cacat kehidupan. Menurut data dari WHO (2005), terdapat 7-10% anak
berkebutuhan khusus dari total populasi anak di dunia. Di Amerika Serikat sekitar
3-7%, sedangkan di negara Jerman, Kanada, dan Selandia Baru sekitar 5-10%.
Data Diagnotic and Statistic Manual (DSM IV) menyatakan bahwa, prevalensi anak
dengan ADHD pada usia sekolah dasar berkisar antara 3-7%. Hanya saja
disayangkan, di Indonesia belum memiliki data akurat dari prevalensi anak dengan
ADHD. Namun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN),
prevalensi tahun 2007 terdapat 8,3 juta anak dari 82 juta anak Indonesia di
Indonesia, 2010).
usia remaja, dan 65% hingga usia dewasa. Jumah kasus ADHD di Indonesia
belum banyak diketahui, padahal kasus ADHD terhitung tidak sedikit. Seperti pada
wilayah Jakarta, ditemukan 26,2% dari anak berumur 6-13 tahun mengalami
dugaan ADHD yang dilihat berdasarkan hasil survei jurnal, dan artikel yang
beberapa tahun terakhir ini menjadi sorotan dan perhatian utama di kalangan
Menurut peneliti, salah satu penyebab jumlah kasus ADHD yang terus
meningkat adalah karena rasa ingin tahu masyarakat seputar ADHD yang semakin
tinggi. Maka dari itu, peneliti melakukan penelitian mengenai ADHD di mana ADHD
3
kini menjadi ilmu yang sedang berkembang dan terus dilakukan penelitian
dikalangan paraprofesional.
pada anak dengan ADHD merupakan, gangguan pada fungsi otak (di area
perhatian, dan perilaku. Tonge (2013) menyatakan, ADHD disebabkan juga oleh
penyerta, (Dias, dkk 2013) dan mengalami penurunan yang signifikan disetiap
Istilah ADHD menurut DSM IV-TR (APA, 2000), pertama kali dikemukakan
oleh George Still pada tahun 1901. Berdasarkan DSM IV-TR anak dengan ADHD
hasil penelitian Skogli, Teicher, Andersen, Hovk, dan Oie (2013), anak perempuan
dengan ADHD memiliki gejala hiperaktif dan/atau impulsif yang lebih sedikit
gejala, anak perempuan dengan ADHD membutuhkan waktu intervensi yang lebih
anak dengan ADHD adalah sebagai gangguan patologis yang menunjukan gejala
4
pada kemampuan berprestasi, dan kesulitan penyesuaian diri. Anak dengan
bertahan pada waktu yang sangat singkat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Easteal, dan Anstey (2014) yang menjelaskan bahwa, ciri gangguan pemusatan
perhatian pada anak ADHD adalah pelupa, tidak dapat diandalkan, dan kinerja
aktivitas yang tidak lazim, dan cenderung berlebihan. Ditandai dengan berbagai
keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang.
Beberapa kriteria lain yang sering digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas
menyatakan, munculnya gejala pada anak dengan ADHD sudah tampak dari usia
satu tahun dan tidak mengalami banyak perubahan gejala pada saat dewasa.
Barkley (2006) menyatakan, selain dua karakteristik ADHD utama, anak dengan
Sacnchez, Velarde, dan Britton (2011), gangguan penyerta lain adalah gangguan
menambahkan, gejala yang muncul pada anak dengan gangguan tingkah laku
5
sering salah didiagnosis sebagai ADHD. Hal tersebut dikarenakan adanya
anak dengan ADHD hanya dianggap sebagai anak nakal atau bandel dan
bodoh oleh orangtua. Sehingga sering kali anak tidak ditangani secara benar
orangtua atau guru. Tseng, dkk (2012) menyatakan bahwa, anak dengan ADHD
juga mengalami hambatan penyesuaian sosial, seperti sering ditolak oleh teman
atau lingkungan sosial mereka. Patros, dkk (2013) juga menambahkan bahwa,
dengan ADHD akan menyebabkan risiko perilaku bunuh diri ketika anak sudah
dewasa.
Grag, dan Arun (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, anak dan
pemberontak atau sikap menentang, gangguan perilaku, dan depresi. Mash, dan
Barkley (2007) menambahkan, maka anak dengan ADHD rentan untuk mengalami
6
perkembangannya. Hanya saja, hingga saat ini penyebab ADHD masih menjadi
perdebatan antar para profesional. Menurut Barkley (2006), tidak ada penyebab
tunggal ADHD tetapi lebih pada multifaktor yang terdiri dari faktor biologis dan
tidak ada hubungan antara remaja ADHD yang mengalami depresi dengan
perilaku tawuran.
anak memiliki karakteristik ADHD saja, atau ADHD dengan gangguan penyerta.
Hal ini di mana nantinya akan menjadi satu solusi yang tepat jika, parapraktisi
dapat mengidentifikasi gejala ADHD, dan memberikan terapi yang sesuai dengan
gangguan penyerta. Di Indonesia para profesional (seperti dokter ahli saraf, dokter
WISC III (Wechsler Intelligence Scale for Children-III). Pada penelitian ini, peneliti
diterbitkan pada tahun 1949, sejak saat itu ada tiga revisi untuk WISC. Revisi
pertama tahun 1974 sebagai WISC-R, lalu pada tahun 1991 terbit revisi ke dua
yaitu WISC III, dan revisi terakhir pada tahun 2004 yaitu WISC IV. WISC III sering
7
digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan kognitif berbasis subtest dan
dan Canivez 2004). Peneliti menggunakan WISC III, dikarenakan WISC IV belum
dapat digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena belum adanya adaptasi
digunakan tidak hanya sebagai tes kecerdasan, tetapi juga sebagai alat klinis.
Zimmerman (1967) menambahkan, hal ini biasa dilakukan melalui proses yang
disebut dengan analisis pola, di mana membandingkan skor yang tinggi dengan
skor yang rendah, serta skor responden dengan gangguan dibandingkan dengan
Tes WISC III adalah tes inteligensi yang biasa digunakan untuk mengukur
taraf kecerdasan anak usia 5 tahun hingga 15 tahun. Menurut Arnaldi (2011), tes
rekomendasi awal untuk program intervensi. Oner, Oner, dan Alkar (2008)
menyatakan, 10 subtes WISC-R dan WISC III dapat menilai gejala-gejala dan
mengatur gambar, rancang balok, merakit objek, dan simbol. Hanya saja subtes
pembendaharaan kata tidak dapat diberikan kepada anak dengan ADHD, karena
8
Barkley (2006), permasalahan pada self regulation menghambat fungsi otak anak
Penelitian mengenai profil tes inteligensi WISC III sudah sering dilakukan
di negara barat. Secara umum para peneliti bertujuan untuk dapat menegakkan
diagnosis yang lebih baik dari responden, dan mendapatkan wawasan yang lebih
dalam mengenai kekuatan dan kelemahan yang menjadi ciri kondisi tertentu pada
responden (Scheis, dan Timmers, 2009). Koyama, Kamio, dan Inada (2009)
signifikan memiliki nilai yang lebih tinggi pada subtes mengatur gambar, simbol,
dan mazes. Tetapi pada subtes rancang balok, laki-laki memiliki nilai yang lebih
assembly) diartikan untuk melihat gangguan persepsi dan visual motor. Apabila
nilai subtes merakit objek tinggi diartikan hanya mengalami gangguan visual
motor. Subtes mengatur gambar (picture arrangement) yang disertai dengan nilai
rancang balok (block design) yang rendah diartikan sebagai adanya kemungkinan
yang terletak pada working memory, memori verbal, dan self regulation pada
9
(hambatan) pada kontrol perilaku adalah permasalahan yang ada pada anak
sebelumnya, maka peneliti semakin yakin untuk melakukan analisis lanjutan dalam
berdasarkan hasil tes WISC III. Ditinjau dari penelitian terdahulu, WISC III tidak
hanya diberikan kepada anak dengan ADHD saja tetapi juga kepada beberapa
dengan WISC-R untuk menggali tingkat kemampuan inteligensi anak dan remaja
tinggi dengan hasil IQ WISC III (R2 = 0,591; p < 0,09). Artinya, kedua tes mampu
menggali kecerdasan intelektual anak dan remaja dengan Asperger. Rotsika, dkk
pada anak di Yunani. Sampel terdiri dari 180 anak dengan ketidakmampuan
belajar (136 anak laki-laki, dan 44 perempuan) berusia 6,11 - 14,4 tahun. Rata-
rata PIQ = 96,08; rata-rata VIQ = 96,38; dan rata-rata FIQ = 96,61.
gangguan klinis yang spesifik dalam gangguan perkembangan saraf pada anak,
seperti autism, dan ADHD. Sagiv, Thurston, Bellinger, Altshul, dan Korrick (2012)
menggunakan WISC III dan CPT (Continuous Performance Test) untuk melihat
fungsi neuropsikologi pada gangguan perhatian dan impulsifitas antara anak usia
8 tahun yang terkena organoklorin dari pralahir, dan hasilnya sangatlah efektif.
mengenai WISC III dan anak dengan ADHD tergolong sedikit. Susilawati (2013)
10
dengan ADHD. WISC diberikan kepada 64 anak dengan ADHD, dengan hasil, (1)
pembendaharaan kata, rentang angka, rancangan balok, dan simbol dari WISC
dengan ADHD, (r = 0,393; F = 1,461; p>0,05), (2) ada hubungan negatif antara
subtes simbol dengan dengan ADHD (nilai r = 0,297; F = 6,007; p<0,05) dengan
dipengaruhi oleh faktor lainnya), (3) dan tidak terdapat faktor yang signifikan
antarsubtes WISC.
Anak dengan ADHD memiliki skor rendah dalam beberapa subtes WISC.
Peringkat dari nilai yang terendah adalah informasi, pemaham, rentang angka,
mengatur gambar, dan rancangan balok, dan merakit objek. Hal ini mencerminkan
bahwa kapasitas anak dengan ADHD terbatas pada visual motor, visual
planning ability, effects of uncertainly, dan social sensitivity. Oleh sebab itu dapat
dimengerti mengapa anak dengan ADHD memiliki masalah dalam perilaku, sosial,
gejala yang dimunculkan oleh anak dengan ADHD sangatlah penting. Hal tersebut
berguna untuk menambahkan serangkaian data dari pemeriksaan yang telah ada
sebelumnya. Tes WISC III dapat menjadi salah satu alat penunjang untuk
spesifik, dan menjadi rancangan untuk program awal intervensi. Oleh sebab itu,
11
peneliti melakukan pemetaan pada karakteristik kemampuan kognitif anak dengan
ADHD (dengan dua karakteriktik ADHD menurut DSM IV-TR) berdasarkan hasil
kognitif anak dengan ADHD berdasarkan hasil tes WISC III, terutama pada klien
yang ada di klinik psikologi. Data mentah yang ada di klinik psikologi sangat perlu
dianalisis dari setiap subtes WISC III. Hal tersebut nantinya sesuai dengan tujuan
diagnosis, dan melihat permasalahan pada kognitif anak. Serta untuk memberikan
program intervensi yang tepat, sesuai dengan karakteristik yang ada dalam diri
1. Subtes WISC III dapat digunakan untuk mendukung diagnosis ADHD dengan
12