Anda di halaman 1dari 41

Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PASIEN


HIPERTENSI RAWAT JALAN TIDAK PATUH MINUM OBAT
ANTIHIPERTENSI DI PUSKESMAS SEMPAJA SAMARINDA :
SEBUAH PENELITIAN KUALITATIF

Disusun Oleh :

Lili Widianto 1010015034


Indah Susilowati 0910015035
Yesaya Uleh Ibo 0810015054

Pembimbing :
dr. Evi Fitriyani, M.Kes
dr. Rahmat Bachtiar, MPPM
dr. Hj. Irama Fitamina M
dr. Siti Nuriyatus Zahrah, M.K.N.

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat
Ilmu Kedokteran Komunitas
Puskesmas Sempaja/ Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman Samarinda
JANUARI 2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi adalah kondisi terjadinya peningkatan tekanan darah sistolik
140mmHg dan atau diastolik 90 mmHg. Penyakit ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang terjadi secara global. Sebanyak 9,4 juta penduduk dunia meninggal
akibat komplikasi dari hipertensi (stroke & penyakit jantung) per tahun (World Health
Organization, 2013).
Prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat dari 7,6 (2007) menjadi 9,5
persen (2013). Peningkatan ini diikuti dengan peningkatan prevalensi stroke dari 8,3
(2007) menjadi 12,1 per 1000 (2013). Kalimantan Timur menduduki peringkat ke-3
prevalensi hipertensi tertinggi (29,6%) (Riskesdas, 2013). Profil kesehatan
Kalimantan Timur menyebutkan bahwa hipertensi adalah penyakit nomor dua
terbanyak di Puskesmas pada tahun 2013 dengan 190.866 kasus (Profil Kesehatan
Provinsi Kalimantan Timur, 2013).
Penatalaksanaan hipertensi terdiri dari modifikasi seperti gaya hidup dan
terapi farmakologi (JNC-7, 2003). Keberhasilan penatalaksanaan hipertensi secara
farmakologi salah satunya dipengaruhi oleh kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi
obat antihipertensi (Evadewi & Sukmayanti, 2012). Namun berdasarkan data tercatat
hanya 50 % pasien yang patuh mengkonsumsi obat (Cheever, 2005; Depkes RI,
2006). Ketidakpatuhan pengobatan antihipertensi turut berkontribusi terhadap
kejadian komplikasi kardiovaskuler (Chobanian, 2009). Selain berdampak pada
penderita, sistem pelayanan kesehatan juga akan mengalami kerugian finansial dan
sumber daya (Aina, et al., 2014).
Banyak faktor yang mempengaruhi pasien tidak patuh pengobatan seperti
faktor terkait pasien, faktor terkait petugas kesehatan, faktor terkait sistem pelayanan
kesehatan, faktor obat, dan faktor lingkungan (Morisky, et al., 2008; Chobanian,
2009; Arovah, 2011). Masalah yang terjadi berupa efek samping obat, kompleksitas
regimen obat, biaya pengobatan, masalah psikologis, kurangnya dukungan sosial,
problem kognitif, masalah komunikasi dokter-pasien, ketersediaan pelayanan
kesehatan, dan lain sebagainya. Masalah-masalah tersebut menyebabkan pasien
hipertensi banyak yang tidak mematuhi proses pengobatan sesuai yang dianjurkan
dan akhirnya memutuskan untuk berhenti meminum obat (Morisky, et al., 2008;
Chobanian, 2009; Lailatusifah, 2012).
Puskesmas Sempaja merupakan salah satu Puskesmas induk yang berada di
kota Samarinda. Puskesmas ini telah melakukan berbagai kegiatan promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif di berbagai penyakit dan salah satunya adalah
penyakit hipertensi. Salah satu program yang dilaksanakan Puskesmas ini adalah
Prolanis (Program Pengelolaan Penyakit Kronis) yang mencakup penyakit hipertensi
(Profil Puskesmas Sempaja, 2014).
Terjadi pengingkatan kasus hipertensi di Puskesmas Sempaja dari 107 kasus
baru (2014) menjadi 454 kasus baru baru (2015). Data tersebut secara tidak langsung
menunjukkan peningkatan prevalensi penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas
ini. Untuk mengendalikan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi maka
diperlukan penatalaksanaan yang tepat.
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, masih banyak pasien hipertensi yang
berobat dan mengkonsumsi obat antihipertensi namun belum memiliki tekanan darah
yang normal. Sebagian pasien mengaku tidak patuh minum obat pada saat dilakukan
anamnesa singkat di poli rawat jalan. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa tidak
patuh minum obat antihipertensi turut berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi
kardiovaskular.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dibandingkan dengan literatur, peneliti
ingin mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pasien hipertensi yang
sedang rawat jalan tidak patuh minum obat antihipertensi di Puskesmas Sempaja.

1.2 Rumusan Masalah


Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pasien hipertensi yang sedang
rawat jalan tidak patuh minum obat antihipertensi di Puskesmas Sempaja Samarinda ?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan
antihipertensi pada pasien hipertensi yang sedang rawat jalan di Puskesmas Sempaja
Samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya mengenai hipertensi.

1.4.2 Manfaat Praktis


1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan untuk memperbaiki
penatalaksanaan hipertensi di puskesmas.
2. Penelitian ini dapat menjadi awal untuk dilakukannya penelitian lanjutan terkait
cara efektif meningkatkan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi.

1.4.3 Manfaat Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan
menemukan pemecahan masalah untuk permasalahan kesehatan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah > 140/90 mmHg. Hipertensi
diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder
(5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari
peningkatan tekanan darah tersebut, sedangkan hipertensi sekunder disebabkan oleh
penyakit/keadaan seperti feokromositoma, hiperaldosteronisme primer (sindroma
Conn), sindroma Cushing, penyakit parenkim ginjal dan renovaskuler, serta akibat
obat (Bakri, 2008).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi
tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,
hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang terlihat pada tabel 1 dibawah (Gray, et
al. 2005).

Tabel 2.1.Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 <80
Pra hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 160 100

The Joint National Community on Preventation, Detection evaluation and


treatment of High Blood Preassure dari Amerika Serikat dan badan dunia WHO
dengan International Society of Hipertention membuat definisi hipertensi yaitu
apabila tekanan darah seseorang tekanan sistoliknya 140 mmHg atau lebih atau
tekanan diastoliknya 90 mmHg atau lebih atau sedang memakai obat anti hipertensi.
Pada anak-anak, definisi hipertensi yaitu apabila tekanan darah lebih dari 95 persentil
dilihat dari umur, jenis kelamin, dan tinggi badan yang diukur sekurang-kurangnya
tiga kali pada pengukuran yang terpisah (Bakri, 2008).
2.1.2. Patofisiologi Hipertensi
Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan dalam pengendalian
tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar: Tekanan Darah = Curah Jantung x
Tahanan Perifer. (Yogiantoro, 2006).

Gambar 2.1 Faktor-faktor yang menyebabkan hipertensi (Yogiantoro, 2009)

Mekanisme patofisiologi yang berhubungan dengan peningkatan hipertensi


esensial antara lain :
1. Curah jantung dan tahanan perifer.
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh terhadap
kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi esensial curah
jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya meningkat. Tekanan darah
ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang terdapat pada arteriol kecil.
Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan berpengaruh pada peningkatan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama
akan mengakibatkan penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi
oleh angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang irreversible
(Gray, et al. 2005).
2. Sistem Renin-Angiotensin.
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan sistem endokrin
yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin disekresi oleh
juxtaglomerulus aparantus ginjal sebagai respon glomerulus underperfusion atau
penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem saraf simpatetik (Gray, et al.
2005).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II
dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang
peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung
angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh
ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE
yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida
yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
a. Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi
di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur
osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin
yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan
tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya
volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan


hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan
ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara
mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan
kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, et al. 2005).
3. Sistem Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatetik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting dalam
pempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena interaksi antara sistem
saraf otonom dan sistem renin-angiotensin bersama sama dengan faktor lain
termasuk natrium, volume sirkulasi, dan beberapa hormon (Gray, et al. 2005).
4. Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah vasoaktif lokal
yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi endotelium banyak
terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara klinis pengobatan dengan antihipertensi
menunjukkan perbaikan gangguan produksi dari oksida nitrit (Gray, et al. 2005).
5. Substansi vasoaktif
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin merupakan
vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin dapat meningkatkan
sensitifitas garam pada tekanan darah serta mengaktifkan sistem renin-angiotensin
lokal. Arterial natriuretic peptide merupakan hormon yang diproduksi di atrium
jantung dalam merespon peningkatan volum darah. Hal ini dapat meningkatkan
ekskresi garam dan air dari ginjal yang akhirnya dapat meningkatkan retensi cairan
dan hipertensi (Gray, et al. 2005).
6. Hiperkoagulasi
Pasien dengan hipertensi memperlihatkan ketidaknormalan dari dinding
pembuluh darah (disfungsi endotelium atau kerusakan sel endotelium),
ketidaknormalan faktor homeostasis, platelet, dan fibrinolisis. Diduga hipertensi
dapat menyebabkan protombotik dan hiperkoagulasi yang semakin lama akan
semakin parah dan merusak organ target. Beberapa keadaan dapat dicegah dengan
pemberian obat anti-hipertensi (Gray, et al. 2005).
7. Disfungsi diastolik
Hipertropi ventrikel kiri menyebabkan ventrikel tidak dapat beristirahat ketika
terjadi tekanan diastolik. Hal ini untuk memenuhi peningkatan kebutuhan input
ventrikel, terutama pada saat olahraga terjadi peningkatan tekanan atrium kiri
melebihi normal, dan penurunan tekanan ventrikel (Gray, et al. 2005).

2.1.3 Penatalaksanaan

2.1.3.1 Modifikasi Gaya Hidup

Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan
suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak
terabaikan dalam penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan
dapat menurunkan tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien
dengan overweight atau obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi
kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol.
Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat
antihipertensi, dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Contohnya,
konsumsi1600 mg natrium memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal.
Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih
baik. Berikut adalah uraian modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan
hipertensi (Chobanian, et al., 2003).

Tabel 2.2 Penatalaksanaan Hipertensi (Chobanian, et al. , 2003)

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan


Tekanan Darah Sistolik
(Skala)
Menurunkan Berat Memelihara Berat Badan Normal (Indeks 5-20 mmHg/ 10 kg penurunan
Badan Massa Tubuh 18.524.9 kg/m2). Berat Badan
Melakukan pola diet Mengkonsumsi makanan yang kaya dengan 8 14 mmHg
berdasarkan DASH buah-buahan, sayuran, produk makanan
yang rendah lemak, dengan kadar lemak
total dan saturasi yang rendah.

Diet Rendah Natrium Menurunkan Intake Garam sebesar 2-8 2-8 mmHg
mmHg tidak lebih dari 100 mmol per-hari
(2.4 gr Natrium atau 6 gr garam).

Olahraga Melakukan Kegiatan Aerobik fisik secara 4 9 mmHg


teratur, seperti jalan cepat (paling tidak 30
menit per-hari, setiap hari dalam
seminggu).

Membatasi Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih 2 -4 mmHg


Penggunaan Alkohol dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol;
misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur, atau 3 0z
80 whiski) per-hari pada sebagian besar
laki-laki dan tidak lebih dari 1 gelas per-
hari pada wanita dan laki-laki yang lebih
kurus.

2.1.3.2 Terapi Farmakologi

Obat antihipertensi terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu : (1) diuretik, (2)


penghambat saraf adrenergik, (3) vasodilator langsung dan (4) penghambat
angiotensin (Page, Curtis, Sutter, Walker & Hoffman, 2002). Obat antihipertensi lini
pertama adalah golongan diuretik.

Sebagian besar pasien yang mengidap hipertensi akan membutuhkan dua atau
lebih obat antihipertensi untuk mendapatkan sasaran tekanan darah yang seharusnya.
Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan
obat tunggal dengan dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target. Ketika
tekanan darah lebih dari 20/10 mmHg di atas tekanan darah target, harus
dipertimbangkan pemberian terapi dengan dua kelas obat, keduanya bisa dengan
resep yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang telah disatukan. Pemberian obat
dengan lebih dari satu kelas obat dapat meningkatkan kemungkinan pencapaian
tekanan darah target pada beberapa waktu yang tepat, namun harus tetap
memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien dengan diabetes,
disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua. Penggunaan
obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya pengobatan.

Saat obat antihipertensi telah diberikan, pasien diharuskan kembali untuk


follow paling tidak dalam interval sebulan sekali sampai tekanan darah target
tercapai. Kunjungan yang lebih sering dibutuhkan untuk pasien dengan kategori
hipertensi stage 2 atau jika disertai dengan komplikasi penyakit penyerta. Setelah
tekanan darah mencapai target dan stabil, follow up dan kunjungan harus dilakukan
dalam interval 3-6 bulan sekali (JNC VII, 2003).
Gambar 2.2 Alur Penatalaksanaan Hipertensi (James, et al., 2013)

2.2 Kepatuhan Pengobatan Hipertensi


Kepatuhan adalah suatu perilaku individu, contohnya dalam hubungannya
dengan pengobatan, mengikuti instruksi diet, atau membuat perubahan gaya hidup
sesuai atau tepat dengan anjuran kesehatan (Sackett. 1977 dalam Smet, 2002).
Kepatuhan dapat pula didefinisikan sebagai tingkatan dimana seseorang mengikuti
instruksi yang diberikan guna mendukung pengobatan yang dijalaninya (Morrison,
2004). Hasil akhir dari kepatuhan adalah diharapkan individu dapat lebih aktif,
sukarela dan memiliki keterlibatan dalam melatih perilaku tersebut (Meichenbaum &
Turk, 1998 dalam Mairani, 2006).
Kepatuhan pengobatan dibagi menjadi adherence dan compliance. Adherence
adalah sejauh mana prilaku pasien mengkonsumsi obat, mengikuti diet, dan/atau
melakukan perubahan pola hidup sesuai dengan saran dari tenaga medis. Sedangkan
compliance lebih bersifat pasif satu arah, yaitu dari dokter ke pasien (WHO, 2013).
Beberapa faktor yang bisa mendukung kepatuhan pasien yaitu (Fuer Stein et
al dalam Niven, 2002):
1. Pendidikan.
Pendidikan dapat meningkatkan kepatuhan pasien selama pendidikan tersebtu
merupakan pendidikan yang aktif.
2. Akomodasi.
Pasien yang lebih mandiri harus dilibatkan secara aktif dalam program
pengobatan.
3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial.
Membentuk kelompok pendunkung dapat membantu memahami kepatuhan
terhadap program pengobatan, misalnya penurunan berat badan.
4. Perubahan Model Terapi.
Program pengobatan dapat diubah menjadi lebih sederhana sehingga pasien dapat
lebih aktif terlibat dalam program tersebut.
5. Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien.
Kepatuhan mencakup gabungan antara kontrol tekanan darah dan penurunan
faktor risiko yang dimiliki pasien. Target yang diharapkan tercapai adalah
keberhasilan dalam mengendalikan tekanan darah tinggi yang merupakan usaha
bersama antara pasien dengan dokter yang menanganinya. Kepatuhan pasien yang
memiliki hipertensi bukan hanya dilihat pada segi minum obat anti hipertensi namun
juga partisipasi aktif pasien untuk memeriksakan kesehatanya ke dokter sesuai
dengan jadwal yang ditentukan serta perubahan gaya hidup sehat yang telah
disarankan (Burnier, 2001).
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pasien tidak patuh dalam pengobatan
hipertensi dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Faktor pasien
Kepatuhan pengobatan hipertensi pada pria dilaporkan lebih tinggi
dibandingkan pada wanita. Berdasarkan usia, pasien yang lebih muda dinilai lebih
patuh. Ras dan etnis juga diketahui mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Pasien
yang sadar akan bahaya tekanan darah tinggi juga akan memiliki tingkat kepatuhan
pengobatan yang lebih tinggi (Chobanian, 2009).
Kurangnnya pengetahuan mengenai hipertensi juga merupakan salah satu
penghalangan untuk mencapai kepatuhan pengobatan. Faktor lain seperti pasien yang
pelupa, depresi pada pasien, dan kepercayaan pasien terhadap pengobatan juga
mempengaruhi tingkat kepatuhan pengobatan (Woo, 2009).

2. Faktor obat
Regimen pengobatan yang diterima pasien mempengaruhi kepatuhan
pengobatan. Pasien yang mendapat regimen lebih dari 5 jenis obat akan mengalami
penurunan tingkat kepatuhan (Chobanian, 2009).
Efek samping yang dialami pasien juga mempengaruhi kepatuhan pengobatan
(Aina, et al., 2014). Salah satunya adalah golongan obat ACEI yang menyebabkan
batuk (Banowitzh, 2004). Selain itu ketersediaan obat dalam bentuk generic juga
mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Obat generik berkaitan dengan jumlah biaya
yang harus dikeluarkan untuk mencapai target tekanan darah (Chobanian, 2009).
Salah satu penelitian mendapatkan sebuah pengakuan pasien merasa
terganggu dengan kompleksnya regimen pengobatan. Selain itu pasien juga
mengalami kesulitan mengatur jadwal minum obat berkaitan dengan kegiatan
berpuasanya (dalam keagamaan). Semakin sedikit obat yang harus diminum akan
semakin memudahkan bagi pasien (Aina, et al., 2014).

3. Faktor sistem pelayanan kesehatan kesehatan


Salah satu faktor yang diketahui yaitu jarak dari tempat penyedia pelayanan
yang tidak terjangkau. Kendala jarak ini merupakan hal yang rumit. Faktor ini juga
berkaitan dengan jumlah biaya yang harus dikeluarkan agar mendapatkan pelayanan
kesehatan.
Sesampainya pasien di tempat pelayanan kesehatan, pasien terkadang masih
perlu menunggu cukup lama. Hal ini menyebabkan aktivitas yang lain terganggu,
Adakalanya setelah pasien menunggu cukup lama untuk mendapatkan resep obat,
namun pada akhirnya obat tersebut sedang tidak tersedia atau habis.
Dapat dibayangkan seorang pasien wanita berumur 50 tahun dengan tekanan
darah tidak terkontrol yang harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk mencapai
suatu tempat pelayanan kesehatan. Kemudian melewatkan beberapa jam waktunya
untuk mencari penghasilan. Namun pada saat telah mendapatkan resep obat muncul
kendala ketersediaan obat yang terbatas atau habis (Aina, et al., 2014).
Interaksi positif antara petugas kesehatan dengan pasien juga mempengaruhi
kepatuhan pengobatan. Petugas kesehatan yang berempati kepada pasien akan
membangun suatu kepercayaan pasien terhadap pengobatan yang dijalaninya
(Chobanian, 2009).
Selain itu klinis juga harus mampu menilai kapan suatu pengobatan harus
ditingkatkan ketika tekanan darah tidak mencapai target yang diinginkan. Klinisi
dituntut mampu mencapai target tekanan darah terkontrol (Chobanian, 2009).

4. Faktor lingkungan
Tingkat stress yang tinggi dalam lingkungan kehidupan sehari-hari
mempengaruhi kepatuhan pengobatan. Pasien hipertensi sebenarnya memerlukan
dukungan dari lingkungan untuk menjalani pengobatannya. Salah satu penelitian
menemukan bahwa pasien mengaku memerlukan dukungan dari sesorang yang dekat
(Aina, et al., 2014).
Pengakuan lain menjelaskan seberapa berpengaruhnya keluarga. Lingkungan
yang memberikan stressor yang tinggi dapat memberikan masalah psikologis pada
pasien. Beberapa pasien akan merasa menjadi beban terhadap keluarga atau orang
terdekatnya. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan dalam pengobatan
(Chobanian, 2009; Aina, et al., 2014).
Sebuah penelitian mendapat pengakuan dari pasien mengenai ketidakpatuhan
pengobatan akibat larangan dari pasangan hidupnya. Tanpa ijin dari suaminya,
akhirnya pasien tidak dapat mengunjungi tempat pelayanan kesehatan (Aina, et al.,
2014).
BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor
Obat

Faktor Faktor
Pelayanan Lingkungan
Kesehatan
Tidak Patuh
Minum Obat
Antihipertensi

Faktor Faktor
Pasien Lain
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan desain in-depth interview.

4.2 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Sempaja Samarinda.

4.3 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 8 15 Januari 2016.

4.4 Populasi dan Sampel Penelitian


4.4.1 Populasi Penelitian
Pasien hipertensi yang tidak patuh minum obat antihipertensi di wilayah kerja
Puskesmas Sempaja Samarinda.

4.4.2 Sampel Penelitian


Pasien hipertensi yang tidak patuh minum obat antihipertensi yang
berkunjung di Puskesmas Sempaja Samarinda pada tanggal 8-15 Januari 2016.
Jumlah sampel tidak ditentukan dalam proposal penelitian. Sampel diambil hingga
data yang dikumpulkan dinilai jenuh.

4.4.3 Kriteria Pemilihan Sampel


4.4.3.1 Kriteria Inklusi
1. Pasien terdiagnosis hipertensi yang berusia 18 tahun.
2. Pasien hipertensi yang telah terdiagnosis hipertensi minimal selama 1 tahun.
3. Pasien hipertensi yang tidak patuh minum obat antihipertensi berdasarkan
salah satu dari : pengakuan pasien, data rekam medik. Kemudian dipastikan
dengan dan MMAS-8.
4.4.3.2 Kriteria Ekslusi
1. Pasien yang tidak bersedia menjadi sampel.
2. Pasien yang memiliki masalah dalam komunikasi.
4.4.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
nonprobability sampling yaitu teknik purposive sampling.

4.5 Instrumen Penelitian


Penelitian ini menggunakan MMAS-8 (Morisky 8 Item Medication
Adherence Questionnaire) untuk menilai ketidakpatuhan minum obat antihipertensi,
interview guide, alat perekam suara.

4.6 Definisi Operasional


Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian
No
Variabel Definisi Operasional Kriteria Objektif
.
1 MMAS-8 Kuesioner penilaian tingkat
kepatuhan minum obat yang
terdiri dari 8 pertanyaan
terkait perilaku pasien
terhadap pengobatannya.
2 Tidak patuh Pasien tidak meminum obat Berdasarkan MMAS kepatuhan
minum obat antihipertensi sesuai dengan minum obat diklasifikasikan
antiipertensi waktu, dosis, dan frekuensi menjadi :
yang dianjurkan dokter 1. Kepatuhan rendah
(Skor MMAS <6)
selama masa pengobatan.
2. Kepatuhan sedang
(Skor MMAS 6-7)
3. Kepatuhan tinggi
(Skor MMAS 8)
Kepatuhan rendah dan sedang
dikategorikan kedalam tidak
patuh minum obat.

4.7 Pengumpulan Data


4.7.1 Data Primer
Data primer didapatkan melalui kuesioner MMAS-8 dan in-depth interview.
4.7.2 Data Sekunder
Data sekunder didapatkan melalui data rekam medik responden digunakan
dalam proses triangulasi.

4.8 Alur Penelitian

Observasi
Awal
Identifikasi
Coding
Tema
Penyusunan
Proposal
Penelitian Refleksi
Peneliti dan Analisis Data
Kualitatif
Memoing
Pengumpulan Data
Informed consent
MMSA-8
In-depth Interview Membuat
Dokumentasi Kesimpulan
Audiovisual
Transkrip

Gambar 4.1 Alur Penelitian


Gambar 4.2 Alur Penelitian
BAB 5
HASIL

Hasil penelitian didapatkan dengan in-depth interview, pemeriksaan rekam


medis, serta observasi selama 1 minggu. Deteksi pasien yang tidak patuh minum obat
antihipertensi dilakukan menggunkan data rekam medik dan kuesioner MMAS-8
pada saat pasien datang kontrol. Kemudian dilakukan in-depth interview sesuai
dengan pedoman wawancara. Jumlah partisipan sebanyak 11 orang yang terdiri dari 9
pasien dan 2 tenaga medis yang ada di Puskesmas Sempaja Samarinda.

5.1 Karakteristik Pasien


Berikut ini Tabel 5.1 mengenai karakteristik partisipan dalam penelitian ini.
Tabel 5.5 Karakteristik Partisipan
Pendidikan Suku Agama Pekerjaan
terakhir
Az () SMA Banjar Islam Katering
58 tahun
H () SMA Jawa Islam Penjual nasi
55 tahun goreng
N () SD Jawa Islam IRT
33 tahun
S () SD Jawa Islam IRT
57 tahun
Sh () SMP Banjar Islam Mekanik
56 tahun
E () SD Banjar Islam IRT
47 tahun
Aw () SMA Tionghoa Budha Swasta
55 tahun
Ju () SMA Madura Islam IRT
51 tahun
Ji () SD Bugis Islam IRT
44 tahun
Tabel 5.2 Persentase Karakteristik Partisipan
Karakteristik N (%)
Usia (tahun)
18-35 1 (11,1%)
36-45 1 (11,1%)
46-55 3 (33,3%)
>55 4 (44,4%)
Jenis Kelamin
Laki-laki 3 (33,3%)
Perempuan 6 (66,7%)
Tingkat Pendidikan
SD 4 (44,4%)
SMP 1 (11,1%)
SMA 4 (44,4%)
Status Pernikahan
Menikah 9 (100%)
Tidak Menikah 0 (0%)
Tekanan Darah
< 140/90 0 (0%)
140/90 9 (1000%)
Lama Terdiagnosis
1 tahun 2 (22,2%)
2 tahun 4 (44,4%)
3 tahun 1 (11,1%)
4 tahun 2 (22,2%)
Jumlah Obat
1 macam 3 (33,3%)
2 macam 6 (66,7%)

Tabel 5.2 menjelaskan karakteristik pasien dalam presentase. Distribusi usia


pasien terbanyak pada usia > 55 tahun adalah 4 orang (44,4%). Sedangkan yang
terendah adalah usia 18-35 tahun dan 36-45 tahun masing-masing 1 orang. Pasien
paling banyak berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 6 orang (66,7%). Pasien
laki-laki berjumlah 3 orang (33,3%).
Pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD)
sebanyak 4 orang (44,4%). Pasien yang memiliki tingkat pendidikan terakhir Sekolah
Menengah Pertama (SMP) sebanyak 1 orang (11,6%). Sementara pasien yang tingkat
pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 4 orang (44,4%).
Seluruh partisipan (100%) memiliki pasangan. Tidak ada pasien yang belum
menikah ataupun cerai. Lama berobat partisipan adalah didapatkan 2 orang berobat
selama 2 tahun (22,2%), 4 orang berobat selama 4 tahun (44,4%), 1 orang berobat
selama 3 tahun (11,6%), dan 2 orang berobat selama 4 tahun (44,4%). Pengobatan
pada 6 pasien menggunakan 2 macam terapi (66,7%). Pengobatan pada 3 pasien
lainnya menggunakan 1 macam terapi (33,3%).
Jumlah pasien dengan tekanan darah tidak terkontrol atau 140/90 mmHg
adalah sebanyak 9 orang (100%). Tidak ada pasien yang tekanan darahnya terkontrol
atau < 140/90 mmHg.

5.3 Faktor-faktor yang memengaruhi pasien tidak patuh minum obat


Dalam penelitian ini telah ditemukan beberapa hal yang dialami oleh pasien-
pasien yang tidak patuh minum obat. Proses identifikasi tema digambarkan pada
Tabel 5.3.

Faktor Pasien
Penelitian ini menemukan bahwa faktor terkait pasien terdiri dari :
1. Minum obat hanya jika ada keluhan.
Karena merasa sehat, tidak ada keluhan, meskipun ada obat dari dokter saya tidak
mau minum. (N, H)
Partisipan mengaku tidak minum obat apabila merasa sehat dan tidak ada keluhan.
2. Malas minum obat.
Terkadang saya malas minum obat. (E)
Hambatan lain berupa rasa malas.
3. Tidak teliti.
Salah bawa obat jadi saya belum makan obat. (H)
Partisipan tidak teliti dalam membawa obat antihipertensi.
4. Efek samping obat.
Saya hentikan atau batasi minum obat karena efek samping, tidak nyaman, dan
takut ketergantungan. (H,N)
Partisipan tidak minum obat dikarenakan takut ketergantungan dan efek samping obat
yang tidak nyaman.
5. Takut ketahuan tekanan darahnya tinggi.
Saya takut kalau ketahuan penyakitnya jadi tidak kontrol. (Ju)
Partisipan tidak kembali ke pelayanan kesehatan karena takut penyakitnya diketahui.
6. Pasien tidak percaya pada pengobatan di Puskesmas (kualitas obat).
Kalau obat tidak cocok, tidak manjur manjur, dan tidak bermanfaat, saya
berhentikan. (E, Aw, H)
Partisipan lebih mempercayai kualitas obat dari pelayanan kesehatan yang lebih
tinggi dan obat yang lebih mahal.

Faktor Obat
Penggunaan obat tradisional menggantikan atau bersamaan dengan obat
antihipertensi.
Saya ganti atau campur pakai labu siam, jus mentimun, nanas, atau seledri untuk
menurunkan tekanan darah. (N, E)

Faktor Lingkungan
Penelitian ini menemukan faktor lingkungan berupa keluarga, tetangga, dan
lingkungan kerja.
1. Keluarga dan tetangga menyarankan minum obat tradisional.
Omongan tetangga dan keluarga untuk minum labu siam dan herbal untuk
menurunkan tekanan darah. (E, H)
Partisipan mendapat saran dari keluarga dan tetangga untuk menggunakan obat
tradisional.
2. Lingkungan kerja yang sibuk.
Kalau saya ada kerjaan, pengobatannya jadi tertunda. (Sh)
Partisipan tidak datang ke pelayanan kesehatan apabila sedang sibuk.

Faktor Pelayanan Kesehatan


1. Tidak ada alat transportasi.
Saya tidak bisa berobat karna tidak ada yang antar dan tidak ada angkot. (S)
Partisipan terkendala alat transportasi untuk datang ke pelayanan kesehatan.
2. Pelayanan yang kurang ramah.
Saya malas datang berobat karena pelayanan yang kasar. (E, Az)
Partisipan mendapatkan pelayanan yang kasar sehingga malas berobat.
3. Komunikasi yang kurang efektif.
Tidak minum obat dan tidak kontrol bisa karena tidak dikasih obat, tidak paham
atau keterbatasan waktu konseling (Ji, Tenaga Medis)
Partisipan tidak mendapatkan penjelasan yang sesuai untuk kembali periksa dan
adanya keterbatasan waktu konseling dari pelayanan kesehatan.

BAB 6
PEMBAHASAN

Secara umum dari keseluruhan 9 pasien (100%) yang diwawancarai memiliki


tekanan darah 140/90 pada saat kontrol. Hal ini sesuai dengan literature yang
menjelaskan bahwa tidak patuh minum obat merupakan salah satu faktor tidak
berhasilnya pengobatan (Aina, et al., 2014).
Berdasarkan penelitian ditemukan 4 faktor yang menjadi penyebab pasien
hipertensi yang sedang rawat jalan tidak patuh minum obat antihipertensi di
Puskesmas Sempaja. Berikut adalah pembahasan mengenai masing-masing faktor
yang ditemukan.

6.1 Faktor Pasien


Pada penelitian ini faktor pasien adalah yang paling berpengaruh menjadi
penyebab tidak patuh minum obat. Faktor dari pasien mencakup kurangnya
pengetahuan, pasien maerasa sehat, persepsi negatif pasien mengenai pelayanan
kesehatan yang diterima, dan sikap pasien terhadap pengobatan (Aina, et al.,
2014;Khatib, et al., 2014; Tsiantou, et al., 2014; WHO, 2014). Dalam penelitian ini,
ditemukan bahwa pengetahuan pasien mengenai pengobatan hipertensi masih kurang.
Pengetahuan yang kurang ini ditemukan pada semua partisipan. Seperti pada pasien
Aw yang menilai bahwa pengobatannya sudah benar dengan hanya meminum obat
antihipertensi hanya pada saat muncul gejala. Selain itu juga pengetahuan pasien N
yang menilai efek samping obat antihipertensi berbahaya dan menyebabkan
ketergantungan sehingga penggunaannya perlu dibatasi. Pasien H yang menganggap
hipertensi dapat sembuh dan pengobatan hipertensi tidak menjamin kesembuhan.
Hal ini sejalan dengan penelitian kualitatif yang dilakukan di Nigeria dimana
pasien meyakini hipertensi dapat disembuhkan dan tidak memerlukan pengobatan
rutin (Aina, et al., 2014). Penelitian lain yang dilakukan Khatib et al (2014) juga
menunjukkan bahwa banyak pasien yang tidak minum obat lagi setelah merasa sehat,
dan adanya sikap penolakan terhadap diagnosis yang diterimanya sehingga tidak
patuh minum obat. Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada pasien Ju yang merasa
takut akan penyakit dan komplikasinya sehingga tidak kembali ke pelayanan
kesehatan.
Penelitian Khatib et al (2014) juga menyebutkan kurangnya motivasi pasien
dalam berobat sehingga mereka menjadi tidak patuh minum obat. Hal ini sejalan
dengan pasien E yang mengaku terkadang malas menjalani pengobatan
antihipertensinya. Rasa malas ini merupakan motivasi yang kurang, dapat disebakan
dari pasien sendiri ataupun pelayanan kesehatan yang ada.
Pasien H yang tidak menceritakan masalah pengobatan hipertensinya dan
memilih menghentikan pengobatan tanap memberitahu petugas kesehatan. Pasien ini
mengaku tetap berkunjung ke puskesmas namun tidak melanjutkan pengobatannya.
Kondisi ini menunjukkan masalah pasien yang tidak terbuka dengan petugas
pelayanan kesehatan. Hal ini mempengaruhi hubungan komunikasi antara pasien
dengan klinisi. Dimana pada penelitian Tsianto, et al. (2014) menyebutkan bahwa
komunikasi yang baik nantinya akan meningkatkan kepatuhan pasien sendiri.
Pasien Aw dan E yang menganggap pengobatan yang didapatkan dari
Puskesmas kurang manjur sehingga lebih mempercayai pengobatan dengan obat yang
mahal ataupun obat dari rumah sakit. Hal ini juga tergambarkan didalam penelitian
Tsianto, et al. (2014) yang menjelaskan bahwa persepsi negative dari pasien
mengenai obat yang diminumnya pada akhirnya membuat pasien tidak mau minum
obat.
Efek samping obat antihipertensi yang dirasakan oleh pasien dapat membuat
pasien menghentikan pengobatan tanpa memberitahu dokter. Faktor ini ditemukan
dalam penelitian ini. Terdapat partisipan yang menghentikan pengobatan akibat efek
samping yang dirasakan serta akibat ketakutan mengalami efek samping dan
ketergantungan. Penelitian Wogen (2003) menunjukkan bahwa banyak pasien
menghentikan pengobatan Lisinopril dan Amlodipine dalam 12 bulan awal
pengobatan dibandingkan dengan Valsartan. Hal tersebut dikarenakan efek samping
Valsartan lebih jarang terjadi. Penelitian tersebut menunjukkan sebesar 34% pasien
mengalami efek samping yang tidak dapat diterima, dan 42% dilakukan penggentian
jenis obat antihipertensi.Penggunaan amlodipine sering menyebabkan edema perifer
sebagai efek samping dari penggunaanya khususnya pada dosis yang lebih tinggi
(Barros, et al. 2008; Erdine, 2010). Selain edema perifer, juga dapat terjadi dizziness,
penglihatan kabur, sefalgia, palpitasi, fatigue, nyeri dada, sesak, pyrosis, konstipasi,
disfungsi seksual (Barros, et al. 2008). Efek samping lebih sering muncul pada
penggunaan obat amlodipin dengan dosis dua kali lebih besar (Erdine, 2010). Hal ini
terjadi pada salah satu pasien yang mengalami tinittus dan nyeri ulu hati setelah
mengkonsumsi amlodipine dengan dosis 2 x 10 mg. Setelah dilakukan penelusuran
lebih lanjut melalui data rekam medik didapatkan bahwa resep yang sebenarnya
diberikan oleh dokter adalah 1 x 10 mg.
Pengetahuan menjadi salah satu faktor pasien tidak patuh minum obat.
Meningkatkan pengetahuan pasien mengenai pentingnya minum obat dengan edukasi
kelompok dan konseling individu yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan
dapat menjadi salah satu pemecahan masalah ini. Edukasi ini selayaknya dilakukan
oleh orang yang dikenal masyarakat, dipercaya, mampu mendalami kebiasaan
setempat, dan mampu menggunakan bahasa setempat agar efektif.
Selain itu juga dapat dilakukan kerja sama dengan pihak asuransi kesehatan
sebagai penyedia logistik. Hal ini mungkin dapat dilakukan dengan optimalisasi salah
satu program kesehatan di Puskesmas, yaitu Prolanis. Prolanis adalah suatu sistem
pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secaraterintegrasi
yang melibatkan Peserta, FasilitasKesehatan dan BPJS Kesehatan dalam rangka
pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien. Program ini terdiri dari pembentukan klub beranggotakan pasien
penyakit kronis, konsultasi medis, edukasi, pengingat via sms, serta kunjungan
rumah.Program yang sudah ada di Puskesmas Sempaja ini perlu dioptimalisasikan.

6.2 Faktor obat


Obat hipertensi yang tersedia di Puskesmas Semapaja sebanyak 5 jenis obat,
yaitu :
1. Amlodipin 5 mg
2. Amlodipin 10 mg
3. Furosemide 40 mg
4. Nicardipine 30 mg
5. Kaptopril 25 mg
Pasien akan mendapatkan obat selama 10 hari dan kemudian kembali kontrol
untuk mengecek tekanan darahnya dan mengambil obat. Dari wawancara yang
dilakukan didapatkan bahwa terdapat beberapa pasien yang tidak minum obat adalah
penggunaan obat tradisonal. Seperti pasien N yang memang mengurangi minum obat
anti hipertensi dikarenakan latar belakang pengetahuan yang kurang. Namun selain
itu faktor penggunaan obat tradisional ini juga mempengaruhi sehingga akhirnya
pasien yang kurang pengetahuan menggunakan obat tradisional, merasa nyaman, lalu
menghentikan pengobatan. Hal ini serupa dengan penelitian di Nigeria, dimana
terdapat 5 pasien yang menggunakan obat tradisional bersamaan dengan pengobatan
dan 2 pasien yang menghentikan pengobatan dan hanya menggunakan obat
tradisional. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria. Diketahui
bahwa pasien memilih meninum air dari daun yang rasanya pahit untuk mengobati
penyakitnya selain meminum obat antihipertensinya (Aina, et al., 2014).
Penggunaan obat tradisional untuk menurunkan tekanan darah memang
dikenal luas. Banyak penelitian mengenai efek ekstrak buah dan sayuran yang
dilakukan. Seperti Apium graveolens atau yang dikenal dengan nama lokal seledri.
Tanaman tersebut merupakan tanaman yang digunakan dalam pengobatan hipertensi
ringan. Apigenin dalam seledri berefek hipotensif melalui vasodilator perifer
(Tabassum & Ahmad, 2011).
Penelitian di Jawa-Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat masih sangat
percaya terhadap pengobatan tradisional dan herbal untuk mengobati hipertensi.
Timun dan belimbing dipercayai dapat menurunkan tekanan darah (Basuki, et al.,
2004). Penelitian lain di Pakistan juga mendapatkan bahwa sebagian masyarakat
masih sangat percaya terhadap pengobatan tradisional (Saleem, et al., 2012).
Puskesmas Sempaja sudah memiliki beberapa daftar tanaman yang dapat
digunakan untuk pengobatan tradisional. Salah satu program pengembangan yang
telah dijalankan adalah upaya kesehatan tradisional dan komplementer yang berkaitan
dengan pemanfaatan TOGA (Tanaman Obat Keluarga) (Depkes RI, 2014). Untuk
mencapai tujuan pengobatan hipertensi, dapat dilakukan integrasi penggunaan obat
tradisional dan obat antihipertensi secara Evidence Based Medicine (EBM).
Diperlukan edukasi mengenai penggunaan obat tradisional yang tepat dan kedudukan
obat antiihipertensi yang tidak dapat serta merta digantikan oleh obat tradisional
(Zhang, et al., 2011). Edukasi dan penyediaan contoh-contoh obat tradisional yang
telah terbukti secara EBM kepada masyarakat dapat membantu masyarakat untuk
lebih kritis dalam menyikapi asumsi dari lingkungan sekitar.
Faktor obat lainnya seperti efek samping obat kaptopril yang menyebabkan
batuk, regimen pengobatan yang kompleks, ketersediaan obat yang ditemukan pada
penelitian lainnya tidak ditemukan dalam wawancara (Aina, et al., 2014;Khatib, et
al., 2014; Tsiantou, et al., 2014; WHO, 2014). Tidak ada pasien yang mengeluhkan
efek samping akibat pengobatan yang dijalaninya. Regimen yang diterima pasien
dalam penelitian dinilai tidak cukup kompleks untuk menyebabkan pasien tidak patuh
minum obat.

6.3 Faktor Lingkungan


Model segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa lingkungan merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit (Timmreck, 2004). .Lingkungan
disekitar pasien turut mempengaruhi pasien untuk patuh minum obat. Lingkungan
yang dibahas dalam penelitian ini mencakup keluarga dan lingkungan sekitar atau
tetangga.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa keluarga dan tetangga memberikan
pengaruh negatif sehingga pasien tidak patuh minum obat. Seperti yang ditemukan
pada pasien H yang mendapat saran untuk pengobatan lain dari saudaranya. Dan
pasien E yang mendapatkan saran menghentikan pengobatan dengan mencoba
meminum air labu siam. Data dari penelitian ini sedikit berbeda dengan data dari
penelitian lain. Penelitian di Nigeria menyebutkan bahwa faktor keluarga yang
berperan ada adanya larangan dari anggota keluarga untuk berobat ke pelayanan
kesehatan yang ada (Aina, et al., 2014). Namun dalam penelitian ini tidak ditemukan
adanya faktor larangan dari keluarga. Beberapa keluarga pasien justru memberikan
dukungan pasien untuk ke Puskesmas.
Faktor lain berupa lingkungan kerja. Dimana faktor ini terdapat pada pasien
Sh dan H yang mengaku terganggu untuk minum obat tekanan darah dan berobat ke
puskesmas karena jam kerja yang padat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Lee, et al. di China. Pasien yang memiliki pekerjaan mengalami efek
negatif terhadap kepatuhan minum obat antihipertensi dibandingkan dengan pasien
yang tidak bekerja.
Pentingnya edukasi selain kepada pasien juga kepada keluarga dan
masyarakat. Hal ini karenakan keluarg mempunyai peran penting dalam memotivasi
pasien (Shima, et al., 2014). Hal ini sudah dilakukan oleh Puskesmas Sempaja.
Namun terkendala dengan adanya beberapa pasien yang datang tanpa ditemani
keluarga. Sehingga perlu dioptimalisasikan lagi dengan dukungan dari seluruh pihak
termasuk dari keluarga, masyarakat dan tokoh masyarakat (WHO, 2003; Tsianto, et
al., 2010; Aina, et al., 2014; Shima, et al., 2014)

6.4 Faktor Pelayanan Kesehatan


Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tidak patuhnya pasien minum obat tekanan darah dalam penelitian ini.
Seperti yang terjadi pada pasien S yang mengalami kendala berobat ke Puskesmas
dikarenakan tidak ada alat transportasi dari rumah pasien dan pasien hanya tergantung
pada jam kerja anaknya. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria.
Pasien mengeluhkan jarak yang jauh, biaya yang cukup besar untuk membayar alat
transportasi (Aina, et al.,2014). Meskipun secara ekonomi pasien S tidak
mempermasalahkan masalah ekonomi. Namun dikarenakan tidak adanya alat
transportasi sehingga pasien terpaksa menunda waktu berobat.
Kualitas pelayanan yang diterima juga mempengaruhi kepatuhan minum obat
pasien. Seperti yang ditemukan pada pasien Az dan E yang mengaku tidak mau
berobat lagi dikarenakan adanya pengalaman buruk dengan tenaga medis maupun
tenaga administrative di tempat pelayanan kesehatan. Hal ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan Tsianto, et al.(2014) yang menyebutkan hubungan dokter-
pasien yang baik dapat membentuk tingkat kepatuhan yang tinggi. Hubungan yang
baik ini digambarkan bagaiman dokter mampu memberi penjelasan yang memuaskan
untuk pasien dan menciptakan lingkungan komunikasi yang nyaman (Tsianto, et al.,
2014).
Komunikasi yang baik antara petugas-kesehatan juga mencakup bagaimana
pemberian edukasi kepada pasien. Edukasi yang tepat mengenai cara minum obat dan
pentingnya pengobatan akan meningkatkan kesadaran pasien untuk patuh minum obat
(Aina, et al., 2014; WHO, 2014). Seperti pada pasien Ji dan Sh yang mengaku tidak
tahu dan belum pernah mendapatkna informasi mengenai pengobatan hipertensi yang
berkelanjutan dan pentingnya kontrol.
BAB 7
KESIMPULAN

7.1 Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat 4 faktor yang terjadi pasien hipertensi
yang sedang rawat jalan di Puskesmas Sempaja, yaitu faktor pasien, faktor obat,
faktor lingkungan, dan faktor pelayanan kesehatan.
Dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak untuk mengidentifikasi penyebab
secara sistematis, optimalisasi edukasi dan konseling, optimalisasi program prolanis,
edukasi penggunaan obat tradisional melalui upaya kesehatan tradisional
komplementer, follow-up per individu, serta mengajak kerjasama tokoh masyarakat
untuk ikut serta dalam penyelesaian permasalahan yang ada.

7.2 Saran
Penelitian ini dilakukan secara kualitatif hanya menggambarkan keadaan dari
partisipan saja. Diharapkan penelitian ini menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya
agar kualitas pengobatan pasien hipertensi menjadi semakin baik.
Penelitian ini dapat menjadi sebuah hipotesis untuk penelitain kuantitatif
selanjutnya. Beberapa hal yang baru ditemukan didalam penelitian ini dapat
diperjelas dengan menggunakan statistik sehingga kedepannya dapat menjadi saran
perbaikan bagi sistem pelayanan Puskesmas maupun pembelajaran di bidang
akademik.
Perbaikan komunikasi petugas kesehatan-pasien-keluarga-masyarakat sangat
diperlukan guna meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Aina, O.O, et al. (2014). Perceptions of inhibitors and facilitators for adhering to
hypertension treatment among insured patients in rural Nigeria: a qualitative
study. BMC Health Services Research, 14: 624.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (nd). Panduan Praktis Prolanis. Jakarta.
Bakri, S., Lawrence, G.S. (2008). Genetika Hipertensi. Dalam: Lubis, H.R., dkk., eds.
2008. Hipertensi dan Ginjal: Dalam Rangka Purna Bakti Prof. Dr. Harun
Rasyid Lubis, Sp.PD-KGH. Medan: USU Press, 19-31.
Banowitz, N. L. (2004). Antihypertensive Agents. In B. G. Katzung, Basic & Clinical
Pharmacology (pp. 160-163). Singapore: McGraw Hill.
Barros, V., Escobar, C., de la Figuera, M., Llisterri, J. l., Honorato, J., Segura, J., &
Calderon, A. (2008).Tolerability of high doses of lercanidipine versus high
doses of other dihydropyridines in daily clinical practice: the TOLERANNCE
study. Cardiovascular Drug Reviews, 26: 2-9.
Basuki, B., Siagian, M., Ilyas, E. I., Amri, Z. (2004). Combined traditional medicine
and pharmacological antihypertensive drugs in a rural community of West
Java, Indonesia. Medical Journal Indonesia, 13: 246-251.
Centers for Disease Control and Prevention. (2012). Vital Signs: Awareness and
Treatment of Uncontrolled Hypertension Among Adults - United States, 2003
-2010. Morbidity and Mortality Weekly Report, 61(35), 703-709.
Chobanian, A. V. (2009). Impact of Nonadherence to Antihypertensive Therapy.
American Heart Association.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan
No.75 Tahun 2014. Jakarta.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. (2013). Profil Kesehatan Provinsi
Kalimantan Timur Tahun 2013. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur:
Samarinda.
Erdine, S. (2010). Compliance with the Treatment of Hypertension: The Potential of
Combination Therapy. The Journal of Clinical Hypertension, 12(1), 40-46.
Filho, et al. (2012). Association between the 8-item Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS-8) and Blood Pressure Control. Arq Bras Cardiol.
Ganong, W. F. (2006). Cardiovascular Disorders: Vascular Disease. In MCPhee, S. J.,
& Ganong, W. F., Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical
Medicine (pp. 300-326). USA: McGraw-Hill.
Gray, H.H., Dawkins, K.D., Morgan, J.M., dan Simpson, I.A. (2005). Kardiologi :
Lecture Notes. ed 4. Jakarta : Penerbit Erlangga, 57-69.
JNC-7. (2003). The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. JAMA
289:2560-2571.
Khatib, R., Scwalm, J. D., Yusuf, S., Hayness, R. B., Mckee, M., Khan, M.,
Nieuwlaat. (2014). Patient and Healthcare Provider Barriers to Hypertension
Awareness, Treatment and Follow Up: A Systematic Review and Meta-
Analysis of Qualitative and Quantitative Studies. PLoS ONE 9 (1):e84238.
Lee, G. K. Y., Wang, H. H. X., Liu, K. Q. L., Cheung, Y., Morisky, D. E., & Wong,
M. C. S. (2013). Determinants of medication adherence to antihypertensive
Medications among a Chinese population using Morisky Medication
Adherence scale. PLoS One; 8(4): e62775.
Mendis, S., Puska, P., & Norrving, B. (2011). Global Atlas on cardiovascular disease
prevention and control. Geneva: World Health Organization.
Morisky, et al. (2008) Adherence treatment factors in hypertensive African American
women. Vascular Health Risk Management, 4(1): 157-166.
Page, Curtis, Sutter, Walker, & Hoffman. (2002). Integrated Pharmacology. (pp.395-
408). British: Mosby.
Rahajeng, E. & Tuminah, s. (2009) Prevalensi HIpertensi dan Determinannnya di
Indonesia. Diakses dari
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/download/700/69
9.
Ramon, R. C. (2013). Uncontrolled Hypertension and Associated Factors in
Hypertensive Patients at the Primary Healthcare Center Luis H.Moreno,
Panama: A Feasibility Study. Diakses dari
http://scholarcommons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi?
article=5851&context=etd
Saleem, F., Hassali, M., Shafie, A., Atif, M. (2012). Drug Attitude and Adherence: A
Qualitative Insight of Patients with Hypertension. Malaysia: University Sains
Malaysia. Journal Young Pharmacology, 4(2): 101-7.
Shima, R., Farizah, M. H., Majid, H. A. (2014). A qualitative study on hypertensive
care behavior in primary health care settings in Malaysia. Patient Preference
and Adherence, 8: 1597-1606.
Tabassum, N., & Ahmad, F. (2011). Role of natural herbs in the treatment of
hypertension. Pharmacognosy Reviews, 5(9), 30-40.
http://doi.org/10.4103/09737847.79097.
Timmreck, T. C. (2004). Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: EGC.
Tsiantou, V., Pantzou, P., Elpida, P., Koulierakis, G., and Kyriopoulos, J. (2010).
Factors Affecting Adherence to Antihypertensive Medication in Greece:
Results from a Qualitative Study. Patient preference and adherence, 4, 335-
343.
Wai, K. C., Elley, C. R., Nosa, V., Kennelly, J., Mabotuwaa, T., & Warren, J. (2010).
Perspectives on adherence to blood pressure-lowering medication among
Samoan Patients: qualitative interviews. Journal of Primary Health Care,
2(3), 217-224.
Wogen, J., Kreilick, C.A., Livornese, R. C., Yokoyama, K, & Frech, F. (2003). Patient
Adherence with Amlodipine, Lisinopril, or Valsartan Therapy in a Usual-Care
Setting. Journal of Managed Care Pharmacy, 9(5), 424-429.
Wood, K. M. A. (2009). Barriers to and Determinants od Medication Adherence in
Hypertension Management: Perspective of the Cohort Study of Medication
Adherence among Older Adults. Med Clin North American, 93(3): 753-769.
World Health Organization. (2003). Adherence to Long-Term Therapies: Evidence for
Action.
World Health Organization. (2013). A global brief o Hypertension. WHO press:
Switzerland, 9-19.
Yogiantoro, M. (2009). Hipertensi Esensial. In A. W. Sudoyo, B. Setiohadi, I. Alwi,
K. Simadribrata, & S. Siti, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1079-1085).
Jakarta: Internal Publishing.
Zhang, A. L., Xue, C. C., & Fong, H. S. (2011). Herbal Medicine: Biomolecular and
Clinical Aspects 2nd Edition.
Lampiran
Lembar Persetujuan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : .
Umur : .
Alamat : .

Dengan ini menyatakan bahwa :

Saya telah memahami penjelasan yang diberikan, sehingga dengan penuh kesadaran dan
tanpa paksaan dari siapapun, Saya Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan kondisi
:
a. Data yang diperoleh dari penelitian ini dijaga kerahasiaannya dan hanya dipergunakan
untuk kepentingan ilmiah.

b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk keluar atau tidak berpartisipasi
lagi dalam penelitian ini tanpa harus menyampaikan alasan apapun.

Samarinda,
.
Yang Membuat Pertanyaan
Persetujuan


KUESIONER PENELITIAN
PROFIL KEPATUHAN MINUM OBAT HIPERTENSI DI PUSKESMAS
SEMPAJA
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : L/P
Alamat :
Pekerjaan :
Pendidikan : Tidak Bersekolah/ SD/ SMP/ SMA/ D3/ S1
Suku :
Agama :
No.Hp :
TD :
Lama Hipertensi :
Lama berobat :

N PERTANYAAN Ya (0)/ Nila


O Tidak i
(1)
1. Apakah anda kadang lupa untuk meminum obat hipertensi anda ?
2. Dalam jangka waktu 2 minggu yang lalu, apakah ada hari-hari
dimana anda lupa minum obat ?
3. Apakah anda kadang-kadang menghentikan atau mengurangi dosis
obat hipertensi anda tanpa menginformasikan kepada dokter karena
anda tidak suka minum obat tersebut ?
4. Saat anda berpergian atau minggalkan rumah, apakah anda kadang
lupa untuk membawa obat hipertensi anda ?
5. Apakah kemarin anda meminum semua obat hipertensi yang
diberikan oleh dokter ?
6. Pada saat anda merasa sehat, apakah anda kadang-kadang berhenti
minum obat hipertensi anda sendiri ?
7. Apakah anda merasa tidak nyaman/ tertekan/ kesulitan dengan aturan
minum obat hipertensi yang mengikat ini ?
8. Seberapa sering anda lupa minum obat hipertensi anda ?
1 Tidak pernah
0 Hampir tidak pernah
0 Kadang-kadang
0 Sering
0 Selalu
TOTAL
Interpretasi hasil : <8 : Tidak Patuh
Skor 8 : Patuh
Pedoman In-depth Interview

1. Faktor Terkait Pasien


a. Apa perasaan bapak/ibu terkait dengan pengobatan selama ini ?
b. Apa yang menjadi halangan terbesar sehingga tidak teratur minum obat/kontrol ?
2. Faktor Terkait Obat
a. Apa yang bapak/ibu rasakan setelah mengkonsumsi obat ?
b. Apa bapak/ibu ada merasakan hal-hal yang tidak nyaman setelah minum obat ?
Jika Yam aka, tanyakan apa-apa saja hal tersebut.
c. Apa efek obat sesuai dengan harapan bapak/ibu ?
3. Faktor Terkait Lingkungan
a. Menurut bapak/ibu apakah keluarga sudah sangat mendukung kesembuhan bapak/ibu ?
Jika iya maka, tanyakan dalam bentuk apa. Jika tidak maka, tanyakan darimana pasien
tahu hal itu.
b. Jika ada tanda-tanda tidak mendukungnya keluarga apakah hal tersebut sering
mengganggu/mempengaruhi pasien secara emosional atau menjadi sumber stress ?
4. Faktor Terkait Hubungan Dengan Petugas Kesehatan
a. Bagaimana pelayanan puskesmas selama ini terhadap bapak/ibu ?
b. Bagaimana pelayanan dokter terhadap bapak/ibu ? apakah sudah puas ?
c. Apa yang bapak/ibu inginkan dari dokter bapak/ibu ?
d. Apakah saja yang yang diberitahu oelh dokter kepada bapak/ibu terkait pengobatan ?
5. Faktor Lain
a. Apakah ada faktor lain yang menurut bapak/ibu berkontribusi atau menyebabkan
pasien/diri anda tidak patuh terhadap pengobatan ?
6. Pertanyaan untuk tenga medis dan yang terkait
a. Apa kesulitan terbesar dalam memastikan pasien patuh terhadap pengobatan ?
b. Kira-kira apa penyebab pasien tidak patuh terhadap pengobatan ?
c. Apa yang anda sampaikan terkait pengobatan kepada pasien ?

Anda mungkin juga menyukai