Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) sebagian besar disebabkan oleh virus.
Penyebab infeksi yang demikian beragam mengakibatkan berbedanya upaya yang
mungkin dilakukan setiap orang, baik untuk mencegah maupun untuk pengobatan.
WHO menuturkan, ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada
anak di negara yang sedang berkembang. Infeksi saluran pernafasan akut ini
menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah
5 tahun pada setiap tahunnya dan sebanyak dua pertiga dari kematian tersebut
terjadi pada bayi. Penyakit ISPA masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian
karena ISPA, terutama pada bayi dan anak balita. Setiap anak diperkirakan
mengalami 3-6 episode ISPA. Setiap tahunnya 40%-60% dari kunjungan di
Puskesmas ialah penderita penyakit ISPA. Seluruh kematian balita, proporsi
kematian yang disebabkan oleh ISPA ini mencapai 20-30%. Kematian ISPA ini
sebagian besar ialah oleh pneumonia. Pneumonia yang pada awalnya merupakan
ISPA biasa, karena tidak diobati dengan baik akhirnya menimbulkan batuk dan
kesulitan bernafas. Sebanyak 150.000 balita meninggal tiap tahun akibat
pneumonia karena berbagai kesulitan geografis, budaya dan ekonomi yang
dialami penduduk dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan. Diperkirakan
11-22% balita yang menderita batuk atau kelainan bernafas tidak dibawa berobat
sama sekali. Menurut Dirjen pemberantasan penyakit menular dan penyehatan
lingkungan memperkirakan kematian akibat pneumonia sebagai penyebab utama
ISPA di Indonesia pada akhir 2000 sebanyak 5 kasus diantara 1.000 bayi atau
balita hal ini menunjukkan sebanyak 150.000 jiwa tiap tahun atau 12.500 korban
per bulan atau 416 kasus per hari atau 17 anak per jam atau seorang bayi atau
balita tiap lima menit meninggal karena pneumonia.

1
I.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian ISPA
2. Memahami gejala klinis penyakit ISPA
3. Mengetahui bagaimana penularan penyakit ISPA
4. Mengetahui klasifikasi penyakit ISPA
5. Memahami etiologi penyakit ISPA
6. Memahami distribusi penyakit ISPA
7. Mengatahui upaya pengobatan terhadap penderita ISPA
8. Mengetahui upaya pencegahan terhadap penyakit ISPA
9. Mengetahui upaya pengendalian terhadap penyakit ISPA

I.3 Rumusan Masalah


1.Apa yang dimaksud dengan ISPA?
2.Apa saja gejala klinis penyakit ISPA?
3.Bagaimana cara penularan penyakit ISPA?
4.Bagaimana klasifikasi penyakit ISPA?
5.Bagaimana etiologi penyakit ISPA?
6.Bagaimana distribusi penyakit ISPA?
7.Bagaimana cara mengobati penyakit ISPA?
8.Bagaimana cara mencegah penyakit ISPA dengan baik?
9.Apa yang harus dilakukan untuk mengendalikan penyakit ISPA?

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ISPA
ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Istilah ini
diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut.
Infeksi adalah masuk dan berkembangbiaknya agent infeksi pada jaringan tubuh
manusia yang berakibat terjadinya kerusakan sel atau jaringan yang patologis.
Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya,seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.
Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung
sampai 14 hari, dimana secara klinis tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi
disetiap bagian saluran pernafasan tidak lebih dari 14 hari.
Menurut Alsagaff dkk, ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun
bawah yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun riketsia, tanpa atau
disertai radang parenkim paru.

3
2.2. Klasifikasi ISPA
2.2.1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi
a. Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPA)
Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, sinusitis,
otitis media (infeksi pada telinga tengah),dan faringitis (infeksi pada
tenggorokan).
b. Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPBA)
Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan
alveoli,dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,
laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia.

2.2.2. Klasifikasi ISPA Pada Batita


a.Pneumonia sangat berat: batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan
sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang
dan sulit dibangunkan.
b.Pneumonia berat: batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada,
tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
c.Pneumonia: batuk (atau kesulitan bernafas) dan pernafasan cepat tanpa
penarikan dinding dada. Pernafasan cepat adalah 40 kali per menit atau lebih pada
usia 12 bulan hingga 5 tahun.
d. Bukan pneumonia(batuk pilek biasa): batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa
pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.

4
2.3. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri
penyebab ISPA misalnya dari genus Streptococcus, Haemophylus, Stafilococcus,
Pneumococcus, Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA antara
lain grup Mixovirus(virus influenza, parainfluenza, respiratorysyncytial virus),
Enterovirus (Coxsackie virus, echovirus), Adenovirus, Rhinovirus, Herpesvirus,
Sitomegalovirus, virus Epstein-Barr. Jamur penyebab ISPA antara lain Aspergillus
sp, Candidia albicans, Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Cryptococcus neoformans. Selain itu juga ISPA dapat
disebabkan oleh karena inspirasi asap kendaraan bermotor, Bahan Bakar
Minyak/BBM biasanya minyak tanah dan, cairan amonium pada saat lahir.

2.4. Gejala ISPA


Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacam-macam tanda dan
gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan
demam.
2.4.1.
Gejala dari ISPA ringan seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika
ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a. Batuk
b.Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya
pada waktu berbicara atau menangis)
c.Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung
d.Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37c

2.4.2.
Gejala dari ISPA sedang seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika
dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai
berikut:

5
a.Pernafasan cepat (fast breathing) sesuai umur yaitu : untuk kelompok umur
kurang dari 2 bulan frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih dan kelompok
umur 2 bulan - < 5 tahun : frekuensinafas 50 kali atau lebih untuk umur 2 - < 12
bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.
b.Suhu lebih dari 39c (diukur dengan termometer)
c.Tenggorokan berwarna merah
d.Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak
e.Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
f.Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur)

2.4.3 Gejala dari ISPA Berat


Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA
ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:
a.Bibir atau kulit membiru
b.Anak tidak sadar atau kesadaran menurun
c.Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah
d.Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas
e.Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba
f.Tenggorokan berwarna merah

2.5. Cara Penularan Penyakit ISPA


Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar, bibit
penyakit masuk kedalam tubuh melalui pernafasan, oleh karena itu maka penyakit
ISPA ini termasuk golongan Air Borne Disease.
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang terjadi tanpa
kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Sebagian besar
penularan melalui udara dapat pula menular melalui kontak langsung, namun
tidak jarang penyakit yang sebagian besar penularannya adalah karena menghisap
udara yang mengandung unsur penyebab atau mikroorganisme penyebab.Adanya
bibit penyakit di udara umumnya berbentuk aerosol yakni suatu suspensi yang
melayang di udara, dapat seluruhnya berupa bibit penyakit atau hanya sebagian

6
daripadanya. Adapun bentuk aerosol dari penyebab penyakit tersebut ada dua,
yakni droplet nuclei dan dust. Droplet nuclei adalah partikel yang sangat kecil
sebagai sisa droplet yang mengering. Pembentukannya dapat melalui berbagai
cara, antara lain dengan melalui evaporasi droplet yang dibatukkan atau yang
dibersinkan ke udara. Droplet nuclei juga dapat terbentuk dari aerolisasi materi-
materi penyebab infeksi di dalam laboratorium. Karena ukurannya yang sangat
kecil, bentuk ini dapat tetap berada di udara untuk waktu yang cukup lama dan
dapat diisap pada waktu bernafas dan masuk ke alat pernafasan.
Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi
partikel yang menempel dilantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama
debu lantai/tanah.

2.6. Epidemiologi Penyakit ISPA


Epidemiologi penyakit ISPA yaitu mempelajari frekuensi, distribusi penyakit
ISPA serta faktor-faktor (determinan) yang mempengaruhinya.

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit ISPA


ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya tahan
tubuh anak berbeda dengan orang dewasa karena sistem pertahanan tubuhnya
belum kuat. Apabila di dalam satu rumah seluruh anggota keluarga terkena pilek,
anak-anak akan lebih mudah tertular. Dengan kondisi tubuh anak yang masih
lemah, proses penyebaran penyakit pun menjadi lebih cepat.
Dalam setahun seorang anak rata-rata bisa mengalami 3 - 6 kali penyakit ISPA.
DiIndonesia, ISPA menempati urutan pertama penyebeb kematian pada kelompok
bayi dan balita. Berdasarkan data Survei Kesehatan Nasional 2001
menunjukkan bahwa proporsi ISPA sebagai penyebab kematian bayi adalah 27,6%
sedangkan proporsi ISPA sebagai penyebab kematian anak balita 22,8%.
Hasil survei Program P2 ISPA di 12 propinsi di Indonesia (Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Nusa

7
Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat) pada tahun 1993 diketahui bahwa
jumlah angka kesakitan tertinggi karena ISPA, yaitu 2,9 per 1000 balita. Selama
kurun waktu 2000-2002, jumlah kasus ISPA terlihat berflutuasi. Pada tahun 2000
terdapat 479.283 kasus (30,1%), tahun 2001 menjadi 620.147 kasus (22,6%) dan
pada tahun 2002 menjadi 532.742 kasus (22,1%).

2.6.2. Determinan Penyakit ISPA


a. Faktor Agent (Bibit Penyakit)
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia.
ISPA juga dapat disebabkan oleh karena jamur dan inspirasi asap kendaraan
bermotor, Bahan Bakar Minyak/BBM biasanya minyak tanah, dan cairan
amonium pada saat lahir.
b. Faktor Host (Pejamu)
b.1. Umur
Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh
sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan
memberikan gambaran klinik yang lebih besar dan jelek, hal ini disebabkan
karena ISPA pada bayi dan balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama
serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah.
Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih
optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya.
Data SKRT tahun 1991 sampai 2002 menunjukkan kelompok umur dengan
prevalensi kematian ISPA tertinggi di Indonesia ada pada kelompok umur bayi
dan balita yaitu tahun 1991 umur 12 - 23 bulan (9,8%), tahun 1994 umur 6 -
35bulan (10%), tahun 1997 umur 6 - 11 bulan (10%), tahun 2002 umur 6 -
23tahun (8%).
Berdasarkan hasil penelitian Mairusnita pada balita yang Berobat ke Badan
Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD) Kota Langsa
Tahun 2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita ISPA terbesar pada

8
kelompok umur 2 - 59 bulan yaitu 86,4% sementara kelompok umur dibawah 2
bulan yaitu 13,6%.
b.2. Jenis Kelamin
Berdasarkan Pedoman Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional
Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005 - 2009 menunjukkan bahwa anak
laki-laki memiliki risiko lebih tinggi dari pada anak perempuan untuk terkena
ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian Taisir di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2005,
menunjukkan bahwa proporsi ISPA berdasarkan jenis kelamin pada balita laki-laki
(43,3%) lebih tinggi dari pada proporsi ISPA pada balita perempuan (33,7%),
tetapi secara statistik, tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin
dengan kejadian ISPA pada balita di kelurahan Lhok Bengkuang.

b.3. Status Gizi


Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya
hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi
buruk sering mendapat pneumonia.
Batita dengan gizi kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan
dengan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk
mempertahankan diri terhadap infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka
reaksi kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh
mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Penyakit
infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan
mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah
terserang ISPA lebih berat bahkan serangannya lebih lama.
Hasil penelitian Sirait di Kelurahan Mangga Kecamatan Medan Tuntungan tahun
2010 dengan desain cross sectionalmenunjukkan bahwa ada hubungan antara
status gizi dengan kejadian ISPaA pada anak balita dengan nilai p =0,017. Hasil

9
Ratio Prevalens kejadian ISPaA pada anak balita dengan status gizi kurang
dibanding dengan anak balita dengan ststus gizi baik adalah 1,438 (95% CI: 1,134
-1,827). Artinya balita yang mempunyai status gizi kurang merupakan faktor
risiko terjadinya ISPA.

b.4. Berat Bayi Lahir


Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir yang
kurang 2.500 gram. Berat bayi lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan
fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat lahir rendah
(BBLR) mempunyai risiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan bayi
berat lahir normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena
pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena
penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya.
Bayi dengan BBLR sering mengalami gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan
oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot
pernafasan yang masih lemah.
Berdasarkan hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa
Tengah tahun 2005 menunjukkan proporsi bayi BBLR yang mengalami ISPA
(64,3%) lebih tinggi dari pada proporsi BBLR yang tidak mengalami ISPA
(35,7%). Hasil statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kejadian ISPA dengan BBLR dengan nilai p =0,009. Hasil Ratio Prevalens
kejadian ISPA pada BBLR dibanding dengan BBLN adalah 2,5 (95% CI: 1,238-
5,012). Artinya BBLR merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

b.5. Status ASI Eksklusif


Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan bayi yang paling sempurna, bersih
dan sehat serta praktis karena mudah diberikan setiap saat. ASI dapat mencukupi
kebutuhan gizi bayi untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6
bulan. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan
tanpa mamberikan makanan/cairan lain.
Pada waktu lahir sampai berusia beberapa bulan bayi belum dapat membentuk

10
kekebalan sendiri secara sempurna. ASI mampu memberikan perlindungan
terhadap infeksi dan alergi serta merangsang perkembangan sistem kekebalan bayi
itu sendiri. Dengan adanya zat anti infeksi pada ASI maka bayi dengan ASI
eksklusif akan terlindungi dari berbagai macam infeksi, baik yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur atau parasit.
Keunggulan lainnya, ASI mengandung gizi yang cukup lengkap dan
komposisinya disesuaikan dengan sistem pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat
terserap. Berbeda dengan susu formula atau makanan tambahan yang diberikan
secara dini pada bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga
dapat menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu
formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal ini akan
menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak dan akibat dari kurang gizi anak
lebih mudah terserang penyakit infeksi.
Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan
Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan
antara status ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak balita dengan nilai
p =0,000. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada anak balita yang tidak
mendapatkan ASI Eksklusif dibanding dengan anak balita yang mendapatkan ASI
Eksklusif adalah 2,698 (95% CI: 1,328-5,478). Artinya tidak mendapatkan ASI
Eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

b.6. Status Imunisasi


Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Anak yang
diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Dalam
imunologi, kuman atau racun kuman (toksin) disebut antigen. Imunisasi
merupakan upaya pemberian kekebalan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.
Imunisasi bermafaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit infeksi seperti
polio, TBC, difteri, pertusis, tetanus dan hepatitis B. Bahkan imunisasi juga dapat
mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit tersebut. Sebagian besar kasus
ISPA merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, penyakit yang

11
tergolong ISPA yang dapat dicegah dengan imunisasi adalah difteri dan batuk
rejan. Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis dan
campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan dalam upaya
pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas
ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Cara yang terbukti paling efektif saat ini
adalah dengan pemberian imunisasi Campak dan DPT.
Hasil penelitian Sadono, dkk di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah tahun
2005 dengan desain cross sectional diperoleh bahwa ada hubungan yang
bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi dengan nilai
p =0,027 dan Ratio Prevalens 1,8 (95% CI: 1,068-3,168). Artinya bayi dengan
status imunisasi tidak lengkap merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c. Faktor Lingkungan (Environment)


c.1. Ventilasi
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan
ISPA, dimana ventilasi dapat memelihara kondisi udara yang sehat bagi manusia.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga
agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah yang berarti kadar karbon dioksida yang bersifat racun bagi penghuninya
menjadi meningkat. Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan mendapatkan
suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Berdasarkan hasil penelitian Sulistyowati di Kabupaten Trenggalek tahun
2010 didapatkan bahwa proporsi anak balita penderita pneumonia yang memiliki
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan sebesar 57,8%. Hasil uji
statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian
pneumonia dengan ventilasi (p =0,042). Nilai OR 1,9 (95% CI: 1,0-3,4), artinya
anak balita kemungkinan menderita pneumonia 1,9 kali pada balita yang memiliki
ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan.

12
c.2. Kepadatan Hunian Ruang Tidur
Berdasarkan KepMenkes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan
menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8m
dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan
mempunyai dampak kurangnya oksigen didalam ruangan sehingga daya tahan
penghuninya menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan
seperti ISPA.
Kepadatan di dalam kamar terutama kamar balita yang tidak sesuai dengan
standar akan meningkatkan suhu ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran
panas badan yang akan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pemanasan
tersebut. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur maka
semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan
banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti
oleh peningkatan karbon dioksida dan dampak peningkatan karbon dioksida
dalam ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam ruangan.
Hasil penelitian Gulo di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun
2009 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian
rumahnya tergolong padat menderita ISPA sebesar 88,9%. Hasil uji statistik
diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kapadatan hunian rumah
dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,037. Nilai Ratio Prevalens
kejadian ISPA pada balita yang tinggal di rumah yang kepadatan hunian rumahnya
tergolong padat dibanding dengan balita yang tinggal di rumah
yang kepadatan hunian rumahnya tergolong tidak padat adalah 1,189. Artinya
hunian rumah yang tergolong padat merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c.3. Pemakaian Anti Nyamuk


Penggunaan anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk
dapat menurunkan kualitas udara dalam ruangan sehingga menyebabkan
gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak sedap.

13
Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme
pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.
Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan
tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang menggunakan obat nyamuk
menderita ISPA sebanyak 48 orang (73,8%) sedangakan balita yang tidak
menderita ISPA sebanyak 17 orang (27,2%). Hasil uji Chi Square diperoleh bahwa
ada hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian
ISPA pada balita dengan nilai p =0,010. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada
balita yang menggunakan obat nyamuk dibanding dengan balita yang tidak
menggunakan obat nyamuk adalah 1,8. Artinya penggunaan obat nyamuk
merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

c.4. Keberadaan Perokok


Paparan asap rokok merupakan penyebab signifikan masalah kesehatan seperti
pernafasan akut infeksi (ISPA) pada anak.
Satu batang rokok dibakar maka akan mengeluarkan sekitar 4000 bahan kimia
seperti nikotin, gas carbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen cianida, amonia,
acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin,ethyl cathecol,
ortcresor peryline dan lainnya.
Hasil penelitian Harianja di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan
Tuntungan tahun 2010 dengan desain cross sectional menunjukkan ada hubungan
antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada
anak balita dengan nilai p =0,001. Hasil Ratio Prevalens kejadian ISPA pada anak
balita yang memiliki anggota keluarga perokok dibanding dengan anak balita
yang tidak memiliki anggota keluarga perokok adalah 3,211 (95% CI: 1,154-
8,932). Artinya keberadaan anggota keluarga perokok merupakan faktor risiko
terjadinya ISPA. Berdasarkan hasil penelitian Mukonodi Puskesmas Pati I tahun
2006 dengan desain case control,berdasarkan analisis bivariat hubungan
keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita
diperoleh nilai p =0,000 dan OR 4,63 (95% CI: 2,04-10,52). Hal ini menunjukkan
bahwa ada hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang merokok dengan

14
kejadian ISPA pada balita. OR 4,63 artinya anak balita yang tinggal di rumah
dengan anggota keluarga yang merokok kemungkinan untuk menderita ISPA 4,65
kali dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan anggota keluarga yang
tidak merokok.

c.5. Bahan Bakar Untuk Memasak


Pencemaran udara di dalam rumah banyak terjadi di negara-negara berkembang.
Diperkirakan setengah dari rumah tangga di dunia memasak dengan
bahan bakar yang belum diproses seperti kayu, sisa tanaman dan batubara
sehingga akan melepaskan emisi sisa pembakaran di dalam ruangan tersebut.
Pembakaran pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar
antara lain asap, debu, grid (pasir halus) dan gas (CO dan NO). Tingkat polusi
yang dihasilkan bahan bakar menggunakan kayu jauh lebih tinggi dibandingkan
bahan bakar menggunakan gas. Sejumlah penelitian menunjukkan paparan polusi
dalam ruangan meningkatkan risiko kejadian ISPA pada anak-anak.
Berdasarkan hasil penelitian Naria, dkk di wilayah kerja Puskesmas Tuntungan
tahun 2008 menunjukkan proporsi balita yang tinggal di rumah yang
menggunakan bahan bakar kayu menderita ISPA sebanyak 39 orang (81,25%),
sedangkan yang tidak menderita ISPA sebanyak 9 orang (19,75%). Hasil uji Chi
Square diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar dengan
kejadian ISPA pada balita dengan nilai p =0,001. Nilai Ratio Prevalens kejadian
ISPA pada balita yang menggunakan bahan bakar kayu dibanding dengan balita
yang menggunakan bahan bakar minyak/gas adalah 1,715. Artinya penggunaan
bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terjadinya ISPA.

2.7. Pencegahan Penyakit ISPA


2.7.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan (health
promotion) dan pencegahan khusus (specific protection) terhadap penyakit
tertentu. Adapun tindakan-tindakanyang dilakukan dalam pencegahan primer
yaitu:

15
a.Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan
dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor risiko penyakit ISPA. Kegiatan penyuluhan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan imunisasi,
penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan kesehatan lingkungan
rumah, penyuluhan bahaya rokok.
b.Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka
kesakitan (insiden) pneumonia.
c.Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A.
d.Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat lahir rendah.
e.Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah
polusi di dalam maupun di luar rumah.

2.7.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)


Upaya penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan sedini
mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan untuk kelompok umur 2 bulan - < 5
tahun dibedakan atas klasifikasi ISPA yaitu :
a. Pneumonia Sangat Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi
antibiotik dengan memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.
Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3 - 5 hari), pemberiannya
diubah menjadi kloramfenikol oral, obati demam, obati mengi, perawatan
suportif, hati-hati dengan pemberian terapi cairan, nilai ulang dua kali sehari.
b. Pneumonia Berat: rawat di rumah sakit, berikan oksigen, terapi antibiotik
dengan memberikan benzilpenesilin secara intramuskular setiap 6 jam paling
sedikit selama 3 hari, obati demam, obati mengi, perawatan suportif, hati-hati
pada pemberian terapi cairan, nilai ulang setiap hari.
c. Pneumonia: obati di rumah, terapi antibiotik dengan memberikan
kotrimoksasol, ampisilin, amoksilin oral, atau suntikan penisilin prokain
intramuskular per hari, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah, obati
demam, obati mengi, nilai ulang setelah 2 hari.

16
d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek): obati di rumah, terapi antibiotik
sebaiknya tidak diberikan, terapi spesifik lain (untuk batuk dan pilek), obati
demam, nasihati ibu untuk memberikan perawatan di rumah.
e. Pneumonia Persisten: rawat (tetap opname), terapi antibiotik dengan
memberikan kotrimoksasol dosis tinggi untuk mengobati kemungkinan adanya
infeksi pneumokistik, perawatan suportif, penilaian ulang.
2.7.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita penderita ISPA agar tidak
bertambah parah dan mengakibatkan kematian.
a. Pneumonia Sangat Berat: jika anak semakin memburuk setelah pemberian
kloram fenikol selama 48 jam, periksa adanya komplikasi dan ganti dengan
kloksasilin ditambah gentamisin jika diduga suatu pneumonia stafilokokus.
b.Pneumonia Berat: jika anak tidak membaik setelah pemberian benzilpenisilin
dalam 48 jam atau kondisinya memburuk setelah pemberian benzilpenisilin
kemudian periksa adanya komplikasi dan ganti dengan kloramfenikol. Jika anak
masih menunjukkan tanda pneumonia setelah 10 hari pengobatan antibiotik maka
cari penyebab pneumonia persistensi.
c.Pneumonia: Coba untuk melihat kembali anak setelah 2 hari dan periksa adanya
tanda-tanda perbaikan (pernafasan lebih lambat, demam berkurang, nafsu makan
membaik. Nilai kembali dan kemudian putuskan jika anak dapat minum, terdapat
penarikan dinding dada atau tanda penyakit sangat berat maka lakukan kegiatan
ini yaitu rawat, obati sebagai pneumonia berat atau pneumonia sangat berat. Jika
anak tidak membaik sama sekali tetapi tidak terdapat tanda pneumonia berat atau
tanda lain penyakit sangat berat, maka ganti antibiotik dan pantau secara ketat.

17
BAB III
SATUAN ACARA PENYULUHAN

1. Pokok bahasan : Kesehatan pada anak


2. Sub pokok bahasan : ISPA pada anak
3. Hari/tanggal : selasa/01 april 2014
4. Waktu penyuluhan : 10.00-10.30 wib
5. Tempat penyuluhan : desa pancurbatu kecamatan Medan Tutungan
6. Tujuan instruksional :
Umum
Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit,diharapkan para
peserta penyuluhan akan dapat mengenal tanda-tanda dari penyakit ISPA.

Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan selama 1x30 menit,diharapkan para
peserta akan dapat
Menyebutkan pengertian ISPA
Menyebutkan tanda-tanda gejala penyakit ISPA
Menyebutkan cara pencegahan penyakit ISPA
Menyebutkan upaya pengobatan penyakit ISPA
7. Sasaran : ibu-ibu dan keluarga pasien
8. Metode : ceramah dan Tanya jawab
9. Media : brosur
10. Kegiatan penyuluhan :

KEGIATAN PENYULUHAN PESERTA MEDIA WAKTU


Pembukaan -memberi salam -menjawab - 5 menit
-menyampaikan salam -
tujuan mendengarkan
pertemuan dan
-menanyakan memperhatikan 15 menit

18
Isi pengertian ISPA -menjawab
pada peserta pertanyaan
penyuluhan -mendengarkan
-menjelaskan dan
pengertian ISPA memperhatikan
pada peserta -mendengarkan
-menjelaskan dan menunjukan
tanda-tanda memperhatikan brosur
ISPA -mendengarkan
-menjelaskan dan
cara memperhatikan
pencegahannya -mendengarkan
-menjelaskan dan
upaya memperhatikan
pengobatannya
-memberi -bertanya
kesempatan
bertanya pada
peserta
penyuluhan
Penutup -melakukan -menjawab 10 menit
evaluasi dan pertanyaan
menanyakan
dari keseluruhan
tujuan khusus
tersebut
-membuat -mendengar
kesimpulan
-Menutup -menerima
pertemuan dan brosur
member brosur

19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

ISPA adalah penyakit infeksi yang sangat umum dijumpai pada anak-anak dengan
gejala batuk,pilek panas atau ketiga gejala tersebut muncul secara bersamaan.
Penyebab ISPA yaitu virus,bakteri,allergen spesifik,perubahan cuaca dan
lingkungan,aktivitas dan asupan gizi yang kurang. Komplikasi ISPA adalah
asma,demam,kejang,tuli,syok. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan
perbaikan gizi dan peningkatan gizi pada balita penyusunan atau pengaturan
menu,cara pengolahan makanan,variasi menu,perbaikan dan sanitasi
lingkungan,pemeliharaan kesehatan perorangan.

4.2 Saran

Untuk mengurangi angka kejadian ISPA pada balita,dalam hal ini saya
menyarankan agar semua pihak baik keluarga maupun instansi kesehatan lebih
memperhatikan pola hidup sehat dan tidak membuang batuk sembaranga dan
mengolah makanan sebaik mungkin.

20
DAFTAR PUSTAKA

Meadow,Sir Roy dan Simen.2002.Lectus


Notes:Pediatrika.Jakarta:PT.Gelora Aksara Pratama
Ngastiyah,1997.Perawatan Anak Sakit.Jakart:EGC
Notoadmodjo.2003.Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta:EGC

21

Anda mungkin juga menyukai