Dari uraian di atas jelas kiranya bahwa untuk dapat memahami proses
pembentukan hukum internasional laut baru (A New International Law Of The
Sea) ini kita perlu terlebih dahulu mengetahui sejarah latar belakang hukum laut
internasional, baik hukum laut internasional Jenewa maupun hukum laut
internasional tradisionil.
1. ZAMAN ROMAWI
Pada masa kejayaan Imperium Roma seluruh Lautan Tengah
(Mediteranian) berada di bawah kekuasaannya. Sebagai suatu Imperium
(kekaisaran) yang menguasai seluruh tepi Lautan Tengah, persoalan penguasaan
laut tidak menimbulkan persoalan hukum, karena tidak ada yang menentagg atau
menggugat kekuasaan mutlak Roma atau Lautan Tengah. Lautan Tengah pada
masa itu tidaklah lain daripada suatu danau dalam wilayah kekaisaran Roma.
Keadaan akan berlainan sekiranya pada waktu itu ada kerajaan-kerajaan lain di
sekitar Lautan Tengah yang dapat mengimbangi kekuasaan Roma. Tujuan
daripada penguasaan Romawi atas laut ini adalah untuk membebaskannya dari
bahaya ancaman bajak-bajak laut yang mengganggu keamanan pelayaran di laut.
Hal ini yang sangat penting bagi berkembangnya perdagangan dan kesejahteraan
hidup orang-orang yang hidup di daerah yang berada di bawah kekuasaan Roma
ini.
Pada waktu yang bersamaan terjadi pula adu pendapat di antara penulis-
penulis atau ahli hukum yang masing-masing mengemukakan alasan atau
argumentasi untuk membenarkan tindakan (sepihak) yang diambil oleh
pemerintah atau negaranya.
Pada waktu itu perikanan merupakan persoalan yang penting baik bagi
negeri Belanda maupun Inggris yang diperintah oleh seorang Raja yang berasal
dari Skotlandia. Setelah memproklamasikan kemerdekaannya di tahun 1581,
negeri Belanda merubah undang-undang perikanannya sebagai pencermian dari
kebijaksanaan yang memandang perikanan sebagai persoalan nasional yang
penting. Inggris pun pada waktu itu menganggap soal perikanan, khususnya
perlindungan perikanan dimuka pantainya sebagai suatu persoalan nasional.
Pertentangan kepentingan ini memuncak dengan larangan bagi nelayan Belanda
untuk menangkap ikan di dekat pantai yang dikeluarkan oleh James I di tahun
1609 yang telah disebut di atas.
Apabila polemik di atas terutama Grotius dan Selden kita nilai dengan
pengetahuan tentang laut yang kita miliki sekarang dan teknologi yang tersedia
untuk penggunaan dan pengelolaannya, maka sebenarnya harus diakui keunggulan
Selden dalam polemik ini terutama dalam penguasaan preseden-preseden dan
fakta-fakta.
Dari tiga cara penarikan garis pangkal di atas, cara arcs of circles
dikesampingkan oleh Mahkamah sebagai tidak relevan, karena tidak pernah
merupakan cara penarikan garis pangkal yang diterima. Sebenarnay memang cara
ini tidak tepat untuk dikemukan sebagai cara penarikan garis pangkal karena
merupakan suatu cara penetapan garis luar laut teritorial tanpa (usah)
menggunakan garis pangkal terlebih dahulu.
Pihak Inggris mengakui bahwa laut antara gugusan pulau dan daratan
Norway, di teluk-teluk atau anak laut yang dinamakan fyord atau sunds
merupakan laut teritorial atau laut dalam (internal waters) dari pada Norwegia.
Tetapi yang demikian itu hanya disebabkan adanya hak sejarah sehingga
merupakan suatu pengecualian. Pihak Inggris berpendapat bahwa panjangnya
garis pangkal lurus yang ditarik dari pulau ke pulau atau gugusan pulau di muka
pantai sekalipun bukan merupakan teluk bagaimanapun juga tidak boleh melebihi
ukuran panjang 10 mil.
Mahkamah juga tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa garis pangkal
(yang ditarik Norwegia) tidak boleh melebihi 10 mil. Walaupun ukuran 10 mil
memang dianut dalam praktek beberapa negara dalam perjanjian antara mereka
dan disebut pula dalam beberapa keputusan pewasitan (arbitral awards) ukuran
batas 10 mil tidak merupakan suatu kaidah hukum internasional yang berlaku.