PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebagian besar disebabkan oleh virus.
Penyebab infeksi yang demikian beragam mengakibatkan berbedanya upaya yang
mungkin dilakukan setiap orang, baik untuk mencegah maupun untuk pengobatan.
WHO menuturkan, ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
anak di negara yang sedang berkembang. Infeksi saluran pernafasan akut ini
menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah
5 tahun pada setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut
terjadi pada bayi. Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian
karena ISPA, terutama pada bayi dan anak balita. Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di
Puskesmas ialah penderita penyakit ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi
kematian yang disebabkan oleh ISPA ini mencapai 20-30%. Kematian ISPA ini
sebagian besar ialah oleh pneumonia. Pneumonia yang pada awalnya merupakan
ISPA biasa, karena tidak diobati dengan baik akhirnya menimbulkan batuk dan
kesulitan bernafas. Sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun akibat
pneumonia karena berbagai kesulitan geografis, budaya dan ekonomi yang
dialami penduduk dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Diperkirakan
11-22% balita yang menderita batuk atau kelainan bernafas tidak dibawa berobat
sama sekali. Menurut Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama
ISPA di Indonesia pada akhir 2000 sebanyak 5 kasus diantara 1.000 bayi atau
balita hal ini menunjukkan sebanyak 150.000 jiwa tiap tahun atau 12.500 korban
per bulan atau 416 kasus per hari atau 17 anak per jam atau seorang bayi atau
balita tiap lima menit meninggal karena pneumonia.
1
I.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian ISPA
2. Memahami gejala klinis penyakit ISPA
3. Mengetahui bagaimana penularan penyakit ISPA
4. Mengetahui klasifikasi penyakit ISPA
5. Memahami etiologi penyakit ISPA
6. Memahami distribusi penyakit ISPA
7. Mengatahui upaya pengobatan terhadap penderita ISPA
8. Mengetahui upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA
9. Mengetahui upaya pengendalian terhadap penyakit ISPA
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut.
Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya agent infeksi pada jaringan tubuh
manusia yang berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya,seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung
sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi
disetiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.
Menurut Alsagaff dkk, ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun
bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru.
3
2.2. Klasifikasi ISPA
2.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, sinusitis,
otitis media (infeksi pada telinga tengah),dan faringitis (infeksi pada
tenggorokan).
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPBA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli,dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,
laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.
4
2.3. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus,
Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara
lain grup Mixovirus(virus influenza, parainfluenza, respiratorysyncytial virus),
Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus,
Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergillus
sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans. Selain itu juga ISPA dapat
disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar
Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir.
a. Batuk
b.Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya
pada waktu berbicara atau menangis)
c.Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d.Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37c
2.4.2.
Gejala dari ISPA sedang seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika
dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:
5
a.Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok
umur 2 bulan - < 5 tahun : frekuensinafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 - < 12
bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.
b.Suhu lebih dari 39c (diukur dengan termometer)
c.Tenggorokan berwarna merah
d.Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e.Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f.Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)
6
daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua,
yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil
sebagai sisa droplet yang mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai
cara, antara lain dengan melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang
dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga dapat terbentuk dari aerolisasi materi-
materi penyebab infeksi di dalam laboratorium. Karena ukurannya yang sangat
kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu yang cukup lama dan
dapat diisap pada waktu bernafas dan masuk ke alat pernafasan.
Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi
partikel yang menempel dilantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama
debu lantai/tanah.
7
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa
jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama
kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000
terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan
pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%).
8
kelompok umur 2 - 59 bulan yaitu 86,4% sementara kelompok umur dibawah 2
bulan yaitu 13,6%.
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional
Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak
laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada anak perempuan untuk terkena
ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005,
menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki
(43,3%) lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7%),
tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.
9
Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita dengan status gizi kurang
dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 (95% CI: 1,134
-1,827). Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor
risiko terjadinya ISPA.
10
kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan
terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi
itu sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI
eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.
Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan
komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan
secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga
dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu
formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan
menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi.
Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan
Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan
antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak balita dengan nilai
p =0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada anak balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI
Eksklusif adalah 2,698 (95% CI: 1,328-5,478). Artinya tidak mendapatkan ASI
Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
11
tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk
rejan. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan
campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini
adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan DPT.
Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun
2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai
p =0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 (95% CI: 1,068-3,168). Artinya bayi dengan
status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
12
c.2. Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan
menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan
penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan
seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka
semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti
oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida
dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
Hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun
2009 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian
rumahnya tergolong padat menderita ISPA sebesar 88,9%. Hasil uji statistik
diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kapadatan hunian rumah
dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,037. Nilai Ratio Prevalens
kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya
tergolong padat dibanding dengan balita yang tinggal di rumah
yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidak padat adalah 1,189. Artinya
hunian rumah yang tergolong padat merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
13
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan
tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang menggunakan obat nyamuk
menderita ISPA sebanyak 48 orang (73,8%) sedangakan balita yang tidak
menderita ISPA sebanyak 17 orang (27,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa
ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian
ISPA pada balita dengan nilai p =0,010. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada
balita yang menggunakan obat nyamuk dibanding dengan balita yang tidak
menggunakan obat nyamuk adalah 1,8. Artinya penggunaan obat nyamuk
merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.
14
kejadian ISPA pada balita. OR 4,63 artinya anak balita yang tinggal di rumah
dengan anggota keluarga yang merokok kemungkinan untuk menderita ISPA 4,65
kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang
tidak merokok.
15
a.Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor risiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b.Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan (insiden) pneumonia.
c.Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d.Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah.
e.Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.
16
d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik
sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati
demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
e. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya
infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak
bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian
kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
b.Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin
dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin
kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak
masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka
cari penyebab pneumonia persistensi.
c.Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya
tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan
membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat
penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan
ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika
anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau
tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.
17
BAB III
SATUAN ACARA PENYULUHAN
Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit,diharapkan para
peserta akan dapat
Menyebutkan pengertian ISPA
Menyebutkan tanda-tanda gejala penyakit ISPA
Menyebutkan cara pencegahan penyakit ISPA
Menyebutkan upaya pengobatan penyakit ISPA
7. Sasaran : ibu-ibu dan keluarga pasien
8. Metode : ceramah dan Tanya jawab
9. Media : brosur
10. Kegiatan penyuluhan :
18
Isi pengertian ISPA -menjawab
pada peserta pertanyaan
penyuluhan -mendengarkan
-menjelaskan dan
pengertian ISPA memperhatikan
pada peserta -mendengarkan
-menjelaskan dan menunjukan
tanda-tanda memperhatikan brosur
ISPA -mendengarkan
-menjelaskan dan
cara memperhatikan
pencegahannya -mendengarkan
-menjelaskan dan
upaya memperhatikan
pengobatannya
-memberi -bertanya
kesempatan
bertanya pada
peserta
penyuluhan
Penutup -melakukan -menjawab 10 menit
evaluasi dan pertanyaan
menanyakan
dari keseluruhan
tujuan khusus
tersebut
-membuat -mendengar
kesimpulan
-Menutup -menerima
pertemuan dan brosur
member brosur
19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
ISPA adalah penyakit infeksi yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan
gejala batuk,pilek panas atau ketiga gejala tersebut muncul secara bersamaan.
Penyebab ISPA yaitu virus,bakteri,allergen spesifik,perubahan cuaca dan
lingkungan,aktivitas dan asupan gizi yang kurang. Komplikasi ISPA adalah
asma,demam,kejang,tuli,syok. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan
perbaikan gizi dan peningkatan gizi pada balita penyusunan atau pengaturan
menu,cara pengolahan makanan,variasi menu,perbaikan dan sanitasi
lingkungan,pemeliharaan kesehatan perorangan.
4.2 Saran
Untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada balita,dalam hal ini saya
menyarankan agar semua pihak baik keluarga maupun instansi kesehatan lebih
memperhatikan pola hidup sehat dan tidak membuang batuk sembaranga dan
mengolah makanan sebaik mungkin.
20
DAFTAR PUSTAKA
21