Anda di halaman 1dari 16

SEJARAH LAHIRNYA HUKUM LAUT INTERNASIONAL

Dalam perkembangannya sekarang ini para ahli hukum menyadari


pentingnya hukum laut bagi kehidupan bangsa Indonesia. Kiranya tidak
berlebihan apabila dikatakan bahwa dibandingkan dengan bidang-bidang hukum
lainnya, perkembangan hukum laut (publik) jauh lebih pesat.

Walaupun demikian hukum laut internasional baru yang sedang dalam


proses pembentukannya dewasa ini tidak dapat sama sekali dilepaskan daripada
hukum laut internasional yang dasar-dasarnya diletakkan dalam abad XVI di
Eropa Barat. Hal ini disebabkan karena bagaimanapun juga perkembangan-
perkembangan yang kini sedang terjadi dalam bidang hukum laut internasional
publik tidak bisa sama sekali dipisahkan dari apa yang ada dan terjadi
sebelumnya.

Perkembangan yang kini sedang terjadi di bidang hukum internasional


merupakan lanjutan daripada suatu proses perubahan yang telah dimulai sejak
akhir perang dunia ke-II.

Ada tiga sebab yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam hukum


laut tradisional yang mengatur tata hukum laut internasional dewasa itu yang
dasar-dasarnya diletakkan oleh Hugo Grotius dan ahli-ahli hukum masa dulu. [1]
Pertama, makin tambah bergantungnya penduduk dunia yang makin bertambah
jumlahnya pada laut dan samudera sebagai sumber kekayaan alam baik ayati
maupun mineral termasuk minyak dan gas bumi. Kedua, kemajuan teknologi yang
memungkinkan penggalian sumber kekayaan alam di laut yang tadinya tidak
terjangkau manusia. Ketiga,perubahan peta bumi politik sebagai akibat bangunnya
bangsa-bangsa merdeka yang menginginkan perubahan dalam tata hukum laut
internasional yang dianggapnya terlalu menguntungkan negara-negara maritim
maju.

Gerakan-gerakan ini yang melahirkan konsepsi-konsepsi hukum laut


baru seperti continental shelfdan fisheries zone (jalur perikanan) mengakibatkan
diadakannya Konperensi-konperensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958 yang
berhasil merumuskan perkembangan-perkembangan baru dalam perpaduan
dengan hukum laut tradisionil, sehingga terbentuklah Hukum Laut Internasional
Modern (Modern International Law of the Sea) sebagaimana tercantum dalam
Konvensi-konvensi Hukum Laut Jenewa tahun 1958.

Kemudian ternyata bahwa Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1958 yang


berhasil mengkodifikasikan sebagian daripada perkembangan di atas tidak dapat
membendung semua perkembangan yang terus berlangsung, baik yang merupakan
gerakan horizontal yakni laut yang berwujud dalam klaim-kalim atas zona 200
mil maupun gerakan-gerakan vertikal klaim-klaim atas daerah laut (termasuk
dasar laut dan tanah di bawahnya), yang makin lama makin dalam dan jauh kearah
samudera dalam.

Dengan perkataan lain hukum laut internasional modern (Modern


International Law Of The Sea) yang diciptakan oleh Konperensi Hukum Laut
Jenewa tahun 1958 sebagai pengganti hukum laut internasional tradisionil
(Traditional Law Of The Sea) yang dirumuskan oleh Konperensi Kodifikasi Den
Haag tahun 1930, dalam waktu kurang lebih 10 tahun sudah tidak lagi dapat
memenuhi kebutuhan bidang pengakuan hukum laut internasional yang terus
berkembang dengan cepatnya menuju suatu hukum laut internasional baru (A New
International Law Of The Sea) yang sekarang telah terbentuk dalam Konperensi
Hukum Laut III.

Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa untuk dapat memahami proses
pembentukan hukum internasional laut baru (A New International Law Of The
Sea) ini kita perlu terlebih dahulu mengetahui sejarah latar belakang hukum laut
internasional, baik hukum laut internasional Jenewa maupun hukum laut
internasional tradisionil.

1. ZAMAN ROMAWI
Pada masa kejayaan Imperium Roma seluruh Lautan Tengah
(Mediteranian) berada di bawah kekuasaannya. Sebagai suatu Imperium
(kekaisaran) yang menguasai seluruh tepi Lautan Tengah, persoalan penguasaan
laut tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak ada yang menentagg atau
menggugat kekuasaan mutlak Roma atau Lautan Tengah. Lautan Tengah pada
masa itu tidaklah lain daripada suatu danau dalam wilayah kekaisaran Roma.
Keadaan akan berlainan sekiranya pada waktu itu ada kerajaan-kerajaan lain di
sekitar Lautan Tengah yang dapat mengimbangi kekuasaan Roma. Tujuan
daripada penguasaan Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskannya dari
bahaya ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di laut.
Hal ini yang sangat penting bagi berkembangnya perdagangan dan kesejahteraan
hidup orang-orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma
ini.

Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai Tepi Lautan Tengah dan


karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak, dengan demikian
menimbulkan suatu keadaan dimana Lautan Tengah menjadi lautan yang bebas
daripada gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan
Lautan Tengah dengan aman dan sejahtera.

Pemikiran hukum yang melandasi sikap demikian daripada bangsa


Romawi terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu res communis
omnium yang berarti bahwa laut merupakan hak bersama seluruh ummat.
Menurut konsepsi ini penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Azas
res communis ommnium dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk
menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut
bebas dari gangguan perampok (bajak laut), dengan bertambahnya penggunaan-
penggunaan laut (uses of the sea) lain di samping pelayaran, seperti perikanan,
menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan.
Kebebasan laut di dalam arti demikian yakni kebebasan dari ancaman
atau bahaya bajak laut dalam menggunakan atau memanfaatkan laut dengan
demikian tidak bertentangan dengan penguasaan laut secara mutlak oleh
Imperium Roma. Dalam kerangka pikir ini Roma melihat dirinya sebagai pihak
yang menjamin kepentingan umum dalam laut dan penggunaannya sehingga tidak
ada pertentangan antara kekuasaan atas laut dan kebebasan dalam penggunaannya.
Ajaran res comunis omnium ini dalam dirinya mengandung benih-benih daripada
doktrin kebebasan laut yang akan berkembang kemudian.

Untuk dapat memahami perkembangan ini terlebih dahulu perlu


dijelaskan adanya pemikiran lain tentang laut yang menganggapnya sebagai suatu
res nullius[2]. Menurut pandangan ini laut dapat dimiliki apabila yang berhasrat
memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya, suatu paham yang
didasarkan atas konsepsi occupatio dalam hukum perdata Romawi.[3]

Keadaan yang dilukiskan di atas berakhir dengan runtuhnya Imperium


Roma dan munculnya pelbagai kerajaan dan negara di sekitar Lautan Tengah yang
masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas daripada
yang lainnya. Dengan berakhirnya penguasaan mutlak Laut Tengah oleh suatu
negara timbul persoalan siapakah yang memiliki atau menguasai lautan diantara
sekian negara dan kerajaan yang saling bersaing itu?
Mengingat kenyataan bahwa pemikiran tentang hukum dikuasai oleh
konsepsi-konsepsi dan azas-azas yang ditinggalkan oleh bangsa Romawi, maka
konsepsi-konsepsi tentang hubungan antara negara di tepi dan laut dituangkan
dalam konsepsi-konsepsi atau azas-azas hukum Romawi hidup terus walaupun
Imperium Roma sendiri telah hancur lenyap.
2 MASA ABAD PERTENGAHAN
Negara-negara yang muncul setelah runtuhnya Imperium Roma disekitar
tepi Laut Tengah masing-masing menuntut bagian dari laut yang berbatasan
dengan pantainya berdasarkan alasan bermacam-macam.
Kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara-negara tersebut dengan laut
yang berbatasan dengan pantainya dilaksanakan dengan tujuan yang bermacam-
macam yang di zaman sekarang barangkali dapat disebut kepentingan : (1)
karantina (perlindungan kesehatan), terutama terhadap bahaya penyakit pes (black
plague); (2) bea cukai (pencegahan penyelundupan); (3) pertahanan dan netralitas.
Sering terjadinya peperangan antara negara-negara pada masa itu menyebabkan
perlunya negara yang tidak ingin terlibat dalam pertikaian antara tetangga-
tetangganya untuk menentukan suatu derah bebas dari tindakan permusuhan.
Daerah netralitas ini biasanya ditentukan besarnya tergantung dari kemampuan
negara pantai untuk menguasainya dengan senjata dari darat. Penguasaan laut
dengan meriam dari benteng-benteng di darat inilah yang merupakan asal mula
dari pada teori tembakan meriam yang akan dikembangkan kemudian.

Adanya klaim-klaim dari negara-negara pantai untuk keperluan-


keperluan yang secara singkat diuraikan di atas menimbulkan suatu keadaan
dimana laut tidak lagi merupakan suatu daerah milik bersama. Tindakan-tindakan
sepihak negara-negara pantai Laut Tengah untuk menyatakan bagian dari laut
yang berbatasan dengan pantainya ini secara eksklusif menjadi haknya paling
sedikit untuk mengaturnya, menimbulkan kebutuhan untuk mencari kejelasan
serta batas-batasnya dalam hukum.

Kebutuhan untuk menyusun suatu teori hukum tentang status antar


negara daripada laut menyebabkan ahli-ahli hukum Romawi yang lazim disebut
Post-Glossator atau komentator mencari penyelesaian hukum didasarkan atas
azas-azas dan konsepsi-konsepsi hukum Romawi. Kebutuhan untuk memberikan
dasar teoritis bagi klaim kedaulatan atas laut oleh negara-negara ini antara lain
menimbulkan beberapa teori, diantaranya yang paling terkenal adalah yang
dikemukakan oleh Bartolus dan Baldus, dua ahli hukum terkemuka di abad
pertengahan. Bartolus meletakkan dasar bagi pembagian dua daripada laut yakni
bagian laut yang berada di bawah kekuasaan kedaulatan negara pantai dan di luar
itu berupa bagian laut yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapapun. Teori
ini kelak akan merupakan dasar bagi pembagian dua daripada laut yang klasik
dalam laut teritorial (laut wilayah) dan laut lepas. Konsepsi Baldus agak berlainan
dan sebenarnya lebih maju. Ia membedakan tiga konsepsi bertalian dengan
penguasaan atas laut yakni: (1) pemilikan daripada laut, (2) pemakaian daripada
laut dan (3) yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk melakukan perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan di laut.

Apabila kita analisis tindakan-tindakan sepihak negara-negara di abad


pertengahan ini maka tindakan-tindakan yang bertalian dengan laut yang
dilakukan itu dapat dikembalikan atau digolongkan dalam tindakan-tindakan
penggunaan laut sebagai berikut: (1) tindakan yang dilakukan untuk melindungi
laut sebagai sumber kekayaan, terutama perikanan; (2) tindakan yang
menganggap laut sebagai jalur proteksi, baik ia yang bertujuan melindungi
kepentingan keamanan dan pertahanan, bea cukai, kesehatan dan lain-lain; (3)
tindakan yang bertujuan melindungi laut sebagai sarana komunikasi.[4]

Di dalam masa pembentukan hukum laut internasional ini dengan


demikian terjadi perjuangan untuk menguasai lautan yang berdasarkan berbagai
alasan dan kepentingan yang berlainan.

Pada waktu yang bersamaan terjadi pula adu pendapat di antara penulis-
penulis atau ahli hukum yang masing-masing mengemukakan alasan atau
argumentasi untuk membenarkan tindakan (sepihak) yang diambil oleh
pemerintah atau negaranya.

Kehebatan adu pendapat antara ahli-ahli hukum yang masing-masing


mempertahankan laut bebas dan laut yang dikuasai oleh negara pantai ini
bertambah meningkat dengan meningkatnya kemampuan manusia untuk
mengarungi lautan dan mengambil kekayaan dari laut dengan bertambahnya besar
kapal-kapal yang digunakan. Dengan demikian sejak permulaan sejarah hukum
laut internasional di samping faktor-faktor politik berlaku pula faktor-faktor
ekonomi dan teknologi dalam menentukan sikap dan kebijaksanaan negara-negara
terhadap laut.
DOKTRIN LAUT TERTUTUP (MARE CLAUSUM) DAN LAUT BEBAS
(MARE LIBERUM)
Azas kebebasan laut (freedom of the seas) pertama kali dikemukakan
oleh Hugo Grotius dalam bukunya Mare Liberium yang terbit di tahun 1609.
Buku ini yang beranak judul (subtitle) On The Right Of The Dutch To Sail To The
East Indies (tentang hak orang Belanda untuk berlayar ke Hindia Timur) ditulis
oleh Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda atau orang lain selain orang
Portugis dan Spanyol untuk mengarungi lautan. Dalam tahun yang sama (1609)
Raja James II dari Inggris telah mengeluarkan larangan bagi nelayan Belanda
untuk menangkap ikan di dekat Inggris.

Inilah sebabnya mengapa buku Grotius yang sebenarnya ditujukan pada


orang Portugis (dan Spanyol) yang telah menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran
oleh orang lain dan tidak terhadap pembatasan perikanan yang dilakukan oleh
Inggris, telah menimbulkan reaksi yang hebat dari penulis-penulis Inggris seperti
Welwood dan kemudian Selden sehingga menimbulkan apa yang dinamakan
Pertempuran Buku-Buku (Battle of the Books).

Berikut ini yang akan dikemukakan hanyalah sekedar argumentasi-


argumentasi pokok daripada Grotius di satu pihak dan lawan-lawannya terutama
Selden di lain pihak. Pengetahuan kita yang bertambah banyak tentang laut
sekarang dan kemajuan teknologi telah menjadikan alasan-alasan yang
dikemukakan dalam polemik besar ini tidak mengena (relevant) lagi, namun
cukup menarik untuk kita ketahui adu pendapat tentang laut bebas (mare liberium)
dan laut tertutup (mare clausum) yang bagi zaman ini merupakan persoalan hidup
mati bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

Pikiran Grotius tentang kebebasan berlayar yang mula-mula


ditentangkan dalam buku Mare Liberium dikembangkannya kemudian dalam
buku De Iure Praedae dan akhirnya dalam De Iure Belli ac Paccis yang meliputi
tiga jilid. Alasan-alasan yang dikemukakan grotius dalam bukunya Mare
Liberium untuk menyangkal kebenaran politik Portugal (dan Spanyol) melarang
pihak lain berlayar ke Timur Jauh didasarkan atas pendirian bahwa laut terbuka
untuk siapapun juga karena tidak ada yang memilikinya.

Kenyataan bahwa pikiran-pikiran mengenai laut bebas dalam Mare


Liberium yang ditujukan terutama terhadap pihak Portugal dan Spanyol dalam
usaha memperjuangkan pelayaran bebas bagi pelayar-pelayar Belanda, diserang
dengan demikian sengit oleh penulis-penulis bangsa Inggris yang kemudian hari
bersamaan kepentingannya dengan Belanda, sebenarnya tidak terlalu
mengherankan apabila hubungan antara negeri Inggris dan Belanda pada waktu
itu diperhatikan.

Pada waktu itu perikanan merupakan persoalan yang penting baik bagi
negeri Belanda maupun Inggris yang diperintah oleh seorang Raja yang berasal
dari Skotlandia. Setelah memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1581,
negeri Belanda merubah undang-undang perikanannya sebagai pencermian dari
kebijaksanaan yang memandang perikanan sebagai persoalan nasional yang
penting. Inggris pun pada waktu itu menganggap soal perikanan, khususnya
perlindungan perikanan dimuka pantainya sebagai suatu persoalan nasional.
Pertentangan kepentingan ini memuncak dengan larangan bagi nelayan Belanda
untuk menangkap ikan di dekat pantai yang dikeluarkan oleh James I di tahun
1609 yang telah disebut di atas.

Selden sebaliknya menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk


mengatakan bahwa laut tidak dapat dimiliki dan bahwa Inggris secara nyata telah
memiliki (menguasai) daerah laut yang cukup luas. Menurut Selden argumentasi
yang menyatakan bahwa laut merupakan sumber kekayaan yang tak terhabiskan
(inexhaustible) sama sekali tak beralasan.

Apabila polemik di atas terutama Grotius dan Selden kita nilai dengan
pengetahuan tentang laut yang kita miliki sekarang dan teknologi yang tersedia
untuk penggunaan dan pengelolaannya, maka sebenarnya harus diakui keunggulan
Selden dalam polemik ini terutama dalam penguasaan preseden-preseden dan
fakta-fakta.

Keunggulan Grotius tidak terletak dalam argumentasinya, yang sering


menunjukkan kontradiksi atau ketidakjelasan, melainkan dalam kemampuannya
menangkap keinginan zamannya. Kebebasan laut yang diperjuangkannya memang
sesuai dengan kehendak masanya yang dengan ditemukannya negara-negara dan
benua-benua baru sedang berada di ambang pintu meluasnya perdagangan dan
pelayaran samudera.

Sanggahan-sanggahan Selden terhadap tulisan Grotius ini tidak pernah


dijawabnya sendiri, melainkan dilayani oleh seorang bernama Pontanus, seorang
Belanda yang bekerja dalam dinas diplomatik Denmark.

Yang menarik dalam sanggahannya terhadap tulisan Selden adalah


bahwa ia meninggalkan perbedaan yang diadakan oleh Grotius dalam tulisan-
tulisannya antara Imperium (kedaulatan) dan dominium (pemilikan) dalam usaha
untuk menerangkan status hukum daripada laut berdasarkan azas hukum Romawi.
Pontanus menganggap bahwa kedaulatan (souvereignty) mencakup dalamnya
wewenang untuk melarang pihak ketiga, sehingga wewenang untuk melarang
melakukan perikanan dan pelayaran tidak lagi dikaitkan dengan pemilikan
(dominium) atas laut. Dengan demikian dihindarkannya persoalan dapat atau
tidaknya laut itu dimiliki, suatu segi yang merupakan salah satu titik kelemahan
dalam argumentasi Grotius.

Pontanus seterusnya mengajukan suatu teori yang merupakan kompromi


antara mare clausum dan mare liberum dengan membagi laut dalam dua
bagian yakni laut yang berdekatan dengan pantai (adjacent sea) yang dapat jatuh
di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai, sedangkan di luar itu lautan
bersifat bebas. Dengan rumusan kompromi ini hilanglah dasar bagi polemik
antara pendukung dua pandangan-pandangan yang bertentangan tentang laut di
atas yang hingga waktu itu oleh masing-masing pihak diajukan secara mutlak.
Pontanus dengan demikian dapatlah dianggap sebagai pencipta yang sebenarnya
daripada konsepsi laut teritorial yang kita kenal dalam hukum laut sekarang.
Menurut dalil yang merupakan penyempurnaan daripada teori pembagian dua
Bartolus ini laut yang berdekatan dengan pantai itu dijadikan bagian dari wilayah
negara pantai lenyaplah perbedaan antara Imperium dan dominium yang
dibuat oleh Grotius.

Pembagian dua laut yang untuk pertama halnya dikemukakan oleh


Pontanus inilah yang merupakan dasar kompromi bagi penulis-penulis kemudian
yang menyempurnakannya dengan mengemukakan pelbagai teori untuk
menetapkan ukuran lebar laut teritorial yang pasti.

Kurang lebih seratus tahun setelah terbitnya Mare Liberum seorang


ahli hukum terkemuka bangsa Belanda. Lainnya Cornellis van Bynkershoek
menulis sebuah buku berjudul De Dominio Maris Dissertatio. Dalam tulisan ini
ia menolak dalil John Selden, yang mengklain bagian-bagian laut yang luas bagi
negara pantai, dengan menyarankan suatu jalur yang berbeda di bawah kedaulatan
negara pantai dengan suatu ukuran lebar yang tidak terlalu lebar. Untuk ini ia
mengemukakan suatu rumusan dalil, sebagai penjelmaan dari azas penguasaan
laut dari darat, berupa suatu kaedah tembakan meriam yang berbunyi: Terrae
protestas finitur ubi finitur armorum vis (kedaulatan teritorial berakhir dimana
kekuatan senjata berakhir). Menurut dalil ini jalur laut teritorial menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari wilayah (teritori) daratan dan perbedaan antara
pemilikan dan kedaulatan dengan demikian lenyap sama sekali. Dengan demikian
sempurnalah pembagian dua laut yang dipelopori oleh Pontanus dan selesailah
Perang Buku antara doktrin mare liberum dan mare clausum.
4. SENGKETA PERIKANAN ANTARA INGGRIS DAN NORWEGIA.
(KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL TAHUN 1951).
Kejadian lain yang penting yang mempunyai pengaruh besar atas
perkembangan hukum laut masa kini adalah sengketa Perikanan antara Inggris
dan Norwegia yang diselesaikan dimuka Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) di tahun 1951 yang dikenal dalam kepustakaan hukum
internasional dengan Anglo-Norwegian Fisheries Case.

Perkara antara Inggris dan Norwegia mengenai batas perikanan


Norwegia ini timbul karena Inggris menggugat sah-nya penetapan batas perikanan
ekslusif yang ditetapkan oleh Norwegia dalam Firman Raja (Royal Decree) tahun
1935 menurut hukum internasional. Yang digugat oleh Inggris bukan lebar jalur
laut wilayah Norwegia sebesar 4 mil, akan tetapi cara pernarikan garis pangkal
lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada pantai Norwegia. Dalam cara
perikanan garis pangkal lurus yang dilakukan Norwegia ini deretan pulau dimuka
pantai (skjaergaard) dianggap sebagai bagian dari pantai Norwegia.
Sebenarnya sengketa antara Inggris di satu pihak dan Norwegia dan
Denmark yang dahulu merupakan satu kerajaan di pihak lain sudah ada sejak
permulaan adad ke-17. Nelayan Inggris di antara tahun 1661 hingga tahun 1906
tidak menangkap ikan di perairan pantai Norwegia setelah Raja Norwegia dan
Denmark mengajukan keberatan-keberatannya terhadap kegiatan tersebut kepada
Raja Inggris. Sejak tahun 1908 Pemerintah Norwegia mulai mengambil tindakan
tegas dengan menyatakan daerah-daerah tertentu terlarang bagi nelayan asing dan
di tahun 1911 sebuah kapal pukat harimau (trawl) ditahan dan disita karena
melanggar daerah larangan yang telah ditetapkan. Di tahun 1933 Kerajaan Inggris
mengajukan protes dan mengatakan bahwa di dalam menetapkan batas-batas
daerah terlarang untuk nelayan asing itu Norwegia telah menggunakan garis
pangkal yang tidak dapat dibenarkan menurut hukum internasional.

Di bulan Juli tahun 1935 Norwegia dengan menggunakan Firman Raja


(Royal Decree) menetapkan batas-batas perairan perikanan Norwegia yang
tertutup bagi nelayan asing. Firman Raja ini yang menunjuk pada Firman-Firman
Raja yang serupa yang dikeluarkan di tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889 di dalam
pertimbangannya (preamble) mengemukakan atau menyebutkan hak-hak nasional
yang telah lama dalam sejarah, keadaan geografis khusus dari pada pantai
Norwegia dan tujuan melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan
vital daripada penduduk bagian Utara daripada Norwegia.

Inggris tidak menyangkal hak-hak Norwegia untuk memiliki lebar laut


teritorial 4 mil, namun menyatakan bahwa cara penarikan garis pangkal lurus
sebagaimana ditetapkan dalam Firman Raja tahun 1935 bertentangan dengan
ketentuan hukum internasional yang berlaku. Karena baik Inggris maupun
Norwegia telah membuat Deklarasi menerima yurisdiksi Mahkamah Internasional
di bawah optional clause maka Inggris mula mengadukan Kerajaan Norwegia
di hadapan Mahkamah Internasional dan minta pada Mahkamah untuk
mengatakan bahwa cara penetapan garis pangkal yang dilakukan oleh Pemerintah
Norwegia tidak sesuai dengan hukum dan azas-azas hukum internasional dan
untuk memutuskan Norwegia membayar ganti rugi bagi nelayan-nelayan Inggris
yang terkena tindakan oleh Pemerintah Norwegia. Untuk jelasnya dan agar supaya
dapat diikuti dalil-dalil pokok kedua belah pihak serta pertimbangan Mahkamah
dalam mengambil keputusan yang bersejarah ini, baik kiranya kita kutip disini
bagian-bagian yang terpenting daripada keputusan Mahkamah Internasional dalam
perkara Inggris melawan Norwegia yang diambil dalam tahun 1951 ini.

. . . . The Parties being in agreement on the figure of 4 miles for the


breadth of the teritorial sea, the problem which arises is from what base-line this
breadth is to be reckoned. According to the United Kingdom. . . . .the base-line
must the low-water mark on permanently dy land which is part of Norwegian
territory . . . The Parties agree as to this criterion, but . . . .differs as to its
application.
The Parties also agree that in the case of a low-tide elevation (drying
rock) the outer edge at low water of this low-tide elevation may be taken into
account as a base-point, for calculating the breadth of the teritorial sea. . . .
Dari kutipan di atas jelas bahwa kedua belah pihak dalam sengketa tidak
lagi mempersoalkan lebar laut 4 mil bagi Norwegia, demikian pula bahwa garis
pangkal (base-lines) bias ditarik dari tanah atau ketinggian yang minimal di
permukaan air laut pada waktu pasang surut (low tide elevations).

Pihak Inggris berpendirian bahwa garis pangkal harus ditarik menurut


garis pasang surut daripada tanah daratan (permanent dry land) yang merupakan
bagian dari wilayah Norwegia. Dalam pandangan Inggris skjaergaard yaitu
gugusan pulau-pulau yang terletak di hadapan pantai Norwegia, tidak merupakan
bagian dari daratan tetap Norwegia. Selain perbedaan pandangan di atas kedua
belah pihak berbeda pula dalam penerapan (applications) dari pada cara penarikan
garis pangkal yang ditarik menurut garis pasang surut.

Mahkamah menelaah tiga macam cara penarikan garis pangkal yang


didasarkan atas azaz pasang surut yakni:(1) cara trace parallele, di mana garis
batas luar mengikuti segala liku dari pada garis pasang surut; (2) cara arcs of
circles,di mana langsung ditetapkan batas luar tanpa adanya garis pangkal
terlebih dahulu dan (3) cara straight base-line(garis pangkal lurus), di mana
garis pangkal ditarik tidak tepat menurut garis pasang surut dengan segala likunya
melainkan ditarik garis-garis lurus yang menghubung titik-titik tertentu yang
berada pada garis pasang surut.

Dari tiga cara penarikan garis pangkal di atas, cara arcs of circles
dikesampingkan oleh Mahkamah sebagai tidak relevan, karena tidak pernah
merupakan cara penarikan garis pangkal yang diterima. Sebenarnay memang cara
ini tidak tepat untuk dikemukan sebagai cara penarikan garis pangkal karena
merupakan suatu cara penetapan garis luar laut teritorial tanpa (usah)
menggunakan garis pangkal terlebih dahulu.

Dinyatakan secara ringkas, pendirian Inggris mengenai persoalan-


persoalan yang dikemukan di hadapan Mahkamah Internasional di atas adalah
bahwa satu-satunya cara penetapan garis pangkal yang tepat dan merupakan
kaidah yang berlaku umum adalah cara penarikan garis pangkal yang menuruti
garis pasang surut. Artinya garis luar laut teritorial harus mengikuti segala liku-
liku garis pangkal yang dalam hal ini sama benar atau identikdengan garis
pasang surut.

Mengenai penarikan garis pangkal lurus (straight baselines) pihak


Inggris menganggapnya sebagai suatu pengecualian yang hanya dapat dibenarkan
dalam hal-hal tertentu dan dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Pihak Inggris
berpendapat bahwa Norwegia hanya dapat dibenarkan menarik garis pangkal lurus
di muka suatu teluk (bay), tapi tidak dari satu pulau ke pulau lain depan pantai
atau depan gugusan pulau (skjaergaar). Lagipula menurut pihak Inggris panjang
garis pangkal di muka suatu teluk demikian tidak boleh melebihi ukuran panjang
10 mil.

Pihak Inggris mengakui bahwa laut antara gugusan pulau dan daratan
Norway, di teluk-teluk atau anak laut yang dinamakan fyord atau sunds
merupakan laut teritorial atau laut dalam (internal waters) dari pada Norwegia.
Tetapi yang demikian itu hanya disebabkan adanya hak sejarah sehingga
merupakan suatu pengecualian. Pihak Inggris berpendapat bahwa panjangnya
garis pangkal lurus yang ditarik dari pulau ke pulau atau gugusan pulau di muka
pantai sekalipun bukan merupakan teluk bagaimanapun juga tidak boleh melebihi
ukuran panjang 10 mil.

Mahkamah Internasional dalam keputusannya menyatakan tidak


sependapat dengan pihak Inggris bahwa penarikan garis pangkal lurus oleh
Norwegia hanya dapat dibenarkan sebagai suatu pengecualian. Cara penarikan
garis pangkal lurus oleh Norwegian tidak lain dari pada suatu penerapan dari pada
(suatu kaidah) hukum internasional yang berlaku umum pada suatu keadaan
khusus.
Mahkamah juga menolak pendapat Inggris bahwa garis pangkal lurus
hanya dapat ditarik di muka suatu teluk. Apabila cara penarikan garis pangkal
lurus dapat dibenarkan sebagai salah satu cara penarikan garis pangkal, menurut
Mahkamah tidak ada alasan mengapa dari garis-garis lurus demikian tidak dapat
ditarik dari (antara) pulau-pulau kecil dan karang dan sjkaergaard yang terdapat
antara dua titik dari pada pantai daratan (inter fauces terarum).

Mahkamah juga tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa garis pangkal
(yang ditarik Norwegia) tidak boleh melebihi 10 mil. Walaupun ukuran 10 mil
memang dianut dalam praktek beberapa negara dalam perjanjian antara mereka
dan disebut pula dalam beberapa keputusan pewasitan (arbitral awards) ukuran
batas 10 mil tidak merupakan suatu kaidah hukum internasional yang berlaku.

Mahkamah mengatakan pendapat bahwa karenanya: . . . . .The


Norwegian Government in fixing the base-lines for delimitation of the Norwegian
fisheries zone by the 1936 Decree has not violated International Law

Setelah menuturkan sejarah penetapan garis-garis pangkal lurus dengan


Firman Raja tahun 1935 yang merupakan penetapan daripada sistem pengukuran
yang telah dianut oleh Norwegia secara tradisionil, tanpa adanya tantangan, protes
atau reservation dari Negara-negara lain termasuk Inggris sendiri, Mahkamah
Internasional dengan suara 10 banding 2 memutuskan dalam Firman Raja tahun
1935 tidak bertentangan dengan hukum internasional dan dengan 8 suara lawan 4
bahwa garis pangkal lurus (straights baselines) yang ditetapkan oleh Firman Raja
pada tahun 1935 pun tidak bertentangan dengan hukum internasional.
5. HAK LINTAS DAMAI (INNOCENT PASSAGE RIGHT)
Setelah uraian di atas mengenai pasal-pasal dalam konvensi tentang laut
teritorial dan zona tambahan yang erat hubungannya dengan masalah penetapan
lebar laut teritorial, sekarang akan dibahas ketentuan-ketentuan penting yang
berkenaan dengan lintas damai innocent passage bagi kapal-kapal asing, dimulai
dengan ketentuan-ketentuan umum yang berlaku bagi semua kapal.
Persoalan lintas damai ini pada hakikatnya merupakan perhitungan
kepentingan negara-negara pantai, yang menghendaki kekuasaan yang sepenuh-
penuhnya dalam laut teritorial mereka, dan kepentingan negara maritim yang
menghendaki keleluasaan berlayar yang sebesar-besarnya dalam laut teritorial
negara lain. Kepentingan tersebut kemudian tentu menghendaki dibatasinya
sejauh mungkin campur tangan negara pantai dalam lalu lintas damai kapal-kapal
asing dalam perairan teritorialnya. Kedua kepentingan yang berlainan ini
mendapat perumusan dalam Pasal 14-17 Konvensi Jenewa 1958 yang memuat
ketentuan umum hak-hak lintas damai kapal-kapal asing maupun kekuasaan
negara pantai untuk mengaturnya.

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan pengaturan yang lebih


lengkap tentang hak lintas damai. Konvensi baru ini memakai hak lintas damai
untuk kapal dari semua negara melalui laut teritorial suatu negara. Berikut ini
akan diuraikan perbandingan pengaturan tentang hak lintas damai dalam kedua
konvensi di atas.
DAPUS

[1] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Cetakan Keempat, BPHN,


CV. Trimitra Mandiri, Jakarta, 1999, Hlm. xii.
[2] Azas res nullius menganggap laut itu tidak ada yang memiliki. Menurut ajaran
ini, maka siapapun dapat menguasai laut, dapat pula memilikinya. Walaupun azas
atau doktrin ini dapat memberikan kepastian, namun karena didasarkan atas
penggunaan kekuatan fisik, azas ini tidak memberikan penyelesaian yang
langgeng dan menjadi sumber dari persengketaan.
[3] Ibid., Hlm. 4.
[4] Ibid., Hlm. 7.

Anda mungkin juga menyukai