2. Emanasi (al-faidh)
Ikhwan As-Shafa menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan secara emanasi. Menurut paham
emanasi mereka Tuhan memancarkan Akal Universal atau Akal Aktif. Akal Universal memancarkan Jiwa
Universal. Jiwa Universal lalu memancarkan Materi Pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari Materi
Pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa Universal dengan bantuan Akal
Universal mengerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yang memiliki dimensi panjang,
lebar, dan tinggi. Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutkak itu
tersusun alam falak/langit dan unsur empat (tanah, air, udara, api). Karena pengaruh gerakan langit
yang berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan manusia. Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (Akal
Universal, kemudian Jiwa Universal, dan seterusnya). Adapun di bumi, yang paling akhir muncul adalah
yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan dan yang terahir baru
muncul manusia).[23]
Jadi Allah tidak berhubungan dengan alam materi secara langsung sehingga kemudian tauhid
dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Secara ringkas rangkaian proses emanasi itu sebagai berikut:
[24]
Allah Maha Pencipta dan dari-Nya timbullah:
a. Akal Aktif atau Akal Pertama atau Akal Universal (al-Aql al-Faal)
b. Jiwa Universal (al-Nafs al-Kulliyat)
c. Materi Pertama (al-Hayyula al-Ula)
d. Alam Aktif (al-Thabi at failat)
e. Materi Absolut atau Materi Kedua (al-Jism al-Muthlaq)
f. Alam Planet-planet (Alam al-Aflak)
g. Unsur-unsur alam terendah (Anashir al-Alam al-sufla) yaitu air, udara, tanah, dan air.
h. Materi gabungan yang terdiri dari mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Sementara itu manusia
termasuk dalam kelompok hewan, tetapi hewan yang berbicara dan berpikir.
Dalam filsafat Ikhwan As-Shafa penciptaan alam oleh Tuhan adalah menifestasi kesempurnaan
Tuhan. Tuhan menciptakan segenap alam rohani dan potensi alam raga yang tersusun. Ia menciptakan
segenap alam rohani sekaligus, sedangkan alam raga yang tersusun di ciptakan-Nya beranngsur-angsur
dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual. Tuhan berperan sebagai
sebab pertama dan langsung bagi keberadaan Akal Universal tetapi hanya sebagai sebab pertama dan
tidak langsung bagi keberadaan dan terjadinya pada segenap ciptaan-Nya yang lain. [25]
Proses penciptaan secara emanasi menurut Ikhwan As-Shafa terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Penciptaan secara langsung (dafatan atau wahidah) yang disebut dengan alam rohani, yakni akal
aktif, jiwa universal, dan materi pertama.
b. Penciptaan secara gradual (tadrij) apa yang mereka sebut dengan alam jasmanai, yakni jisim mutlak
dan seterusnya. Jisim Mutlak tercipta dalam zaman yang tidak terbatas dalam periode yang panjang.
Periode-periode ini akan membentuk perubahan-perubahan dalam masa, seperti penciptaan dalam
masa enam hari. Tentang alam semesta ini, menurut mereka diciptakan Allah dengan emanasi secara
gradual, mempunyai awal dan berakhir pada masa tertentu.
Salah satu pemikiran Ikhwan As-Shafa yang paling mengagumkan yakni pada rentetan emanasi, ia
telah mendahului, bahkan melebihi Charles Darwin (1809-1882) tentang rangkaian kejadian di alam
secara evolusi. Darwin dalam evolusi biologisnya hanya bicara manusia diduga berasal dari kera,
sedangkan Ikhwan As-Shafa membicarakan emanasi dan evolusi. Dalam rangkaian evolusinya, mereka
menyebutkan alam mineral, dan tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan alam manusia merupakan satu
rentetan yang sambung-menyambung. Masing-masing dari alam ini yang mempunyai derajad tertinggi
mempunyai hubungan langsung dengan alam berikutnya yang mempunyai derajad terendah. Seperti
alam mineral derajad tertinggi mempunyai hubungan langsung dengan alam tumbuh-tumbuhan yang
mempunyai derajad terendah dan demikian seterusnya alam tumbuh-tumbuhan dengan hewan dan
alam hewan dengan alam manusia.[26]
3. Ketuhanan
Dalam pembahasan ketuhanan, Ikhwan As-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau
bilangan. Pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila
angka satu rusak maka rusaklah semuanya. Mereka mengatakan angka satu sebelum angka dua, dan
dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lahir, angka satu adalah angka yang
pertama dan angka itu lebih dahulu dari angka dua dan lainnya. Oleh karena itu, keutamaan terletak
pada yang dahulu, yakni angka satu. Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Maka
terbuktilah bahwa yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti pendahulunya angka
satu dari angka lain.[27]
Ikhwan As-Shafa juga melakukan al-tanzih dan meniadakan sifat serta al-tasybih pada Allah SWT.
Ia bersih dari bentuk dan berupa. Ia adalah zat yang Esa, yang tidak mampu mekhluk-Nya untuk
mengetahui hakikat-Nya. Ia pencipta segala yang ada dengan cara al-faidh (emanasi) dan memberi
bentuk, penciptaan-Nya tanpa waktu dan tempat dan cukup dengan firman-Nya: kun fa kana, maka
adalah segala yang dikehendaki-Nya. Ia berada pada segala sesuatu tanpa berbaur dan bercampur,
seperti adanya angka satu dalam tiap-tiap bilangan. Sebagaimana bilangan satu, tak dapat di bagi dan
tidak serupa dengan bilangan lain, demikian pula Allah tidak ada yang menyamai dan menyerupai-Nya.
Akan tetapi, Ia jadikan fitrah bagi manusia untuk dapat mengenal-Nya tanpa belajar. Dari pembahasan
terlihat jelas besarnya pengaruh Neo Pythagoreanisme yang dipadukan dengan filsafat keesaan Platinus
pada Ikhwan As-Shafa.[28]
Tentang adanya Allah, menurut Ikhwan As-Shafa merupakan hal yang sangat mudah dan nyata.
Hal ini disebabkan manusia dengan fitrahnya mengenal Allah dan seluruh yang ada ini akan membawa
manusia pada kesimpulan pasti tentang adanya Allah yang menciptakan segala yang ada. Ikhwan As-
Shafa juga menolak sifat dan antropromorfis bagi Allah, sebagaimana yang satu tidaklah tersusun.
Menurut mereka melekatkan sifat kepada Allah hanya sekedar metamorfosis guna memudahkan
pemahaman bagi masyarakat awam. Sementara itu Allah tidak dapat diserupakan dan disetarakan
dengan makhluk-Nya, seperti terpatri dalam firman-Nya: Laisa kamisilih syai. Tentang ilmu Allah
mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan berada dalam ilmu Allah, sebagaimana beradanya seluruh
bilangan dalam satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana bilangan
yang banyak dari bilangan yang satu, yang meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah terhadap
segala yang ada.[29] Aktifitas akal ada dua, ilmu dan ciptaan. Bagi Ikhwan As-Shafa seseorang bisa
memiliki potensi, tetapi potensi tidak akan bisa aktual tanpa bimbingan guru. Selain itu, mereka
memandang bahwa ilmu yang diketahui manusia datang dari tiga jalan: paca indera, argumen, dan
perenungan akal. Ketiga jalan ini merupakan tahapan ilmu yang sederhana dan dapat sampai kepeda
marifat Allah dengan syarat zuhud (ascetis) dan amal shaleh.
4. Matematika
Matematika adalah tahapan pengetahuan yang harus dilalui oleh seseorang yang ingin
mempelajari filsafat.[30] Dalam pembahasan matematika, Ikhwan As-Shafa dipengaruhi oleh
Pythagoras yang mengutamakan pembahasannya tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-
angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan alil wujud sesuatu. Oleh sebab itu, ilmu
hitung merupakan ilmu mulia dibanding ilmu empirik karena tergolong ilmu ketuhanan. Angka satu
merupakan dasar segala wujud ini dan merupakan permulaan yang mutlak.huruf hijaiyah yang 28
merupakan hasil perkalian dari empat dan tujuh. Angka tujuh mengandung nilai kesucian, sedangkan
angka empat menempati posisi penting dalam segala hal yang tercermin pada ciptaan Allah terhadap
segala sesuatu di alam ini. Seperti empat penjuru angin, empat musim [31] dan empat unsur
empedolcean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia, kecapi
mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan dibalik
pemuliaan terhadap angka-angka tertentu semacam ini mudah ditemukan. Tuhan menciptakan banyak
hal dalam kelompok empat-empat dan materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang pada
dasarnya berkaitan atau searas, dengan empat prinsip spiritual yang berkedudukan di atas mereka,
yang terdiri atas sang pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama. [32]
Ilmu bilangan berkaitan dengan planet-planet. Masing-masing mempunyai tugas khusus. Bulan
bertugas membuat tubuh manusia tumbuh dan berkembang. Merkuri bertugas mencerdaskan akal.
Matahari bertugas memberi nikmat. Mars memberi sifat keberanian, keperkasaan, kemuliaan. Yupiter
membimbing manusia dalam pengembaraannya sampai pada kehidupan akhirat. Termasuk pengiriman
Nabi, juga berhubungan dengan peranan planet-planet tersebut.
Kontribusi Aristoteles pada karya-karya Ikhwan adalah dalam bidang terminologi metafisika,
suatu bidang yang sering diserbu oleh terminologi Neoplatonisme. Oleh karena itu, ditemukan istilah
substansi dan aksiden, materi dan bentuk, potensi dan aktualitas, dan beberapa istilah aristotelian lain
yang tersebar di seluruh teks Ikhwan. Berikut contoh bagaimana istilah-istilah dasar Aristoteles di Neo
Platonis-kan dalam karya Ikhwan As-Shafa ini berkaitan dengan empat sebab klasik Aristoteles:
Diantara empat sebab tumbuhan, dua yang dapat dianggap/diakui bersifat Aristotelian: sebab
material tumbuhan adalah empat unsur, sebab finalnya adalah ketentuan penyediaan makanan bagi
binatang, tetapi sebab efisiennya adalah kekuatan jiwa universal, sedangkan sebab formalnya
berkaitan dengan alasan-alasan kebinatangan yang panjang penjelasannya. [33]
5. Jiwa Manusia
Jiwa manusia bersumber dari jiwa universal. Dalam perkembangannya jiwa manusia banyak
dipengaruhi materi yang mengitarinya. Agar jiwa tidak kecewa dalam perkembangnnya, maka jiwa
dibantu oleh akal yang merupakan daya bagi jiwa untuk berkembang. [34] Ikhwan A-Shafa memandang
manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa yang bersifat materi, dan tubuh yang merupakan campuran
dari tanah , air, udara, dan api. Dalam salah satu tulisan mereka, dikatakan bahwa masuknya masuknya
jiwa ke dalam tubuh merupakan hukumankepada jiwa yang telah melakukan pelangaran (melanggar
larangan tuhan, seperti dalam kisah Adam a.s dan pasangannya Hawa). Karena pelanggaran itu jiwa
diusir dari surga, yakni alam rohani dan harus turun ke bumi, masuk ke dalam tubuh. Dengan hukuman
itu, jiwa yang semulanya memiliki pengetahuan yang banyak secara aktual, setelah memasuki tubuh
menjadi lupasama sekali dengan pengetahuannya, dan jadilah pengetahuan itu terdapat dalam jiwa
secara potensial saja. Dengan bantuan tubuh dan panca indra tubuh sebagai alat jiwa, secara
berangsur-angsur jiwa manusia dapat memiliki kembali pengetahuan secara aktual. Dalam versi lain
tidak tergambar bahwa keterusiran jiwanya dari alam rohani, yang merupakan surga bagi jiwa, masuk
kedalam tubuh yang terdapat di bumi.
Lepas dari masalah sebab keberadaan jiwa dalam tubuh manusia, jiwa manusia menurut Ikhwan
As-Shafa karena berada di dalam tubuh, awalnya tidak mengetahui apa-apa, tetapi memiliki
kemampuan untuk menerima pengetahuan secara berangsur-angsur. Manusia haruslah dididik
sedemikian rupa dengan ajaran-ajaran yang diwahyukan dan pengajaran filsafat sehingga mengaktual
pada jiwanya pandangan keyakinan dan pengetahuan yang benar, baik tentang realitas maupun tentang
apa yang seharusnya dibiasakan manusia. Dengan pendidikannya yang benar, jiwa manusia yang bersih
dikatakan oleh Ikhwan As-Shafa sebagai malaikat dalam potensi. Bila waktu kematian, yakni waktu
berpisahnya jiwa dari tubuh, jiwa itu mengaktual menjadi malaikat, masuk ke alam surga, alam rohani,
yang terletak di alam langit. Berbahagia di sana dengan segala macam kesenangan rohani. Sebaliknya,
jiwa manusia yang bergelimang dosa, kotor karena memperturutkan hawa nafsu, mereka dikatakan
sebagai setan dalam potensi. Bila datang waktu kematian jiwa bisa mengaktual menjadi setan tidak
bisa naik ke alam surga di langit, tetapi terombang-ambing dalam gelombang materi, menderita dalam
neraka materi di bumidan lapisan udara di bawah langit atau falak bulan, karena keinginan-
keinginannya yang tetap membara untuk mendapatkan kesenangan lewat jasmani tidak pernah lagi
terpenuhi.[35]
Manusia selain memiliki indra zahir, juga memiliki indra batin yang berfungsi mengolah hal-hal
yang ditangkap oleh indra zahir sehingga melahirkan konsep-konsep. [36]
Dalam tubuh manusia memiliki tiga fakultas:
1. Jiwa Tumbuhan
Jiwa ini dimiliki oleh setiap makhluk hidup: tumbuhan, hewan, dan manusia. Jiwa ini terbagi
dalam tiga daya: makan, tumbuhm reproduksi.
2. Jiwa Hewan
Jiwa ini hanya dimiliki oleh hewan dan manusia saja. Ia terbagi dalam dua daya: penggerak dan
sensasi (persepsi dan emosi)
3. Jiwa Manusia
Jiwa ini hanya dimiliki manusia saja. Jiwa yang menyebabkan manusia berfikir dan berbicara.
Ketiga fakultas jiwa di atas bersama dengan daya-dayanya bekerja sama dan menyatu dalam diri
manusia. Disinilah letak kelebihan manusia dari makhluk ciptaan Allah yang lain.
[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm.139
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[3] Ibid.
[4] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm: 100
[5] Sirajuddin Zar, Ibid, hlm.139
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:140
[7] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:103
[8] Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992, hlm:
[9] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:45
[10] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:142
[11] Hasyim Syah, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:46
[12] Kahhar Joko S, Abdullah Suprianto, Kontribusi Isalam Atas Dunia Intelektual Barat, Mehdi
Nakosteen, History Of Islamic Origins Of Western Education A, D, 800-13500, With On Introduction To
Medieval Muslim edocation, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm: 73
[13] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[14] Kahhar Joko S, Abdullah Suprianto, Kontribusi Isalam Atas Dunia Intelektual Barat, Mehdi
Nakosteen, History Of Islamic Origins Of Western Education A, D, 800-13500, With On Introduction To
Medieval Muslim Education, Surabaya: Risalah Gusti, 2003, hlm:136
[15] Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:46
[16] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991, hlm:9
[17] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm:102-103
[18] A. Mustofa, Filsafat islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997. hlm:165
[19] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm: 103
[20] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:144
[21] Hasyim Syah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm:47-48
[22] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:146
[23] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:103-104
[24] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:149
[25] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009, hlm:104
[26] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:150
[27] Ibid, hlm:147
[28] Ibid, hlm:147-148
[29] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:147-148
[30] Dewan redaksi ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove , 1997, hlm:194
[31] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm: 151
[32] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm:105-106
[33] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm: 106
[34] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:152
[35] Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat islam, Bandung : Pusaka Setia, 2009,hlm: 108
[36] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm:153