Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG ANAK DENGAN HIPOALBUNEMIA ec GIZI KURANG


DAN SEPSIS SERTA ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing :
dr. Heri Susanto Sp.A

Disusun oleh :
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 19 Desember 2016 24 Februari 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


Seorang Anak Laki-laki dengan Hipoalbuminemia ec Gizi Kurang danAnemia
mikrositik hipokrm

Penyusun:
Ary Titis Rio Pambudi
030.11.045

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 19 Desember
24 Februari 2017

Tegal, 16 Februari 2017

dr. Heri Susanto, Sp.A


BAB I
STATUS PASIEN
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Nama : Ary Titis Rio Pambudi Pembimbing : dr. Heri Susanto, Sp.A.
NIM : 030.11.045 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Data Pasien Ibu Ayah
Nama An.C Ny.N Tn. A
Umur 5 tahun 26 tahun 36 tahun
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki
Alamat Warungpring RT 1 RW 1 Tegal

Agama Islam Islam Islam


Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa
Pendidikan - SD SMP
Pekerjaan - Buruh Buruh
Penghasilan - 500.000/bulan 1.000.000/bulan
Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung
Asuransi BPJS PBI
No. RM 861595
Tanggal masuk RS 6 Februari 2017

II. ANAMNESIS

Data anamnesis diperoleh secara auto dan alloanamnesis kepada orang tua pasien
(Ny.N 28 th dan Tn.A 28 th) pada tanggal 7 Februari 2017 di Ruang PICU Kardinah pukul
10.00 WIB.
Keluhan Utama
Perut Bengkak
Keluhan Tambahan
Pucat, Mual Muntah, Sesak, Batuk, makan dan minum sulit

Riwayat Penyakit Sekarang

Orang sakit (OS) datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan perut bengkak
sejak 1 minggu SMRS, sebelumnya OS mengalami panas dan mual hingga muntah kemudian
os berobat ke klinik dan di diagnosa demam tifoid sehingga dirawat. Setelah 2 hari dirawat os
pulang namun 2 hari kemudian perut os menjadi bengkak dan keras. Selain itu os juga
mengeluh batuk tidak berdahak, sesak , pucat dan bab cair 4x/hari tanpa disertai lendir dan
darah. Orang tua os mengatakan tidak pernah mengalami sakit kuning dan air kencing seperti
teh ataupun darah. Selain itu menurut orang tua os bengkak hanya pada perut dan kaki, saat
ditanya mana yang lebih dahulu orang tua os mengatakan perut terlebih dahulu. Orang tua os
juga menyangkal adanya kelainan jantung pada saat kecil.

Riwayat Penyakit Dahulu


Os tidak pernah mengalami hal serupa. Tidak riwayat alergi obat maupun
makanan tertentu. Riwayat penyakit lain, seperti asma, penyakit jantung, dan sebagainya
disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa, tidak ada yang memiliki
asma, dan jantung.
Riwayat Lingkungan Rumah
Pasien tinggal bersama dengan keluarga bibinya (paman, bibi dan 1 orang sepupu)
dirumah pribadi. Rumah berada di kawasan yang padat penduduk dengan luas 6 meter x 3
meter. Tempat tinggal pasien memiliki 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan 1 dapur. Rumah
memiliki 2 jendela yang selalu dibuka setiap pagi. Penerangan dengan listrik. Air berasal dari
air sumur. Jarak septic tank kurang lebih 10 meter dari sumber air. Air limbah rumah tangga
disalurkan melalui selokan di depan rumah.
Kesan : keadaan rumah dan ventilasi cukup baik, keadaan lingkungan rumah cukup
baik.
Riwayat Sosial Ekonomi
Orang tua os bekerja sebagai buruh dan berpenghasilan 1.500.000/bulan. Pendidikan
terakhir ayahnya adalah SMP sedangkan pendidian terakhir ibunya adalah SD.
Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang baik.

Riwayat Kehamilan dan Prenatal


Ibu os berusia 2 tahun saat mengandung pasien. Ibu os rutin memeriksakan
kehamilannya secara teratur sesuai buku panduan di bidan. Selama hamil, os tidak pernah
memeriksakan kehamilannya di dokter spesialis kandungan. USG (-) Riwayat tekanan darah
tinggi, kencing manis, perdarahan selama hamil, kejang, trauma maupun infeksi saat hamil
disangkal.
Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.

Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : Di rumah
Penolong persalinan : Dukun Bayi
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Masa gestasi : 38 minggu pada G1P0A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 45 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa
Keadaan lahir : Langsung menangis kuat, tidak pucat, dan tidak biru
Nilai APGAR : Ibu tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : Tidak tahu
Suntik vit K : Tidak tahu
Kesan: neonatus aterm, dengan lahir secara per vaginam, bayi dalam keadaan bugar.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di Posyandu secara teratur dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.

Corak Reproduksi Ibu


Ibu P1A0, pasien merupakan anak pertama berjenis kelamin laki-laki.

Riwayat Keluarga Berencana


Ibu pasien mengaku saat ini hanya menggunakan kontrasepsi pil sejak tahun 2011.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Pertumbuhan:
Berat badan lahir 3000 gram. Panjang badan lahir 45 cm.
Berat badan sekarang 22 kg. Panjang badan 105 cm.
Perkembangan:
Psikomotor
Senyum : 2 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Merangkak : 9 bulan
Berdiri : 12 bulan
Berjalan : 12 bulan
Bicara : 12 bulan
Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai usia

Riwayat Makan dan Minum Anak


Ibu memberikan ASI eksklusif sampai 6 bulan. Usia 6 bulan diberikan PASI dan bubur
susu 3x sehari. Usia 6 bulan mulai diberikan makanan lunak dan buah pisang. Usia 1
tahun sudah diberikan nasi, sayur dan lauk pauk. Ibu os mengatakan pasien sulit makan,
makan tidak banyak dan tidak pernah habis.
Kesan: kualitas makanan cukup baik, kuantitas makanan buruk.

Riwayat Imunisasi
VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar pasien tidak lengkap sesuai usia, belum dilakukan imunisasi
campak dan ulangan

Silsilah Keluarga
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di Bangsal PICU RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 7
Februari 2017 pukul 15.30 WIB.
A. Kesan Umum : Compos Menti,E4V5M6, TSS
B. Tanda Vital
Nadi : 100 x/menit, reguler, kuat, isi cukup.
Laju nafas : 50 x/menit, reguler.
Suhu : 38C
Tekanan darah :-
C. Data Antropometri
Berat badan : 22 kg
Tinggi badan : 130 cm
D. Status Generalis
Kepala : mesosefali, LK : 53 cm
Rambut : berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.
Wajah : simetris
Leher : kaku kuduk (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem
palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.
Hidung : bentuk simetris, septum deviasi (-), sekret (-/-), nafas cuping

hidung (-),
Telinga: bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-)
Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
Leher : Simetris, pembesaran KGB (-)
Kulit : berwarna kecoklatan, Ruam (+)
Thorax :
Paru

Inspeksi : Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi


(-)
Palpasi : Tidak ada hemitoraks yang tertinggal.
Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (-/-),
wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur (-),


gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : cembung
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Palpasi : Supel, datar, distensi (+), turgor kulit melambat.
Perkusi : redup pada seluruh kuadran abdomen. Shifting Dullnes
(+)

Genitalia : jenis kelamin Laki- Laki, terdapat edema pada penis.


Anorektal : tidak dilakukan pemeriksaan,
Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -
Ruam + +

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 7/02/2017 Pukul 23.39 WIB

Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 8,4 () g/dL 10,7 14,7
3
Leukosit 13,6 () 10 /uL 4,5 13,5
Hematokrit 21,9 () % 33 41
3
Trombosit 150 10 /uL 150 521
6
Eritrosit 3.1 () 10 /uL 3,7 5,7
RDW 17,3 () % 11,5 14,5
MCV 80,6 U 80 93
MCH 26,1 () Pcg 28 33
MCHC 32,6 () g/dl 33 36
Kimia Klinik
Natrium 132,3 () meq/L 135 145
Kalium 4,78 meq/L 5,2 8,3
Kalsium 102,6 meq/L 96-108
Total Protein 6,31 () g/dl 6,6 8,7
Albumin 2,5 Tanggal 11/02/2017
Pemeriksaan Laboratorium g/dl Pukul 23.39 WIB
3,5-4,8
Globulin 3,4 g/dl 3,2 3,9
Hematologi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 11,1 g/dL 10,7 14,7
Leukosit 8,8 103/uL 4,5 13,5
Hematokrit 32,8 () % 33 41
Trombosit 432 103/uL 150 521
Eritrosit 4.1 106/uL 3,7 5,7
RDW 15,9 () % 11,5 14,5
MCV 79,2 () U 80 93
MCH 26,0 () Pcg 28 33
MCHC 33,6 g/dl 33 36
Kimia Klinik
Total Protein 6,8 g/dl 6,6 8,7
Albumin 3,5 g/dl 3,5 - 4,8
Globulin 3,3 g/dl 3,2 3,9
Pemeriksaan Rontgen

Infiltrat perihillar (+)


Kesan :
Bronchopneumonia

V. PEMERIKSAAN KHUSUS
Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi
Anak laki-laki usia 10 tahun Pertumbuhan persentil anak menurut CDC sebagai berikut:
Berat badan 22 kg 1. BB/U= 22/33 x 100% = 66,6% (berat badan menurut
Tinggi badan 130 cm umur gizi kurang)
Lingkar kepala 53 cm
2. PB/U = 130/140 x 100% = 92,8 % ( normal)
3. BB/PB = 22/28 x 100% = 78,57% (gizi kurang menurut
berat badan per tinggi badan)
Kesan: Anak laki-laki usia 10 tahun, status gizi kurang

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : LK 53 cm Normocephali

Pemeriksaan Status Gizi


Kesan: status gizi baik

VI. RESUME
Orang sakit (OS) datang ke IGD RSUD Kardinah dengan keluhan perut bengkak
sejak 1 minggu SMRS, sebelumnya OS mengalami panas dan mual hingga muntah kemudian
os berobat ke klinik dan di diagnosa demam tifoid sehingga dirawat. Setelah 2 hari dirawat os
pulang namun 2 hari kemudian perut os menjadi bengkak dan keras. Selain itu os juga
mengeluh batuk tidak berdahak, sesak , pucat dan bab cair 4x/hari tanpa disertai lendir dan
darah. Menurut orang tua os bengkak hanya pada perut dan kaki, saat ditanya mana yang
lebih dahulu orang tua os mengatakan perut terlebih dahulu.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien compos mentis,E4V5M6,


tampak sesak, dan tampak sakit sedang, pemeriksaan tanda vital dengan nadi : 100 x/menit,
reguler, kuat, isi cukup, laju nafas: 50 x/menit, regular, suhu : 38C, berat badan : 22 kg,
panjang badan : 130 cm dengan status gizi kurang, pada pemeriksaan didapatkan Ca +/+ dan
ascites(+) dan edema penis. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium darah
didapatkan.anemia micrositik hipokrom disertai hipoalbuminemia dan total protein menurun
serta hiponatremia.

VII. MASALAH
Demam
Batuk
Mual Muntah
BAB Cair
Sesak
Pucat
Gizi Kurang
Ascites
Edema penis
Hipoalbuminemia
Leukositosis
Anemia micrositik hipokrom

VIII. DIAGNOSA KERJA


Demam, Leukositosis, Batuk, dan Edema. : Susp.Sepsis
Hipoalbuminemia, Total Protein menurun : Hipoalbuminemia ec Gangguan Sintesis
Anemia Micrositik hipokrom : Anemia defisiensi besi.
BB/PB : Gizi Kurang
IX. DIAGNOSIS BANDING

Demam, Leukositosis, Batuk, Susp.Sepsis


dan Edema Sindroma Nefrotik
Hipoalbuminemia Sintesis
Distribusi
Ekresi

Anemia Micrositik hipokrom Defisiensi Besi

BB 22 kg, Panjang badan 130 cm BB Kurang


BB Kurang
BB Lebih

X. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD Kaen 3b 10tpm
Cefotaxim 3 x 500 mg
Ranitidin 3 x 2,5 mg
Aminofusin 125 cc/hari
PCT 250 cc
Lasix 10 mg
Zinc 1 x 10 mg
Dhavit 1 x 1 cth
Non-medikamentosa
Rawat inap untuk monitor gejala
Awasi keadaan umum, dan tanda vital
Edukasi : menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi.
XI. PROGNOSA
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
PERJALANAN PENYAKIT
6 Februari 2017 (IGD)
Hari Perawatan ke-0
Os datang dengan keluhan perut buncit,demam 3 hari SMRS, Sesak, Batuk dan . Mual(+) Muntah (+) BAB cair 3x, ampas (+), lendir
(-), darah (-).
KU: Tampak sesak, Tampak Sakit Sedang
TTV: HR 110x/m,RR 28x/m, T 38 0C
Status generalis:
Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, rambut berwarna hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut..
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), pupil isokor 3mm/3mm, reflex cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung
Hidung & THT : dbn
Mulut : dbn
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien tidak dapat diraba, Ascites (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)spastik +/+ CRT < 2 detik
Sepsis
Hypoalbumin
Diare Akut
Rawat inap di PICU, konsultasi Sp.A
Cefotaxim 3 x 500
Ranitidin 3x ampul
Aminofilin 1 x 120 cc
PCT 250 cc
IVFD Kaen 3b 10 tpm
Zinc 1x 1 cth
Tanggal 7-2-17 (PICU) 8-2-17 (PICU) 9-2-17 (Puspanidra)
H1 HI H3
S Demam (+) , BAB cair (+) 1x ampas Demam (-) , BAB cair (+) 1x Batuk (+) nyeri perut
(+), lendir (-), darah (-) Batuk (+) ampas (+), lendir (-), darah (-)
Pilek (+) Sesak(+) Makan minum Batuk (+) Pilek (-) Sesak(-)
Sulit Makan minum Sulit
O KU : Tampak sesak, tampak sakit KU : baik, tampak sakit sedang KU : baik, tampak sakit sedang
sedang TTV : TTV :
TTV : T : 36 HR :100 RR : 20 T : 36 HR :100 RR : 20
T : 37,5 HR :120 RR : 24 SpO2 = Status generalis: Status generalis:
98% Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, Kepala: mesosefali, LK = 48 cm,
Status generalis: rambut berwarna hitam, tersebar rambut berwarna hitam, tersebar
Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, merata, tidak mudah dicabut.. merata, tidak mudah dicabut..
rambut berwarna hitam, tersebar Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem
merata, tidak mudah dicabut.. palpebra (-/-), palpebra (-/-),
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem Hidung & THT : dbn Hidung & THT : dbn
palpebra (-/-), Mulut : dbn Mulut : dbn
Hidung & THT : dbn Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh
Mulut : dbn rh (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh m (-), g (-) g (-)
(+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), Abdomen: Supel, BU (+), hepar Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien
g (-) lien tidak tampak besar, Ascites tidak tampak besar, Ascites (+)
Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien (+) berkurang berkurang
tidak dapat diraba, Ascites (+) Ekstremitas atas: AH (+/+), OE Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) (-/-) spastik +/+, spastik +/+,
spastik +/+, Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik (-/-)CRT < 2 detik
(-/-) CRT < 2 detik
A Sup.Sepsis Susp.Sepsis Susp.Sepsis
Hipoalbumin Hipoalbumin Hipoalbumin
Anemia Mikrositik Hipokrom Anemia Mikrositik Hipokrom Anemia Mikrositik Hipokrom
Diare akut Diare akut Diare akut
P O2 2 lpm Pindah ke Puspanidra Terapi lanjut
Albumin 20% 100cc Cefotaxim 3 x 500
Cefotaxim 3 x 500 Ranitidin 3x ampul
Ranitidin 3x ampul Aminofilin 1 x 120 cc
Aminofilin 1 x 120 cc PCT 250 cc
PCT 250 cc IVFD Kaen 3b 10 tpm
IVFD Kaen 3b 10 tpm Zinc 1x 1 cth
Zinc 1x 1 cth
Ferris
Ferris

10-2-17 (Puspanidra) 11-2-17 (Puspanidra) 12-2-17 (Puspanidra)


H4 H4 H4
Batuk (+) sesak, nyeri perut Batuk (+) sesak, nyeri perut Batuk (+) sesak, nyeri perut, demam
KU : tampak sesak, tampak sakit sedang KU : tampak sesak, tampak sakit sedang KU : tampak sesak, tampak sakit
TTV : TTV : sedang
T : 36,5 HR :100 RR : 20 T : 36,8 HR :100 RR : 40 TTV :
Status generalis: Status generalis: T : 38 HR :100 RR : 20
Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, rambut Kepala: mesosefali, LK = 48 cm, rambut berwarna Status generalis:
berwarna hitam, tersebar merata, tidak hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut.. Kepala: mesosefali, LK = 48 cm,
mudah dicabut.. Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem palpebra (-/-), rambut berwarna hitam, tersebar
Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem palpebra Hidung & THT : dbn merata, tidak mudah dicabut..
(-/-), Mulut : dbn Mata: CA (+/+), SI (-/-), oedem
Hidung & THT : dbn Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), wh (-/-), palpebra (-/-),
Mulut : dbn BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) Hidung & THT : dbn
Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh (+/+), Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien tidak tampak Mulut : dbn
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) besar, Ascites (+) berkurang Toraks: Retraksi (-/-), SNV (+/+), rh
Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien tidak Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik +/+, (+/+), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g
tampak besar, Ascites (+) berkurang Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)CRT < 2 detik (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) spastik Abdomen: Supel, BU (+), hepar lien
+/+, tidak tampak besar, Ascites (+)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)CRT berkurang
< 2 detik Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
spastik +/+,
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
(-/-)CRT < 2 detik
Susp.Sepsis Susp.Sepsis Sepsis
Hipoalbumin Hipoalbumin Anemia Mikrositik Hipokrom
Anemia Mikrositik Hipokrom Anemia Mikrositik Hipokrom Diare akut
Diare akut Diare akut
- Terapi lanjut Albumin 20% 100cc Cefotaxim 3 x 500
Cefotaxim 3 x 500 Ranitidin 3x ampul
- Cek Darah Rutin ulang dan albumin ulang
Ranitidin 3x ampul Aminofilin 1 x 120 cc
Aminofilin 1 x 120 c PCT 250 cc
IVFD Kaen 3b 10 tpm IVFD Kaen 3b 10 tpm
Zinc 1x 1 cth Zinc 1x 1 cth
Dhavit 1x1 cth Dhavit 1x1 cth
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hypoalbumin
Definisi

Keadaan dimana kadar albumin darah kurang dari 3,5 g/dL

Etiologi

Penurunan Sintesis
Peningkatan ekresi albumin
Redistribusi albumin ke lokasi diluar ruang intravaskular
pengenceran albumin dalam ruang intravaskular

Patofisiologi

Gangguan Sintesa

Albumin merupakan suatu protein yang dibentuk oleh tubuh, beberapa faktor yang

mempengaruhi sintesis albumin, tetap secara klinis penurunan yang relevan dalam

produksinya biasanya diakibat karena kegagalan fungsi hati yang mengalami 75 % gangguan

fungsi hati. Hal ini disebabkan karena sintesa albumin di lakukan oleh sel hepatosit. Selain itu

faktor lain yang mempengaruhi sintesa albumin adalah adanya malnutrisi kronis khususnya

pada malnutrisi akibat kekurang protein, hal ini dikarenakan sintesa albumin membutuhkan

asam amino, selain itu infeksi juga mempengaruhi sintesa albumin ini dikarenakan hepatosit

memproduksi protein protein proinflamasi seperti C-reactive protein, fibrinogen,

macroglobulin, dan lipoprotein sehingga sintesa albumin terdepresi.

Gangguan Distribusi

Pada orang normal albumin beredar di cairan intrvascular dan cairan ekstravascular, jika

suatu keadaan dimana terjadi gangguan permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan

albumin ikut keluar dari intravascular menuju ke ekstravascular sehingga mengakibatkan

kadar albumin didalam darah berkurang.

Gangguan Katabolisme
Albumin dipecah oleh tubuh menjadi asam amino bebas yang dilakukan didalam kulit, otot,

dan hati. Namun mekanisme katabolismenya masih belum dapat dipahami seluruhnya.

Gangguan Ekresi

Pada beberapa kondisi terjadi peningkatan ekresi albumin melalui feses dan urin, ekresi

albumin melalu feses terjadi akibat adanya infeksi dimana infeksi pada GIT menyebabkan

terjadinya inflamasi pada mucosa usus sehingga terjadi kerusakan mucosa usus dan

peningkatan permeabelitas kapiler usus sehingga albumin pada kapiler keluar menuju lumen

usus dan keluar bersama feses. Selain itu pada anak normal albumin akan diekresi melalui

urin namun jumlahna hanya sedikit. Albumin dapat melewati glomerulus namun akan diserap

kembali di tubulus. Pada sindroma nefrotik terjadi gangguan pada fungsi tubulus sehingga

reabsorbsi albumin terganggu.

Gejala klinis

Gejala pada hipoalbumin adalah terjadi adanya edema, edema terjadi akibat berkurangnya

tekanan onkotik plasma yang menyebabkan pergeseran cairan dari ruang intravasculer

menuju ke ekstravascular salah satunya ke ruang intertisiel. Semaki berkurangnya jumlah

albumin didalam darah semakin banyak edema yang terjadi.

Diagnosis

Diagnosis didapatkan dari hasil Lab berupa penurunan kadar albumin plasma <3,5 g/gl

Komplikasi

Edema Intertissiel
Syok Hipovolemia

Tatalaksana

Medikamentosa

Causatif
Albumin intravena
Dosis pemberian albumin adalah ( selisih antara jumlah target albumin

yang dinginkan dikurangin jumlah albumin sekarang) kemudian dikalikan

0,8 dan berat badan.

Symptomatik

Diuretik
Diuretik di indikasikan untuk mengurangin edema yang terjadi

Non-Medika mentosa

Diet
Diet yang diberikan adalah makanan yang mengandung tinggi protein

seperti putih telur dan ikan gabus yang mengandung asam amino yang

merupakan bahan sintesa albumin


2.2 SEPSIS

2.2.1 Definisi
Sepsis adalah systemic inflammation respons syndrome (SIRS) yang disertai dugaan atau
bukti ditemukan infeksi di dalam darah.
Menurut WHO, sepsis adalah suatu keadaan klinis akibat infeksi yang disertai dengan
takipnea dan takikardia.
2.3 Epidemiologi
Sepsis merupakan penyebab kematian utama di penderita yang dirawat di
ICU (Intensive Care Unit) di Amerika Serikat (AS). Lebih dari 750.000 penderita
yang mengalami sepsis didapatkan setiap tahunnya dan lebih dari 210.000 di
antaranya meninggal dunia.13 Data kejadian sepsis di AS pada tahun 2007
menurun menjadi 5095 kasus/100.000 penduduk, tetapi diramalkan akan
meningkat sekitar 9% per tahun. Data di Eropa didapatkan 211% penderita
yang dirawat di ICU menderita sepsis berat. Angka kematian sepsis berkisar
antara 3070%.4 Data yang tepat mengenai sepsis di Indonesia masih belum
dapat diperoleh. Data di RS Sardjito Jogjakarta menyebutkan 27% penderita yang
dirawat di ICU adalah mereka yang mengalami sepsis dengan angka kematian
56,83%.5 Data di RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan 80 penderita yang
mengalami sepsis dari 250 orang yang dirawat di ICU (29%) selama masa waktu
JanuariApril 2010. Angka kematian akibat sepsis di negara maju sudah sangat
menurun sampai hanya 9%, tetapi di negara berkembang seperti Indonesia
masih sangat tinggi, yaitu antara 5070% dan apabila sudah terjadi renjatan
septik dan tidak bekerjanya organ multipel, angka kematiannya menjadi 80%.7
Hal ini membuktikan bahwa sepsis masih merupakan masalah utama di seluruh
dunia. Saat ini sepsis menjadi salah satu dari 12 penyebab kematian utama di
AS.
2.4 Etiologi

Sepsis merupakan respon terhadap setiap kelas mikroorganisme. Dari hasil


kultur darah ditemukan bakteri dan jamur 20-40% kasus dari sepsis. Bakteri
gram negatif dan gram positif merupakan 70% dari penyebab infeksi sepsis
berat dan sisanya jamur atau gabungan beberapa mikroorganisme. Pada pasien
yang kultur darahnya negatif, penyebab infeksi tersebut biasanya diperiksa
dengan menggunakan kultur lainnya atau pemeriksaan mikroskopis (Munford,
2008). Penelitian terbaru mengkonfirmasi bahwa infeksi dengan sumber lokasi
saluran pernapasan dan urogenital adalah penyebab paling umum dari sepsis.
Penyebab umum sepsis pada orang sehat
Sumber lokasi Mikroorganisme
Kulit Staphylococcus aureus dan gram
positif bentuk cocci lainnya
Saluran kemih Eschericia coli dan gram negatif bentuk
batang lainnya
Saluran pernafasan Streptococcus pneumonia
Usus dan kantung empedu Enterococcus faecalis, E.coli dan gram
negative bentuk batang lainnya,
Bacteroides fragilis
Organ pelvis Neissseria gonorrhea,anaerob

Penyebab paling umum sepsis pada pasien yang dirawat


Masalah klinis Mikroorganisme
Pemasanagan kateter Escherichia coli, Klebsiella spp., Proteus
spp., Serratia spp., Pseudomonas spp.
Penggunaan iv kateter Staphylococcus aureus,
Staph.epidermidis, Klebsiella spp.,
Pseudomonas spp., Candida albicans
Setelah operasi: Staph. aureus, E. coli,
Wound infection anaerobes(tergantung lokasinya)
Tergantung lokasi anatominya
Deep infection
Luka bakar coccus gram-positif, Pseudomonas
spp., Candida albicans
Pasien immunocompromised Semua mikroorganisme diatas

2.5 Patogenesis
Proses terjadinya sepsis dimulai dari kolonisasi mikroorganisme yang dapat
membentuk suatu fokus infeksi. Mikroorganisme atau produk mikroorganisme (toksin atau
endotoksin) baik yang beredar dalam darah maupun yang berasal dari suatu fokus infeksi
akan menginduksi sistem imunitas sehingga terjadi perubahan fisiologi tubuh pada sepsis.
Toksin atau superantigen berhubungan dengan bakteri gram positif, mikobakteria, dan virus
dimana toksin yang diekspresikan oleh patogen akan mengaktivasi limfosit dalam sirkulasi.
Endotoksin adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan komponen dari dinding sel bakteri
gram negatif, fungi, atau yeast. Endotoksin akan berikatan dengan makrofag serta
menyebabkan aktivasi dan ekspresi dari gen-gen inflamasi. Adanya endotoksin serta toksin
dalam tubuh akan mencetuskan respons dari host berupa respons imun selular dan respons
imun humoral. Respons imun tubuh baik selular dan humoral merupakan upaya tubuh tuntuk
mempertahankan suasana fisiologis.

Respons imun ini diperantarai oleh substansi atau mediator-mediator inflamasi.


Mediator endogen yang telah teridentifikasi ialah TNF, interleukin 1 (IL-1), IL-2, IL-4, IL-6,
IL-8, platelet activating factor (PAF), interferon-, eicosanoids (leukotrienes B 4, C4, D4, and
E4; thromboxane A2; prostaglandins E2 and I2), granulocyte-macrophage colony-stimulating
factor, endothelium-derived relaxing factor, endothelin-1, complement fragments C3a and
C5a, toxic oxygen radicals, proteolytic enzymes dari polymorphonuclear neutrophils,
platelets, transforming growth factor-, vascular permeability factor, macrophage-derived
procoagulant dan inflammatory cytokine, bradykinin, thrombin, coagulation factors, fibrin,
plasminogen activator inhibitor (PAI-1), myocardial depressant substance, -endorphin, heat
shock proteins, and adhesion molecules (endothelin-derived adhesion molecule [E-selectin];
intercellular adhesion molecule-1 [ICAM]; vascular adhesion molecule-1 [VCAM]). Bila
produksi mediator inflamasi berlebihan maka hal tersebut akan merugikan bagi tubuh.2,4
Pada sepsis, multiplikasi mikroorganisme patogen yang tidak terkendali mencapai
puncaknya dan menyebabkan induksi yang hebat dari sistem imunitas tubuh sehingga terjadi
kaskade inflamasi. Produksi mediator inflamasi berlebihan (terjadi imbalans antara produksi
mediator pro-inflamasi dan mediator anti-inflamasi) sehingga menyebabkan disfungsi
mikrosirkulasi tubuh. Disfungsi mikrosirkulasi yang dimaksud ialah kerusakan endotel
pembuluh darah, pengeluaran substansi yang bersifat vasoaktif, perubahan tonus pembuluh
darah, serta obstruksi kapiler akibat agregasi komponen seluler. Aktivasi sistem komplemen
juga terjadi sebagai respons host terhadap infeksi. Aktivasi dari sistem komplemen
menyebabkan pengeluaran mediator vasoaktif yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler, vasodilatasi, serta agregasi trombosit. Efek merugikan dari mediator endogen adalah
sebagai berikut:
Tromboksan A2: menyebabkan vasokonstriksi dan agregasi trombosit
Prostaglandin: PGF 2 menyebabkan vasokonstriksi sedangkan PGI 2 menyebabkan
vasodilatasi
Leukotriene: menyebabkan vasokonstriksi, bronkokonstriksi, serta peningkatan
permeabilitas kapiler
Myocardial depressant factors: menyebabkan depresi kerja otot jantung
Endogenous opiates seperti -endorfin: menyebabkan depresi aktivitas saraf simpatis,
mengurangi kontraktilitas miokardium, dan menyebabkan vasodilatasi
TNF: Meningkatkan permeabilitas vascular sehingga terjadi capillary leak,
menurunkan tonus pembuluh darah, dan menyebabkan imbalans antara perfusi dan
kebutuhan metabolik jaringan
TNF dan interleukin: Menstimulasi pengeluaran mediator-mediator inflamasi,
menyebabkan vasodilatasi 2,4
Selain itu, terjadi aktivasi dari sistem koagulasi serta inhibisi proses fibrinolisis.
Akibatnya, terbentuk thrombin yang membantu deposisi fibrin pada mikrosirkulasi yang
memperburuk disfungsi mikrosirkulasi.3
Akibat dari kaskade inflamasi banyak antara lain demam, produksi asam laktat, serta
syok. Demam terjadi karena adanya pirogen baik yang eksogen maupun yang endogen.
Pirogen eksogen yang dimaksud ialah patogen penyebab infeksi, toksin, maupun endotoksin
yang akan masuk ke dalam tubuh mencetuskan respons inflamasi sehingga dihasilkan pirogen
endogen seperti TNF, interleukin, serta metabolit asam arakhidonat tromboksan,
prostaglandin, serta leukotriene. Pirogen endogen akan merangsang pusat pengaturan suhu
yang terletak di hipotalamus sehingga terjadi peningkatan thermostat suhu tubuh. Akibatnya
terjadi kontraksi otot tubuh, aktivitas metabolisme yang meningkat, serta vasokonstriksi
perifer. Ketiga hal ini akan mengkonservasi panas dalam tubuh sehingga terjadi demam.2
Pengeluaran mediator-mediator inflamasi menyebabkan kebutuhan metabolik jaringan
meningkat sedangkan terjadi gangguan perfusi perifer akibat agregasi trombosit dan
komponen seluler lainnya yang menyebabkan obstruksi kapiler dan mengganggu
mikrosirkulasi. Hal ini berakibat terjadi suatu metabolisme anaerobik sebagai respons untuk
mempertahankan kadar ATP dalam tubuh. Metabolisme anaerobik berakibat produksi asam
laktat yang meningkat. Hal ini dapat berakibat terjadinya asidosis metabolik.2
Kaskade inflamasi yang tidak ditangani juga dapat berakibat terjadinya syok septik.
Syok septik merupakan kombinasi dari ketiga tipe klasik dari syok yakni syok hipovolemik,
syok kardiogenik, dan syok distributif. Permeabilitas kapiler yang meningkat menyebabkan
suatu capillary leak sehingga cairan intravascular keluar dari pembuluh darah dan terjadi
hipovolemia. Mediator inflamasi juga menyebabkan kerja otot jantung berkurang sehingga
terjadi penurunan daripada cardiac output (CO) atau curah jantung. Mediator inflamasi juga
berakibat vasodilatasi kapiler sehingga resistensi vaskular sistemik berkurang. Akibat dari
hipovolemia, penurunan CO, dan penurunan resistensi vascular menyebabkan disfungsi
sistem sirkulasi yang disebut sebagai syok septik. Pada fase awal, tubuh masih dapat
mempertahankan tekanan darah melalui aktivasi jalur simpatis sehingga terjadi peningkatan
denyut jantung serta vasokonstriksi pembuluh darah perifer.

Namun, lama kelamaan, mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi


hipotensi. Perfusi ke organ-organ perifer berkurang akibat disfungsi sistem sirkulasi. Hal
tersebut dapat berujung disfungsi organ multipel/ MODS. Kegagalan organ yang multipel
mengganggu homeostasis tubuh sehingga akhirnya dapat terjadi kematian.2
Gambar-gambar berikut menggambarkan patogenesis dari sepsis pada anak
Gambar 1. Skema Patofisioogi Sepsis secara umum

Gamba 2. Patofisiologi Sepsis


Gambar 3. Patofisiologi sepsis
2.6 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis sepsis tidak spesifik tergantung dari fase sepsis dan infeksi yang
mendasari. Pada tiap fase sepsis terjadi perubahan hemodinamik yang bila tidak ditangani
dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik. Pada fase awal sepsis, disebut juga sebagai
fase hiperdinamik, cardiac output belum berkurang namun justru meningkat untuk memenuhi
kebutuhan metabolik jaringan tubuh. Pada fase ini gejala klinis yang dijumpai ialah gangguan
regulasi suhu tubuh bisa berupa hipertermia atau hipotermia, menggigil, takikardia, dan
takipnea/ hiperventilasi. Manifestasi klinis fase awal sepsis sulit dibedakan dari penyakit
infeksi biasa teruatama pada neonatus dan anak dengan gangguan imunitas yang berat. 2,4
Manifestasi klinis lain yang kurang spesifik seperti penurunan tonus otot, penurunan aktivitas
anak, perubahan warna kulit menjadi lebih pucat, dan gangguan menyusui/ penurunan napsu
makan.
Bila sepsis tidak segera ditangani maka cardiac output akan berkurang sebagai efek dari
kaskade inflamasi yang terjadi. Pada anak dapat dijumpai tanda-tanda curah jantung yang
berkurang berupa pemanjangan capillary refill time, nadi perifer ataupun sentral menjadi
lemah, ekstremitas teraba dingin, serta penurunan urine output pasien. Pada beberapa anak
penurunan curah jantung juga dapat menyebabkan perubahan status mental dan kesadaran
sehingga secara klinis tampak konfusi, agitasi, letargi, ansietas, obtundasi, maupun koma.
Ansietas dan agitasi biasanya merupakan tanda awal dari syok septik. Hipotensi timbul bila
syok sudah tidak terkompensasi lagi oleh usaha tubuh (decompensated shock).
Demam perlu dicari sebagai salah satu tanda infeksi. Demam merupakan tanda infeksi
pertama yang muncul pada anak-anak yang immune-competent.3 Suhu tubuh sebaiknya
diukur per rektal karena paling mendekati suhu inti tubuh. Pengkuran suhu tubuh pada aksila,
oral, atau membran timpani seringkali tidak memberikan hasil yang akurat. Demam
didefinisikan sebagai suhu inti tubuh yang lebih atau sama dengan 38.0C. Pada bayi demam
seringkali timbul dipengaruhi oleh over-bundling. Bila over-bundling dicurigai maka bayi
perlu dibebaskan dari pakaian dan dilakukan pengukuran ulang suhu tubuh 15-30 menit
kemudian. Pada bayi atau anak-anak yang immunocompromized dengan infeksi yang serius,
selain ditandai oleh demam, infeksi bisa juga ditandai oleh hipotermia. Hipotermia ialah bila
didapatkan suhu inti tubuh kurang dari 36.0C.

Gejala klinis lain yang dapat terlihat pada pasien sepsis ialah lesi kulit. Lesi kulit yang
mungkin dapat terlihat pada pasien sepsis antara lain berupa petekie, purpura, eritema yang
difus, ekimosis, ektima gangrenosum, dan gangren perifer yang simetris. Petekie dan purpura
terutama ditemukan pada penderita infeksi mengingokokus. Bila petekie atau purpura disertai
oleh manifestasi perdarahan lainnya maka perlu dicurigai suatu disseminated intravascular
coagulation (DIC). Ektima gangrenosum ditemukan pada infeksi Pseudomona aeruginosa.
Ikterus dapat dijumpai pada beberapa pasien sebagai suatu tanda infeksi atau bila sudah
terjadi MODS.Pada pasien dengan asidosis metabolik akan terlihat sesak napas dengan
pernapasan yang cepat dan dalam atau disebut pernapasan Kussmaul. Gejala klinis lainnya
tergantung dari infeksi fokal yang terjadi pada anak. Anak dengan meningitis, pneumonia,
arthritis, selulitis, serta pielonefritis akan memberikan gambaran klinis yang berbeda-beda.
Dari pemeriksaan fisik dapat dinilai beberapa parameter dan ditentuk risiko sepsis pada
pasien baru.
Tabel 9: Menilai Risiko Sepsis berdasarkan Pemeriksaan Fisik
2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan laboratorium seringkali ditemukan kelainan hematologik
maupun gangguan elektrolit. Kelainan hematologik yang dapat ditemukan
ialah leukositosis atau leukopenia, trombositopenia, pemanjangan PT dan
APTT, kadar fibrinogen serum berkurang, kadar produk degradasi fibrinogen
meningkat, anemia, dan peningkatan netrofil/ shift to the left. Bila dilakukan
pemeriksaan sediaan apus dapat ditemukan sel darah putih dalam bentuk
yang imatur (batang, mieolosit, promielosit), vakuolisasi netrofil, granulasi
toksik, dan badan Dohle. Bila yang didapatkan ialah suatu netropenia
merupakan pertanda buruk sepsis karena menunjukkan adanya infeksi yang
berat yang menimbulkan deplesi sumsum tulang.
Kelainan elektrolit yang dapat ditemukan ialah hiperglikemia sebagai
respons terhadap sepsis akut (stress response) atau justru hipoglikemia bila
cadangan glikogen tubuh telah habis terpakai untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Hiperglikemia merupakan hasil dari peningkatan kadar
glukokortikoid, katekolamin dan resistensi insulin pada pasien sepsis.
Rangsangan dari luka ataupun sepsis mengaktifkan hipotalamus dan
melepaskan hormon kortikotrofin yang distimulasi oleh pelepasan
adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari pituitari anterior. ACTH akan
merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan kortisol dari zona fasciculata
dan retikularis adrenal. Pelepasan ACTH juga distimulasi oleh penurunan
tekanan pada baroreseptor di dalam carotid bodies dan lengkung aorta.
Pelepasan katekolamin disebabkan oleh penurunan tekanan darah dan juga
rangsangan yang terjadi di hipotalamus. Formasi retikularis dan dan spinal
cord menghantarkan sinyal ke saraf simpatis post ganglion dan berakhir
dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin dari medula adrenal. Hasil akhir
dari proses metabolisme hipotalamus dan kelenjar adrenal berkaitan dengan
stress yang terjadi pada pasien dalam keadaan sepsis atau sakit kritis akan
meningkatkan mekanisme umpan balik hormonal. Respon ini akan
menyebabkan resistensi insulin sehingga tidak mampu mempertahankan
keadaan glukosa darah normal.
Kelaianan elektrolit lainnya dapat berupa hipokalsemia, hipoalbuminemia,
asidosis metabolik, dan serum bikarbonat yang rendah. Asidosis metabolik
terjadi akibat meningkatnya produksi laktat karena metabolisme anarob yang
signifikan.2
Pasien dengan respiratory distress syndrome akan menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan AGD berupa penurunan PaO 2 yang merupakan tanda
gangguan oksigenasi dan peningkatan PaCO 2 yang merupakan tanda adanya
gangguan ventilasi. Pada pasien dimana sudah terjadi MODS dapat
ditemukan kelainan pada pemeriksaan fungsi ginjal maupun pemeriksaan
fungsi hati.
Analisa cairan tubuh mungkin didapatkan adanya leukosit pada cairan yang
steril, netrofil, atau bahkan dapat ditemukan bakteri. Pemeriksaan kultur
dilakukan untuk mengetahui etiologi dari sepsis. Pengambilan spesimen
kultur sesuai dengan kecurigaan letak fokus infeksi. Spesimen kultur dapat
berupa darah, urin, cairan serebrospinal, abses, cairan peritoneal, dan lain-
lain. Pada anak dengan sepsis hasil kultur tidak selalu positif. Peningkatan dari
beberapa marker biokimia sering ditemukan pada pasien dengan SIRS/
sepsis. Marker biokimia yang dimaksud ialah LED/ erythrocyte sedimentation
rate, C-reactive protein (CRP), base deficit (BE), interleukin-6, dan kadar
prokalsitonin.
Tabel 10 memuat marker biokimia yang dapat digunakkan secara klinis untuk
menegakkan diagnosis sepsis:
2.9 DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis dapat ditegakkan bila memenuhi kriteria SIRS dan dapat dibuktikan
adanya suatu infeksi atau didapatkan gambaran klinis pada anak yang konsisten dengan
adanya suatu infeksi. Bila diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis disebut sebagai sepsis/
septicemia.5 Kriteria dari SIRS dapat terpenuhi bila didapatkan 2 dari 4 kriteria dimana 1
haruslah merupakan abnormalitas pada pengaturan suhu atau hitung leukosit yang abnormal. 1-
2,5
4 kriteria tersebut (seperti yang tertera pada tabel 4) ialah:
1. Suhu inti tubuh (rektal) > 38.5C atau < 36.0C
2. Takikardia: denyut jantung rata-rata > 2 SD diatas denyut jantung normal untuk umur
tanpa stimulus eksternal, obat-obatan, atau stimulus nyeri ATAU elevasi persisten
denyut jantung tanpa sebab yang jelas selama 0.5 hingga 4 jam ATAU pada anak
kurang dari 1 tahun terjadi bradikardia persisten selama 0.5 jam dimana denyut
jantung rata-rata < persentil ke-10 untuk usia tanpa adanya reflex vagal, penggunaan
obat-obatan beta-blocker, atau kelainan jantung kongenital
3. Takipnue: laju pernapasan > 2 SD diatas laju pernapasan normal untuk umur ATAU
dibutuhkan bantuan ventilasi mekanis yang tidak berhubungan dengan penyakit
neuromuskular ataupun penggunaan anastesi umum
4. Hitung leukosit meningkat atau menurun: Hitung leukosit meningkat atau menurun
dari nilai normal untuk umur, bukan akibat dari penggunaan kemoterapi ATAU
netrofil batang > 10%
Adanya lesi kulit seperti petekie dan purpura merupakan gambaran klinis yang sugestif
sepsis. Untuk membuktikan adanya suatu infeksi, dilihat dari gejala klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik) anak selain itu juga perlu ditunjang oleh pemeriksaan penunjang seperti
foto thoraks, pemeriksaan darah, analisa cairan, serta pemeriksaan kultur.2
Standar baku diagnosis sepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam darah
ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ.7 Ditemukannya bakteri dalam
darah atau hasil kultur yang positif menandakan adanya bakteriemia. Bakteriemia merupakan
suatu diagnosis laboratorik.6 Pada pasien dengan sepsis tidak selalu didapatkan hasil kultur
yang positif.4

2.9 ALAT SKRINING SEPSIS


Pada pasien baru dapat digunakkan alat bantu untuk skrining terhadap sepsis. Alat skirining
pada gambar berikut dibuat oleh BC Childrens hospital pada tahun 2011 (Gambar 4).
Gambar 4: Alat Skrining untuk Sepsis

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Manifestasi klinis sepsis dapat ditemukan pada keadaan lain baik yang disebabkan
oleh infeksi maupun yang tidak disebabkan oleh infeksi/ non-infeksi. Keadaan non-
infeksi yang dapat memberikan manifestasi klinis seperti sepsis antara lain intoksikasi
dan sindrom Kawasaki. Syok anafilaktik kadang dapat menyerupai syok septik. Keadaan
infeksi yang dapat memberikan manifestasi klinis seperti sepsis antara lain leptospirosis,
tuberculosis, malaria, kriptokokosis, Lyme disease, dan rocky mountain spotted fever.
Keadaan-keadaan yang telah disebutkan kadang sulit dibedakan dengan sepsis
KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan sepsis atau syok septik ialah
sebagai berikut:
Disseminated intravascular coagulation (DIC): DIC merupakan komplikasi dari syok
septik. DIC perlu dicurigai bila terdapat petekie dan purpura yang disertai oleh
perdarahan di tempat lain. Selain itu pada pasien rawat inap tanda awal DIC berupa
keluarnya darah dari tempat-tempat dimana terpasang kateter intravena. Konfirmasi
diagnosis DIC dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap kadar trombosit,
konsentrasi fibrinogen, PT, dan APTT.6
Acute respiratory distress syndrome (ARDS): ARDS terjadi karena peningkatan
permeabilitas pembuluh darah pulmonal menyebabkan capillary leakage yang hebat.
Cairan intravaskular akan masuk ke dalam parenkim paru sehingga terjadi edema
pulmonal. Diagnosis ARDS dipastikan dengan pemeriksaan foto thoraks dimana
ditemukkan gambaran yang opak pada sebagaian besar dari kedua hemithoraks. Nama
lain dari ARDS ialah shock lung.6
Gagal ginjal akut: Komplikasi gagal ginjal akut terjadi pada 20-25% pasien sepsis dan pada
lebih dari 50% pasien dengan syok septik. Penurunan perfusi ke ginjal ialah penyebab dari
gagal ginjal akut.

2.11 TATA LAKSANA


Prinsip tatalaksana dari suatu sepsis ialah early recognition/ deteksi dini, early
antimicrobial therapy/ pemberian antibiotika secara dini, serta early goal-directed therapy/
terapi tertuju lainnya secara dini. Tatalaksana dini ialah yang terbaik untuk mencegah
komplikasi daripada sepsis dan menurunkan angka mortalitas akibat sepsis. Tatalaksana yang
ditujukkan terhadap mediator-mediator inflamasi yang terlibat dalam SIRS masih dalam
tahap penelitian namun belum ada hasil yang memuaskan.2
Bila diagnosis sepsis sudah ditegakkan, pasien sebaiknya dirawat di ruangan unit
intensive care dimana dapat dilakukan monitoring secara kontinu, serta pemasangan central
venous pressure (CVP) dan arterial blood pressure bila diperlukan. Monitoring pasien
dengan syok septik meliputi monitoring terhadap kesadaran, tanda vital, capillary refill time,
saturasi oksigen, CVP, dan urine output setiap jam. Bila didapatkan kelainan pada parameter
tersebut maka perlu dilakukan resusitasi hingga didapatkan capillary refill time kurang dari 2
detik, denyut nadi normal dan sama kuat dengan denyut jantung, ekstremitas hangat, urine
output > dari 1 ml/kgBB/jam, tekanan darah normal, dan pasien sadar.2
Administrasi antimikroba secara dini dapat menurunkan angka mortalitas. Tujuan dari
pemberian antimikroba ialah untuk pengendalian dari infeksi Pemilihan jenis antimikroba
tergantung dari faktor risiko pasien serta gejala klinis pasien. Pola resistensi bakteri juga
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis antimikroba.2,4,6 Beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan antimikroba ialah sebagai berikut:
Neonatus: Diberikan ampisilin dan sefotaksim atau gentamisin. Ditambahkan
asiklovir bila dicuragai infeksi virus herpes simpleks.
Anak (seringkali terjadi infeksi N. meningitides, S. pneumonia, atau Haemophilus
influenza): Diberikan terapi empiris antimikroba sefalosporin generasi ke-3
(seftriakson atau sefotaksim). Ditambahkan vankomisin bila dicurigai S. pneumonia
yang resisten atau infeksi S. aureus.
Infeksi intra abdominal: Diberikan antimikroba untuk kuman-kuman anaerob seperti
metronidazol dan klindamisin.
Infeksi kulit atau soft-tissue: Diberikan penisilin semisintetik atau vankomisin
ditambah dengan klindamisin.
Sepsis nosokomial: Diberikan sefalosporin generasi ke-3 atau ke-4 (cefepime atau
ceftazidin) yang sifatnya antipsuedomonas atau antimikroba golongan penisilin yang
efektif untuk kuman gram negatif seperti piperasilin-tazobaktam atau karbamapenem
ditambah dengan aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin). Pada pasien dengan
alat bantu yang berada dalam tubuh, ditemukan kokus gram positif pada darah, atau
dicurigai infeksi S. aureus yang resisten terhadap metisilin dapat ditambahkan
vankomisin selain antimikroba yang telah disebutkan.
Pasien immunocompromized: Sama seperti sepsis nosokomial. Ditambahkan
antifungal amfoterisin B atau flukonazol untuk tatalaksana infeksi jamur secara
empirik.
Area yang endemis terhadap tick atau dicurigai infeksi rikettsia: Tambahkan
doksisiklin kepada regimen antimikroba yang sudah disebutkan diatas.
Toxic shock syndrome: Diberikan penisilin dan klindamisin. Dapat ditambahkan
vankomisin bila dicurigai infeksi Staphylococcus aureus yang resisten terhadap
metisilin.2-3,6
IDAI merekomendasikan pemberian antibiotika inisial setelah diagnosis sepsis ditegakkan.
Antibiotika yang dipilih harus mempunyai spektrum luas yang bisa mengatasi bakteri gram
positif dan bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis. Bila nanti sudah didapatkan
hasil biakan atau uji kepekaan, jenis antibiotika dapat dirubah atau dipertahankan sesuai
dengan hasil dan respons klinis pasien.4 Pada fase inisial, antibiotika yang dapat diberikan
berupa:
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis + aminoglikosida
(garamisin 5-7 mg/kgBB/hari diberikan IV atau netilmisin 5-6 mg/kgBB/hari
diberikan IV dibagi dalam 2 dosis)
Ampisilin 200 mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 4 dosis + sefotaksim 100
mg/kgBB/hari diberikan IV dibagi dalam 3 dosis
Metronidazol dan klindamisin diberikan untuk kuman enterik Gram negatif anaerob
(bila dicurigai kuman penyebab anaerob karena ditemukan fokus infeksi di rongga
abdomen, rongga panggul, rongga mulut, atau daerah rektum)4
Antibiotika yang digunakan untuk tatalaksana sepsis pada anak beserta dengan dosisnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Early goal-directed therapy merupakan prinsip tatalaksana untuk pasien yang


mengalami syok septik, meliputi resusitasi cairan, transfusi produk darah, pemberian obat
vasopressor/ inotropik, koreksi status metabolik, pemberian kortikosteroid, serta
pertimbangan bantuan pernapasan atau terapi pengganti ginjal.2
Resusitasi cairan yang tidak adekuat berhubungan dengan peningkatan risiko
mortalitas sebanyak 40%. Sebaliknya resusitasi cairan sebanyak 60 ml/kgBB berhubungan
dengan meningkatnya survival anak tanpa meningkatkan insidensi dari edema pulmunal.
Penilaian apakah resusitasi cairan cukup atau tidak dinilai dari denyut jantung, urine output,
dan capillary refill time. Cairan ditambahkan 20 ml/kgBB sampai denyut jantung normal,
urine output minimal 1 ml/kgBB/hari, dan capillary refill time kurang dari 2 detik. Kadang
diperlukan jumlah cairan yang mencapai 100-200 ml/kgBB. Tipe cairan yang diberikan
(kristal atau koloid) masih merupakan perdebatan.2
Transfusi produk darah dilakukan bila didapatkan gangguan hematologik.
Hemoglobin perlu dikoreksi dan dipertahankan pada 10 g/dl untuk memastikan bahwa
oksigen ke jaringan perifer adekuat. Bila terjadi koagulopati, apalagi bila pasien mengalami
perdarahan aktif, dapat dikoreksi dengan transfusi fresh frozen plasma (FFP), kriopresipitat,
atau trombosit.2
Penggunaan obat vasopressor atau inotropik bertujuan menormalkan kerja jantung untuk
mempertahankan cardiac output. Ini karena pada anak dengan sepsis seringkali disertai
cardiac output yang rendah akibat disfungsi miokardium yang progresif dan hal ini
berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi. Obat pilihan utama ialah dopamin
diberikan 2-5 mcg/kgBB/menit, namun bila syok resisten dopamin dapat diberikan epinefrin
atau norepinefrin. Dobutamin diberikan bila cardiac output rendah. Bila syok resisten
epinefrin atau norepinefrin dapat diberikan nitroprusside, milrinone, atau arginine
vasopressin.2-3 Obat-obat vasopressor yang digunakkan pada sepsis beserta dosisnya dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12: Penggunaan Vasopressor pada Sepsis
Status metabolik pasien harus dipertahankan dalam batas normal. Bila terjadi
gangguan elektrolit maka harus segera di koreksi. Pada pasien dengan hipoglikemia diberikan
0.5-1g/kgBB glukosa. Pada pasien dengan hipokalsemia diberikan kalsium klorida melalui
vena sentral sebanyak 10-20 mg/kgBB. Bila terjadi gangguan keseimbangan asam basa juga
perlu dilakukan koreksi.2
Pasien sepsis juga perlu diberikan stress dose corticosteroids yakni hidrokortison 50
mg/kgBB bolus diikuti oleh dosis rumatan 50mg/kgBB/hari. Pemberian kortikosteroid
dipertimbangkan pada pasien dengan syok yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan
maupun katekolamin. Pada pasien-pasien demikian kemungkinan besar terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal baik relatif maupun absolut.2 IDAI merekomendasikan pemberian
kortikosteroid berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB/dosis atau deksametason 3
mg/kgBB/dosis secara IV 15-20 menit setelah diagnosis syok septik ditegakkan dan dapat
diulang 4 jam kemudian. Kortikosteroid dihentikkan bila tidak ada respons terhadap obat.4
Bantuan pernapasan diberikan pada pasien dengan acute respiratory distress
syndrome. Ini karena overdistensi paru-paru dapat berakibat dihasilkannya sitokin-sitokin
yang dapat memperburuk kaskade inflamasi. 2 Bila tidak didapatkan tanda ARDS maka cukup
dipastikan bahwa jalan napas terbuka dan diberikan oksigen.4
Renal replacement therapy dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan anuria,
oliguria, atau overload cairan yang hebat.2
Terapi lainnya yang perlu diberikan bersifat suportif berupa pemberian obat-obatan
untuk proteksi lambung dan pemberian obat antipiretik untuk menurunkan demam. Obat-
obatan untuk proteksi lambung diberikan untuk mencegah terbentuknya stress ulcer. Obat
yang dapat diberikan berupa antasida, H2-reseptor blocker, atau sukralfat. Pemberian
antipiretik ditujukan untuk menurunkan demam karena demam meningkatkan konsumsi
oksigen dan kebutuhan metabolik yang dapat memperburuk perfusi oksigen ke jaringan
perifer, selain itu demam juga dapat meningkatkan ambang kejang pada anak, sehingga
demam perlu diturunkan dengan pemberian antipiretik.3
Pasien dengan sepsis tidak harus dipuasakan kecuali bila ada tanda-tanda kegawatan
seperti penurunan kesadaran dan sesak napas yang berat. Sebaiknya makanan tetap diberikan
secara enteral untuk mencegah atrofi traktus gastrointestinal.3
Tatalaksana yang ditujukan terhadap sistem imunitas tubuh dan mediator-mediator
inflamasi sedang dalam tahap penelitian namun memberikan hasil yang memuaskan untuk
dilakukan secara klinis. Terapi yang dimaksud ialah sebagai berikut:
Intravenous immune globulin (IVIG): IVIG baik yang monoklonal maupun yang
poliklonal diberikan secara intravena dan mengandung antibody terhadap berbagai
endotoksin. Dengan penggunaan IVIG diharapkan dapat menekan kaskade inflamasi
dengan cara menghambat kerja dari endotoksin. Sebuah penelitian telah dilakukan
dimana ditemukan bahwa mortalitas pada pasien yang mendapatkan IVIG lebih
rendah dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan plasebo. Namun, beberapa
penelitian yang telah dilakukan pada populasi dewasa menunjukkan bahwa
penggunaan IVIG tidak memiliki efek yang signifikan dibandingkan dengan plasebo.
Terapi dengan antibodi monoklonal
Activated protein C: Pemberian Activated protein C telah diteliti memiliki efek
menghambat thrombosis dan inflamasi pada pasien dengan sepsis. Pemberian dari
activated protein C terbukti menurunkan morbiditas pada pasien dengan sepsis
meningokokus namun belum ada data mengenai pemberian pada sepsis yang bukan
disebabkan oleh meningokokus. Namun, pemberian activated protein C berhubungan
meningkatkan risiko terjadi perdarahan yang serius.
Transfusi leukosit, plasma, dan komplemen (buffy coat transfusions)
Obat-obatan seperti pentoxyfylline, nitrous oxide synthesis inhibitors, dan platelet
activating receptor antagonists
Plasma filtration dengan polymyxin B immobilized fiber
Human growth hormone 6
Bagan berikut (gambar 5) merupakan algoritma tatalaksana pasien dengan syok septik yang
pelaksanaannya bertempat di IGD atau PICU.11 Tabel berikutnya (tabel 13) merupakan
rekomendasi surviving sepsis campaign mengenai tatalaksana sepsis pada anak.
Gambar 5: Algoritma Tatalaksana Syok Septik
Tabel 13: Rekomendasi Tatalaksana Sepsis Anak
Pasien yang telah mendapatkan antibiotika secara intravena untuk sepsis atau
bakteriemia dapat dipulangkan dan antibiotika diganti dengan rute oral bila:
Bakteri sangat sensitif terhadap antibiotika yang telah diberikan
Bakteriemia low-grade/ occult tanpa meningitis
Anak dan orang tua bertanggung jawab untuk mengkonsumsi antibiotika secara oral
Usia anak lebih dari 6 bulan
Kultur darah negatif setelah dilakukan terapi
Pasien afebris 24-48 jam sebelum dilakukan penggantian antibiotika menjadi oral
CRP yang tinggi kembali normal setelah dilakukan terapi.
2.14 PROGNOSIS
Tingkat mortalitas pada pasien dengan sepsis sekitar 10% tergantung dari letak fokus infeksi,
patogen penyebab infeksi, adanya MODS atau tidak, serta respons imun host terhadap
infeksi. Pasien dengan berat badan lahir rendah dan penyakit kronis memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk terjadi sepsis berat yang merupakan salah satu penyebab kematian utama
pada anak.2 Angka kematian pada keadaan syok septik berkisar antara 40-70% dan pada
keadaan MODS meningkat 90-100%.4 Durasi perawatan rata-rata untuk pasien dengan
diagnosis sepsis ialah 31 hari untuk anak dan 53 hari untuk neonatus dan balita
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International Consensus


Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference:
Definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med
2005; 6(1): 2-8.
2. Enrione MA, Powell KR. Sepsis, Septic Shock, and Systemic Inflammatory Response
Syndrome. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. In: Kliegman RM, Behrman RE,
Jenson HB, Stanton BF; editors. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. p.1094-9.
3. Guzman-Cottrill J, Nadel S, Goldstein B. The Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), Sepsis, and Septic Shock. Principles and Practice of Pediatric
Infectious Diseases. 3rd ed. In: Long SS, Pickering LK, Prober CG; editors.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008.
4. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Sepsis dan Syok Septik. Buku
Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. p.358-
63.
5. Carcillo JA, Fields AI, Task Force Committee Members. Clinical practice variables
for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic shock. Crit Care
Med 2002; 30: 1365-78.
6. Fisher RG, Boyce TG. Moffets Pediatric Infectious Diseases: A Problem-Oriented
Approach. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2005. p.354-62.
7. Dewi R. Sepsis pada Anak: Pola Kuman dan Uji Kepekaan. Maj Kedokt Indon 2011;
61(3): 101-6.
8. BC Childrens Hospital. Clinical Practice Guideline: Pediatric Severe Sepsis 2011.
Available at: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0CDMQFjAC&
url=http%3A%2F%2Fwww.childhealthbc.ca%2Fguidelines%2Fcategory%2F67-
sepsis-guidelines%3Fdownload%3D232%253Asepsis-
guideline&ei=GMHJU9WyK4yPuASXhoKoCg&usg=AFQjCNGvD2WJLwB973Z5
LpMLFNJ3be9XKA&sig2=KQzAVC1f1AiXW_IrbaBMjQ. Accessed 13 July, 2014.
9. Arifin MRA. Hubungan Antara Hiperglikemia dan Mortalitas Pada Anak dengan
Sepsis di Ruang Rawat Inap Intensif RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Jurnal
Kedokteran Indonesia 2011; 2(1): 34-8.
10. Simmons ML, Durham SH, Carter CW. Pharmacologic Management of Pediatric
Patients With Sepsis. AACN Advanced Critical Care 2012; 23(4): 437-48.
11. El-wiher N, Cornell TT, Kissoon N, Shanley TP. Management and Treatment
Guidelines for Sepsis in Pediatric Patients. The Open Inflammation Journal 2011; 4:
101-9.
12. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
International Guideline for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012.
Critical Care Medicine Journal 2013; 41(2): 613-9.
13. Khilnani P, Singhi A, Lodha R, Santhanam I, Sachdev A, Chugh K, et al. Pediatric
Sepsis Guidelines: Summary for resource-limited countries. Indian J Crit Care Med
2010; 14(1): 41-52.

Anda mungkin juga menyukai