Anda di halaman 1dari 8

Ikhwam As-Shafa

A. BIOGRAFI IKHWAN AS-SHAFA


Ikhwan As-Shafa adalah nama sekelompok pemikir muslim rahasia berasal dari sekte Syiah
Ismailiah yang lahir di tengah-tengah komunitas sunni sekitar abad ke-4 H/10M di Basrah. [1] Syiah
Ismailiah yang terlibat dalam propaganda politik secara rahasia sejak meninggalnya imam mereka,
Ismail bin Jabar As-Sadiq, tahun 760. Ketika Syiah menjadi madzhab penguasa, kelompok ini muncul ke
permukaan meski tetap mempertahankan kerahasiaan gerakannya. Ada yang mengenal kelompok ini
sebagai ikatan para pemikir (intelektual) yang menyebarkan fisafat dan sains dengan cara memadukan
syariat Islam dengan filsafat Yunani [2]. Kerahasiaan kelompok ini menamakan dirinya khulafa al-wafa,
ahl al-adl, dan abna al-hamd (Brethrn of Purity[3]). Terungkap setelah kekuasaannya Dinasti Buwaihi,
yang berpaham Syiah di Baghdad pada tahun 983 M.
Pemikiran mereka sangat layak dikaji karena lebih sekedar kajian artifikasi, disamping Ikhwan
sangat dikenal di timur tengah.[4] Tokoh terkemuka sebagai pelopopr organisasi ini ialah Ahmad Ibn
abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibn Nashr Al-Busti yang dikenal dengan sebutan Al-Muqaddasi,
Zaid Ibn Rifaah dan Abu Al-Hasan Ali Ibn harun Al-Zanjay.[5]
Timbulnya organisasi yang bergerak dalam bidang keilmuan dan juga politik ini ada hubungannya
dengan kondisi dunia Islam ketika itu. Sejak pembatalan teologi rasional mutazilah sebagai mazhab
negara oleh Al-Mutawakkil, maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan, kemudian diusir
dari Baghdad. Kemudian penguasa melarang mengajarkan Kesusastraan ilmu dan Filsafat. Kondisi yang
tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah sesudahnya. Hal ini menimbulkan cara berfikir
tradisional dan meredupnya keberanian berfikir rasional umat. Disisi lain terjangkit pada pola hidup
mewah dikalangan pembesar negara. Maka, masing-masing golongan berusaha mendekati khalifah
untuk menanamkan pengaruhnya sehingga timbul persaingan tidak sehat yang menjurus pada timbulnya
dekadensi moral.
Berdasarkan itulah lahirnya Ikhwan As-Shafa yang ingin menyelamatkan masyarakat
mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah. Menurut mereka, syariat dinodai
bermacam-macam kejahilan dan dilumuri keanekaragaman kesesatan. syariat telah dikotori oleh
kebodohan dan kesesatan manusia dalam memahaminya [6]. Menurut mereka, tidak ada jalan untuk
membersihkannya, kecuali dengan filsafat karena filsafat mengandung hikmah dan kemaslahatan.
[7] Mereka adalah kelompok rahasia tidak senang kepada para ulama dan penguasa yang di anggap
telah meracuni akal pikiran seta mengutuk para filosof yang di tuduhnya sebagai penganut Bidah.
Mereka menganggap agama telah mambeku karena para ulama yang jumud dan fanatik, syariat benar-
benar di nodai dengan berbagai kata dan tawil yang bertentangan dengan syariat. Usaha untuk
membersihkan agama adalah dengan filsafat. Mereka mempelajari filsafat untuk menguatkan
keyakinan yang mereka padukan dengan dengan agama. Mereka membahas sedalam-dalamnya filsafat
Yunani, Persia, India dll yang di padukan dengan ajaran Islam sehingga melahirkan sebuah ikhtisar
mazhab yang khas bagi mereka sendiri, dengan pemaduan ajaran agama dengan teori filsafat, maka
kesempurnaan yang akan mengantar kepada kebahagiaan yang akan tercapai. [8]
Dalam upaya memperluas gerakan Ikhwan As-Shafa mengirimkan orang-orangnya ke kota-kota
tertentu untuk membentuk cabang dan mengajak siapa saja yang berminat pada keilmuan dan
kebenaran khususnya dari orang-orang muda, agar mudah dibentuk, meskipun begitu militansi anggota
dan kerahasiaan organisasi tetap terjaga. Calon anggota perhimpunan ini dituntut keras untuk
berpegangan teguh satu sama lain dalam mengahadapi marabahaya dan kesukaran untuk membantu
satu sama lain baik dalam perkara duniawi maupun rohani dan untuk menjaga diri agar tidak
bersahabat dengan persaudaraan yang tercela. Karena hal tersebut ada empat tingkatan anggota,
[9] yaitu:
Tingkat 1 : Terdiri dari pemuda cekatan berusia dari 15-30 tahun (Al-Abrar Ar-Ruhma = para saudara yang baik dan
dikasihi) yang memiliki jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka ini berstatus murid maka wajib
patuh dan tunduk secara sempurna kepada guru.
Tingkat 2 : Adalah Al-Ikhwan Al-Akhyar Al-Fudala (para saudara yang terbaik dan utama) berusia dari 30-40 tahun.
Pada tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap
berkorban demi persaudaraan.
Tingkat 3 : Adalah Al-Ikhwan Al-Fudhala Al-Kiram berusia 40-50 tahun (para saudara yang utama dan mulia).
Merupakan tingkatan dewasa. Mereka sudah mengetahui namus al-Ilahi sebagai tingkat para Nabi.
Tingkat 4 : Adalah tingkat tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun keatas. Kelompok elit yang ahli
mereka telah terbuka menyaksikan kebenaran dengan mata hati. Mampu memahami hakikat seseuatu
spesifik seperti halnya malaikat al-Muqarratun, sehingga mereka sudah berada di atas alam realitas,
syariat dan wahyu.
Dari tingkatan-tingkatan diatas Ikhwan As-Shafa sangat selektif dalam memilih anggota, tidak
semua orang dapat diterima sebagai anggota, yang diterima adalah mereka yang benar-benar
memenuhi syarat dan memiliki kwalitas yang unggul terutama dalam bidang ketajaman pikiran.
Pada masa Khalifah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang berpaham sunni, gerakan kelompok
ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan ajaran-ajarannya di pandang sesat. Maka pada
tahun 450 Khalifah Al-Muntanzid mengintruksikan agar seluruh karya filsafat diserahkan kepadanya
untuk dibakar. Hal ini disebabkan semata-mata perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah
yang Sunni dengan kelompok Ikhwan Al-Syafa yang Syiah.[10]

B. KARYA TULIS IKHWAN AS-SHAFA


Ikhwan As-Shafa menghasilkan karya tulis yang terhimpun kedalam sebuah kumpulan tulisan yang
terdiri dari 52 Risalah dengan keluasan dan kualitas beragam yang mengkaji subjek-subjek berspektrum
luas yang merentang dari musik sampai sihir, karya Ikhwan As-Shafa ini dinamakan Rasail Ikhwan As-
Shafa. Rasail ini juga merupakan ensiklopedi populer tentang ilmu filsafat pada waktu itu. Pertemuan-
pertemuan yang dilakukan sekali dalam 12 hari di rumah Zaid Ibn Rifaah-ketua- secara sembunyi-
sembunyi tanpa menimbulkan kecurigaan. Ditilik dari segi isi, rasail tersebut dapat diklasifikasikan
kepada 4 bidang, yaitu: [11]
a. 14 risalah tentang matematika, yang mencakup geometri astronomi, musik geograf, teori dan praktek
seni, moral dan logika.
b. 17 risalah tentang fisika dan ilmu alam meliputi geneologi, minerologi, botani, hidup dan matinya
alam, senang dan sakitnya alam, keterbatasan manusia dan kemampuan kesadaran.
c. 10 risalah tentang ilmu jiwa meliputi metafisika mazhab Pytagoreanisme dan kebangkitan alam.
d. 11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, mencakup kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan
Tuhan, kayakinan Ikhwan Al-Syafa, kenabian dan keadaanya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik,
kekuasaan Tuhan, magic, dan jimat.
Kita memiliki informasi-informasi berikut yang di susun oleh Friedrich Dieterici dari lima puluh
dua Risalah-risalah yang diterbitkan oleh Persaudaraan (Ikhwan As-Shafa): [12]
Studi-studi keduniaan: Membaca dan menulis, leksikografi dan tata bahasa, kalkulasi dan
komputasi, ilmu persajakan dan puisi, ilmu tentang alamat dan isyarat, ilmu magis, jimat-jimat, kimia
dan permainan sulap, perdagangan dan kerajinan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan sapi,
serta boigrafi dan cerita.
Studi-studi Religius: Pengetahuian tentang kitab suci(yakni al-Quran), penafsiran Kitab Suci,
ilmu pengetahuan tentang tradisi (hadis), fiqih dan peringatan Tuhan, kehidupan pertapa, mistikisme
(sufisme) dan kegembiraan atau pandangan yang membahagiakan.
Studi-studi Filosofikal: Matematika, logika, ilmu berhitung, geometri, astronomi, musik,
hubungan aritmatikal dan geometrical, ilmu pengetahuan alam dan antropologi, zat, bentuk, waktu
dan gerak, kosmologi, produksi, destruksi dan unsur-unsur, meteorologi, mineralogy, esensi alam dan
manifestasinya, botani, zoologi, anatimi dan antropologoi, daya menanggapi perasaaan, embroilogi,
manusia sebagai mikrokosmos, perkembangan jiwa (evilusi psikis), tubuh dan jiwa, sifat yang
sebenarnya tentang perasaan sakit (menderita) dan kesenangan psikis dan fisik, perbedaan bahasa
(filologi), pengertian psikologi, dunia kejiwaan (ruh) dan sebagainya, dan doktrin teologi-isoterik Islam,
pesan-pesan dari dunia ruh, ilmu-ilmu gaib.
Teks risalah ikhwan As-Shafa terbit secara lengkap pertama kali tahun 1305-1306H/1887-1889M di
Bombay, tahun 1928 di Cairo (diedit oleh Zikrili), kemudian pada tahun 1957 diterbitkan di Beriut.
Pemikiran ikhwan as-shafa yang menonjol adalah dalam bidang filsafat. Mereka memendang bahwa
syariat itu hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat obatan untuk jiwa yang lemah dan sakit.
Pengaruh risalah Ikhwan As-Shafa cukup besar dalam kelanjutan transformasi filsafat Yunani ke dunia
Islam, meskipun mendapat reaksi cukup keras dari golongan agama. Termasuk juga dari kelompok
mutakallim (teolog) yang menolak pen-tawil-an Al-Quran dan hadis. Bahkan kalangan filusuf sendiri
memandang filsafat yang dikembangkan oleh ikhwan as-shafa sebagai aneh dan hanya cocok untuk
orang awam.[13]
Friedrich Dieterici menunjukkan di dalam referensinya tentang rasail bahwa pemahaman yang
benar-benar terhadap isinya merupakan persyaratan bagi para cendikiawan untuk menguasai
pengetahuan tentang asas-asas pendidikan sebagaimana telah ditekankan secara rinci dalam karya ini.
Rasail oleh ihwan As-Shafa merupakan usaha ekstensif pertama untuk menggabungkan semua
pengetahuan. Risalah XIV-XL, membicarakan tentang masalah filologis dan pesikologis, sangat penting
bagi mahasiswa pendidikan maupun psikologi.[14]
Meskipun kelima puluh dua risalah itu merupakan karya anonim, tetapi karya-karya tersebut
telah dikumpulkan oleh orang-orang Syiah yang menjadi anggota Ikhwan As-Shafa yang kemudian
berkembang di Basrah. Beberapa orang anggotanya berasal dari Bust di Persia Timur jauh, dari Zanjan
di Persia Barat Laut dan Jerusalem, anggota-nggota lainnya kemungkinan dari keturunan Arab.
Ringkasan ilmu-ilmu filsafat ini, diibaratkan oleh orang Arab pada abad ke-10 dengan sebuah
kebun mewah, dan pemiliknya seorang bijak dan pemurah. Bahkan meminta setiap orang yang lewat
untuk singgah sebentar dan menikmati buah-buahan dan naungan hijau di kebun tersebut. Tetapi
sebagian kecil saya yang benar-benar mengambil keuntungan dari kesempatan ini, karena keraguan dan
kebodohan mereka. Agar hilang rasa ragu mereka, pemilik kebun itu memperlihatkan contoh-contoh
dari buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan tersebut, dan dengan begitu terpikatlah orang-orang yang
lewat didekatnya untuk memasuki dan berbagai kesenangan didalamnya. [15] Pengetahuan Filsafat
mereka dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Pengetahuan matematika
b. Pengetahuan logika
c. Pengetahuan fisika
d. Pengetahuan ilahiah/ketuhanan,
yang mempunyai bagian-bagian:[16]
- mengetahui Tuhan
- ilmu kerohanian, yaitu malaikat-malaikat Tuhan
- ilmu kejiwaan, yaitu mengetahui roh-roh dan jiwa-jiwa yang ada pada benda-benada langit dan benda-
benda alam.
- Ilmu politik, yang mencakup politik kenabian, politik pemerintahan, politik umum (politik kekotaan,
politik khusus (politik rumah tanga), politik pribadi (akhlaq))
- Ilmu keakhiratan, yaitu mengetahui hakikat kehidupan di hari kemudian.
Dalam pengajaran Ikhwan As-Shafa pengetahuan yang paling mulia adalah pengetahuan tentang
Tuhan dan sifat-sifat yang layak bagi-Nya menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal-ihwalnya,
dan hubungannya dengan raga (tubuh), keberadaannya yang sementara dalam tubuh, kelepasannya dari
tubuh, dan keberadaannya kembali di dalam jiwa. Selanjutnya adalah pengetahuan tentang hari
bangkit (kiamat), hari berhimpun, hari perhitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan
dengan Tuhan. Mereka mengajrakan supaya para anggota jemaah Ikhwan As-Shafa mempelajari semua
pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku dan tidak fanatik terhadap salah satu madzhab agama.
[17]
C. FILSAFAT IKHWAN AS-SHAFA
Menurut ikhwan As-Shafa filsafat memiliki 3 tingkatan, yaitu:
Pertama : Cinta Ilmu.
Kedua : Mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia.
Ketiga : Berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.[18]
Tujuan filsafat dalam pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan sejauh kemampuan manusia.
Untuk mencapai tujuan itu manusia harus berijtihad (berupaya sungguh-sungguh) menjauhkan diri dari
berkata bohong dan meyakini akidah yang batil, pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta
berbuat jahat dan melakukan pekerjaan secara tak sempurna. Aktifitas filsafat dikatakan sebagai upaya
menyerupai Tuhan karena tuhan tidaklah mengatakan, kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali
kebaikan.

1. Al-Tawfiq dan Al-Talfiq


Pemikiran Al-tawfiq (rekonsilisasi) Ikhwan As-Shafa terlihat pada tujuan pokok bidang keagamaan
yang akan mereka capai, yakni menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antara agama-agama
yang ada. Usaha ini terlihat dari ungkapan bahwa syariat telah dikotori bermacam-macam kejahilan
dan dilumuri berbagai kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah filsafat.
[19] Ikhwan As-Shafa melepaskan sekat-sekat perbedaan agama, karena rekonsilisasi yang mereka
maksud tidak hanya antara filsafat dengan Agama Islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh
agama, ajaran keyakinan yang ada. Kemudian menurut kaum mereka, apabila dipertemukan dan
disusun antara filsafat Yunani dan syariah Arab maka ia akan menghasilkan sebuah kesempurnaan.
Tampaknya Ikhwan Al-Syafa menempatkan filsafat diatas agama, tetapi sebenarnya bukanlah
demikian, mereka hanya menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu.
Kesimpulan ini didukung dengan pendapat mereka bahwa Al-Quran yang berkonotasi indrawi
dimaksudkan agar cocok dengan tingkatan nalar orang Arab Badui yang mempunyai kesamaan budaya.
Sedangkan bagi yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi diharuskan memakai tawil untuk
melepaskan diri dari pengertian lafdzi indan indrawi.
Disamping itu Ikhwan As-Shafa melakukan rekonsilisasi (al-taufiq) dengan cara mengambil ajaran
filsafat yang tidak bertentangan dengan ajaran islam, bisa dikatakan mereka memahami agama secara
rasional. Sebenarnya antara tujuan filsafat dan agama, menurut Ikhwan As-Shafa adalah sama. Filsafat
bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah sejauh kemampuan manusia dengan dasar ilmu yang
benar, akhlaq yang mulia dan bertingkah laku yang terpuji. Sementara itu agama juga dimaksudkan
untuk mendidik jiwa manusia dan mengantarkan mereka agar dapat mencapai kebahagiaan, baik di
dunia maupun di akhirat.[20]
Selanjutnya Ikhwan As-Shafa juga memadukan agama-agama yang berkembang pada waktu itu
dengan berdasarkan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi, dll. Karena menurut mereka tujuan
agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. [21] Menurut Ikhwan As-Shafa
perbedaan-perbedaan keagamaan bersumber dari faktor-faktor yang kebetulan, seperti ras, tempat
tinggal, atau keadaan zaman, dan dalam beberapa kasus juga faktor tempramen dan susunan personal.
Karena itu agama gabungan yang mereka maksud akan menjadi pegangan dalam Negara yang mereka
impikan, dalam hal ini merupakan tujuan agama mereka yang kedua untuk menggantikan Daulah
Abbasiyah yang berada pada kerusakan (al-fasad) yang harus diganti dengan Negara baru. Demikianlah
juga penduduknya telah menjadi ahl al-syar (jelek). Negara baru yang mereka idamkan, bagaikan laki-
laki yang satu dalam segala urusan dan jiwa yang dalam segala pengaturan. Sedangkan penduduknya
adalah ahl al-khair (baik) yang terdiri dari kaum ulama, filsuf, dan orang-orang pilihan, dimana mereka
semua sepakat atas pendapat yang satu, mazhab yang satu, agama yang satu pula.
Usaha al-taufiq (rekonsilisasi) di atas menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan mazhab.
Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan al-talfiq (ekletik) yang memadukan semua
pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Seperti pemikiran Persia, Yunani, dan semua agama.
Sementara itu, sumber ajaran mereka ialah Nuh, Ibrahim, Sokrates, Plato, Zoroaster, Isa, Muhammad,
dan Ali.[22] Ekletik (talfiq) yang mereka lakukan ialah dengan cara mengambil ajaran-ajaran dari
sumber manapun yang mereka nilai benar dan baik, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Mereka tetap mengagungkan agama Islam sebagai agama dan ajaran terbaik. Usaha diatas ada yang
menilai bersifat idealis dan tidak mungkin membumi di alam nyata, mengingat manusia yang masing-
masing individu mempunyai nature dan kemampuan yang berbeda. Tetapi apabila dipahami secara
cermat, ajaran ekletik (talfiq) Ikhwan As-Shafa ini bukanlah suatu ajaran utama dan ajaran-ajaran lain
hanya sekedar pelengkap untuk memudahkan pemahaman Islam itu sendiri.

2. Emanasi (al-faidh)
Ikhwan As-Shafa menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan secara emanasi. Menurut paham
emanasi mereka Tuhan memancarkan Akal Universal atau Akal Aktif. Akal Universal memancarkan Jiwa
Universal. Jiwa Universal lalu memancarkan Materi Pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari Materi
Pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa Universal dengan bantuan Akal
Universal mengerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang,
lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutkak itu
tersusun alam falak/langit dan unsur empat (tanah, air, udara, api). Karena pengaruh gerakan langit
yang berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia. Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (Akal
Universal, kemudian Jiwa Universal, dan seterusnya). Adapun di bumi, yang paling akhir muncul adalah
yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan dan yang terahir baru
muncul manusia).[23]
Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemudian tauhid
dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut:
[24]
Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah:
a. Akal Aktif atau Akal Pertama atau Akal Universal (al-Aql al-Faal)
b. Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c. Materi Pertama (al-Hayyula al-Ula)
d. Alam Aktif (al-Thabi at failat)
e. Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f. Alam Planet-planet (Alam al-Aflak)
g. Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-sufla) yaitu air, udara, tanah, dan air.
h. Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu manusia
termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Dalam filsafat Ikhwan As-Shafa penciptaan alam oleh Tuhan adalah menifestasi kesempurnaan
Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam raga yang tersusun. Ia menciptakan
segenap alam rohani sekaligus, sedangkan alam raga yang tersusun di ciptakan-Nya beranngsur-angsur
dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual. Tuhan berperan sebagai
sebab pertama dan langsung bagi keberadaan Akal Universal tetapi hanya sebagai sebab pertama dan
tidak langsung bagi keberadaan dan terjadinya pada segenap ciptaan-Nya yang lain. [25]
Proses penciptaan secara emanasi menurut Ikhwan As-Shafa terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Penciptaan secara langsung (dafatan atau wahidah) yang disebut dengan alam rohani, yakni akal
aktif, jiwa universal, dan materi pertama.
b. Penciptaan secara gradual (tadrij) apa yang mereka sebut dengan alam jasmanai, yakni jisim mutlak
dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang.
Periode-periode ini akan membentuk perubahan-perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam
masa enam hari. Tentang alam semesta ini, menurut mereka diciptakan Allah dengan emanasi secara
gradual, mempunyai awal dan berakhir pada masa tertentu.
Salah satu pemikiran Ikhwan As-Shafa yang paling mengagumkan yakni pada rentetan emanasi, ia
telah mendahului, bahkan melebihi Charles Darwin (1809-1882) tentang rangkaian kejadian di alam
secara evolusi. Darwin dalam evolusi biologisnya hanya bicara manusia diduga berasal dari kera,
sedangkan Ikhwan As-Shafa membicarakan emanasi dan evolusi. Dalam rangkaian evolusinya, mereka
menyebutkan alam mineral, dan tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan satu
rentetan yang sambung-menyambung. Masing-masing dari alam ini yang mempunyai derajad tertinggi
mempunyai hubungan langsung dengan alam berikutnya yang mempunyai derajad terendah. Seperti
alam mineral derajad tertinggi mempunyai hubungan langsung dengan alam tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai derajad terendah dan demikian seterusnya alam tumbuh-tumbuhan dengan hewan dan
alam hewan dengan alam manusia.[26]

3. Ketuhanan
Dalam pembahasan ketuhanan, Ikhwan As-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau
bilangan. Pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila
angka satu rusak maka rusaklah semuanya. Mereka mengatakan angka satu sebelum angka dua, dan
dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lahir, angka satu adalah angka yang
pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak
pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Maka
terbuktilah bahwa yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti pendahulunya angka
satu dari angka lain.[27]
Ikhwan As-Shafa juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybih pada Allah SWT.
Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah zat yang Esa, yang tidak mampu mekhluk-Nya untuk
mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi
bentuk, penciptaan-Nya tanpa waktu dan tempat dan cukup dengan firman-Nya: kun fa kana, maka
adalah segala yang dikehendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur,
seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu, tak dapat di bagi dan
tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya.
Akan tetapi, Ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar. Dari pembahasan
terlihat jelas besarnya pengaruh Neo Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Platinus
pada Ikhwan As-Shafa.[28]
Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan As-Shafa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata.
Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa
manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada. Ikhwan As-
Shafa juga menolak sifat dan antropromorfis bagi Allah, sebagaimana yang satu tidaklah tersusun.
Menurut mereka melekatkan sifat kepada Allah hanya sekedar metamorfosis guna memudahkan
pemahaman bagi masyarakat awam. Sementara itu Allah tidak dapat diserupakan dan disetarakan
dengan makhluk-Nya, seperti terpatri dalam firman-Nya: Laisa kamisilih syai. Tentang ilmu Allah
mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah, sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan
yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap
segala yang ada.[29] Aktifitas akal ada dua, ilmu dan ciptaan. Bagi Ikhwan As-Shafa seseorang bisa
memiliki potensi, tetapi potensi tidak akan bisa aktual tanpa bimbingan guru. Selain itu, mereka
memandang bahwa ilmu yang diketahui manusia datang dari tiga jalan: paca indera, argumen, dan
perenungan akal. Ketiga jalan ini merupakan tahapan ilmu yang sederhana dan dapat sampai kepeda
marifat Allah dengan syarat zuhud (ascetis) dan amal shaleh.

4. Matematika
Matematika adalah tahapan pengetahuan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin
mempelajari filsafat.[30] Dalam pembahasan matematika, Ikhwan As-Shafa dipengaruhi oleh
Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-
angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan alil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu
hitung merupakan ilmu mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan. Angka satu
merupakan dasar segala wujud ini dan merupakan permulaan yang mutlak.huruf hijaiyah yang 28
merupakan hasil perkalian dari empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung nilai kesucian, sedangkan
angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap
segala sesuatu di alam ini. Seperti empat penjuru angin, empat musim [31] dan empat unsur
empedolcean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia, kecapi
mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan dibalik
pemuliaan terhadap angka-angka tertentu semacam ini mudah ditemukan. Tuhan menciptakan banyak
hal dalam kelompok empat-empat dan materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang pada
dasarnya berkaitan atau searas, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka,
yang terdiri atas sang pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. [32]
Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet. Masing-masing mempunyai tugas khusus. Bulan
bertugas membuat tubuh manusia tumbuh dan berkembang. Merkuri bertugas mencerdaskan akal.
Matahari bertugas memberi nikmat. Mars memberi sifat keberanian, keperkasaan, kemuliaan. Yupiter
membimbing manusia dalam pengembaraannya sampai pada kehidupan akhirat. Termasuk pengiriman
Nabi, juga berhubungan dengan peranan planet-planet tersebut.
Kontribusi Aristoteles pada karya-karya Ikhwan adalah dalam bidang terminologi metafisika,
suatu bidang yang sering diserbu oleh terminologi Neoplatonisme. Oleh karena itu, ditemukan istilah
substansi dan aksiden, materi dan bentuk, potensi dan aktualitas, dan beberapa istilah aristotelian lain
yang tersebar di seluruh teks Ikhwan. Berikut contoh bagaimana istilah-istilah dasar Aristoteles di Neo
Platonis-kan dalam karya Ikhwan As-Shafa ini berkaitan dengan empat sebab klasik Aristoteles:
Diantara empat sebab tumbuhan, dua yang dapat dianggap/diakui bersifat Aristotelian: sebab
material tumbuhan adalah empat unsur, sebab finalnya adalah ketentuan penyediaan makanan bagi
binatang, tetapi sebab efisiennya adalah kekuatan jiwa universal, sedangkan sebab formalnya
berkaitan dengan alasan-alasan kebinatangan yang panjang penjelasannya. [33]

5. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak
dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangnnya, maka jiwa
dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. [34] Ikhwan A-Shafa memandang
manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran
dari tanah , air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa masuknya masuknya
jiwa ke dalam tubuh merupakan hukumankepada jiwa yang telah melakukan pelangaran (melanggar
larangan tuhan, seperti dalam kisah Adam a.s dan pasangannya Hawa). Karena pelanggaran itu jiwa
diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman
itu, jiwa yang semulanya memiliki pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh
menjadi lupasama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa
secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan panca indra tubuh sebagai alat jiwa, secara
berangsur-angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara aktual. Dalam versi lain
tidak tergambar bahwa keterusiran jiwanya dari alam rohani, yang merupakan surga bagi jiwa, masuk
kedalam tubuh yang terdapat di bumi.
Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, jiwa manusia menurut Ikhwan
As-Shafa karena berada di dalam tubuh, awalnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki
kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia haruslah dididik
sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual
pada jiwanya pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun tentang
apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikannya yang benar, jiwa manusia yang bersih
dikatakan oleh Ikhwan As-Shafa sebagai malaikat dalam potensi. Bila waktu kematian, yakni waktu
berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa itu mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam rohani,
yang terletak di alam langit. Berbahagia di sana dengan segala macam kesenangan rohani. Sebaliknya,
jiwa manusia yang bergelimang dosa, kotor karena memperturutkan hawa nafsu, mereka dikatakan
sebagai setan dalam potensi. Bila datang waktu kematian jiwa bisa mengaktual menjadi setan tidak
bisa naik ke alam surga di langit, tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam
neraka materi di bumidan lapisan udara di bawah langit atau falak bulan, karena keinginan-
keinginannya yang tetap membara untuk mendapatkan kesenangan lewat jasmani tidak pernah lagi
terpenuhi.[35]
Manusia selain memiliki indra zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal
yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep. [36]
Dalam tubuh manusia memiliki tiga fakultas:
1. Jiwa Tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh setiap makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi
dalam tiga daya: makan, tumbuhm reproduksi.
2. Jiwa Hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia saja. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dan
sensasi (persepsi dan emosi)
3. Jiwa Manusia
Jiwa ini hanya dimiliki manusia saja. Jiwa yang menyebabkan manusia berfikir dan berbicara.
Ketiga fakultas jiwa di atas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri
manusia. Disinilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.139
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[3] Ibid.
[4] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm: 100
[5] Sirajuddin Zar, Ibid, hlm.139

[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:140
[7] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:103
[8] Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm:
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:45
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:142
[11] Hasyim Syah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:46
[12] Kahhar Joko S, Abdullah Suprianto, Kontribusi Isalam Atas Dunia Intelektual Barat, Mehdi
Nakosteen, History Of Islamic Origins Of Western Education A, D, 800-13500, With On Introduction To
Medieval Muslim edocation, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm: 73
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[14] Kahhar Joko S, Abdullah Suprianto, Kontribusi Isalam Atas Dunia Intelektual Barat, Mehdi
Nakosteen, History Of Islamic Origins Of Western Education A, D, 800-13500, With On Introduction To
Medieval Muslim Education, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm:136
[15] Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:46
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991, hlm:9
[17] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm:102-103
[18] A. Mustofa, Filsafat islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997. hlm:165
[19] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm: 103
[20] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:144
[21] Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:47-48
[22] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:146
[23] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:103-104
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:149
[25] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm:104
[26] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:150
[27] Ibid, hlm:147
[28] Ibid, hlm:147-148
[29] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:147-148
[30] Dewan redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[31] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm: 151
[32] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:105-106
[33] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm: 106
[34] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:152
[35] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm: 108
[36] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:153

Anda mungkin juga menyukai