yang digunakan dalam organisasi. Sistim Inventori adalah seperangkat kebijakan dan
pengendalian yang memantau tingkat persediaan dan menentukan berapa tingkat persediaan yang
harus dijaga, kapan persediaan harus ditambah, dan seberapa besar pesanan harus dibuat.
Persediaan didefinisikan sebagai barang, bahan-bahan, atau asset yang dimiliki oleh
perusahaan untuk digunakan di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang persediaan dapat
dipandang sebagai masalah taktis (tactical problem), sehingga perencanaan kebutuhan persediaan
direncanakan dalam kontek jangka waktu menengah selaras dengan keseluruhan rencana
produksi, strategi pemasaran dan distribusi.
Persediaan komponen
Persediaan supplies
Menjaga independensi operasi. Dengan adanya ketersediaan bahan baku pada pusat kerja
memungkinkan fleksibilitas operasi dari pusat tersebut, sehingga mengurangi biaya set-
up setiap dilakukan set-up produksi yang baru.
Untuk menjaga variasi/fluktuasi permintaan produk. Oleh karena, dalam banyak hal,
permintaan tidak dapat diperkiraan dengan sangat tepat, maka untuk dapat
mengantisipasinya diperlukan adanya persediaan pengamanan (safety/buffer stock).
Memungkinkan fleksibilitas dalam pembuatan skedul produksi. Dengan adanya
persediaan perusahaan dapat menentukan jadual produksi sesuai permintaan sekalipun
lead time bahan lama.
Mendapatkan keuntungan ekonomis dari jumlah pembelian yang lebih besar. Misalnya
adnya diskon/potongan harga untuk pembelian dengan jumlah besar tertentu.
Kesulitan memprediksi tingkat penjualan dan waktu produksi secara akurat (fluctuation
inventory).
Mendapatkan manfaat dari economic of scale dalam produksi dan pembelian (lot size
inventory).
Jarak dan waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang sehubungan dengan proses
transit dalam sistem logistik. untuk sejumlah besar persediaan (pipe-line inventory).
Perusahaan dapat saja menyelenggarakan persediaan dalam jumlah yang besar, namun
demikian persediaan yang besar tidak selalu menguntungkan perusahaan. Beberapa kerugian
sehubungan dengan penyelenggaraan persediaan dalam jumlah besar antara lain:
Perusahaan harus mempersiapkan dana yang cukup besar untuk mengadakan pembelian
bahan.
Bila terjadi penurunan harga bahan baku, maka perusahaan akan menderita kerugian yang
cukup besar pula. Di sisi lain, bila perusahaan menyelenggarakan persediaan dalam jumlah
yang relatif terlalu kecil, maka beberapa kelemahan dari kebijakan tersebut antara lain:
Akibat sering kehabisan bahan, maka proses produksi menjadi tidak lancar.
Persediaan yang terlalu kecil akan meningkatkan frekuensi pembelian, sehingga biaya
pesannya pun akan meningkat selaras dengan peningkatan frekuensi pembelian.
Untuk menghindari penyelenggaraan persediaan yang terlalu besar maupun yang terlalu
kecil, berikut ini beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh perusahaan dalam
menyelenggarakan persediaan:
Kapan dan berapa jumlah unit bahan akan dibeli oleh perusahaan.
Biaya persediaan
Kebijakan pembelanjaan
Pemakaian bahan
Waktu tunggu
Persediaan pengaman
Pembelian kembali
Penjelasan:
Independent Demand adalah permintaan yang tidak dipengaruhi oleh operasi perusahaan
melainkan dipengaruhi oleh pasar
Dependent Demand adalah permintaan yang terkait dengan permintaan item lain.
Deterministic Demand adalah permintaan yang relatif tidak berfluktuasi sehingga dapat
diramalkan secara akurat.
Stochastic Demand adalah permintaan yang fluktuasi dan variabilitasnya sangat tinggi
sehingga sulit diramalkan.
Static demand adalah permintaan yang tidak berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Dynamic Demand adalah jumlah permintaan yang senantiasa bervariasi dari waktu ke
waktu.
Lead Time adalah jangka waktu antara saat pemesanan dengan saat barang datang dan
diterima.
Dalam membuat keputusan terhadap besarnya inventori, beberapa item biaya berikut perlu
dipertimbangkan:
Purchasing cost of item. merupakan biaya yang timbul dari pembelian persediaan
Ordering- cost (preparation set-up cost). Biaya pesan merupakan biaya yang terjadi
karena adanya kegiatan pemesanan kepada vendor hingga barang sampai di gudang atau
pengorganisasian untuk memulai produksi di dalam pabrik. Biaya klerikal dan manajerial
untuk menyiapkan pembelian atau pemesanan. Misalnya biaya telpon, pencatatan.
Inventory-holding cost, biaya simpan mencakup semua biaya yang terjadi karena
penyimpanan persediaan.. Yang termasuk golongan biaya ini misalnya biaya fasilitas
penggudangan, penanganan, asuransi, kerusakan, kedaluwarsaan, depresiasi, pajak dan
opportunity cost of capital.
Shortage cost (good-will cost), biaya yang timbul karena adanya permintaan yang tak
terlayani sehubungan dengan kehabisan persediaan atau biaya yang timbul akibat
kehabisan bahan dan pemesanan masih menunggu waktu.
Setup (production change) cost. Biaya yang timbul sehubungan dengan pembuatan
produk yang berbeda yang memerlukan perubahan bahan, penyusunan spesifikasi mesin,
dll.
Dari keempat jenis biaya persediaan tersebut di atas, yang digunakan dalam perhitungan
biaya persediaan (Total Inventory Cost disingkat TIC) adalah Ordering Cost (Co) dan Holding
Cost (Ch). Selanjutnya TIC secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
dimana
TIC : Total Inventory Cost
Q/2 : persediaan rata-rata
R/Q : frekuensi pemesanan
Ch = H : biaya penyimpanan per unit barang per satu satuan waktu
Co = Cs = S : biaya pemesanan setiap kali pesan
Biaya simpan per unit barang per satu satuan waktu memiliki hubungan yang positif
terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan, semakin banyak barang yang disimpan, semakin besar pula biaya simpan yang
ditanggung. Sebaliknya biaya pemesanan setiap kali pesan memiliki hubungan yang negatif
terhadap jumlah barang yang dipesan. Artinya, semakin banyak barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan, semakin kecil frekuensi pembelian, semakin rendah pula biaya pemesanan
yang harus ditanggung perusahaan. Dengan kata lain bahwa biaya pesan memiliki hubungan
yang positif terhadap frekuensi pemesanan. Berikut ini gambaran secara grafis yang
menunjukkan hubungan antara biaya simpan, biaya pesan dan jumlah barang yang dipesan dalam
setiap kali pesan.
TIC minimum akan terjadi pada tingkat jumlah pembelian yang paling ekonomis atau disebut
Economic Order Quantity.
Sedang untuk menghitung Total Biaya Anual (TAC( sering juga disingkat TC adalah
sebagai berikut:
Dimana
D = R = Kebutuhan satu tahun
C = P = Harga perolehan barang
S= Cs = Co = Biaya Pesan per pesanan
H = Ch = Biaya Simpan per unit
Konsep ABC Inventory Analysis pertama kali dikenalkan oleh H.F. Dickie di General
Electric pada awal tahun 1950-an. Teknik ABC ini merupakan salah satu alat manajemen yang
sangat berharga untuk mengidentifikasi dan mengendalikan item-item persediaan yang penting.
Konsep ABC membagi atau mengelompokkan item-item persediaan menjadi tiga kelompok:
1) Kelompok A
item-item persediaan yang dikelompokkan ke dalam kelompok A ini adalah item-item persediaan
yang bernilai besar namun merupakan bagian kecil dari keseluruhan item persediaan yang ada.
Ciri khusus dari kelompok ini antara lain memiliki nilai berkisar antara 70% - 80% dari seluruh
nilai persediaan yang ada, dan kuantitasnya berkisar antara 15% - 30% dari seluruh jumlah
persediaan.
2) Kelompok C
item-item persediaan yang masuk kategori C adalah item-item persediaan yang memiliki nilai
rendah, namun merupakan bagian terbesar dari seluruh persediaan. Nilai persediaan kelompok
ini berkisar antara 5% - 15% dari seluruh nilai persediaan, dan jumlahnya berkisar 50% dari
seluruh jumlah persediaan.
3) Kelompok B
suatu item persediaan akan dikategorikan dalam kelompok B bila memiliki karakteristik antara A
dan C.
Perlu diketahui bahwa angka-angka prosentase yang diberikan dalam penjelasan bukanlah
harga mati, angka-angka tersebut hanyalah guidelines saja. Sebenarnya, tidak ada aturan yang
spesifik berkaitan dengan batasan antara kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.
Jika pengelompokkan persediaan tersebut digambarkan secara grafis dimana sumbu vertikal
menunjukkan prosentase nilai persediaan dan sumbu horisontal menunjukkan prosentase jumlah
persediaan, maka akan terlihat seperti kurva dan disebut kurva ABC.
Dari analisis persediaan ABC, manajemen memperoleh informasi yang dapat digunakan
untuk mengendalikan persediaan. Misalnya, persediaan yang masuk kelompok A
menggambarkan investasi persediaan yang bersifat substansial sehingga persediaan tersebut
memerlukan pengawasan dan pengendalian yang ketat yang meliputi pencatatan yang lebih
akurat dan komplit, pengawasan dan inspeksi tingkat persediaan yang terus menerus,
perhitungan yang tepat, menempati posisi prioritas utama dan diberi perhatian yang maksimum
berkaitan dengan jumlah dan frekuensi pemesanan.
Bahan mentah merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting. Oleh karena itu,
penyediaan bahan mentah yang tepat, baik dalam arti jumlah maupun waktu, akan sangat
mendukung kelancaran proses produksi. Persediaan bahan yang minim memungkinkan
terjadinya kekurangan bahan. Kekurangan bahan mentah yang tersedia (stock-out) dapat
berakibat terhentinya proses produksi karena kehabisan bahan untuk diproses. Namun, dilihat
dari sisi positif, jumlah persediaan bahan yang rendah dapat menghemat biaya-biaya yang timbul
sehubungan dengan adanya persediaan dan dapat mengurangi risiko kerusakan bahan akibat
terlalu lama disimpan. Di sisi lain, persediaan bahan mentah yang terlalu besar jumlahnya (over-
stock) memang dapat menjamin kelancaran proses produksi karena bahan senantiasa tersedia
dalam jumlah yang cukup, namun bila dilihat dari segi finansial, persediaan bahan yang terlalu
besar akan meningkatkan biaya persediaan dan risiko kerusakan.
Jumlah bahan mentah yang dibutuhkan di dalam berproduksi selama satu tahun dapat
diperhitungkan dari rencana hasil produksi yang akan dihasilkan dengan kebutuhan bahan
mentah untuk satu satuan barang jadi. Setelah diketahui jumlah kebutuhan bahan mentah, maka
perlu direncanakan juga mengenai cara pembeliannya atau cara penyediaannya. Dalam hal cara
penyediaan/pembelian pada garis besarnya terdapat dua alternatif yaitu:
1. Dibeli sekaligus jumlah seluruh kebutuhan, dan kemudian disimpan di gudang, sehingga
setiap kali ada kebutuhan tinggal mengambil di gudang. Cara ini lebih menjamin
kelancaran proses produksi, dalam artian bahwa bahan mentah untuk keperluan proses
produksi telah tersedia dalam jumlah besar. Namun demikian, di sisi lain, cara ini
membawa konsekuensi bahwa perusahaan harus menanggung biaya persediaan atau
paling tidak biaya penyimpanan yang tinggi.
2. Alternatif yang kedua ialah berusaha memenuhi kebutuhan bahan mentah untuk
keperluan proses produksi dengan membeli dalam jumlah yang relatif kecil dalam setiap
kali pembelian dengan frekuensi pembelian yang lebih sering. Cara ini akan membawa
kemungkinan terlambatnya bahan mentah. Apabila keterlambatan penyediaan bahan
mentah terjadi, maka proses produksi dapat terganggu. Sedangkan keuntungan dari cara
kedua ini ialah bahwa perusahaan tidak perlu menanggung biaya penyimpanan bahan
mentah yang terlalu besar. Dalam hal ini biaya penyimpanan dibebankan pada leveransir
bahan mentah.
Dari dua cara ekstrim tersebut, manajemen berusaha untuk menentukan kebijaksanaan
penyediaan bahan baku yang optimal dalam arti dapat menjamin kelancaran proses produksi dan
biaya yang ditanggung ada pada tingkat minimal. Untuk keperluan tersebut biasanya digunakan
metode yang disebut metode Economic Order Quantity (EOQ).
Pengertian EOQ adalah volume pembelian yang paling ekonomis untuk dilaksanakan pada
setiap kali pembelian. Secara matemastis dinyatakan sebagai berikut:
dimana
R : kebutuhan bahan mentah satu tahun
Co = Cs = S : Ordering Cost setiap kali pesan
Ch = H : Holding Cost per unit per satu satuan waktu
Seluruh jumlah bahan mentah yang dipesan datang pada satu titik waktu
tertentu.
Diminta menghitung jumlah pembelian yang paling ekonomis setiap kali pembelian/ pemesanan.
Pembahasan
Dari data seperti itu diperoleh EOQ sebesar 919 unit. Artinya, bahwa jumlah yang paling
ekonomis untuk setiap kali pembelian/pemesanan bahan adalah sebesar 919 unit. Selanjutnya,
berdasarkan jumlah pembelian setiapkali pesan pada tingkat EOQ, yaitu sebesar 919 unit, dapat
dihitung besarnya Total Inventory Cost (TIC), yakni sebesar Rp.1.984,90
Dengan menggunakan model EOQ, kita dapat mengetahui berapa banyak yang harus
dipesan dalam setiap kali pemesanan, sekarang akan dicoba menjawab pertanyaan kapan
dilakukan pemesanan kembali. Untuk sistem persediaan yang menggunakan asumsi bahwa
tingkat kebutuhan yang konstan dan lead time yang tetap, maka saat pemesanan kembali (Re-
Order Point) sama dengan kebutuhan selama lead time. Secara matematik dinyatakan sebagai
berikut:
ROP = d x lt
Cycle Time
Setelah ROP diketahui, maka dapat dihitung jarak waktu antara satu pemesanan dengan
pemesanan berikutnya atau yang disebut cycle time. Secara matematik, perhitungan Cycle Time
adalah sebagai berikut:
Keterangan:
T : Cycle Time
Q* : EOQ
R : Kebutuhan bahan selama satu tahun
N : jumlah hari operasi dalam satu tahun
Dengan melanjutkan contoh di atas, dapat dihitung Cycle Time, yaitu 9,6 hari. Artinya, bahwa
pemesanan dilakukan setiap 9,6 hari sekali.
Analisis sensitivitas dalam model EOQ memiliki arti penting bagi manajemen, karena
bagaimanapun hasil perhitungan EOQ bukan merupakan keputusan akhir. Apa yang ditunjukkan
oleh model EOQ merupakan masukan bagi manajemen dalam membangun keputusan akhir
kebijaksanaan persediaan. Sekalipun EOQ merekomendasikan suatu jumlah pembelian yang
ekonomis dalam setiap kali pemesanan, namun EOQ bisa jadi belum mempertimbangkan seluruh
aspek situasi persediaan. Karenanya pula, pengambil keputusan harus memiliki kebebasan untuk
memodifikasi jumlah pembelian yang direkomendasi oleh EOQ untuk dapat memenuhi
kekhasan lingkungan dari situasi persoalan persediaan yang dihadapi.
Diambilkan contoh misalnya, hasil perhitungan EOQ, dan selanjutnya ditemukan cycle time
9,6 hari. Angka 9,6 hari di sini adalah angka matematis, dalam realitasnya sangaat sulit untuk
dipenuhi, maka dilakukan pembulatan menjadi 10 hari atau 9 hari. Pembulatan angka cycle time
ini akan memberikan akibat pada perubahan jumlah yang dibeli untuk setiap kali pemesanan (Q).
Oleh karena Q berubah, maka TIC-nya juga akan berubah. Untuk memilih apakah cycle time
dibulatkan menjadi 9 hari atau 10 hari, harus dilihat pada dampaknya terhadap TIC.
1. Penggunaan bahan dalam proses produksi lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya
sehubungan dengan sifat permintaan yang stochastic, sehingga persediaan telah habis
sebelum pembelian atau pesanan yang berikutnya datang.
2. Pesanan/pembelian bahan tidak datang tepat pada waktunya atau lead time ternyata tidak
tetap.
Untuk mengatisipasi dua keadaan di atas sehingga terhindar dari stock-out, perusahaan
perlu mengadakan persediaan besi (safety stock), yang akan dekat kaitannya dengan Re-Order
Point. Menentukan Re-order Point yang telah mempertimbangkan safety stock memerlukan data
distribusi probabilitas dari lead time yang diperoleh dari hasil analisis data historis. Dari
probabilitas lead time itu pula dapat diketahui mengenai probabilitas terjadinya stock out.
Asumsinya adalah bahwa distribusi probabilitas dari lead time merupakan disribusi normal.
Kemudian, ditentukan Service Level, yang menunjukkan probabilitas yang diharap bahwa
perusahaan tidak akan mengalami stock-out selama lead time. Sebagai contoh, service level 95%
artinya bahwa probabilitas tidak terjadi kekurangan persediaan sampai datangnya pesanan
sebesar 95%. Dengan kata lain, bahwa kemungkinan terjadinya stockout atau stockout yang
ditolerir adalah sebesar 5%. Selanjutnya dengan menggunakan data-data statistik ditentukan Re-
Order Point sebagai berikut:
Keterangan:
ROP : Reorder Point
u (Miu)* : kebutuhan bahan yang diharap selama lead time
z.* : safety stock
Rho : angka standar deviasi dimana probabilitas stock out dapat diterima
Total Biaya pesan + Total Biaya simpan persediaan normal + Total biaya simpan safety stock
Contoh:
Manajemen sebuah perusahaan menginginkan service level 95%, atau probabilitas 5% untuk
terjadinya stockout selama lead time. Dari tabel Z diperoleh angka 1,645 standar deviasi di atas
rata-rata. Dengan asumsi distibusi normal, kebutuhan bahan selama lead time, rata-rata 577 unit
dan standard deviasi 100 unit, dapatlah ditentukan Re-Order Point:
Pada beberapa situasi tertentu, bukan tidak mungkin terjadi kehabisan persediaan
(shortages/ stockout), artinya kemungkinan terjadinya bahwa permintaan tidak dapat dipenuhi
dengan persediaan atau produksi yang ada. Hal demikian sering merupakan sesuatu yang tidak
dikehendaki sehingga harus diantisipasi dan sejauh mungkin dihindari. Namun demikian, tidak
semua kasus kehabisan persediaan merupakan sesuatu yang tidak diinginkan, ada kalanya situasi
tersebut memang dikehendaki dilihat dari sudut ekonomi.
Dalam praktek sehari-hari, situasi kehabisan persediaan sering ditemukan mana kala nilai
per unit persediaan sangat tinggi, dan karenanya biaya simpan juga tinggi, misalnya persediaan
dealer mobil-mobil baru. Bukan hal yang mengherankan bila sebuah dealer ternyata tidak
memiliki persediaan mobil tertentu yang diinginkan oleh seorang pembeli.
Berkaitan dengan situasi kehabisan bahan, ada suatu model yang dikembangkan untuk
menganalisis situasi tersebut, yang dikenal dengan nama Back-Order. Model Backorder ini
dikembangkan dengan asumsi:
Ketika pelanggan memesan barang, perusahaan tidak dapat memenuhi karena kehabisan
persediaan.
Pada model persediaan untuk situasi stockout, biaya yang dipertimbangkan tidak hanya biaya
pesan dan biaya simpan saja. Namun masih ditambah biaya yang disebut Backorder Cost atau
Stockout Cost. Biaya yang termasuk kategori Backorder cost atau stockout Cost antar lain biaya
tenaga kerja dan pengantaran khusus yang terkait secara langsung dengan penanganan backorder,
a loss of goodwill dalam bentuk waktu pelanggan menunggu. berikut ini total biaya persediaan
annual sehubungan dengan adanya kehabisan bahan:
Total Annual Inventory Holding Cost (H) =
Apabila biaya Holding cost, Ordering cost, dan Backorder cost dapat diestimasi, maka dapat
ditentukan besarnya jumlah pemesanan yang optimal (Q* ) dan jumlah backorder yang optimal
(S*) atau Q dan S yang meminimumkan biaya, dengan formula sebagai berikut:
Keterangan:
Ch : biaya simpan per unit per waktu
Co : biaya pesan setiap kali pemesanan
Cb : biaya backorder atau biaya kehabisan persediaan per unit per satu satuan waktu
R : kebutuhan/permintaan selama satu waktu
Q : jumlah pembelian/pesanan setiap kali melakukan pemesanan
S : jumlah kekurangan persediaan untuk satu satuan waktu
Q* : jumlah pembelian/pemesanan optimal dengan mempertimbangkan backorder
untuk setiap kali pemesanan
S* : jumlah backorder atau kekurangan persediaan yang optimal per satu satuan waktu
1. Menghitung EOQ untuk setiap unit biaya yang terkait dengan setiap kategori diskon yang
ditawarkan.
2. Bila EOQ tidak berada pada kategori diskon maka dilakukan evaluasi terhadap batas
bawah jumlah dari setiap kategori diskon dengan menghitung Total Annual Cost untuk
masing-masing batas bawah kategori diskon. Total Annual Cost diperoleh dari
penjumlahan TIC dengan biaya pembelian tahunan. Biaya pembelian tahunan untuk setiap
kategori diskon dihitung dengan cara mengalikan harga masing-masing kategori diskon
dengan jumlah kebutuhan satu tahun. Bila EOQ ada yang berada di atas jumlah untuk
kategori diskon tertentu maka kategori yang ada di bawahnya tidak perlu dievaluasi.
Pembahasan
Langkah 1
Masing-masing kategori harga dicari EOQ-nya. Dari perhitungan tersebut dapat
ditentukan jumlah pemesanan yang feasible dan yang tidak.
Langkah 2
Dari yang feasible, dihitung TC atau TAC-nya
Langkah 3
selanjutnmya dipilih yang TC atau TAC terkecil.
Untuk C=P=Rp.3,9 Q=1.000, feasible dengan TIC=Rp39.590 dan ini merupakan solusi
optimal. (Hendra Poerwanto G)