Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK 1

Asfiksia Fatal Oleh Obstruksi Total Laring Karena Aspirasi Permen Karet
pada Wanita Dewasa

Abstrak:
Kasus ini membahas tentang jenazah wanita berusia 42 tahun yang ditemukan
meninggal karena aspirasi benda asing.Saat otopsi, sepotong permen karet yang
besar ditemukan di atas laring aditus ad anthrum, sehingga benar-benar
menghalangi rongga laring, menyebabkaninsufisiensi pernapasan yang bersifat
mematikan.Uji anatomopathological dari paru-paru menunjukkan tanda-tanda
asfiksia akut.Analisa toksikologisampel darah dan urin negatif mengandung
narkoba dan atau etanol. Sebuah studi literatur akurat dilakukan untuk
menunjukkan bahwahal ini merupakan peristiwa kematian yang berkaitan dengan
aspirasi permen karet pada orang dewasa, dan terutama terkait denganobstruksi
total dari aditus ad laryng.
Kata kunci: asfiksia mematikan, obstruksi laring total, tersedak, permen karet

Sebagaimana diketahui, asfiksia akibat tersedak terjadi disebabkan oleh


tersangkutnya benda asingke dalam saluran pernapasan, yang dapat menghalangi
sirkulasi udara.Asfiksia akibat tersedak secara luas dibahasdalam literatur [1-
2].Bisa terjadi disebabkan terutama oleh makanan (tersedak saat mengunyah),
atau benda asing tertelan oleh bayi (yaitu: kancing, koin, bola, dll) atau pada
orang tua (yaitu:gigi tiruan), meskipun dapat terjadi pada semua usia [3-7].
Meskipun merupakan yang berbahaya, obstruksidari saluran udara oleh benda
asing jarang disebutkan dalam textbook atau jurnal, dan penyebab asfiksia pada
orang dewasa akibat tersedak benda asing ini sebagian besar belum banyak
diteliti. Dalam hal ini, faktor-faktor risiko tertentu pada orang dewasa
telahdiidentifikasi, seperti faktor neurologis dan / atau psikiatris, konsumsi obat
depresan sentralatau hambatan fungsi faring atau reflex batuk, usia,penyimpangan
dari gigi, kehilangan kesadaran,kranial atau trauma fasial[8-10].
Diagnosis kematian dengan tersedak didasarkanpada deteksi tanda-tanda umum
asfiksia,pada identifikasi ditemukan benda asing menghalangi saluran udara dan
ditemukan ciri tambahan penyebab lain darikematian. Konteks ini diperlukan
untuk memberikanpenjelasan secara koheren.
Kasus iniakan membahas mengenai, kematian asfiksia akibat aspirasi sepotong
permen karet. Literatur menunjukkan bahwa kasus tersedak saat mengunyah
permen karet sangat jarang [3-4]:Njau menggambarkan kematian yang disebabkan
oleh obstruksi parsial di trakea [3]; penelitiandari Haftoura et al. membahas
tentang kasus tidak-mematikan tersedak sepotong permen karet yang bisa
menempel pada endotracheal [4].
Kasus ini dilaporkan merupakan kasus tunggal berupa obstruksi lengkap dari
aditus ad laryng karena aspirasi sepotong besarpermen karet.

Laporan kasus
Kasus ini terjadi pada wanitausia 42 tahun yang ditemukan tewas oleh anaknya,
dalam posisi telentang, dibawah tangga ke apartemennya. Sekitar 15 menit
sebelumnya, wanita itu meninggalkan apartemennyamengatakan kepada anaknya
bahwa dia akan kembali segera.Meskipun penanganan awal kegawatdaruratan
telah dilakukan, ia kemudian dinyatakan meninggal.

Temuan otopsi
Jenazah tersebut sebelumnya telah dibekukan di lemari pembeku sekitar 36 jam
setelah dinyatakan meninggal. Hipostasis terlihat jelas di wajah, leher dan antero-
superior dada jenazah
Pada pemeriksaan luar didapatkan, petechie sub-conjungtiva, beberapa gigi di
superior arkus mandibular telah hilang, dan perubahan di arkus gigi bawah,
dimana gigi tersebut tidak terfiksasi kuat dengan gusi; laserasi dan luka memar,
sepanjang 3 cm di kiri regio parieto-occipital kiri, dimana saat dilakukan inspeksi
ini tidak ditemukan tanda-tanda fraktur.
Saat autopsy, ditemukan perdarahan sub-galeal yang menginfiltrasi daerah yang
terdapat laserasi dan memar, dimana tanda fraktur telah tersingkirkan.
Saat membuka tempurung kepala, tidak ditemukan lesi trauma, terlihat sedikit
peningkatan volume otak, edema, pelebaran pembuluh darah dan petechie di
substansia alba cerebri. Tidak ditemukan tanda trauma bahkan di basal otak
Inspeksi thorax didapatkan hiperekspansi dan kongesti dari paru.Dimana saat
dilakukan penekanan terlihat retakan dan keluarnya cairan berbusa kemerahan;
beberapa petechie sub-pleural dan epicardial juga ditemukan.
Pada penyayatan laryngo-tracheal tube, didapatkan sebuah permen karet
berukuran cukup besar (sekitar 2,5 x 3 cm) menempel total di aditus ad
laryngeum, sehingga terjadi obstruksi total (gambar 1, 2). Pemeriksaan dalam di
regio lain tidak ditemukan kelainan.

Pemeriksaan Histologi
Jaringan paru-paru pada pemeriksaan mikroskopik cahaya yang difiksasi dalam 10
% cairan formaldehid buffer dan dilakukan pengecatan dengan hematoxilin-eosin.
Pemeriksaan histologi sampel paru yang menunjukkan daerah emfisematus yang
luas dengan ruptur pada septum, penggantian sumbatan alveoli peribronchial oleh
eritrosit dan histiosit emosiderofage, banyaknya debris, yang terdiri atas
degenerasi sel epitel dan mucus, terdapat di bronkus dan cabang terminal
bronkiolus.

Analisis toksikologi
Analisis menggunakan sampel darah dan urin yang diambil saat autopsy,
menggunakan Agilent Technologies (AT) 6890N kromatografi gas yang
digabungkan dengan AT 5973 Inert Mass Selective Detector (MSD), dilengkapi
dengan AT 7683 Series autosampler, dioperasikan dalam EI mode (70 eV) dengan
monitoring SIM. Sistem operasi diatur oleh komputer HP Compaq d530SFF dan
dikelola dengan Software MSD Chemstation.
EVDX-5MS cross-linked fused-silica capillary column (25 m, 0.20-mm
i.d.) dengan tebal film 0.33-m (Agilent) dihubungkan ke Mass Selective Detector
(MSD) melalui interface kapiler langsung.
Dari hasil toksikologi didapatkan hasil negatif obat psikotropik,
antidepresan dan sedatif, hasil sama dengan organic xenobiotik nitrogen toksik.
Pemeriksaan etil alcohol dan pelarut organil volatil (etil eter, kloroform, petrol,
dll) didapatkan hasil yang negatif.

Diskusi
Seperti diketahui, tersedak adalah bentuk dari asfiksia mekanik yang
disebabkan oleh aspirasi benda asing yang dapat menyumbat jalan nafas. Tersedak
dapat didefinisikan sebagai tipikal atau atipikal, tergantung pada kapasitas benda
asing untuk dapat menyumbat secara total atau parsial pada jalan nafas.
Tersedak tipikal biasanya disebabkan oleh benda yang dapat
menyesuaikan dan menyumbat aliran udara secara total (daging atau sayuran, dll).
Tersedak atipikal disebabkan oleh benda asing dengan ukuran yang tetap
(kancing, koin, bola, dll), tidak perlu disesuaikan dengan jalan nafas dan sering
tidak menyumbat jalan nafas secara total.Pada kedua kasus, spasme laring dapat
menyebabkan mekanisme asfiksia.Usaha untuk berteriak atau menelan dapat
memudahkan masuknya benda asing ke dalam saluran nafas, sementara reflek
batuk menjadi tidak efektif dan semakin menurun.
Ketika timbul obstruksi total, teknik resusitasi eksternal mungkin tidak
berguna, menyebabkan ketidakmampuan ventilasi paru-paru. Saat benda asing
dapat dikeluarkan, dilakukan intubasi yang cepat diikuti dengan ventilasi paru-
paru, sementara obstruksi pada laring hanya dapat diterapi dengan trakeostomi
segera. Waktu untuk memberikan intervensi perawatan harus sangat cepat, karena
kerusakan otak ireversibel atau kematian dapat timbul dalam 5-10 menit setelah
permulaan obstruksi mekanik.
Pada kasus ini, evaluasi yang tepat saat kematian sangat sulit. Pemeriksaan luar
jenazah hanya menunjukkan laserasi dan luka kontusi pada kepala bagian parietal-
occipital kiri, tanpa disertai fraktur cranial, itu merupakan lesi yang konsisten
dengan kejadian jatuh ke tanah, tetapi tidak dapat menyebabkan kematian.
Autopsy menghilangkan keraguan tentang mekanisme kematian:
ditemukan permen karet besar yang menempel pada aditus laring, obstruksi total
laring, bersamaan dengan tanda patologis yang koheren (emfisema pulmonary
massif, petekie subserosa, dll), diikuti dengan pembuatan diagnosis asfiksia letal
karena tersedak tipikal.
Rekonstruksi dinamik kejadian juga sulit dilakukan. Penemuan lesi pada
kepala daerah postero-lateral menunjukkan bahwa korban wanita jatuh sebelum
permen karet terinhalasi.
Onset distress pernafasan akut dan karena kekerasan (akibat obstruksi
jalan nafas karena kecelakaan) akan mengakibatkan tubuh bersandar ke arah
depan; oleh karena itu, jika tersedak timbul sebelum jatuh, korban wanita harus
menunjukkan lesi yang wajar yaitu di kepala bagian anterior atau bagian wajah,
karena jatuh ke arah depan.
Padahal, bukti pada kasus ini menunjukkan hal yang sama dengan
hipotesis bahwa korban wanita mungkin kehilangan keseimbangan di tangga dan
jatuh ke bawah, dan menyebabkan laserasi dan kontusio pada kepala bagian
parietal-occipital.
Karena trauma tersebut, permen karet yang ada di dalam mulut tergelincir
masuk ke faring belakang dan terinhalasi.Benda asing menempel pada aditus
laring karena kekenyalannya, menyumbatsebagaikonsekuensi daritekanan
negatifyang timbulpada setiapinspirasi.Jadi, obstruksitotal darisaluran
udaramenentukanasfiksiaakutyang dapat menyebabkan kematian.
KELOMPOK 2
Rigor Mortis in a Live Patient
Abstrak:
Rigor mortis merupakan perubahan yang terjadi setelah kematian. Terjadinya hal
ini menunjukkan bahwa kematian telah terjadi setidaknya dalam beberapa jam
yang lalu. Faktor-faktor yang mungkin dapat menjadi pemicunya antara lain
kondisi kekakuan otot sebelum kematian yang dilaporkan pada pasien dengan
status curah jantung yang rendah, penggunaan obat-obatan inotropik dan
vasopresor dalam dosis tinggi, serta sepsis. Mungkin menjadi sesuatu yang
penting dalam sebuah kejadian untuk menentukan waktu kematian dari seseorang
seperti yang dijelaskan dalam jurnal ini. Hal ini juga memerlukan pemeriksaan
yang teliti pada pasien-pasien dengan kekakuan otot yang mengarah ke
pembuktian kematian. Jurnal ini diterbitkan untuk memperjelas beberapa
kesalahpahaman yang mungkin mengarah kepada kekakuan otot, yang seharusnya
tidak selalu diterjemahkan sebagai rigor mortis.
Kata Kunci: rigor mortis, pasien hidup, vasopresor, iskemik, waktu kematian
Rigor mortis merupakan suatu perubahan setelah kematian yang berupa kekakuan
pada otot, yang mungkin disebabkan karena koagulasi dari protein-protein otot
atau penggantian dari pengangkut energi dalam otot (ATP-ADP) yang mengenai
otot di seluruh tubuh. Rigor mortis dimulai dalam 2 sampai 6 jam setelah
kematian, dimulai dari kelopak mata, leher, dan rahang bawah. Perbedaan ini
mungkin terjadi karena perbedaan kadar asam laktat dalam otot yang berbeda,
yang mengakibatkan perbedaan pada kandungan glikogen dan pada tipe otot yang
berbeda. Waktu terjadinya rigor mortis lebih cepat jika kondisi lingkungan dingin
dan jika telah melakukan aktifitas fisik yang berat sebelum terjadinya kematian.
Waktu kejadiannya juga akan bervariasi pada masing-masing individu tergantung
umur, jenis kelamin, kondisi fisik, dan susunan otot. Penggunaan otot yang
berlebihan sesaat sebelum kematian juga akan memicu terjadinya rigor mortis
yang lebih awal. Penulis melaporkan pasien post operasi dengan manifestasi
menyerupai rigor mortis masih hidup kemudian meninggal. Jurnal ini diterbitkan
untuk mendorong adanya diskusi tentang konflik yang mungkin muncul dan
masalah medikolegal, ketika kejadian seperti ini terjadi. Terjadinya kekakuan
lokal pada seorang individu tua yang melakukan bunuh diri karena adanya asupan
glikogen dan ATP yang berkurang pada sentripetal telah dilaporkan.
Laporan Kasus:
Seorang wanita berusia 35 tahun, berat badan 42 kg, menderita mitral stenosis,
regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal, dan atrial fibrilasi kronis telah
dijadwalkan untuk penggantian katup mitral dan operasi labirin. Ia memiliki
riwayat yang signifikan untuk terjadinya serangan jantung berulang, ia dirawat di
rumah sakit dan membutuhkan infus dopamin 5 mcg/kg/min. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan perifer berkeringat dingin. Pasien mengalami orthopneu. Ia terus
menerima infus dopamin dan beberapa dosis injeksi furosemide. Dalam operasi,
MAP dan CVP telah dimonitor. Keputusan untuk tidak memasukkan kateter Swan
Ganz diambil mengingat adanya regurgitasi trikuspid yang berat. Di bawah
anestesi umum, penggantian katup mitral dan prosedur yang simpang siur atau
tidak jelas dengan diatermi bipolar (Cardioblate Surgical Ablation System,
Medtronic, 710 Medtronic Parkway, Minneapolis, MN 554325604) dilakukan
bypass kardiopulmoner. Terminasi bypass kardiopulmoner tidak dapat dicapai
dengan mudah; diperlukan inotropik dengan infus IV dopamin 10 mcg/kg/menit,
adrenalin 0,05 mcg/kg/menit dan noradrenalin 0,05 mcg/kg/menit untuk
mempertahankan tekanan rata-rata arteri (mean arterial pressure) sebesar 60
mmHg. Pasien tersebut telah ditransfer ke ICU bagian bedah kardiologi untuk
mendapatkan perawatan pasca operasi. Ventilasi mekanik dilanjutkan dengan
konsentrasi oksigen inspirasi sebesar 0,8, dengan frekuensi napas 15 kali per
menit, dan volume tidal. Pasien tersebut mengalami periode pasca operasi yang
hebat dengan sindrom cardiac output rendah, yang ditunjukkan dengan gejala
keringat dingin pada bagian perifer tubuh, produksi urin < 0,2 ml/kg/jam kendati
pemberian vasopressor dan inotropik dilanjutkan. Hari pertama pasca operasi,
keadaan klinis pasien memburuk. Tekanan rata-rata arteri di bawah 40 mmHg,
tidak ada produksi urin selama 4 jam. Pasien pun dalam keadaan tidak sadar. Hasil
tes gas darah menunjukkan asidosis yang semakin berat. Lalu diputuskan untuk
melakukan pemberian infus IV dobutamine 5 mcg/kg/menit dan vasopressin 6
unit/jam, kombinasi inodilator (dobutamine) dan vasokonstriktor tersebut
diharapkan dapat berefek baik bagi pasien. Tekanan rata-rata erteri pasien
meningkat menjadi 60 mmHg. Walaupun dengan peningkatan tekanan rata-rata
arteri, pasien tetap mengalami anuria dan asidosis. Detak nadi perifer tubuh tidak
teraba dan kedua kaki pasien pucat.

Dalam keadaan ini, didapati peningkatan tekanan udara dari 15 menjadi 32 cm


H2O, pasien bergantung pada ET (endotracheal tube) dan menggigit ET
tersebut. Di institusi penulis, bukanlah hal yang rutin dilakukan untuk
menggunakan alat OPA (oropharyngeal airway). Namun penggunaan OPA
bermanfaat agar jalur ET tidak terhambat akibat tergigit pasien. Pada pasien ini
tidak memungkinkan untuk menggunakan OPA akibat trismus. Pasien tidak sadar
yang menggigit ET sering tidak diketahui, maka diputuskan untuk memberikan
obat untuk memblokir jalur neuromuskuler untuk menunjang ventilasi
pernapasan. Pasien diberi atracurium 25 mg IV. Walaupun onset pemberian obat
sekitar 3 menit, trismus tetap terjadi dan tekanan udara juga tetap tinggi.
Dianggap terjadi onset yang terlambat akibat vasokontriksi dikarenakan
pemberian obat vasopresor dosis tinggi, penulis menyadari adanya penurunan
saturasi oksigen dari 95 menjadi 85 pada analisis gas darah, tekanan rata-rata
arteri turun menjadi 40 mmHg (kemungkinan akibat terjebaknya udara). Dalam
usaha untuk mengatasi trismus agar jalur ventilasi napas kembali baik, dan untuk
meningkatkan ventilasi serta kontraksi jantung, diberikan rocuronium 50 mg IV,
dengan asumsi bahwa obat neuromusculer blok tidak diberikan secara IV atau
obat yang salah telah diberikan. Namun, obat ini juga tidak berhasil untuk
memberi efek relaksasi otot. OPA dimasukkan secara aksa dengan membuka
rahang; tekanan udara pun turun segera. Didapatkan tekanan rata-rata arteri
meningkat. Kegagalan onset blokade neuromuskuler diinvestigasi. Dalam keadaan
ini, hanya nadi pada karotid, femur, dan subclavia yang dapat dirasakan. Pulsasi
arteri Brachial, radial, poplitea tidak bisa ditemukan oleh pemeriksaan Doppler.
Saat melakukan pemeriksaan, terlihat bahwa siku dan sendi lutut juga kaku,
seperti rigor mortis. Sendi harus dipaksa untuk ditekuk agar dapat dilakukan
pemeriksaan Doppler tersebut. Status pasien dikatakan hidup dengan adanya
denyut arteri, variasi dalam nilai-nilai gas darah arteri, reflex pupil terhadap
cahaya, dan auskultasi bunyi jantung. Keadaan pasien memburuk satu jam
berikutnya dan mendapat serangan jantung oleh kemungkinan oleh karena
sindrom curah jantung rendah. Kompresi jantung tidak dapat dilakukan karena
dinding dada yang kaku. Pasien dinyatakan meninggal setelah 20 menit gagal
jantung dan paru.

PEMBAHASAN
Istilah "rigor mortis" sendiri jelas-kaku setelah kematian. Pengalaman penulis
dalam kasus yang dilaporkan menunjukkan bahwa "kekakuan" mungkin terjadi
dalam keadaan pasien hidup juga. Rigor mortis terjadi karena kurangnya suplai
darah ke otot-otot dikarenakan tidak adanya sirkulasi setelah kematian. Belum
ada laporan dalam literatur tentang terjadinya kekakuan tersebutpada pasien
hidup. Masih menjadi pertanyaan kekakuan yang menyangkut rigor mortis. Para
penulis berpendapat bahwa kekakuan yang mereka temui pada pasien mereka
mungkin akibat penurunan atau tidak adanya suplai darah ke otot-otot karena
vasokonstriksi parah yang disebabkan oleh dosis tinggi vasokonstriktor. Selain itu
tiap vasokonstriktor yang menyebabkan efek melalui berbagai reseptor, dopamin
melalui reseptor dopaminergik, noradrenalin melalui reseptor alpha, dan
vasopressin yang langsung pada arteriol dan venula. Banyak penulis berpikir awal
bahwa hialngnya rigor mortis terjadi setiap kali penyimpanan otot glikogen habis.
Kobayashi et al berpendapat bahwa onset hilangnya rigor mortis di berbagai
kelompok otot tergantung pada kadar glikogen dan asam laktat Mereka juga
mengamati bahwa tingkat glikogen pada saat kematian dan 1 jam setelah
kematian dan kadar asam laktat 1 jam setelah kematian pada otot pengunyah lebih
rendah daripada di otot kaki. Ada kemungkinan bahwa perbedaan proporsi jenis
serat otot dan glikogen di otot mempengaruhi perubahan postmortem dari kadar
ATP dan laktat asam, yang akan mempercepat atau memperlambat rigor mortis
otot.
Ada 2 konsekuensi penting untuk laporan ini. pertama, terjadinya kekakuan
tersebut secara konvensional terkait dengan Status postmortem. Jika
hipotesiseksperimen kami tentang dosis tinggi vasokonstriktor yang menyebabkan
"penghentian" dari aliran darah ke otot perifer bisa dibuktikan, mungkin
menyebabkan kontroversi bahwa kekakuan tersebut tidak selalu harus dikaitkan
dengan kematian, sampai terbukti. Sayangnya, penulis tidak melakukan biopsi
otot atau penilaian kandungan otot glikogen. Kedua, terjadinya kekakuan seperti
yang dilaporkan di sini, mungkin mengubah waktu dimulainya dari rigor mortis
sesungguhnya, jika individu segera mati setelahnya. Masalah ini dapat berakibat
serius pada perhitungan waktu kematian.

KESIMPULAN
Kasus rigor mortis pada pasien hidup yang terjadi mungkin karena vasokonstriksi
parah membatasi suplai darah ke otot-otot.

Anda mungkin juga menyukai