga

dinding lebih sering ditemukan pada permukaan mesial molar atas dan

bawah.14

19
Defek vertikal dengan tiga dinding biasa disebut dengan defek infrabony.

Defek ini paling sering terdapat pada bagian mesial dari molar kedua dan

ketiga rahang atas dan bawah. Defek vertikal dengan satu dinding disebut

juga henniseptum.14
c. Keterlibatan furkasi
Istilah keterlibatan furkasi menunjukkan adanya invasi penyakit

periodontal ke daerah bifurkasi dan trifurkasi pada gigi dengan akar banyak.

Prevalensi keterlibatan furkasi pada gigi molar masih belum jelas, tetapi

terdapat beberapa laporan yang mingindikasikan bahwa molar pertama

rahang bawah paling sering terkena dan premolar rahang atas yang paling

jarang, sedangkan yang lainnya telah ditemukan prevalensi yang lebih tinggi

pada rahang atas. Jumlah keterlibatan furkasi meningkat sesuai dengan usia.14
Keterlibatan furkasi dapat terlihat secara klinis atau tertutup oleh dinding

poket. Perluasan keterlibatan dapat diketahui dengan cara mengeksplorasi

menggunakan probe yang tumpul disertai semprotan udara hangat untuk

mempermudah visualisasi.14
d. Cacat tulang pada tulang alveolar.
Cacat ini dijumpai pada septum interdental maupun permukaan tulang

sebelah luar (oral atau vestibular).14


e. Cacat tulang pada septum interdental.
Adanya cacat tulang ini dapat dilihat secara radiografis, tetapi paling jelas

diketahui dengan mengadakan probing sewaktu diadakan pembukaan flap

dalam prosedur operatif.14

4. Pengukuran ketinggian tulang alveolar

Bone level (BL) atau ketinggian tulang didefinisikan sebagai tepi tulang yang

terletak paling koronal yang terdekat dengan ruang membrane periodontal yang

20
masih utuh dan jelas terlihat. Panjang akar diukur dari cemento-enamel junction

hingga ke apex dari sisi mesial dan distal setiap gigi. Ketinggian tulang alveolar yang

masih ada diukur dari BL sampai ke apex pada sisi mesial dan distal gigi. Kemudian

perbandingan antara ketinggian tulang alveolar dan panjang akar diukur dan dikali

100%. 1
Penilaian tingkat kerusakan tulang alveolar ( Ro ) adalah dengan membagi akar

gigi menjadi tiga bagian, yaitu 1/3 servikal, 1/3 tengah dan 1/3 apikal.
a. 1/3 servikal adalah ketika tinggi tulang alveolar terdapat pada area 1/3 servikal

akar gigi.
b. 1/3 tengah adalah ketika tinggi tulang alveolar terdapat pada area 1/3 tengah

atau bagian tengah akar gigi.


c. 1/3 apikal adalah ketika tinggi tulang alveolar terdapat pada area 1/3 apikal akar

gigi.
Tulang alveolar dikategorikan rendah bila proporsi tulang alveolar : akar < 82%

dan tinggi bila 82% (Bergstrom 2004a).18


Panjang akar = jarak dari cemento-enamel junction sampai dengan apex
( dalam mm)
Tinggi tulang alveolar yang masih ada = jarak dari BL sampai dengan apex (dalam

mm)
Proporsi tulang alveolar : akar = tinggi tulang alveolar yang masih ada x 100%
Panjang akar

21

Anda mungkin juga menyukai