Anda di halaman 1dari 45

Laboratorium / SMF Ilmu Kesehatan Anak Refleksi Kasus

Program Pendidikan Profesi Dokter Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

SINDROM NEFROTIK

Disusun Oleh:

Anissa 1610029002

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Laboratorium/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
Desember 2016

1
Refleksi Kasus

SINDROM NEFROTIK

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Kesehatan Anak
ANISSA
1610029002

Menyetujui,

dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
DESEMBER 2016

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refleksi
kasus dengan judul Sindrom Nefrotik. Dalam kesempatan ini, penulis ingin
menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam pelaksanaan hingga
terselesaikannya tutorial kasus ini, diantaranya:

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A, selaku dosen pembimbing klinik yang telah
memberikan bimbingan selama penulis menjalani co.assisten di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak.
5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada penulis.
6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, Desember
2016

Penulis

DAFTAR ISI

3
Halaman

HALAMAN JUDUL...........................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................
BAB 2 KASUS...................................................................................................
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................13
BAB 4 PEMBAHASAN...................................................................................
BAB 5 PENUTUP............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan
prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1 (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
masif ( 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (UKK Nefrologi IDAI, 2012). Anak yang menderita sindrom
nefrotik umumnya mengeluhkan edema pada palpebral dengan atau tanpa edema
generalisata. Sindrom ini muncul akibat kerusakan pada struktur dan fungsi dari
filtrasi glomerular sehingga glomerular kehilangan kemampuannya untuk
memfiltrasi protein (FKUI, 2007).

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan refleksi kasus ini adalah:
1. Menambah ilmu pengetahuan mengenai kasus sindrom nefrotik.
2. Mengkaji ketepatan penegakkan diagnosis dan tatalaksana sindrom
nefrotik.

1
BAB 2
KASUS

Allonamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada 17 Desember 2016.


Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien.

1. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : An. F
Usia : 9 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Banjar
Alamat : Handil B
Anak ke : 4 dari 6 bersaudara

Identitas Orangtua
Nama Ayah : Tn. J
Usia : 53 tahun
Pekerjaan : Tukang
Pendidikan Terakhir : Tidak Sekolah
Ayah perkawinan ke :1
Nama Ibu : Ny. J
Usia : 45 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Ibu perkawinan ke :1

Tanggal MRS : 14 Desember 2016


Tanggal pemeriksaan : 17 Desember 2016

Keluhan Utama
Bengkak (sembab) pada wajah saat bangun pagi SMRS.

2
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan
keluhan wajah bengkak atau sembab saat baru bangun tidur pagi hari sebelum
masuk rumah sakit. Bengkak terutama ditemukan pada kedua kelopak mata.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk dan pilek selama 1 hari sebelum masuk
rumah sakit. Tidak ada keluhan nyeri ataupun adanya darah yang keluar saat
buang air kecil, warna urin kuning jernih, namun saat buang air kecil urin yang
keluar sering disertai buih. Tidak ada penurunan frekuensi buang air kecil.
Tidak didapatkan adanya keluhan saat buang air besar. Tidak ada penurunan
nafsu makan. Pasien sering mengkonsumsi air putih, namun dalam jumlah
yang sedikit, yaitu hanya sekitar 3 gelas per hari. Riwayat alergi disangkal.
Pasien juga tidak ada mengkonsumsi makanan yang tidak biasa, obat, ataupun
terpapar dengan dingin sebelum timbulnya bengkak pada wajah. Pasien tidak
mengeluhkan adanya sesak napas.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah didiagnosis sindrom nefrotik saat berusia 1,5 tahun, dan pernah
kambuh lagi satu kali, namun ibu lupa saat usia berapa anak mengalami
kekambuhan.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga lainnya yang memiliki keluhan serupa. Tidak ada
riwayat alergi di keluarga.

Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak :


Berat badan lahir : 2500 gram
Panjang badan lahir : ibu lupa
Berat badan sekarang : 18 kg
Tinggi badan sekarang : 110 cm
Gigi keluar : ibu lupa
Tersenyum : ibu lupa
Miring : ibu lupa

3
Tengkurap : ibu lupa
Duduk : ibu lupa
Merangkak : ibu lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 11 bulan
Berbicara 2 suku kata : ibu lupa
Masuk TK : -
Masuk SD : 9 tahun
Sekarang kelas : 1 SD

Makan dan minum anak


ASI : lahir sampai 1 tahun
Susu sapi/ buatan : -
Jenis susu : -
Takaran : -
Bubur susu : -
Tim saring : 4 bulan
Buah : 4 bulan
Lauk dan makan padat : 9,5 bulan

Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit Kehamilan : -
Obat-obatan yang sering diminum : vitamin dan tablet Fe

Riwayat Kelahiran :
Lahir di : Rumah
Persalinan ditolong oleh : bidan kampung
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : spontan

Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Posyandu
Keadaan anak : Sehat
Keluarga berencana : Tidak

4
Riwayat Imunisasi Dasar
Imunisasi Usia saat imunisasi
I II III IV Booster I Booster II
BCG (+) //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////
Polio (+) (+) (+) (+)
Campak (+) //////////// //////////// //////////// ////////////
DPT (+) (+) (+) ////////////
Hepatitis B (+) (+) (+)

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 17 Desember 2016

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : GCS E4V5M6

Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 80 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 28 x/menit, regular
Suhu : 36,5oC, aksiler
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Percentile of Height 95
P50 = 103/61 mmHg
P90 = 116/75 mmHg
P95 = 120/79 mmHg
P99 = 127/87 mmHg

Status gizi
Berat badan : 18 kg
Tinggi Badan : 110 cm
Interpretasi Kurva CDC: BB/U = 18/32 x 100% = 56% = BB jelek
TB/U = 110/102 x 100% = 108% = TB normal
BB/TB = 18/38 x 100% = 47% = Gizi Buruk

Regio Kepala/Leher
1 Bentuk kepala normal, rambut berwarna hitam

5
2 Ubun-ubun besar cekung (-), ubun-ubun besar cembung (-)
3 Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-), mata cowong (-/-), sklera ikterik
(-/-), sianosis (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), pupil anisokor (-),
kulit ikterik (-), tampak pucat (-)
4 Pernapasasan cuping hidung (-)
5 Mulut berselaput putih (-)

Regio Thorax
Paru-paru
1 Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris, retraksi
intercosta (-)
2 Palpasi : Pergerakan dada simetris, raba fremitus simetris
3 Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
4 Auskultasi : Suara napas simetris, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
1 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2 Palpasi : Ictus cordis teraba pada midclavicula line ICS V sinistra
3 Perkusi : Batas jantung kanan : parasternal line dekstra
Batas jantung kiri : midclavicula line ICS V sinistra
4 Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Regio Abdomen
1 Inspeksi : kontur datar
2 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
3 Perkusi : Distribusi timpani di keempat kuadran
4 Palpasi : Soefl, defans muskular (-), organomegali
(-), nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-), shifting
dullness (-)

Regio Ekstremitas
1 Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), petekie (-), ikterik (-), spoon nails (-)
2 Palpasi : Akral hangat, edema (-), nyeri tekan (-), refleks fisiologis normal, refleks
patologis (-)

3 Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis (14/12/2016)
Berat Jenis: 1,000 (Normal: 1,003 1,300)

6
Keton: Negatif (Normal: Negatif)
Nitrit: Negatif (Normal: Negatif)
Leuko: Negatif (Normal: Negatif)
Hemoglobin: Negatif (Normal: Negatif)
Warna: Kuning (Normal: Kuning)
Kejernihan: Jernih (Normal: Jernih)
pH: 6,0 (Normal: 4,8 7,8)
Protein: ++ (Normal: Negatif)
Glukosa: Negatif (Normal: Negatif)
Bilirubin: Negatif (Normal: Negatif)
Urobilinogen: Negatif (Normal: Negatif)
Sel Epitel: + (Normal: Sedikit)
Leukosit: 0 3 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Eritrosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Silinder: Negatif (Normal: Negatif)
Kristal: Negatif (Normal: Negatif)
Bakteri: Negatif (Normal: Negatif)
Jamur: Negatif (Normal: Negatif)
Lain-lain: Negatif (Normal: Negatif)

4 Diagnosis
Sindrom Nefrotik

5 Penatalaksanaan
MRS

6 Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah dubia

7 Follow up
Rabu, 14 Desember 2016
S: Bengkak pada wajah dan kelopak mata kanan dan kiri saat bangun tidur.

7
O: Komposmentis, KU sedang, anemis (-/-), ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-),
T = 36oC, RR = 24x/menit, N = 108x/menit, TD = 110/70 mmHg, BB = 18
kg, suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
shifting dullness (-), bising usus (+), oedema ekstremitas (-), akral hangat,
CRT < 2 detik.
A: Sindrom Nefrotik
P: P Dx: Pemeriksaan darah lengkap, albumin, kolesterol
P Tx: -

Kamis, 15 Desember 2016


S: -
O: Komposmentis, KU sedang, anemis (-/-), ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-),
T = 36oC, RR = 24x/menit, N = 108x/menit, TD = 100/70 mmHg, BB = 18
kg, suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
shifting dullness (-), bising usus (+), oedema ekstremitas (-), akral hangat,
CRT < 2 detik.
Pemeriksaan Darah Lengkap:
Leukosit: 16.770/L (Normal: 4.500 14.500/L)
Eritrosit: 4.290.000/L (Normal: 4.000.000 5.200.000/L)
Hemoglobin: 13,3 g/dL (Normal: 11,5 15,5 g/dL)
Hematokrit: 36,1% (Normal: 35 45%)
Trombosit: 544.000/L (Normal: 150.000 450.000/L)
Laju Endap Darah: 95 mm/jam (Normal: <15 mm/jam)
Pemeriksaan Kimia Klinik:
Albumin: 2 g/dL (Normal: 4 4,9 g/dL)
Kolesterol: 686 mg/dL (Normal: <200 mg/dL)

Urinalisis:
Berat Jenis: 1,007 (Normal: 1,003 1,300)
Keton: Negatif (Normal: Negatif)
Nitrit: Negatif (Normal: Negatif)
Leuko: Negatif (Normal: Negatif)
Hemoglobin: Negatif (Normal: Negatif)
Warna: Kuning (Normal: Kuning)
Kejernihan: Jernih (Normal: Jernih)
pH: 6,0 (Normal: 4,8 7,8)
Protein: +++ (Normal: Negatif)

8
Glukosa: Negatif (Normal: Negatif)
Bilirubin: Negatif (Normal: Negatif)
Urobilinogen: Negatif (Normal: Negatif)
Sel Epitel: + (Normal: Sedikit)
Leukosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Eritrosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Silinder: Negatif (Normal: Negatif)
Kristal: Negatif (Normal: Negatif)
Bakteri: Negatif (Normal: Negatif)
Jamur: Negatif (Normal: Negatif)
Lain-lain: Negatif (Normal: Negatif)
A: Sindrom Nefrotik
P: - Transfusi Albumin 20% (pre furosemide)
- Prednison 5mg 3-2-2
- Captopril 3x5,4 mg
- Valsartan 1x20mg
- B complex 1x1
- Diet rendah serat, minum max 1000 cc/24 jam

Jumat, 16 Desember 2016


S: -
O: Komposmentis, KU sedang, anemis (-/-), ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-),
T = 35,5oC, RR = 28x/menit, N = 80x/menit, TD = 100/60 mmHg, BB = 18
kg, suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
shifting dullness (-), bising usus (+), oedema ekstremitas (-), akral hangat,
CRT < 2 detik.
Pemeriksaan Feses:
Makroskopis: Warna: Kuning (Normal: Kuning)
Konsistensi: Lunak (Normal: Lunak)
Darah: Negatif (Normal: Negatif)
Lendir: Negatif (Normal: Negatif)
Mikroskopis: Eritrosit: 0 1 / lpb (Normal: Negatif)
Leukosit: 1 2 / lpb (Normal: Negatif)
Amuba: Negatif (Normal: Negatif)
Kista: Negatif (Normal: Negatif)
Telur cacing: Negatif (Normal: Negatif)
Sisa amylum: Negatif (Normal: Negatif)
Sisa lemak: Negatif (Normal: Negatif)
Urinalisis:
Berat Jenis: 1,005 (Normal: 1,003 1,300)

9
Keton: Negatif (Normal: Negatif)
Nitrit: Negatif (Normal: Negatif)
Leuko: Negatif (Normal: Negatif)
Hemoglobin: Negatif (Normal: Negatif)
Warna: Kuning (Normal: Kuning)
Kejernihan: Jernih (Normal: Jernih)
pH: 6,5 (Normal: 4,8 7,8)
Protein: +++ (Normal: Negatif)
Glukosa: Negatif (Normal: Negatif)
Bilirubin: Negatif (Normal: Negatif)
Urobilinogen: Negatif (Normal: Negatif)
Sel Epitel: + (Normal: Sedikit)
Leukosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Eritrosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
Silinder: Negatif (Normal: Negatif)
Kristal: Negatif (Normal: Negatif)
Bakteri: Negatif (Normal: Negatif)
Jamur: Negatif (Normal: Negatif)
Lain-lain: Negatif (Normal: Negatif)
A: Sindrom Nefrotik Relaps
P: P Tx: - Transfusi Albumin 20%
- Prednison 5mg 3-2-2
- Captopril 3x5,4 mg
- Valsartan 1x20mg
- B complex 1x1
- Diet rendah serat, minum max 1000 cc/24 jam
- Balance cairan

Sabtu, 17 Desember 2016


S: -
O: Komposmentis, KU sedang, anemis (-/-), ikterik (-/-), oedema palpebra (-/-),
T = 36,5oC, RR = 28x/menit, N = 80x/menit, TD = 100/60 mmHg, BB = 18
kg, suara napas vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-), abdomen soefl,
shifting dullness (-), bising usus (+), oedema ekstremitas (-), akral hangat,
CRT < 2 detik.

10
Balans Cairan:
Input: Minum = 500 cc
Output: Urin = 500 cc
IWL = x 1400 cc = 350 cc
Total Output = 850 cc
Balans cairan = input output = 500 cc 850 cc = - 350 cc
A: Sindrom Nefrotik
P: P Tx: - Transfusi Albumin 20% (pre furosemide)
- Prednison 5mg 3-2-2
- Captopril 3x5,4 mg
- Valsartan 1x20mg
- B complex 1x1
- Diet rendah serat, minum max 1000 cc/24 jam
- Balance cairan

11
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

SINDROM NEFROTIK

3.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala proteinuria
masif ( 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2
mg/mg atau dipstik 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan dapat disertai
hiperkolesterolemia (UKK Nefrologi IDAI, 2012). Anak yang menderita sindrom
nefrotik umumnya mengeluhkan edema pada palpebral dengan atau tanpa edema
generalisata. Sindrom ini muncul akibat kerusakan pada struktur dan fungsi dari
filtrasi glomerular sehingga glomerular kehilangan kemampuannya untuk
memfiltrasi protein (FKUI, 2007).

3.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang
paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika
Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun,dengan
prevalensi berkisar 12 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang
insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada
anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1 (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi


anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi anatomi lainnya adalah
glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%, mesangial proliferatif difus
(MPD) 2-5%, glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) 4-6%, dan
nefropati membranosa (GNM) 1,5% (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

3.3 Etiologi
Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti
penyakit sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein, dan lain lain (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

12
3.4 Batasan
Remisi: proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu.

Relaps: proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut


dalam 1 minggu.

Relaps jarang: relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau kurang dari 4 x per tahun pengamatan.

Relaps sering (frequent relaps): relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah


respons awal atau 4 x dalam periode 1 tahun.

Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan


(alternating) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.

Resisten steroid: tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.

Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

3.5 Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negative tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negative tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia
merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik
plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma keruang interstitial
(Kliegman & et All, 2011).
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus
dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan
edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan
stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini

13
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan
intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan
pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma
yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
(Kliegman & et All, 2011).
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu
aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta
ADH (anti diuretik hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga
produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini
dikenal dengan teoriunderfill yang dijabarkan seperti bagan di bawah ini :
Kelainan Glomerulus

Albuminuria

Hipoalbuminernia

Tekanan onkotikkoloin plasma

Volume plasma

Retensi Na di tubulus distal dan sekresi ADH

EDEMA

14
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita
sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill yang dijabarkan seperti bagan di bawah ini:

Kelainan Glomerulus

Retensi Na renal primer

Albuminuria
Hipoalbuminemia

Volume Plasma

EDEMA

Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai
akibat hipervolemia.(Gunawan, 2006)
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang
dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung
bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena
patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu.(Gunawan, 2006)

15
Mekanismehiperlipidemiapada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL
pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme.
Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL
menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL
( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan
onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun
diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT
(lecithincholesterolacyltransferase) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi
menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan
hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.(Kliegman & et All, 2011).

3.6 Manifestasi Klinis


Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Kadang-kadang
disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai
sakit perut, hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis atau
hipovolemia. Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in
Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22%
dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32% dengan
peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara (UKK
Nefrologi IDAI, 2012).

3.7 Diagnosis
Sindrom nefrotik (SN) adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:

Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio


protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik >+2

Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL

Edema

16
Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan umum seperti berat badan,


tinggi badan, dan perkiraan luas permukaan tubuh. Tekanan darah harus
dipastikan karena anak dengan sindroma nefrotik biasanya menderita hipertensi.
Edema dapat ditemukan di seluruh tubuh terutama di tungkai bawah, skrotum,
ascites, dan efusi pleura. Status kardiovaskular dan perfusi harus dicatat. Indikator
kelebihan cairan adalah : takikardia, hipertensi, distress pernapasan, ekstrimitas
hangat, hepatomegali, dan peningkatan JVP. Sementara indikator hipovolemia
adalah takikardia, hipertensi, akral dingin, CRT lambat (Renal Clinicians Group,
2007).

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan, antara lain:

Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.

Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio


protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.

Pemeriksaan darah

Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,


hematokrit, LED)

Albumin dan kolesterol serum

Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz

Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan


ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
(UKK Nefrologi IDAI, 2012).

3.8 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit
dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit,
penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan
berikut:

17
Pengukuran berat badan dan tinggi badan

Pengukuran tekanan darah

Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus
eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein.

Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap infeksi


perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.

Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT).

Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema
anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal,
atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan
dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh sekolah (UKK
Nefrologi IDAI, 2012).

3.8.1 Diitetik
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan
menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein
(hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit rendah
protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan
pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA
(recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema (UKK Nefrologi IDAI,
2012).

3.8.2 Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop
diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan
spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari.
Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada
pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit
kalium dan natrium darah (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat ( 1 g/ dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb se-lama 2-4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya

18
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mence-
gah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang. Skema pemberian diuretik
untuk mengatasi edema tampak pada Gambar 1.

Furosemid 1 3 mg/kgbb/hari + spironolakton 2-4 mg/kgbb/hari


Respons (-)

Berat badan tidak menurun atau tidak ada diuresis dalam 48 jam

Dosis furosemid dinaikkan 2 kali lipat (maksimum 4-6 mg/kgbb/hari)

Respons (-)

Tambahkan hidroklorothiazid 1-2 mg/kgbb/hari

Respons (-)

Bolus furosemid IV 1-3 mg/kgbb/dosis atau per infus dengan kecepatan 0,1-1
mg/kgbb/jam

Respons (-)

19
Albumin 20% 1g/kgbb intravena diikuti dengan furosemid intravena

Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

3.8.3 Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/
hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien
imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah
obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV (inactivated
polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu dapat diberikan
vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi
pneumokokus dan varisela (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

3.8.4 Pengobatan dengan Kortikosteroid


Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila ada
kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau prednisolon
(UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Terapi Inisial

Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalahdiberikan prednison 60 mg/m2
LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/ hari) dalam dosis terbagi, untuk
menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal
(berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh ( full dose ) inisial
diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama,
dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal)
atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan
pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan sebagai resisten steroid (Gambar 2) (UKK Nefrologi IDAI,
2012).

20
Gambar 2. Pengobatan inisial kortikosteroid (UKK Nefrologi IDAI, 2012)

Pengobatan SN Relaps

Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Gambar 3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps (UKK Nefrologi IDAI, 2012)

Keterangan:

Pengobatan SN relaps: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi
(maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid

Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid: (UKK


Nefrologi IDAI, 2012)

21
Pemberian steroid jangka panjang

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah
remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-
12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/ kgbb alternating,
maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi,
diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison
diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb di-berikan secara alternating, kemudian
diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang
terakhir.

Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-ternating, tetapi <
1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4 - 12
bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:

Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau

Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai efek samping steroid yang berat, pernah
relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan sepsis

diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2 - 3 mg/kgbb/hari selama 8 - 12


minggu.

Pemberian levamisol

Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan


dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek
samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan
neutropenia yang reversibel.

Pengobatan dengan sitostatik

Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.

22
Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam
dosis tunggal (Gambar 4), maupun secara intravena atau puls (Gambar 5). CPA
puls diberikan dengan dosis 500 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250
ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7
dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).
Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis
hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan
keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit
<3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan
sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8
g/dL, trombosit >100.000/uL.

Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral (UKK Nefrologi IDAI,
2012)

Keterangan:

Relaps sering: prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis
tunggal selama 8 minggu.

23
Gambar 5. Pengobatan sindrom nefrotik dependen steroid (UKK Nefrologi IDAI,
2012)

Keterangan:

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500 - 750 mg/m2
LPB diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

atau

Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu),
kemudian dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2 - 3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12
minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama
1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/ kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).

Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai 200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se-lama 3 bulan mempunyai
dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.

Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)

Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4 - 5 mg/kgbb/hari (100 -
150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah
berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA
dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid
dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps
kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian CyA
dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.

Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 1200 mg/m2 LPB atau 25 -
30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan.
Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

24
Gambar 6. Diagram pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid (UKK
Nefrologi IDAI, 2012)

Keterangan:

Pengobatan steroid jangka panjang

Langsung diberi CPA

Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA

Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang
telinga tengah, atau kecacingan (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid

25
Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka
dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2 - 3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (UKK Nefrologi
IDAI, 2012).

Pengobatan SN Resisten Steroid

Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada


pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi
mempengaruhi prognosis (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

1. Siklofosfamid (CPA)

Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan


remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA,
bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten
steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis
penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau menjadi dependen steroid
kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian CPA oral dan puls dapat
dilihat pada Gambar 7 (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

26
Gambar 7. Pengobatan sindrom nefrotik resisten steroid (UKK Nefrologi IDAI,
2012)

Keterangan:

Sitostatik oral: siklofosfamid 2 - 3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan.

Prednison alternating dosis 40 mg/m2 LPB/hari selama pemberian siklofosfamid


oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).

atau

Siklofosfamid puls dengan dosis 500 - 750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien.

Prednison alternating dosis 40 mg/m2 LPB/hari selama pemberian siklofosfamid


puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).

2. Siklosporin (CyA)

27
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13% (UKK Nefrologi
IDAI, 2012).

Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi


gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial.
Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pe-mantauan terhadap: (UKK
Nefrologi IDAI, 2012)

Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150 - 250 ng/mL

Kadar kreatinin darah berkala

Biopsi ginjal setiap 2 tahun

Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam


literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Metilprednisolon Puls

Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil prednisolon


puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau klorambusil 8-12
minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000 mg) dilarutkan
dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam. (Tabel 1)

Tabel 1. Protokol metilprednisolon dosis tinggi (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Minggu

Metilprednisolon

Jumlah

Prednison oral

ke-

28
1

30 mg/kgbb, 3 x seminggu

Tidak diberikan

3 10

30 mg/kgbb, 1 x seminggu

2 mg/kgbb, dosis tunggal

11

18

30 mg/kgbb, 2 minggu sekali

29
Dengan atau tanpa taper off

19

50

30 mg/kgbb, 4 minggu sekali

Taper off pelan-pelan

51

82

30 mg/kgbb, 8 minggu sekali

Taper off pelan-pelan

30
Keterangan:

Dosis maksimum metilprednisolon 1000 mg; dosis maksimum prednison oral 60


mg. Siklofosfamid (2-2,5 mg/kgbb/hari) atau klorambusil (0,18-0,22
mg/kgbb/hari) selama 8-12 minggu dapat diberikan bila proteinuria masif masih
didapatkan setelah pemberian metilprednisolon selama 10 minggu.

Obat Imunosupresif Lain

Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah
vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur
yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini
belum direkomendasi di Indonesia (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Skema tata laksana sindrom nefrotik selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Tata laksana sindrom nefrotik (UKK Nefrologi IDAI, 2012)

Pemberian Obat Non-Imunosupresif untuk Mengurangi Proteinuria

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor


blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga

31
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS. Dalam
kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB memberikan
hasil penurunan proteinuria lebih banyak (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan
untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan
steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah: (UKK
Nefrologi IDAI, 2012)

Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5


mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/ kgbb dosis tunggal

Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal.

Tatalaksana Komplikasi Sindrom Nefrotik

Infeksi

Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu
segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis
dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh
kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan
penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu
sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain yang sering ditemukan
pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas karena virus
(UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila
terjadi kontak diberikan profilaksis dengan imu-noglobulin varicella-zoster,
dalam waktu kurang dari 96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan
suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi
infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau
asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 10 hari, dan
pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Trombosis

Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti


defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat

32
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis
telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin
secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.
Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Hiperlipidemia

Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL
menurun atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik,
sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas
glomerulosklerosis (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara


dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah
lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti inhibitor
HMgCoA reduktase (statin) (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Hipokalsemia

Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena: (UKK Nefrologi IDAI, 2012)

Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan


osteopenia

Kebocoran metabolit vitamin D

Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih
dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan
vitamin D (125- 250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium
glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb intravena (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Hipovolemia

Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering
disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat
sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1
g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per menit). Bila
hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Hipertensi

33
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium
channel blockers, atau antagonis adrenergik, sampai tekanan darah di bawah
persentil 90 (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Efek Samping Steroid

Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek
samping tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan,
perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi,
dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan
terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat
badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak
setiap tahun sekali (UKK Nefrologi IDAI, 2012).

Indikasi Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini: (UKK Nefrologi


IDAI, 2012)

Pada presentasi awal

Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun

Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar


komplemen C3 serum yang rendah

Hipertensi menetap

Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia

Tersangka sindrom nefrotik sekunder

Setelah pengobatan inisial

SN resisten steroid

Sebelum memulai terapi siklosporin

Indikasi Melakukan Rujukan Kepada Ahli Nefrologi Anak

34
Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak: (UKK Nefrologi IDAI, 2012)

Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom
nefrotik di dalam keluarga

Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi


ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit

Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat,


toksik steroid

Sindrom nefrotik resisten steroid

Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid.

3.9 Prognosis
Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak responsif
(resisten steroid). Prognosis jangka panjang SNKM selama pengamatan 20 tahun
menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada GSFS
25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun dan pada sebagian besar lainnya
disertai penurunan fungsi ginjal. Pada berbagai penelitian jangka panjang ternyata
respons terhadap pengobatan steroid lebih sering digunakan untuk menentukan
prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi (UKK Nefrologi
IDAI, 2012).

35
BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
-Edema palpebra atau pretibia -Pasien datang dengan keluhan wajah dan
-Dapat disertai asites, efusi pleura, kelopak mata bengkak saat baru bangun
edema genitalia, oliguria dan gejala tidur pagi hari SMRS.
infeksi, nafsu makan berkurang, dan -Pasien juga mengeluhkan adanya batuk
diare. dan pilek selama 1 hari sebelum masuk
rumah sakit.
-Pasien pernah didiagnosis sindrom
nefrotik saat berusia 1,5 tahun, dan pernah
kambuh lagi satu kali.

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori
Kasus
-Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan umum seperti berat badan, tinggi
badan, dan perkiraan luas permukaan tubuh.
-Anak dengan sindroma nefrotik biasanya menderita hipertensi.
-Edema dapat ditemukan di seluruh tubuh terutama di tungkai bawah, skrotum,
ascites, dan efusi pleura.

Keadaan umum : Sedang


Kesadaran : GCS E4V5M6

Tanda-tanda vital
Frekuensi Nadi : 80 x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi Nafas : 28 x/menit, regular
Suhu : 36,5oC, aksiler
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Percentile of Height 95

36
P50 = 103/61 mmHg
P90 = 116/75 mmHg
P95 = 120/79 mmHg
P99 = 127/87 mmHg

Status gizi
Berat badan : 18 kg
Tinggi Badan : 110 cm
Interpretasi Kurva CDC: BB/U = 18/32 x 100% = 56% = BB jelek

TB/U = 110/102 x 100% = 108% = TB normal

BB/TB = 18/38 x 100% = 47% = Gizi Buruk


4.3 Pemeriksaan Penunjang
Teori
Kasus
- Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.

- Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio


protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.

- Pemeriksaan darah

Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,


hematokrit, LED)

Albumin dan kolesterol serum

Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwartz

Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan


ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA

Urinalisis (14/12/2016)
- Berat Jenis: 1,000 (Normal: 1,003 1,300)
- Keton: Negatif (Normal: Negatif)
- Nitrit: Negatif (Normal: Negatif)

37
- Leuko: Negatif (Normal: Negatif)
- Hemoglobin: Negatif (Normal: Negatif)
- Warna: Kuning (Normal: Kuning)
- Kejernihan: Jernih (Normal: Jernih)
- pH: 6,0 (Normal: 4,8 7,8)
- Protein: ++ (Normal: Negatif)
- Glukosa: Negatif (Normal: Negatif)
- Bilirubin: Negatif (Normal: Negatif)
- Urobilinogen: Negatif (Normal: Negatif)
- Sel Epitel: + (Normal: Sedikit)
- Leukosit: 0 3 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
- Eritrosit: 0 1 / lpb (Normal: 0 1 / lpb)
- Silinder: Negatif (Normal: Negatif)
- Kristal: Negatif (Normal: Negatif)
- Bakteri: Negatif (Normal: Negatif)
- Jamur: Negatif (Normal: Negatif)
- Lain-lain: Negatif (Normal: Negatif)

4.4 Penatalaksanaan
Teori Kasus
Penatalaksanaan untuk SN relaps -Transfusi Albumin 20% (pre
jarang: furosemide)
Prednison dosis penuh sampai remisi - Prednison 5mg 3-2-2
- Captopril 3x5,4 mg
(maksimal 4 minggu) dilanjutkan
- Valsartan 1x20mg
dengan dosis alternating selama 4 - B complex 1x1
- Diet rendah serat, minum max 1000
minggu.
cc/24 jam
Pada pasien SN remisi yang
- Balance cairan
mengalami proteinuria kembali ++
tetapi tanpa edema, sebelum
pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi
saluran nafas atas. Bila terdapat
infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari,
dan bila kemudian proteinuria
menghilang tidak perlu diberikan
pengobatan relaps.

38
39
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Pasien an. F, perempuan, berusia 9 tahun 9 bulan, datang ke Poli Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dengan keluhan wajah bengkak atau
sembab saat baru bangun tidur pagi hari sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
terutama ditemukan pada kedua kelopak mata. Pasien juga mengeluhkan adanya
batuk dan pilek selama 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan
nyeri ataupun adanya darah yang keluar saat buang air kecil, warna urin kuning
jernih, namun saat buang air kecil urin yang keluar sering disertai buih. Tidak ada
penurunan frekuensi buang air kecil. Tidak didapatkan adanya keluhan saat buang
air besar. Tidak ada penurunan nafsu makan. Pasien sering mengkonsumsi air
putih, namun dalam jumlah yang sedikit, yaitu hanya sekitar 3 gelas per hari.
Riwayat alergi disangkal. Pasien juga tidak ada mengkonsumsi makanan yang
tidak biasa, obat, ataupun terpapar dengan dingin sebelum timbulnya bengkak
pada wajah. Pasien tidak mengeluhkan adanya sesak napas. Pasien pernah
didiagnosis sindrom nefrotik saat berusia 1,5 tahun, dan pernah kambuh lagi satu
kali, namun ibu lupa saat usia berapa anak mengalami kekambuhan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
ditegakkan diagnosis pada pasien ini adalah sindrom nefrotik.
Secara umum, penegakan diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai
dengan literatur yang ada. Prognosis pada pasien ini berdasarkan perjalanan
penyakit dan penatalaksanaan yang telah didapatkan adalah dubia ad bonam.

5.2 Saran

Perlunya anamnesis yang mendalam dan pemeriksaan fisik yang lengkap


untuk dapat menentukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan sehingga dapat
ditegakkan diagnosis yang tepat serta dapat ditentukan penatalaksanaan yang
tepat.

40
DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, C. A. (2006). Sindroma Nefrotik Patogenesis dan Penatalaksanaan.


Cermin Dunia Kedokteran, 50-54.

Kliegman, R., & et All. (2011). Nelson Textbook of Pediatrics. California:


ELSEVIER.

Renal Clinicians Group. (2007). Nephrotic Syndrome. Nottingham: NHS.

UKK Nefrologi IDAI. (2012). Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak
(2 ed.). (P. P. Trihono, H. Alatas, T. Tambunan, & S. O. Pardede, Eds.) Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia.

41

Anda mungkin juga menyukai