Anda di halaman 1dari 15

PRO KONTRA HUKUMAN KEBIRI TERHADAP PELAKU

PEMERKOSAAN TERKAIT PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2016


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum

Oleh :

AFWAN ROSMI FIKRIYUDDIN

PASCA SARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA

2016
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam beberapa beberapa bulan terakhir sering terdapat

pemberitaan mengenai banyakanya kasus mengenai pelecehan

seksual, pemerkosaan bahkan pemerkosaan disertai pembunuhan

terhadap anak, dan wanita dewasa. Pelaku dari kekerasan seksual pada anak

biasanya adalah orang dewasa yang lingkupnya dekat dengan korban baik itu lingkungan

keluarga maupun orang-orang di lingkungan anak itu tinggal.

Pelaku dalam kasus ini sendiri sering disebut sebagai pedophilia. Arti kata

pedophilia sebenarnya adalah cinta kepada anak-anak, akan tetapi, terjadi perkembangan

di kemudian, sehingga secara umum digunakan sebagai istilah untuk menerangkan salah

satu kelainan psikoseksual dimana individu memiliki hastrat erotis yang abnormal

terhadap anak-anak. Karena anak-anak dibawah umur menjadi objek dari pelaku

pedophilia maka tidak jarang anak-anak tersebut mengalami kekerasan fisik yang bahkan

berujung dengan kematian

Atas dasar inilah, Presiden Republik Indonesia, Jokowi Dodo telah menetapkan

diberikannya hukuman tambahan yaitu kebiri atau kastrasi yang tertuang pada Perppu

Nomor 1 tahun 2016, dianggap tidak akan membuat pelaku pedophilia atau pemerkosaan

jera karena setelah selesai menjalani pidana penjara dan keluar dari lembaga

pemasyarakatan, pelaku bisa saja kembali mengulangi tindakannya. Dengan diberikannya

hukuman tambahan berupa hukum kebiri diharapkan agar pelaku kekerasan seksual anak

kehilangan hasrat untuk melakukan kembali perbuatannya.


Upaya pemerintah dipandang sebagai upaya balas dendam atas nama

kepentingan korban dengan lebih mentitikberatkan pemberatan pidana bagi pelaku dari

pada memikirkan penggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan bagi

korban. Mengkebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban dan juga tidak ada

hubungan yang signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada efek

yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri kepada pelaku.

Pemerintah telah terbuai seolah-oleh injeksi medis (chemical castration), akan menjadi jalan

keluar magic untuk memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dimasa depan.

1.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang di atas, adapun tujuan dari penulisan ini untuk

mengetahui apakah penerapan hukuman kebiri seusai dengan tujuan pemidanaan

Indonesia dan apakah hukuman kebiri sesuai dengan sistem pemidanaan Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pedofilia
2.1.1 Pengertian Pedofilia
Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada

orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi

dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu

kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber

(umumnya usia 13 tahun atau lebih muda, walaupun pubertas

dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih muda

dalam kasus pedofilia remaja (16 tahun ataau lebih tua) baru

daoat diklasifikasikan sebagai pedofilia. Kata pedofilia berasal

dari bahasa Yunani : paidophilia ()pais (, "anak-

anak") dan philia (, "cinta yang bersahabat" atau

"persahabatan", meskipun ini arti harifah telah diubah terhadap

daya tarik seksual pada zaman modern, berdasarkan gelar cinta

anak atau kekasih anak, oleh pedofil yang menggunakan


1
simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi mereka.

Menurut Klasifikiasi Penyakit Internasional (ICD)

mendefinisikan pedofilia sebagai gangguan kepribadian dewasa

dan perilaku dimana ada pilihan seksual untuk anak-anak pada


2
usia pubertas atau pada masa prapubertas awal. Istilah ini

1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/pedofilia
2
World Health Organization, International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems: ICD-10 Section F65.4: Paedophilia (online access via ICD-10 site map table of
contents)
memiliki berbagai definisi seperti yang ditemukan dalam

psikiatri, psikologi, bahasa setempat, dan penegakan hukum.

2.1.2 Penyebab Pedofilia


Psikolog Vernon Quinsey menolak hipotesis bahwa

pelecehan seksual sewaktu kecil dapat mengubah seseorang

menjadi pedofil. Dia menyebutkan contoh dalam masyarakat di

mana seks antara remaja laki-laki dan laki-laki dewasa "sangat

umum terjadi." Meskipun anak-anak tidak termasuk sebagai

praremaja, Quinsey merasa bahwa fakta bahwa anak-anak ini

tumbuh menyukai wanita dewasa dan menghasilkan anak-anak

mereka sendiri melemahkan hipotesis "pengalaman anak usia

dini". Dia menganggap bukti "sangat lemah," karena berasal dari

"laporan retrospektif" pelaku dengan kelompok pembanding

yang tidak memadai.3


Penyebab pedofilia ini tidak diketahui secara pasti namun

ada beberapa bukti bahwa pedofilia ada hubungannya dengan

kondisi lingkungan keluarga. Dan meskipun hal ini juga belum

jelas apakah hal ini berasal dari genetika atau perilaku yang

dipelajari.
Faktor-faktor lain seperti kelainan pada hormon seksual

pria atau serotonin kimia otak, belum terbukti sebagai faktor

dalam pengembangan parafilia atau pedofilia. Riwayat

pelecehan seksual pada masa kanak-kanak mereka juga

3
Quinsey, VL. (Jun 2003). "The etiology of anomalous sexual preferences in men.". Ann N Y Acad
Sci 989: 10517; discussion 14453. PMID 12839890
merupakan faktor potensial dalam pengembangan pedophilias

tapi ini juga belum terbukti.4


2.1.3 Pengobatan Pedofilia

Obat-obatan dapat digunakan dalam hubungannya dengan

psikoterapi. Obat tersebut termasuk antiandrogen (untuk

menurunkan gairah seks), medroxyprogesterone acetate

(Provera) dan leuprolide asetat (Lupron).

Pada penderita Pedofilia dengan depresi yang sangat berat

dapat diberikan obat sertraline (Zoloft), fluoxetine (Prozac),

fluvoxamine (Luvox), citalopram (Celexa) dan paroxetine (Paxil)

dengan dosis yanh lebih tinggi.

2.2 Perkosaan
2.2.1 Pengertian Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri,

memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu

perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah

suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-

laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan

hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997).

Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa

Womens Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala

bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu


4
http://www.konsultasikedokteran.com/post/read/1284/defenisi-dan-
penyebab-dan-pengobatan-pedofilia.html
persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang

melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin

perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi

dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999).

Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara

memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan

menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban.

Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban.

Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan

kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik

maupun secara mental.

2.2.2 Macam-Macam Pemerkosaan

1. Pemerkosaan saat berkencan

Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara paksa tanpa

persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman,

anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang

yang mengenal korban.

2. Pemerkosaan dengan obat

Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat korbannya

tidak sadar atau kehilangan ingatan.

3. Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui,

diperkirakan 1 dari 6 wanita di AS adalah korban serangan seksual. Banyak

wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak melaporkan

pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku tidak bisa menahan hasrat

seksualnya melihat tubuh wanita

4. Pemerkosaan massal

Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu

korban. Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang.

Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada

pemerkosaan oleh satu orang.

5. Pemerkosaan terhadap laki-laki

Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di

banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu kemungkinan. Misalnya, di

Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh memperkosa.

6. Pemerkosaan anak-anak

Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila dilakukan

oleh kerabat dekat, misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau nenek.

Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS, di antaranya 15 juta laki-laki, adalah

korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.

7. Pemerkosaan dalam perang

Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan

musuh dan menurunkan semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang


biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh

tentaranya untuk memperkosa orang sipil.

8. Pemerkosaan oleh suami/istri

Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah. Di banyak

negara hal ini dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah

dapat berhubungan seks kapan saja. Dalam kenyataannya banyak suami yang

memaksa istrinya untuk berhubungan seks. Dalam hukum islam, seorang istri

dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, karena hal ini telah

diterangkan di hadits nabi shalallahu alaihi wasallam. Akan tetapi suami dilarang

berhubungan seksual dengan istri lewat dubur dan ketika istri sedang haids.

2.3 Kebiri kimia dan kebiri fisik


2.3.1 Kebiri Kimia dan fisik
Secara teknis, kebiri kimia yaitu dilakukan dengan

memasukkan bahan kimia antiandrogen, baik melalui pil atau

suntikan ke tubuh seseorang untuk memperlemah

hormon testosteron. Secara sederhana, zat kimia yang

dimasukkan ke dalam tubuh itu akan mengurangi bahkan

menghilangkan libido atau hasrat seksual. 5 Kebiri kimia juga

dapat dilakukan dengan cara menyuntikkan (injeksi) hormone

kepada orang yang dikebiri. Ada dua metode injeksi. Pertama,

diinjeksikan obat yang menekan produksi hormon testosteron.

Injeksi dilakukan berulang-ulang sehingga hormon testosteron

5
http://www.dw.com/id/kebiri-kimia-kemanusiaan-vs-perlindungan-korban/a-
16494556
seolah-olah hilang. Kedua, diinjeksikan hormon estrogen kepada

orang yang dikebiri, sehingga ia memiliki ciri-ciri fisik

seperti perempuan. Hormon testosteron akan menurun dan

gairah seksual juga akan ikut menurun. Bila suntik hormon

testosteron ini dihentikan, keadaan orang yang dikebiri akan

pulih seperti semula.


Sedangkan kebiri fisik dilakukan dengan cara memotong

organ yang memproduksi testosteron, yaitu testis. Setelah testis

dipotong dan dibuang melalui operasi, sisanya diikat dan

kemudian dijahit. Dengan pemotongan testis tersebut, berarti

sudah dihilangkan testosteron sebagai hormon pembangkit

gairah seks. Akibatnya laki-laki akan kehilangan gairah seks dan

sekaligus menjadi mandul permanen.


Kebiri kimia sering dianggap sebagai alternatif bagi

hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati, karena

pelaku kejahatan seksual bisa dibebaskan dengan mengurangi

atau bahkan menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk

melakukan kejahatan yang sama.


2.3.2 Penggunaan kebiri kimia di dunia

Kebiri kimia digunakan dalam banyak bentuk: sejumlah

negara memberlakukan itu sebagai hukuman paksa

sebagaimana hukuman penjara.

Sementara di negara lain, kebiri kimia ditawarkan sebagai

alternatif untuk mendapat pengurangan masa hukuman. Artinya,


para terpidana ditawari untuk mendapat pengurangan masa

hukuman asal bersedia menjalani kebiri kimia.

Tahun 2013, Turki kemungkinan akan mulai menerapkan

hukum kebiri kimia bagi para pedofil. Mereka berharap metode

hukuman ini bisa menciptakan efek jera dan membuat

pemerkosaan anak di bawah umur berkurang.

Tahun 2012, Moldova dan Estonia meloloskan aturan

mengenai hukuman kebiri kimia. Aturan serupa juga berlaku di

banyak negara termasuk Argentina, Australia, Israel, Selandia

Baru, dan Rusia.

Setidaknya sembilan negara bagian Amerika: California,

Florida, Georgia, Iowa, Louisiana, Montana, Oregon, Texas dan

Wisconsin juga memberlakukan beragam versi mengenai

hukuman kebiri kimia dalam sistem hukum mereka.

Jerman termasuk negara yang mempunyai aturan

mengenai hukuman kebiri. Awal tahun 2012, Komite Anti

Penyiksaan Uni Eropa mendesak Jerman agar mengakhiri

pelaksanaan hukuman itu. Dalam jawaban tertulis, pemerintah

Jerman mengatakan bahwa praktek itu "sedang ditinjau ulang."

Jerman memberlakukan hukuman ini dengan prosedur

yang ketat: terpidana sebelumnya diberitahu mengenai dampak

dan kemungkinan efek sampingan. Dan yang paling penting:


terpidana bersedia menjalani kebiri kimia. Terakhir, hukuman ini

dilaksanakan tahun 1960-an.

2.4 Hukuman Kebiri ditinjau dari Tujuan Pemidanaan Indonesia

Pemidanaan secara sederhana dapat diartikan sebagai penghukuman. Pemidanaan juga

diartikan sebagai tahap dalam penjatuhan sanksi pidana. Menurut Satochid Kartanegara terdapat

3 (tiga) teori tujuan pemidanaan, yaitu absolute atau vergeldings theorieen (vergeldings/imbalan,

pembalasan), relative atau doel theorieen (doel/maksud,tujuan) dan vereningings theorieen (teori

gabungan).6 Sejauh ini, belum ada hukum positif di Indonesia secara eksplisit menyatakan

tentang teori tujuan pemidanaan apa yang dianut oleh Indonesia. P.A.F. Lamintang menyatakan

tujuan pemidanaan ada 3 (tiga), yaitu untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk

membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan, dan untuk membuat penjahat-penjahat

tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan lain, yakni penjahat yang

dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Sesuai dengan pendapat P.A.F. Lamintang yang pada dasarnya bahwa tujuan pemidanaan

tidak hanya semata-mata untuk membuat pelaku jera atas tindakan yang dilakukan namun tujuan

kedepannya yaitu untuk memperbaiki pribadi pelaku itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka

teori tujuan pemidanaan yang dianut Indonesia adalah teori gabungan, walaupun secara eksplisit

belum ada hukum positif yang menyatakan demikian. Bagian dari teori absolute yang diterapkan

di Indonesia adalah adanya asas Legalitas yang tercantum pada Pasal 1 ayat (1) KUHP serta

jenis-jenis pidana yang diatur pada Pasal 10 KUHP. Sedangkan bagian dari teori relative yang

diterapkan di Indonesia terdapat pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan menyebutkan bahwa tujuan sistem pemasyarakatan adalah untuk membentuk

6
Satochid Kartanegara, 2001, Hukum Pidana Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, Hal. 56.
Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya dan memperbaiki dirinya agar menjadi

manusia yang lebih baik lagi.

Jika dikaitkan dengan Perppu UU Nomor 1 Tahun 2016, hal ini bertentangan dengan

tujuan pemidanaan Indonesia. Hukuman kebiri tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku

kekerasan seksual pada anak karena kekerasan seksual pada anak atau pedophilia itu merupakan

manifestasi atau operasionalisasi hasrat menguasai, mengontrol dan mendominasi anak. Hukum

kebiri dipandang tidak menyasar kepada akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak

namun hanya semata-mata untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kekerasan seksual pada

anak yang diragukan secara ilmiah. Dengan demikian hukuman kebiri hanya semata-mata

sebagai suatu tindakan pembalasan dari pemerintah tanpa upaya memperbaiki pribadi pelaku

kekerasan seksual. Hal inilah yang tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan Indonesia.

2.5 Hukuman Kebiri Tidak Sesuai dengan Sistem Pemidanaan di Indonesia

Sanksi pidana secara eksplisit diatur pada Pasal 10 KUHP. Bentuk pidana sendiri ada 2

(dua) yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana

penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. Sedangkan pidana tambahan terdiri

dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan

hakim.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, hukuman kebiri tidak tercantum di dalam Pasal 10

KUHP, yang berarti bahwa hukuman kebiri tidak termasuk dalam sistem pemidanaan Indonesia.

Selain itu, hukuman kebiri melanggar Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

Tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari

penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiannya.

Hukuman kebiri akan menimbulkan efek malu tidak hanya bagi pelaku kekerasan seksual anak
namun juga keluarga pelaku. Belum lagi, pelaku tidak bisa meneruskan keturunan akibat dari

hukum kebiri tersebut. Kedua hal tersebut bisa membuat pelaku mengalami tekanan yang luar

biasa dan menyebabkan ia dapat mengulangi tindakannya. Hukuman kebiri disini sangat jelas

bukan memperbaiki pribadi pelaku tetapi membuat pribadi pelaku lebih buruk lagi.

Terdapat beberapa penyakit jiwa tertentu dalam situasi tertentu dapat menimbulkan si

penderita melakukan kejahatan, antara lain sakit jiwa, psycho-pathologi tentang tingkah laku,

exhibitionist, pedophilia dan fetishisme.7 Ketentuan Pasal 44 KUHP menyebutkan apabila pelaku

suatu tindak pidana jiwanya cacat maka ia tidak dapat dipidana dan hakim dapat memerintahkan

agar dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Namun tidak semua pelaku kekerasan seksual pada anak

merupakan seorang pedophilia. Banyak penelitian menyatakan hanya setengah dari pelaku

kekerasan seksual pada anak adalah penderita dan disebabkan pedophilia, sisanya disebabkan

penyakit lain, korban kekerasan beruntun atau korban kekerasan dalam keluarga.5 Jadi

pemerintah harus menyortir para pelaku kekerasan seksual pada anak apakah ia memiliki

penyakit pedophilia atau tidak. Pelaku yang memiliki penyakit pedophilia selain dijatuhi pidana

yang sesuai juga diberikan rehabilitasi atau pengobatan atas penyakitnya.

BAB III

KESIMPULAN

Kejahatan seksual saat ini memang sangat marak terjadi yang

membuat masyarakat semakin resah, masyarakat menganggap bahwa

7
Tina Asmarawati, 2013, Hukum & Psikiarti, Yogyakarta, Deepublish, Hal. 108.
hukum yang diterapkan terhadap para pelaku kejahatan seksual tersebut

tidaklah sesuai atau tidak setara dengan akibat yang ditimbulkan kepada

korban yaitu terganggunya mental dan psikis mereka. Beberapa latar

belakang terjadinya kejahatan seksual tersebut diantara lain pengalaman

pribadi pelaku di masa lalu yang membuat mereka seperti ingin melakukan

hal serupa dengan apa yang telah mereka alami di masa lalu, latar belakang

lainnya adalah kurangnya pengawasan dan kesadaran mengenai ciri-ciri

pelaku kejahatan seksual sehingga anak-anak mereka kerap kali menjadi

korban yang belakangan justru diketahui merupakan orang terdekat korban

(tetangga).

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan. Pertama, tujuan

pemidanaan Indonesia adalah teori gabungan dan hukuman kebiri hanya berdasarkan pada

pembalasan belaka dan mengesampingkan perbaikan pribadi pelaku. Hukuman kebiri tidak

menyelesaikan akar dari kejahatan kekerasan seksual pada anak. Kedua, hukuman kebiri tidak

sesuai dengan sistem pemidanaan di Indonesia dan hukuman kebiri tidak tercantum dalam Pasal

10 KUHP. Hukuman kebiri juga melanggar hak asasi manusia dari pelaku kejahatan seksual pada

anak, salah satunya adalah hak untuk meneruskan keturunan.

Anda mungkin juga menyukai