PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
sehingga apa yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah
suatu ruangan potensial.2
Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfer,
sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura mungkin
mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke dalam
rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.3
Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal
ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang
cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru cenderung
mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya sebelum
mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap ada kekuatan
kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal sebagai
tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-menerus
bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.2
Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif
intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane
pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling
tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada
selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam keadaan
normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.3
Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah
kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki
ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura
parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan mengacaukan
keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik. Ketiga faktor ini
3
kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif intrapleura
normal.3
4
Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru.
Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada
pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut. Sinyal dari
reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam
keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.
Mekanisme ini yang dikenal dengan nama reflex Hering-Breuer, refleks ini
tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter
seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi
baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga
merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan
dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons
dan medulla oblongata.3,4
Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf
frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama ventilasi. Saraf utama
lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan interkostalis torasika
yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot interkostalis.4
5
bronkodilasi, dan neurotransmitter yang digunakan adalah nitrogen oksida.
Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi terhadap iritan-iritan mekanik ataupun
kimia yang akan menimbulkan masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat
menyebabkan bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.5
2.5 Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi
menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya
campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium
kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek5
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan
antara darah sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan
distribusi udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau
respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat
dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah
proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.
2.5.1 Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi
beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan
otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.6
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical.
Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari
sekitar 4 mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8
mmHg bila paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama
tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar 2
6
mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara
jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai
tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.3,5
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat
elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus
relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis
internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi
kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen
dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.3,4
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura
maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat
dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir
keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi sama
kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah
tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.6
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan
ventilasi yang efektif :4
Volume semenit atau ventilasi semenit (V E) adalah volume udara yang
terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. V E dapat dihitung
dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam
keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau kecepatan; adalah jumlah nafas yang
dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa
sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau
diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh
meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas
dalam.
7
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak
tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi
yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati
anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1
ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami
ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.
Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian
dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.
Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien
yang mendapatkan ventilasi mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam
alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.
Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan
VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara
yang terbuang dalam ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik
(distensibilitas) yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai
perubahan volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan
statis. Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians
paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians
rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan
komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
2.5.2 Transportasi Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5
m). kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan
parsial antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer
pada permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun,
8
pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami
penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan
oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).4
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan
parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat
mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam ruang mati
anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam keadaan
normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan ideal.
Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi
efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler
paru kira-kira sebesar 40 mmHg.4
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 =
103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan
tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah
6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian
dikeluarkan ke atmosfer, yang konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih
CO2 antara darah dan alveolus amat kecil namun tetap memadai, karena
dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih
cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.6
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara
O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit
(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi
dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama
sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi
dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan
difusi.6
9
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru
membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran
darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit
pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam
keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks
paru.7
Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah
mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian apeks,
disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup merata.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :7
V/Q = 0,8
Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar
normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan
pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan
dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,
apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi
normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau
menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa
perfusi, V/Q lebih dari 0,8).7
10
seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam
keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat
dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya :keracunan karbon
monoksida atau hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O 2 yang cukup untuk
mempertahankan hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan
memberikan pasien O2 bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang
O2 hiperbarik).7
Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O 2. Konsentrasi Hb rata-rata
dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah
dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.
Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke
darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses
pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang
meninggalkan paru menjadi jenuh.6
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam
plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut
bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb
kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25%
O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan. Hb yang telah
melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi
berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena, sedangkan
HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-merahan pada
darah arteri.7
11
Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan
klinis serta interpretasi gas-gas darah.6,7
Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi
pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase
kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan
O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.
Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke
jaringan pada PaO2 tertentu.6,7
2.9 Terapi Oksigen
Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu
intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang
terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan
menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan
lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi
fisiologis normal.8
Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun selama
beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya pemberian
oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di
rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu pemahaman
mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis pemberian
oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.8
2.9.1 Tujuan Pemberian Terapi Oksigen
Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu :
a) Meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke
jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob.
b) Mempertahankan PaO2 > 60 mmhg atau SaO2 >90 % untuk
mencegah dan mengatasi hipoksemia / hipoksia serta
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Menurunkan
kerja nafas dan miokard. Menilai fungsi pertukaran gas.
12
2.9.2 Indikasi Pemberian Terapi Oksigen
Oksigen dalam darah akan berikatan dengan hemoglobin dan akan
diedarkan ke seluruh tubuh. Apabila terjadi gangguan pada sistem respirasi,
maupun pada hemoglobin, mengakibatkan gangguan pada jaringan.
Kekurangan oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia yaitu kondisi di
mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di bawah level normal yang
tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh. Hipoksia merupakan salah satu
masalah gawat darurat karena dapat merusak organ vital. Selain itu dapat juga
mengancam kehidupan. Salah satu cara mencegah hipoksia dengan memberikan
terapi oksigen. Klasifikasi deksriptif macam-macam penyebab hipoksia, yaitu :
a) Oksigenasi darah di dalam paru yang tidak memadai karena keadaan
ekstrinsik
- Kekurangan oksigen dalam atmosfer.
- Hipoventilasi (gangguan neuromuskular).
b) Penyakit paru
- Hipoventilasi karena peningkatan tahanan saluran napas atau
penurunan komplians paru.
- Kelainan rasio ventilasi-perfusi alveolus (termasuk peningkatan
ruang rugi fisiologis atau pintasan fisiologis).
- Berkurangnya difusi membran pernapasan.
c) Pintasan vena ke arteri
d) Transpor oksigen yang tidak memadai oleh darah ke jaringan
- Anemia atau hemoglobin abnormal.
- Penurunan sirkulasi umum.
- Penurunan sirkulasi lokal (perifer, serebral, pembuluh darah
koroner).
- Edema jaringan.
e) Kemampuan jaringan untuk menggunakan oksigen tidak memadai
- Keracunan enzim oksidasi selular.
- Penurunan kapasitas metabolik selular untuk meggunakan oksigen,
karena toksisitas, defisiensi vitamin atau faktor-faktor lain.
13
Pengaruh hipoksia pada tubuh, bila cukup berat, dapat menyebabkan
kematian sel-sel seluruh tubuh, tetapi pada derajat yang kurang berat terutama
akan mengakibatkan penekanan aktivitas mental, kadang-kadang memberat
sampai koma, dan menurunkan kapasitas kerja otot.
Keadaan lain yang menandakan kekurangan oksigen dalam tubuh yaitu
sianosis. Sianosis berarti kebiruan pada kulit, penyebabnya adalah hemoglobin
yang tidak mengandung oksigen jumlahnya berlebihan dalam pembuluh darah
kulit, terutama dalam kapiler. Sianosis terjadi pada apabila darah arteri
mengandung > 5 gram hemoglobin yang tidak mengandung oksigen dalam setiap
100 ml darah.
Suatu kondisi lain yang disebut dengan istilah dispnea, berarti penderitaan
mental yang diakibatkan oleh ketidakmampuan ventilasi untuk memenuhi
kebutuhan udara. Faktor yang menyertai keadaan ini adalah :
a) Kelainan gas-gas pernapasan dalam cairan tubuh, terutama hiperkapnia
dan hipoksia (dengan porsi yang jauh lebih sedikit)
b) Jumlah kerja yang harus dilakukan oleh otot-otot pernapsan untuk
menghasilkan ventilasi yang memadai
c) Orang tersebut dalam keadaan pikiran
Keadaan ini akan menjadi lebih berat karena pembentukan karbondioksida yang
berlebihan dalam cairan tubuh, akan tetapi dalam suatu waktu kadar
karbondioksida dan oksigen dalam cairan tubuh berada dalam batas normal,
namun dibutuhkan usaha bernapas yang kuat. Keadaan inilah yang sering
menimbulkan dispnea pada orang tersebut. Ada juga suatu keadaan yang mana
fungsi pernapasannya sudah kembali normal, akan tetapi masih mengalami
dispnea karena perasaannya yang masih abnormal, disebut dispnea neurogenik
atau dispnea emosional.
Faktor perkembangan yang terganggu juga merupakan suatu indikasi yang
memerlukan terapi oksigen. Misalnya pada bayi premature berisiko terkena
penyakit membrane hialin karena belum matur dalam menghasilkan surfaktan.
Bayi dan toddler berisiko mengalami infeksi saluran pernafasan akut. Pada
dewasa, mudah terpapar faktor risiko kardiopulmoner. Sistem pernafasan dan
jantung mengalami perubahan fungsi pada usia tua / lansia.
14
2.9.3 ALAT PEMBERIAN OKSIGEN
Kecepatan
Sistem pemberian aliran FiO2 (%
Keuntungan Kerugian Lain-lain
oksigen L/menit oksigen)
15
rendah
kantung
- Katup
senantiasa terisi
fraksi oksigen memberikan
sepertiga atau
40-70%) ruang untuk
separuh pada
CO2 keluar dari
saat inspirasi.
masker
- Diutamakan
untuk pasien
rawat inap
- Konsentrasi
10 oksigen tinggi
60-80
tanpa
(tergantung
dibutuhkan Kantong harus
aliran oksigen Lebih mahal dibanding
4. Non-rebreathing intubasi diisi sebelum
dan tipe nasal kanul dan simple
mask - Pasien dipasang ke
pernapasan) mask
menghirup pasien
udara yang
95
10-12 kaya oksigen
dari kantung
dan bukan dari
udara yang
tersisa.
Konsentrasi - Resiko atelektasis dan toksisitas oksigen
5. Sungkup muka 4 24-28 oksigen akhir (pemakaian lama)
venturi 6 31 dapat dimonitor - Harus dipasang dengan ketat
8 35-40 dengan lebih - Tidak dapat mengalirkan oksigen
10 50 ketat dan lebih konsentrasi tinggi dengan fleksibel
tepat
6. Head box 5 >7 - Meningkatkan O2
6 - Perlu kecepatan aliran tinggi untuk mencapai konsentrasi
7 O2 yang adekuat dan mencegah penumpukan CO2
- Aliran gas 2-3L/menit diperlukan untuk
mencegah rebreathing CO2
16
7. Continue
Positive airway 2-10 dengan
- Pemberian O2 dengan sistem tertutup memberikan tekanan positif pada
pressure(CPAP) konsentrasi
inspirasi dan ekspirasi
21-100%
17
2.9.5 Monitoring Dalam Pemberian Terapi Oksigen
Dalam pemberian terapi oksigen, monitoring merupakan hal yang penting,
agar terapi oksigen yang diberikan bisa efisien, efektif dan optimal serta efek
samping dapat seminimal mungkin. Rekomendasi monitoring terapi oksigen,
yaitu:
18
a) Jika memungkinkan AGD harus dilakukan sebelum terapi oksigen
diberikan.
b) AGD atau oksimetri harus dilakukan dalam waktu dua jam setelah
pemberian terapi oksigen dan FiO2 diatur sesuai kebutuhan, respon
yang adekuat adalah apabila PaO2 > 7,8 kPa (7,8 kPa 60mmHg)
atau SaO2 > 90%.
c) Pasien hipoksemik yang beresiko aritmia atau gagal napas harus
dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
d) Pada pasien dengan resiko gagal napas tipe 2, AGD harus
dilakukan lebih sering untuk menilai PaO2 dan SaO2 harus
dimonitor terus-menerus dengan pulse oximetry.
2.9.6 Menghentikan Pemberian Terapi Oksigen
Prosedur menghentikan terapi oksigen disebut penyapihan (weaning),
dapat dilakukan secara bertahap dengan menurunkan konsentrasi oksigen selama
periode waktu yang ditetapkan sambil dievaluasi parameter klinis dan SpO2 atau
dapat juga langsung dihentikan. Awalnya penghentian oksigen dilakukan selama
30 menit dan dilanjutkan untuk waktu yang lama, jika tidak terdapat deteriorasi,
penghentian dapat dilakukan secara total. Tanda-tanda deteriorasi, yaitu
peningkatan RR (terutama >30x/menit), penurunan SpO2, peningkatan dosis
oksigen dibutuhkan untuk memastikan SpO2 berada pada target range, rasa
mengantuk, nyeri kepala, muka kemerahan, dan tremor.
Pada pasien dengan penyakit respirasi yang kronis akan membutuhkan
oksigen dalam konsentrasi yang rendah untuk jangka waktu yang lebih lama.
Pemberian oksigen harus dihentikan apabila oksigenasi arteri sudah adekuat
dengan keadaan bernapas pada udara kamar (PaO2 >60 mmHg, SaO2 >90%).
Weaning dipertimbangkan apabila pasien sudah merasa nyaman, penyakit dasar
sudah terstabilisasai, tekana darah, nadi, frekuensi napas, warna kulit dan
oksimetri dalam batas normal, serta hasil AGD dalam batas normal.
19
dapat mengurangi drive ini. Oksigen sebaiknya hanya diberikan
dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara ketat untuk
menilai adanya retensi CO2.10
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan
manusia, sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung
fatal akibatnya. Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan,
oksigen juga sangat dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen
dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan
memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan
jangka panjang.
Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen,
teknik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya
oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu
selalu dievaluasi sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan
mencegah terjadinya retensi CO2.
21
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2010, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
edisi 9, Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, Petunjuk Praktis
Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2010, Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Singh, CP., Brar, Gurmeet K., et al, 2010, Emergency Medicine: Oxygen
Therapy, Journal, Indian Academy of Clinical Medicine _ Vol. 2, No.
South Durham Health Care NHS, 2000, Guideline for the Management of
Oxygen Therapy.
Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI.
22