Case 4
Case 4
Pembimbing :
dr. Heri Susanto Sp.A
Disusun oleh :
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045
Penyusun:
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 19 Desember
24 Februari 2017
I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ayah
Nama An.C Ny.N Tn. A
Umur 5 tahun 26 tahun 36 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Warungpring RT 1 RW 1 Tegal
II. ANAMNESIS
Data anamnesis diperoleh secara auto dan alloanamnesis kepada orang tua pasien
(Ny.N 28 th dan Tn.A 28 th) pada tanggal 7 Februari 2017 di Ruang PICU Kardinah pukul
10.00 WIB.
Keluhan Utama
Perut Bengkak
Keluhan Tambahan
Pucat, Mual Muntah, Sesak, Batuk, makan dan minum sulit
Orang sakit (OS) datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan perut bengkak
sejak 1 minggu SMRS, sebelumnya OS mengalami panas dan mual hingga muntah kemudian
os berobat ke klinik dan di diagnosa demam tifoid sehingga dirawat. Setelah 2 hari dirawat os
pulang namun 2 hari kemudian perut os menjadi bengkak dan keras. Selain itu os juga
mengeluh batuk tidak berdahak, sesak , pucat dan bab cair 4x/hari tanpa disertai lendir dan
darah. Orang tua os mengatakan tidak pernah mengalami sakit kuning dan air kencing seperti
teh ataupun darah. Selain itu menurut orang tua os bengkak hanya pada perut dan kaki, saat
ditanya mana yang lebih dahulu orang tua os mengatakan perut terlebih dahulu. Orang tua os
juga menyangkal adanya kelainan jantung pada saat kecil.
Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : Di rumah
Penolong persalinan : Dukun Bayi
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G1P0A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Tidak tahu
Suntik vit K : Tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.
Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -
Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai usia, belum dilakukan imunisasi
campak dan ulangan
Silsilah Keluarga
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bangsal PICU RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 7
Februari 2017 pukul 15.30 WIB.
A. Kesan Umum : Compos Menti,E4V5M6, TSS
B. Tanda Vital
Nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 50 x/menit, reguler.
Suhu : 38C
Tekanan darah :-
C. Data Antropometri
Berat badan : 22 kg
Tinggi badan : 130 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 53 cm
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Leher : kaku kuduk (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping
hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-)
Kulit : berwarna kecoklatan, Ruam (+)
Thorax :
Paru
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 8,4 () g/dL 10,7 14,7
3
Leukosit 13,6 () 10 /uL 4,5 13,5
Hematokrit 21,9 () % 33 41
3
Trombosit 150 10 /uL 150 521
6
Eritrosit 3.1 () 10 /uL 3,7 5,7
RDW 17,3 () % 11,5 14,5
MCV 80,6 U 80 93
MCH 26,1 () Pcg 28 33
MCHC 32,6 () g/dl 33 36
Kimia Klinik
Natrium 132,3 () meq/L 135 145
Kalium 4,78 meq/L 5,2 8,3
Kalsium 102,6 meq/L 96-108
Total Protein 6,31 () g/dl 6,6 8,7
Albumin 2,5 Tanggal 11/02/2017
Pemeriksaan Laboratorium g/dl Pukul 23.39 WIB
3,5-4,8
Globulin 3,4 g/dl 3,2 3,9
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 11,1 g/dL 10,7 14,7
Leukosit 8,8 103/uL 4,5 13,5
Hematokrit 32,8 () % 33 41
Trombosit 432 103/uL 150 521
Eritrosit 4.1 106/uL 3,7 5,7
RDW 15,9 () % 11,5 14,5
MCV 79,2 () U 80 93
MCH 26,0 () Pcg 28 33
MCHC 33,6 g/dl 33 36
Kimia Klinik
Total Protein 6,8 g/dl 6,6 8,7
Albumin 3,5 g/dl 3,5 - 4,8
Globulin 3,3 g/dl 3,2 3,9
Pemeriksaan Rontgen
V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak laki-laki usia 10 tahun Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
Berat badan 22 kg 1. BB/U= 22/33 x 100% = 66,6% (berat badan menurut
Tinggi badan 130 cm umur gizi kurang)
Lingkar kepala 53 cm
2. PB/U = 130/140 x 100% = 92,8 % ( normal)
3. BB/PB = 22/28 x 100% = 78,57% (gizi kurang menurut
berat badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 10 tahun, status gizi kurang
Kesan : LK 53 cm Normocephali
VI. RESUME
Orang sakit (OS) datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan perut bengkak
sejak 1 minggu SMRS, sebelumnya OS mengalami panas dan mual hingga muntah kemudian
os berobat ke klinik dan di diagnosa demam tifoid sehingga dirawat. Setelah 2 hari dirawat os
pulang namun 2 hari kemudian perut os menjadi bengkak dan keras. Selain itu os juga
mengeluh batuk tidak berdahak, sesak , pucat dan bab cair 4x/hari tanpa disertai lendir dan
darah. Menurut orang tua os bengkak hanya pada perut dan kaki, saat ditanya mana yang
lebih dahulu orang tua os mengatakan perut terlebih dahulu.
VII. MASALAH
Demam
Batuk
Mual Muntah
BAB Cair
Sesak
Pucat
Gizi Kurang
Ascites
Edema penis
Hipoalbuminemia
Leukositosis
Anemia micrositik hipokrom
X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD Kaen 3b 10tpm
Cefotaxim 3 x 500 mg
Ranitidin 3 x 2,5 mg
Aminofusin 125 cc/hari
PCT 250 cc
Lasix 10 mg
Zinc 1 x 10 mg
Dhavit 1 x 1 cth
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
PERJALANAN PENYAKIT
6 Februari 2017 (IGD)
Hari Perawatan ke-0
Os datang dengan keluhan perut buncit,demam 3 hari SMRS, Sesak, Batuk dan . Mual(+) Muntah (+) BAB cair 3x, ampas (+), lendir
(-), darah (-).
KU: Tampak sesak, Tampak Sakit Sedang
TTV: HR 110x/m,RR 28x/m, T 38 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, rambut berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut..
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
Hidung & THT : dbn
Mulut : dbn
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien tidak dapat diraba, Ascites (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)spastik +/+ CRT < 2 detik
Sepsis
Hypoalbumin
Diare Akut
Rawat inap di PICU, konsultasi Sp.A
Cefotaxim 3 x 500
Ranitidin 3x ampul
Aminofilin 1 x 120 cc
PCT 250 cc
IVFD Kaen 3b 10 tpm
Zinc 1x 1 cth
Tanggal 7-2-17 (PICU) 8-2-17 (PICU) 9-2-17 (Puspanidra)
H1 HI H3
S Demam (+) , BAB cair (+) 1x ampas Demam (-) , BAB cair (+) 1x Batuk (+) nyeri perut
(+), lendir (-), darah (-) Batuk (+) ampas (+), lendir (-), darah (-)
Pilek (+) Sesak(+) Makan minum Batuk (+) Pilek (-) Sesak(-)
Sulit Makan minum Sulit
O KU : Tampak sesak, tampak sakit KU : baik, tampak sakit sedang KU : baik, tampak sakit sedang
sedang TTV : TTV :
TTV : T : 36 HR :100 RR : 20 T : 36 HR :100 RR : 20
T : 37,5 HR :120 RR : 24 SpO2 = Status generalis: Status generalis:
98% Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, Kepala: mesosefali, LK = 48 cm,
Status generalis: rambut berwarna hitam, tersebar rambut berwarna hitam, tersebar
Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, merata, tidak mudah dicabut.. merata, tidak mudah dicabut..
rambut berwarna hitam, tersebar Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem
merata, tidak mudah dicabut.. palpebra (-/-), palpebra (-/-),
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Hidung & THT : dbn Hidung & THT : dbn
palpebra (-/-), Mulut : dbn Mulut : dbn
Hidung & THT : dbn Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh
Mulut : dbn rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh m (-), g (-) g (-)
(+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), Abdomen: Supel, BU (+), hepar Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien
g (-) lien tidak tampak besar, Ascites tidak tampak besar, Ascites (+)
Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien (+) berkurang berkurang
tidak dapat diraba, Ascites (+) Ekstremitas atas: AH (+/+), OE Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) (-/-) spastik +/+, spastik +/+,
spastik +/+, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik (-/-)CRT < 2 detik
(-/-) CRT < 2 detik
A Sup.Sepsis Susp.Sepsis Susp.Sepsis
Hipoalbumin Hipoalbumin Hipoalbumin
Anemia Mikrositik Hipokrom Anemia Mikrositik Hipokrom Anemia Mikrositik Hipokrom
Diare akut Diare akut Diare akut
P O2 2 lpm Pindah ke Puspanidra Terapi lanjut
Albumin 20% 100cc Cefotaxim 3 x 500
Cefotaxim 3 x 500 Ranitidin 3x ampul
Ranitidin 3x ampul Aminofilin 1 x 120 cc
Aminofilin 1 x 120 cc PCT 250 cc
PCT 250 cc IVFD Kaen 3b 10 tpm
IVFD Kaen 3b 10 tpm Zinc 1x 1 cth
Zinc 1x 1 cth
Ferris
Ferris
2.1 Hypoalbumin
Definisi
Etiologi
Penurunan Sintesis
Peningkatan ekresi albumin
Redistribusi albumin ke lokasi diluar ruang intravaskular
pengenceran albumin dalam ruang intravaskular
Patofisiologi
Gangguan Sintesa
Albumin merupakan suatu protein yang dibentuk oleh tubuh, beberapa faktor yang
mempengaruhi sintesis albumin, tetap secara klinis penurunan yang relevan dalam
produksinya biasanya diakibat karena kegagalan fungsi hati yang mengalami 75 % gangguan
fungsi hati. Hal ini disebabkan karena sintesa albumin di lakukan oleh sel hepatosit. Selain itu
faktor lain yang mempengaruhi sintesa albumin adalah adanya malnutrisi kronis khususnya
pada malnutrisi akibat kekurang protein, hal ini dikarenakan sintesa albumin membutuhkan
asam amino, selain itu infeksi juga mempengaruhi sintesa albumin ini dikarenakan hepatosit
Gangguan Distribusi
Pada orang normal albumin beredar di cairan intrvascular dan cairan ekstravascular, jika
Gangguan Katabolisme
Albumin dipecah oleh tubuh menjadi asam amino bebas yang dilakukan didalam kulit, otot,
dan hati. Namun mekanisme katabolismenya masih belum dapat dipahami seluruhnya.
Gangguan Ekresi
Pada beberapa kondisi terjadi peningkatan ekresi albumin melalui feses dan urin, ekresi
albumin melalu feses terjadi akibat adanya infeksi dimana infeksi pada GIT menyebabkan
terjadinya inflamasi pada mucosa usus sehingga terjadi kerusakan mucosa usus dan
peningkatan permeabelitas kapiler usus sehingga albumin pada kapiler keluar menuju lumen
usus dan keluar bersama feses. Selain itu pada anak normal albumin akan diekresi melalui
urin namun jumlahna hanya sedikit. Albumin dapat melewati glomerulus namun akan diserap
kembali di tubulus. Pada sindroma nefrotik terjadi gangguan pada fungsi tubulus sehingga
Gejala klinis
Gejala pada hipoalbumin adalah terjadi adanya edema, edema terjadi akibat berkurangnya
tekanan onkotik plasma yang menyebabkan pergeseran cairan dari ruang intravasculer
Diagnosis
Diagnosis didapatkan dari hasil Lab berupa penurunan kadar albumin plasma <3,5 g/gl
Komplikasi
Edema Intertissiel
Syok Hipovolemia
Tatalaksana
Medikamentosa
Causatif
Albumin intravena
Dosis pemberian albumin adalah ( selisih antara jumlah target albumin
Symptomatik
Diuretik
Diuretik di indikasikan untuk mengurangin edema yang terjadi
Non-Medika mentosa
Diet
Diet yang diberikan adalah makanan yang mengandung tinggi protein
seperti putih telur dan ikan gabus yang mengandung asam amino yang
2.2.1 Definisi
Sepsis adalah systemic inflammation respons syndrome (SIRS) yang disertai dugaan atau
bukti ditemukan infeksi di dalam darah.
Menurut WHO, sepsis adalah suatu keadaan klinis akibat infeksi yang disertai dengan
takipnea dan takikardia.
2.3 Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kematian utama di penderita yang dirawat di
ICU (Intensive Care Unit) di Amerika Serikat (AS). Lebih dari 750.000 penderita
yang mengalami sepsis didapatkan setiap tahunnya dan lebih dari 210.000 di
antaranya meninggal dunia.13 Data kejadian sepsis di AS pada tahun 2007
menurun menjadi 5095 kasus/100.000 penduduk, tetapi diramalkan akan
meningkat sekitar 9% per tahun. Data di Eropa didapatkan 211% penderita
yang dirawat di ICU menderita sepsis berat. Angka kematian sepsis berkisar
antara 3070%.4 Data yang tepat mengenai sepsis di Indonesia masih belum
dapat diperoleh. Data di RS Sardjito Jogjakarta menyebutkan 27% penderita yang
dirawat di ICU adalah mereka yang mengalami sepsis dengan angka kematian
56,83%.5 Data di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan 80 penderita yang
mengalami sepsis dari 250 orang yang dirawat di ICU (29%) selama masa waktu
JanuariApril 2010. Angka kematian akibat sepsis di negara maju sudah sangat
menurun sampai hanya 9%, tetapi di negara berkembang seperti Indonesia
masih sangat tinggi, yaitu antara 5070% dan apabila sudah terjadi renjatan
septik dan tidak bekerjanya organ multipel, angka kematiannya menjadi 80%.7
Hal ini membuktikan bahwa sepsis masih merupakan masalah utama di seluruh
dunia. Saat ini sepsis menjadi salah satu dari 12 penyebab kematian utama di
AS.
2.4 Etiologi
2.5 Patogenesis
Proses terjadinya sepsis dimulai dari kolonisasi mikroorganisme yang dapat
membentuk suatu fokus infeksi. Mikroorganisme atau produk mikroorganisme (toksin atau
endotoksin) baik yang beredar dalam darah maupun yang berasal dari suatu fokus infeksi
akan menginduksi sistem imunitas sehingga terjadi perubahan fisiologi tubuh pada sepsis.
Toksin atau superantigen berhubungan dengan bakteri gram positif, mikobakteria, dan virus
dimana toksin yang diekspresikan oleh patogen akan mengaktivasi limfosit dalam sirkulasi.
Endotoksin adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan komponen dari dinding sel bakteri
gram negatif, fungi, atau yeast. Endotoksin akan berikatan dengan makrofag serta
menyebabkan aktivasi dan ekspresi dari gen-gen inflamasi. Adanya endotoksin serta toksin
dalam tubuh akan mencetuskan respons dari host berupa respons imun selular dan respons
imun humoral. Respons imun tubuh baik selular dan humoral merupakan upaya tubuh tuntuk
mempertahankan suasana fisiologis.
Manifestasi klinis sepsis tidak spesifik tergantung dari fase sepsis dan infeksi yang
mendasari. Pada tiap fase sepsis terjadi perubahan hemodinamik yang bila tidak ditangani
dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Pada fase awal sepsis, disebut juga sebagai
fase hiperdinamik, cardiac output belum berkurang namun justru meningkat untuk memenuhi
kebutuhan metabolik jaringan tubuh. Pada fase ini gejala klinis yang dijumpai ialah gangguan
regulasi suhu tubuh bisa berupa hipertermia atau hipotermia, menggigil, takikardia, dan
takipnea/ hiperventilasi. Manifestasi klinis fase awal sepsis sulit dibedakan dari penyakit
infeksi biasa teruatama pada neonatus dan anak dengan gangguan imunitas yang berat. 2,4
Manifestasi klinis lain yang kurang spesifik seperti penurunan tonus otot, penurunan aktivitas
anak, perubahan warna kulit menjadi lebih pucat, dan gangguan menyusui/ penurunan napsu
makan.
Bila sepsis tidak segera ditangani maka cardiac output akan berkurang sebagai efek dari
kaskade inflamasi yang terjadi. Pada anak dapat dijumpai tanda-tanda curah jantung yang
berkurang berupa pemanjangan capillary refill time, nadi perifer ataupun sentral menjadi
lemah, ekstremitas teraba dingin, serta penurunan urine output pasien. Pada beberapa anak
penurunan curah jantung juga dapat menyebabkan perubahan status mental dan kesadaran
sehingga secara klinis tampak konfusi, agitasi, letargi, ansietas, obtundasi, maupun koma.
Ansietas dan agitasi biasanya merupakan tanda awal dari syok septik. Hipotensi timbul bila
syok sudah tidak terkompensasi lagi oleh usaha tubuh (decompensated shock).
Demam perlu dicari sebagai salah satu tanda infeksi. Demam merupakan tanda infeksi
pertama yang muncul pada anak-anak yang immune-competent.3 Suhu tubuh sebaiknya
diukur per rektal karena paling mendekati suhu inti tubuh. Pengkuran suhu tubuh pada aksila,
oral, atau membran timpani seringkali tidak memberikan hasil yang akurat. Demam
didefinisikan sebagai suhu inti tubuh yang lebih atau sama dengan 38.0C. Pada bayi demam
seringkali timbul dipengaruhi oleh over-bundling. Bila over-bundling dicurigai maka bayi
perlu dibebaskan dari pakaian dan dilakukan pengukuran ulang suhu tubuh 15-30 menit
kemudian. Pada bayi atau anak-anak yang immunocompromized dengan infeksi yang serius,
selain ditandai oleh demam, infeksi bisa juga ditandai oleh hipotermia. Hipotermia ialah bila
didapatkan suhu inti tubuh kurang dari 36.0C.
Gejala klinis lain yang dapat terlihat pada pasien sepsis ialah lesi kulit. Lesi kulit yang
mungkin dapat terlihat pada pasien sepsis antara lain berupa petekie, purpura, eritema yang
difus, ekimosis, ektima gangrenosum, dan gangren perifer yang simetris. Petekie dan purpura
terutama ditemukan pada penderita infeksi mengingokokus. Bila petekie atau purpura disertai
oleh manifestasi perdarahan lainnya maka perlu dicurigai suatu disseminated intravascular
coagulation (DIC). Ektima gangrenosum ditemukan pada infeksi Pseudomona aeruginosa.
Ikterus dapat dijumpai pada beberapa pasien sebagai suatu tanda infeksi atau bila sudah
terjadi MODS.Pada pasien dengan asidosis metabolik akan terlihat sesak napas dengan
pernapasan yang cepat dan dalam atau disebut pernapasan Kussmaul. Gejala klinis lainnya
tergantung dari infeksi fokal yang terjadi pada anak. Anak dengan meningitis, pneumonia,
arthritis, selulitis, serta pielonefritis akan memberikan gambaran klinis yang berbeda-beda.
Dari pemeriksaan fisik dapat dinilai beberapa parameter dan ditentuk risiko sepsis pada
pasien baru.
Tabel 9: Menilai Risiko Sepsis berdasarkan Pemeriksaan Fisik
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium seringkali ditemukan kelainan hematologik
maupun gangguan elektrolit. Kelainan hematologik yang dapat ditemukan
ialah leukositosis atau leukopenia, trombositopenia, pemanjangan PT dan
APTT, kadar fibrinogen serum berkurang, kadar produk degradasi fibrinogen
meningkat, anemia, dan peningkatan netrofil/ shift to the left. Bila dilakukan
pemeriksaan sediaan apus dapat ditemukan sel darah putih dalam bentuk
yang imatur (batang, mieolosit, promielosit), vakuolisasi netrofil, granulasi
toksik, dan badan Dohle. Bila yang didapatkan ialah suatu netropenia
merupakan pertanda buruk sepsis karena menunjukkan adanya infeksi yang
berat yang menimbulkan deplesi sumsum tulang.
Kelainan elektrolit yang dapat ditemukan ialah hiperglikemia sebagai
respons terhadap sepsis akut (stress response) atau justru hipoglikemia bila
cadangan glikogen tubuh telah habis terpakai untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Hiperglikemia merupakan hasil dari peningkatan kadar
glukokortikoid, katekolamin dan resistensi insulin pada pasien sepsis.
Rangsangan dari luka ataupun sepsis mengaktifkan hipotalamus dan
melepaskan hormon kortikotrofin yang distimulasi oleh pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari pituitari anterior. ACTH akan
merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol dari zona fasciculata
dan retikularis adrenal. Pelepasan ACTH juga distimulasi oleh penurunan
tekanan pada baroreseptor di dalam carotid bodies dan lengkung aorta.
Pelepasan katekolamin disebabkan oleh penurunan tekanan darah dan juga
rangsangan yang terjadi di hipotalamus. Formasi retikularis dan dan spinal
cord menghantarkan sinyal ke saraf simpatis post ganglion dan berakhir
dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal. Hasil akhir
dari proses metabolisme hipotalamus dan kelenjar adrenal berkaitan dengan
stress yang terjadi pada pasien dalam keadaan sepsis atau sakit kritis akan
meningkatkan mekanisme umpan balik hormonal. Respon ini akan
menyebabkan resistensi insulin sehingga tidak mampu mempertahankan
keadaan glukosa darah normal.
Kelaianan elektrolit lainnya dapat berupa hipokalsemia, hipoalbuminemia,
asidosis metabolik, dan serum bikarbonat yang rendah. Asidosis metabolik
terjadi akibat meningkatnya produksi laktat karena metabolisme anarob yang
signifikan.2
Pasien dengan respiratory distress syndrome akan menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan AGD berupa penurunan PaO 2 yang merupakan tanda
gangguan oksigenasi dan peningkatan PaCO 2 yang merupakan tanda adanya
gangguan ventilasi. Pada pasien dimana sudah terjadi MODS dapat
ditemukan kelainan pada pemeriksaan fungsi ginjal maupun pemeriksaan
fungsi hati.
Analisa cairan tubuh mungkin didapatkan adanya leukosit pada cairan yang
steril, netrofil, atau bahkan dapat ditemukan bakteri. Pemeriksaan kultur
dilakukan untuk mengetahui etiologi dari sepsis. Pengambilan spesimen
kultur sesuai dengan kecurigaan letak fokus infeksi. Spesimen kultur dapat
berupa darah, urin, cairan serebrospinal, abses, cairan peritoneal, dan lain-
lain. Pada anak dengan sepsis hasil kultur tidak selalu positif. Peningkatan dari
beberapa marker biokimia sering ditemukan pada pasien dengan SIRS/
sepsis. Marker biokimia yang dimaksud ialah LED/ erythrocyte sedimentation
rate, C-reactive protein (CRP), base deficit (BE), interleukin-6, dan kadar
prokalsitonin.
Tabel 10 memuat marker biokimia yang dapat digunakkan secara klinis untuk
menegakkan diagnosis sepsis:
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria SIRS dan dapat dibuktikan
adanya suatu infeksi atau didapatkan gambaran klinis pada anak yang konsisten dengan
adanya suatu infeksi. Bila diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis disebut sebagai sepsis/
septicemia.5 Kriteria dari SIRS dapat terpenuhi bila didapatkan 2 dari 4 kriteria dimana 1
haruslah merupakan abnormalitas pada pengaturan suhu atau hitung leukosit yang abnormal. 1-
2,5
4 kriteria tersebut (seperti yang tertera pada tabel 4) ialah:
1. Suhu inti tubuh (rektal) > 38.5C atau < 36.0C
2. Takikardia: denyut jantung rata-rata > 2 SD diatas denyut jantung normal untuk umur
tanpa stimulus eksternal, obat-obatan, atau stimulus nyeri ATAU elevasi persisten
denyut jantung tanpa sebab yang jelas selama 0.5 hingga 4 jam ATAU pada anak
kurang dari 1 tahun terjadi bradikardia persisten selama 0.5 jam dimana denyut
jantung rata-rata < persentil ke-10 untuk usia tanpa adanya reflex vagal, penggunaan
obat-obatan beta-blocker, atau kelainan jantung kongenital
3. Takipnue: laju pernapasan > 2 SD diatas laju pernapasan normal untuk umur ATAU
dibutuhkan bantuan ventilasi mekanis yang tidak berhubungan dengan penyakit
neuromuskular ataupun penggunaan anastesi umum
4. Hitung leukosit meningkat atau menurun: Hitung leukosit meningkat atau menurun
dari nilai normal untuk umur, bukan akibat dari penggunaan kemoterapi ATAU
netrofil batang > 10%
Adanya lesi kulit seperti petekie dan purpura merupakan gambaran klinis yang sugestif
sepsis. Untuk membuktikan adanya suatu infeksi, dilihat dari gejala klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) anak selain itu juga perlu ditunjang oleh pemeriksaan penunjang seperti
foto thoraks, pemeriksaan darah, analisa cairan, serta pemeriksaan kultur.2
Standar baku diagnosis sepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam darah
ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ.7 Ditemukannya bakteri dalam
darah atau hasil kultur yang positif menandakan adanya bakteriemia. Bakteriemia merupakan
suatu diagnosis laboratorik.6 Pada pasien dengan sepsis tidak selalu didapatkan hasil kultur
yang positif.4
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sepsis atau syok septik ialah
sebagai berikut:
Disseminated intravascular coagulation (DIC): DIC merupakan komplikasi dari syok
septik. DIC perlu dicurigai bila terdapat petekie dan purpura yang disertai oleh
perdarahan di tempat lain. Selain itu pada pasien rawat inap tanda awal DIC berupa
keluarnya darah dari tempat-tempat dimana terpasang kateter intravena. Konfirmasi
diagnosis DIC dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap kadar trombosit,
konsentrasi fibrinogen, PT, dan APTT.6
Acute respiratory distress syndrome (ARDS): ARDS terjadi karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pulmonal menyebabkan capillary leakage yang hebat.
Cairan intravaskular akan masuk ke dalam parenkim paru sehingga terjadi edema
pulmonal. Diagnosis ARDS dipastikan dengan pemeriksaan foto thoraks dimana
ditemukkan gambaran yang opak pada sebagaian besar dari kedua hemithoraks. Nama
lain dari ARDS ialah shock lung.6
Gagal ginjal akut: Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 20-25% pasien sepsis dan pada
lebih dari 50% pasien dengan syok septik. Penurunan perfusi ke ginjal ialah penyebab dari
gagal ginjal akut.