Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif, dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstraparu yang
berkontribusi terhadap derajatberat penyakit.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa pada tahun 1990
PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan
pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker (WHO, 2002). Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta US $ dalam
setahun untuk menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah penderita sebanyak 16 juta
orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular
oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004,
menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%),
diikuti asma (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (DepKes RI, 2004).
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,
jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalens
yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Berbagai
macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab
terjadinya polusi udara. Ukuran da macam partikel akan memberikan efek yang
berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Kayu, serbuk gergaji, batu bara, dan
minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi
polusi udara dalam ruangan.
Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa PPOK bukan sekedar
penyakit paru melainkan suatu penyakit sistemik yang melibatkan berbagai sistem
organ di antaranya sistem kardiovaskular.2 Selain itu, PPOK juga sudah diidentifikasi
meningkatkan risiko terjadinya berbagai kelainan kardiovaskular 2-3 kali lebih tinggi
tanpa dipengaruhi oleh faktor risiko lainnya seperti kebiasaan merokok yang telah
dianggap sebagai faktor risiko independen. Merokok bukan hanya menyebabkan
inflamasi paru tetapi juga inflamasi sistemik, perubahan vasomotor dan fungsi
endotel, peningkatan konsentrasi beberapa faktor pro-koagulan darah.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel / reversibel sebagian. Hambatan aliran udara ini bersifat
progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau
gas yang beracun / berbahaya.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena
bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologik. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan
aliran udara dalam saluran napas.
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1. Onset (awal terjadinya penyakit), biasanya pada usia pertengahan.
2. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat. Gejala klinis utama PPOK
adalah sesak napas, batuk, produksi sputum dan keterbatasan aktivitas.
3. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar
ruangan, dan tempat kerja).
4. Sesak pada saat melakukan aktivitas.
5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel (tidak bisa kembali normal).

B. Epidemiologi
PPOK merupakan masalah kesehatan umum dan menyerang sekitar 10%
penduduk usia 40 tahun ke atas. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO)
menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai
penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati
urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Merupakan penyebab
kematian yang keempat dan menjangkit lebih dari 16 juta orang di Amerika
Serikat. Angka kematian PPOK naik seiring dengan peningkatan usia, dan pada
tahun 1998, angka untuk pria dan wanita relatif seimbang, dengan total 112.584
orang meninggal.

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di
5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK

2
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
(33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%).

C. Faktor Risiko
Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan atau yang
mempengaruhi / menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok
tertentu. Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih
penting dari pada faktor penyebab lainnya. Termasuk diantaranya faktor-faktor
risiko lain, diantaranya : polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor),
polusi di luar ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), polusi
tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun), infeksi saluran napas bawah
berulang, defisiensi antitripsin alfa-1 (umumnya jarang terdapat di Indonesia).
1. Genetik
Faktor risiko genetik yang utama adalah defisiensi alfa-1 antitripsin
herediter yang berat, yaitu suatu serin protease inhibitor yang paling banyak di
sirkulasi. Kelainan genetik ini diturunkan secara resesif dan jarang terjadi,
paling sering ditemukan pada orang-orang Eropa Utara.

2. Pajanan Inhalasi

Gambar 2.1. Partikel Inhalasi Faktor Risiko PPOK


a. Asap rokok
Asap rokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah bungkus pertahun, dan
perokok aktif berhubungan dengan angka kematian. Tidak seluruh perokok
menjadi PPOK, hal ini mungkin berhubungan dengan faktor genetik.

3
Perokok pasif dan merokok selama hamil juga merupakan faktor risiko
PPOK.
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Index
Brigman, yaitu jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan
jumlah hari lamanya merokok (dalam tahun). Adapun hasil perkaliannya
diinterpretasikan sebagai berikut :
- Ringan : 0 - 200
- Sedang : 200 600
- Berat : > 600
Semakin berat derajatnya semakin tinggi terkena penyakit ini. Misalnya
bronkitis kronik 10 bungkus tahun artinya jika seseorang itu merokok sehari
sebungkus, dia menderita bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun
merokok. Kanker paru minimal 20 bungkus tahun artinya jika sehari
mengkonsumsi sebungkus rokok berarti setelah 20 tahun merokok ia bisa
terkena kanker paru.
Indonesia merupakan negara terbesar ke-7 di dunia yang
memproduksi tembakau. Dari segi konsumsi, Indonesia merupakan negara
ke-5 di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang dan Rusia, dengan
31,5% prevalensi merokok, 80% diantaranya mengkonsumsi rokok kretek,
dan lebih dari 60% berada di daerah pedesaan. Pada tahun 2002, jumlah
rokok yang dihisap penduduk Indonesia mencapai lebih 200 miliar batang.
Lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok
dan terpajan pada asap tembakau pasif atau asap tembakau lingkungan
(ARL). The Jakarta Global Youth Survey melaporkan bahwa 89% dari
anak-anak sekolah yang disurvei terpajan ARL di tempat-tempat umum.
Anak-anak yang terpapar pada asap tembakau mengalami pertumbuhan
paru yang lambat, lebih mudah terkena bronkitis dan infeksi saluran napas
dan telinga serta asma. Kesehatan yang buruk di usia dini mungkin akan
menyebabkan kesehatan yang buruk pula di saat dewasa.
Hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001,
menunjukkan bahwa :
- Sebanyak 54,5% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya
1,2% perempuan yang merokok.
- Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di
dalam rumah, ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan

4
demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok
pasif.
- Usia mulai merokok pada usia 20 tahun meningkat menjadi 68,5%,
dibandingkan hasil SUSENAS tahun 1995 sebanyak 60,0%.
- Peningkatan usia muda yang merokok, pada kelompok umur 20-24
tahun sebanyak 84,0%, sedangkan pada kelompok umur 25-29 tahun
sebanyak 75%.
Asap rokok yang dihisap ke dalam paru oleh perokoknya disebut
asap rokok utama (main stream smoke), sedangkan asap yang berasal dari
ujung rokok yang terbakar disebut asap rokok sampingan (side stream
smoke). Polusi udara yang ditimbulkan oleh asap rokok utama yang
dihembuskan lagi oleh perokok dan asap rokok sampingan disebut asap
rokok lingkungan (ARL) atau Environmental Tobacco Smoke (ETS).
Kandungan bahan kimia pada asap rokok sampingan ternyata lebih
tinggi dibanding asap rokok utama, antara lain karena tembakau terbakar
pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang tidak dihisap, membuat
pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan lebih banyak bahan
kimia. Oleh karena itu ARL berbahaya bagi kesehatan dan tidak ada kadar
pajanan minimal ARL yang aman. Terdapat sekitar 4.000 zat kimia
berbahaya keluar melalui asap rokok tersebut, antara lain terdiri dari aseton
(bahan cat), amonia (pembersih lantai), arsen (racun), butane (bahan bakar
ringan), kadmium (aki kendaraan), karbonmonoksida (asap knalpot), DDT
(insektisida), hidrogen sianida (gas beracun), mathanol (bensin roket),
naftalen (kamper), toluene (pelarut industri), dan vinil klorida (plastik).
Merokok selama hamil juga merupakan risiko pada fetus, dengan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan paru in utero dan mungkin
mempengaruhi sistem imun utama.

b. Polusi tempat kerja


Pajanan tempat kerja meliputi zat iritasi / debu organik dan
anorganik, bahan kimia, dan gas beracun. Pernyataan yang dikeluarkan oleh
American Thoracic Society yaitu pajanan tempat kerja diperkirakan sebesar
10-20% menyebabkan gejala dan gangguan fungsional yang sesuai dengan
PPOK.

c. Polusi udara di dalam dan di luar ruangan

5
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (seperti : asap
rokok, asap kompor, briket batu bara, asap kayu bakar, asap obat nyamuk
bakar, dan lain-lain) dan polusi di luar ruangan (seperti : gas buang industri,
gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan, kebakaran hutan, gunung
meletus, dan lain-lain).
Pajanan yang terus-menerus oleh gas dan bahan kimia hasil industri
merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor
pollution) masih belum jelas tetapi lebih kecil dibandingkan asap rokok.
Sedangkan polusi dalam ruangan (indoor pollution) yang disebabkan oleh
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk keperluan rumah tangga
merupakan faktor risiko lainnya.

3. Jenis Kelamin
Studi dari negara-negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi
PPOK sekarang hampir sama antara pria dan wanita, ini mungkin hasil dari
perubahan pola merokok. Beberapa studi mengatakan bahwa wanita lebih
rentan terhadap efek asap rokok daripada pria.

4. Infeksi
Riwayat infeksi pernapasan yang berat semasa anak-anak berhubungan
dengan penurunan faal paru dan peningkatan gangguan pernapasan pada saat
dewasa. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hiperesponsif jalan napas dan
infeksi virus. Akan tetapi, kerentanan terhadap infeksi virus berhubungan
dengan faktor lain, seperti berat badan lahir, yang dengan sendirinya
berhubungan dengan PPOK.

5. Status sosio-ekonomi
Ada bukti bahwa risiko berkembangnya PPOK berbanding terbalik
dengan status sosio-ekonomi. Hal ini belum jelas, akan tetapi, bagaimanapun
pola ini merupakan hasil dari pajanan polutan udara di dalam dan di luar
ruangan, kepadatan, ventilasi yang tidak adekuat pada rumah tangga, gizi
buruk, atau faktor lain yang berhubungan dengan status sosio-ekonomi rendah.

D. Patologi, Patogenesis, dan Patofisiologi


1. Patologi
Perubahan patologik yang merupakan karakteristik PPOK ditemukan
di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim paru, dan
pembuluh darah pulmonal. Perubahan patologik ini mencakup inflamasi

6
kronik, dengan peningkatan jumlah tipe sel inflamasi spesifik pada bagian
yang berbeda di paru, dan perubahan struktural hasil dari cedera berulang dan
mekanisme perbaikan. Pada umumnya, perubahann inflamasi dan struktural
pada saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit
walaupun sudah berhenti merokok.

Tabel.Perubahan patologis pada PPOK


Saluran nafas proksimal (trakea, bronkus > 2mm)
Sel inflamasi : makrofag , limfosit T CD8 + (sitotoksik) , sedikit neutrofil
atau eosinofil.
Perubahan: sel goblet , pembesaran kelenjar submukosa (keduanya
menyebabkan hipersekresi) metaplasia sel epitel skuamosa
Saluran nafas perifer (bronkiolus diameter < 2 mm)
Sel inflamasi : makrofag , limfosit T (CD8 + > CD4+), limfosit B ,folikel
limfoid, fibroblas , sedikit neutrofil dan eosinofil.
Parenkim paru (bronkiolus pernafasan dan alveolus)
Sel inflamasi: makrofag , limfosit T CD8+
Perubahan struktur: kerusakan dinding alveolus, apoptosis sel epitel dan
endotel
- Emfisema sentrilobular: dilatasi dan kerusakan
bronkiolus; paling sering terlihat pada perokok
- Emfisema panasinar: perusakan alveolus dan
bronkiolus; paling sering terlihat pada kekurangan -1
antitrypsin
Pembuluh darah paru
Sel inflamasi: makrofag , limfosit T
Perubahan struktur: penebalan intima,disfungsi sel endotel, penebalan otot
polos (hipertensi pulmoner).

Gambar 2.2. Alveolus Sehat dan Alveolus yang Sakit Akibat PPOK

7
2. Patogenesis
Inflamasi pada saluran napas penderita PPOK muncul sebagai
amplifikasi (pengerasan) respon inflamasi normal saluran napas terhadap iritan
kronik seperti asap rokok. Mekanisme amplifikasi ini belum dimengerti tetapi
mungkin ditentukan secara genetik. Beberapa pasien mengembangkan PPOK
tanpa merokok, tetapi secara alamiah respon inflamasi pada pasien-pasien ini
tidak diketahui. Inflamasi paru lebih lanjut diamplifikasi oleh stres oksidatif
dan berlebihnya kadar proteinase di paru. Bersama, mekanisme ini memicu
karakteristik perubahan patologik pada PPOK.

Gambar 2.3. Patogenesis PPOK

3. Patofisiologi

8
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis
yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang khas. Misalnya,
penurunan VEP1 terutama diakibatkan oleh inflamasi dan penyempitan saluran
napas, sementara penurunan transfer gas akibat dari destruksi parenkim pada
emfisema.
Keterbatasan aliran udara dan air trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan cairan eksudat di lumen saluran nafas kecil
berkorelasi dengan penuruan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK,
obstruksi jalan nafa perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan
menyebabkan hiperinflasi.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan (kelainan ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai sesak nafas dan keterbatasan
kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit
merupakan mekanisme utama timbulnya sesak nafas pada aktivitas.
Bronkodilator yang bekerja pada saluran nafas perifer mengurangi air
trapping, sehingga mengurangi volume residu dan gejala serta meningkatkan
keterbatasan kapasitas latihan.
Mekanisme pertukaran gas
Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hiperkapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum,
pertukaran gas memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan
emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi.
Hipersekresi
Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi mukus melalui
aktivasi reseptor faktor EGFR.
Gambaran Sistemik
Dari beberapa laporan penelitian, pasien PPOK memberikan beberapa
gambaran sistemik, khususnya pada penyakit berat, hal ini berdampak besar
terhadap masa tahan hidup dan penyakit komorbid. Kakeksia umumnya
terlihat pada pasien dengan PPOK berat. Disebabkan oleh hilangnya massa
otot rangka dan kelemahan otot sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat
dan atau tidak digunakannya otot-otot tersebut. Pasien PPOK juga mengalami
peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronik. Peningkatan
konsentrasi mediator inflamasi dapat mengakibatkan efek sistemik

9
tersebut.Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler berkorelasi dangan
peningkatan C-Reaktif Protein (CRP).
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan peningkatan lebih lanjut respons inflamasi dalam
saluran nafas pasien PPOK. Keadaan ini dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau
virus atau polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan
eksaserbasi PPOK masih banyak yang belum diketahui. Pada eksaserbasi
ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrofil, beberapa studi lainnya juga
menemukan eosinofil dalam sputum dan dinding saluran nafas. Hal ini
bekaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah
satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas
dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan
hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan pengurangan aliran ekspirasi,
sehingga terjadi peningkatan sesak nafas.
Meluasnya inflamasi, fibrosis, dan eksudat luminal pada saluran napas kecil
dihubungkan dengan penurunan VEP1 dan rasio VEP1/KVP, dan mungkin
dihubungkan dengan penurunan VEP1 yang cepat pada PPOK. Abnormalitas
pertukaran gas menghasilkan hipoksemia dan hiperkapnia. Pada umumnya,
transfer gas memburuk seiring dengan progresivitas penyakit. Hipertensi
pulmonal ringan sampai sedang bisa berkembang dalam perjalanan penyakit
PPOK, yang disebabkan oleh vasokonstriksi hipoksik arteri pulmonal kecil.
Semakin diketahui bahwa PPOK memiliki beberapa gambaran sistemik,
khususnya pada pasien dengan penyakit berat.

E. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan hingga berat. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau
tanpa bunyi mengi (ngik-ngik), produksi sputum, dan keterbatasan aktivitas.
Gejala kardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung
meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan
sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan
kemudian terjadi hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan
mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah
selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik.

10
Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan
berkembangnya penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi
dengan aktivitas minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin
memburuknya abnormalitas pertukaran udara.
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas
dan tanda inflasi paru. Pada penyakit yang moderat hingga berat, pemeriksaan
fisik dapat memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang,
rhonchi, dan hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang
berkomplikasi menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal
jantung kanan (termasuk distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema
tungkai) dapat pula ditemukan. Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan
ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan pada ganguan lainnya, terutama
karsinoma bronkogenik.
Gambaran klinis sistemik PPOK dapat berupa penurunan berat badan,
disfungsi otot-otot skelet dan kelainan sistemik yang bersifat potensial. Penurunan
berat badan akibat adanya ketidaksesuaian intake kalori, oleh karena pada pasien
PPOK terjadi peningkatan metabolisme basal. Peningkatan metabolisme basal ini
akibat adanya inflamasi sistemik, hipoksia jaringan dan pemakaian obat-obatan
pada pasien PPOK (misalnya beta-2 agonis).
Adanya disfungsi otot skelet dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dai pasien PPOK. Disfungsi ini
terjadi akibat perubahan gaya hidup pasien PPOK (aktivitas fisik yang menurun
karena pasien mudah sesak), kelainan nutrisi, hipoksia jaringan, apoptosis otot
skelet, stres oksidatif, rokok, kepekaan individu, perubahan hormon, perubahan
elektrolit, kelainan regulasi nitrit oksida, dan obat-obatan.
Gambaran sistemik dari PPOK antara lain dapat meningkatkan prevalensi
depresi dan prevalensi osteoporosis. Osteoporosis dapat terjadi pada penderita
PPOK karena adanya malnutrisi, perubahan pola hidup, prokok, terapi steroid dan
inflamasi sistemik.

F. Diagnosis
Indikator diagnosis PPOK adalah penderita di atas usia 40 tahun,
dengan sesak napas yang progresif, memburuk dengan aktivitas, persisten,
batuk kronik, produksi sputum kronik, dan riwayat terpajan faktor resiko.
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai
berikut:
11
Gambaran Klinis
1) Anamnesis
Ada faktor risiko
- Usia pertengahan
- Riwayat pajanan (asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja)
Gejala
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi
ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
- Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3 bulan yang
tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
- Berdahak kronik
Kadang-kadang penderita menyatakan hanya berdahak terus-
menerus tanpa disertai batuk.
- Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas
yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, gunakan
ukuran sesak napas sesuai skala sesak.

Tabel 2.1. Skala Sesak


Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas
0 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
1 Sesak mulai timbul bila berjalan cepat atau naik tangga 1 tingkat
2 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
3 Sesak timbul bila berjalan 100 m atau setelah beberapa menit
4 Sesak bila mandi atau berpakaian

2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas
terutama auskultasi pada PPOK ringan, dimana sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK
derajat berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan
bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai
berikut :
Inspeksi
12
- Bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)
- Terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti orang
meniup)
- Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
- Penampilan Pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara napas vesikuler melemah atau normal
- Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
- Ronki

Pemeriksaan rutin
a. Faal Paru
- Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 presiksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). VEP1% merupakan parameter yang paling
umum untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan,APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter dapat dipakai,
walaupun kurang tepat.
- Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan
nilai VEP1/APE.Pada PPOK, perubahan nilai VEP1/APE <20%
dan <200 ml dai nilai awal.
b. Laboratorium darah
Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), Trombosit, leukosit, Analisis
gas darah.
c. Radiologi

13
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat:
- Paru hiperinflasi atau hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung pendulum
Pada bronkitis kronis terlihat:
- Normal
- Corakan bronkovaskular bertambah

Pemeriksaan penunjang lanjutan


a. Faal paru lengkap
- Volume residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF),
Kapasitas Paru Total (KPT),VR/KRF, VR/KPT meningkat
- Kapasitas difusi menurun pada emfisema
- Tahanan jalan nafas meningkat pada bronkitis kronis
- Variabilitas harian APE kurang dari 20%
b. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis
- Jentera
- Uji jalan 6 menit,lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
d. Analisis gas darah
e. Radiologi
f. Elektrokardiografi
g. Ekokardiografi
h. Bakteriologi
i. Kadar -1 antitripsi

Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK


Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) / Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, PPOK dibagi atas 4 derajat:
1) Derajat I (PPOK Ringan)
Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak napas : derajat sesak 0 sampai serajat sesak 1
Spirometri :
- VEP1 80% prediksi (normal spirometer) atau VEP1/KVP < 70%
2) Derajat II (PPOK Sedang)
Gejala klinis :
14
- Dengan atau tanpa batuk
- Dengan atau tanpa produksi sputum
- Sesak napas : derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas)
Spirometri :
- 50% < VEP1 < 80% prediksi atau VEP1/KVP < 70%
3) Derajat III (PPOK Berat)
Gejala klinis :
- Dengan atau tanpa batuk dan produksi sputum
- Sesak napas : derajat sesak 3
- Berkurangnya kapasitas latihan dan kelelahan
- Eksaserbasi berulang
Spirometri :
- 30% < VEP1 < 50% prediksi atau VEP1/KVP < 70%
4) Derajat IV (PPOK Sangat Berat)
Gejala klinis :
- Sesak napas : derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas kronik
- Eksaserbasi lebih sering terjadi
- Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung kanan
Spirometri :
- VEP1/KVP < 70% atau VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50%
prediksi disertai gagal napas kronik
Gagal napas kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan
analisis gas darah, dengan kriteria :
- Hipoksemia dengan normokapnia, atau
- Hipoksemia dengan hiperkapnia

G. Diagnosis Banding
Untuk penegakan diagnosis PPOK perlu disingkirkan kemungkinan
adanya asma, gagal jantung kongestif, TB paru, dan sindrom obstruksi pasca
TB paru.

Tabel 2.2. Diagnosis Banding PPOK


Diagnosis Gambaran Klinis
PPOK Onset usia pertengahan
Gejala progresif lambat

15
Riwayat merokok (lama dan jumlah rokok)
Sesak saat aktivitas
Hambatan aliran udara umumnya ireversibel
Asma Onset usia dini
Gejala bervariasi dari hari ke hari
Gejala pada waktu malam / dini hari lebih menonjol
Dapat ditemukan alergi, rinitis, dan atau eksim
Riwayat asma dalam keluarga
Hambatan aliran udara umumnya reversibel
Gagal Jantung Kongestif Riwayat hipertensi
Ronki basah halus di basal paru pada auskultasi
Gambaran foto toraks tampak pembesaran jantung dan
edema paru
Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis Sputum purulen dalam jumlah banyak


Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
Ronki basah kasar pada auskultasi dan jari tabuh
Gambaran foto toraks tampak honeycomb appearance
dan penebalan dinding bronkus
Tuberkulosis Onset semua usia
Gambaran foto toraks tampak infiltrat
Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam / BTA)
Sindrom Obstruksi Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat
Pasca TB (SOPT) Gambaran foto toraks bekas TB : fibrosis dan kalsifikasi
minimal
Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang
tidak reversibel
Bronkiolitis Obliteratif Onset usia muda dan bukan perokok
Riwayat reumatoid artritis atau pajanan
Gambaran CT pada ekspirasi tampak area hipodens
Panbronkiolitis Difus Sebagian besar pasien adalah laki-laki dan bukan
perokok
Hampir semuanya memiliki riwayat sinusitis kronik
Gambaran foto toraks dan HRCT tampak bayangan
putih (radioopaq) nodular sentrilobular kecil yang difus
dan hiperinflasi

PPOK lebih mudah dibedakan dengan bronkiektasis atau sindroma


obstruksi pasca TB paru, namun seringkali sulit dibedakan dengan asma atau

16
gagal jantung kronik. Perbedaan klinis PPOK, asma bronkial, dan gagal
jantung kongestif dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.3. Perbedaan Klinis dan Hasil Pemeriksaan Spirometri pada PPOK,
Asma, dan Gagal Jantung Kongestif
Kategori PPOK Asma Gagal Jantung
Kongestif
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat keluarga Tidak ada Ada Tidak ada
Pola sesak napas Terus-menerus, Hilang timbul Timbul pada waktu
bertambah berat aktivitas
dengan aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++
Mengi Kadang-kadang ++ +
Vesikuler Melemah Normal Meningkat
Spirometer Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +
Restriksi + Restriksi ++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung
kongestif

G. Penatalaksanaan
Tujuan Penatalaksanaan PPOK meliputi:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresivitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi Latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi berulang
7. Menurunkan angka kematian

Tujuan tersebut dapat dicapai melalui 4 komponen program tatalaksana:


1. Evaluasi dan Monitor Penyakit

17
Riwayat penyakit yang rinci pada pasien yang dicurigai atau pasien
yang telah didiagnosis PPOK digunakan untuk evaluasi dan monitoring
penyakit :
Pajanan faktor risiko, jenis zar, dan lamanya terpajan.
Riwayat timbulnya gejala atau penyakit.
Riwayat keluarga PPOK atau penyakit paru lain, misalnya asma dan TB
paru.
Riwayat eksaserbasi atau perawatan di rumah sakit akibat penyakit paru
kronik lainnya.
Penyakit komorbid yang ada, misalnya penyakit jantung, rematik, atau
penyakit yang menyebabkan keterbatasan aktivitas.
Rencana pengobatan terkini yang sesuai dengan derajat PPOK.
Pengaruh penyakit terhadap kehidupan pasien seperti keterbatasan
aktivitas, kehilangan waktu kerja dan pengaruh ekonomi, perasaan
depresi / cemas.
Kemungkinan untuk mengurangi faktor risiko terutama berhenti merokok.
Dukungan dari keluarga.
PPOK merupakan penyakit progresif, artinya fungsi paru akan
menurun seiring dengan bertambahnya usia. Monitor penting yang harus
dilakukan adalah gejala klinis dan fungsi paru.

2. Menurunkan Faktor Risiko


Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat
progresivitas penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok (5A):
Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
Advice (Nasihati)
Dorongan kuat untuk semua perokok untuk berhenti merokok.
Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal : dalam 30 hari ke depan).
Assist (Bantu)

18
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling
praktis, menyediakan dukungan sosial pengobatan, merekomendasikan
penggunaan dari farmakoterapi.
Arrange (Atur)
Jadwal kontak lebih lanjut.

3. Tatalaksana PPOK Stabil


Edukasi
Farmakologi (Obat-obatan)
- Bronkodilator (antikolinergik, 2 agonis, golongan xantin)
- Kombinasi SABA (Short Acting 2 Agonist) + antikolinergik
- Kombinasi LABA (Long Acting 2 Agonist) + kortikosteroid
- Antioksidan
- Dipertimbangkan mukolitik
Non-farmakologi
- Rehabilitasi
- Terapi oksigen
- Nutrisi
- Vaksinasi influenza
- Ventilasi non-mekanik
- Intervensi bedah

4. Tatalaksana PPOK Eksaserbasi


Gejala eksaserbasi :
Batuk makin sering/hebat
Produksi sputum bertambah banyak
Sputum berubah warna
Sesak napas bertambah
Keterbatasan aktivitas bertambah
Terdapat gagal napas akut pada gagal napas kronik
Kesadaran menurun
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di poliklinik rawat jalan,
unit gawat darurat, ruang rawat, dan ruang ICU.

19
Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi :
Optimalisasi penggunaan obat-obatan :
- Bronkodilator
Agonis 2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik perinhalasi
(nebuliser)
Xantin intravena (bolus dan drip)
- Kortikosteroid sistemik
- Antibiotik
Golongan makrolid baru (Azithromisin, Roksitromisin, Klaritromisin)
Golongan kuinolon respirasi
Sefalosporin generasi III / IV
- Mukolitik
- Ekspektoran
- Diuretika bila ada retensi cairan
Terapi oksigen
Terapi nutrisi
Rehabilitasi fisik dan respirasi
Evaluasi progresivitas penyakit
Edukasi
Indikasi rawat pasien PPOK antara lain :
Eksaserbasi sedang dan berat
Terdapat komplikasi
Infeksi saluran napas berat
Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal jantung kanan
Adapun indikasi rawat di ruang ICU yaitu :
Sesak berat setelah penanganan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang
rawat.
Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan otot-otot respirasi.
Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi hipoksemia atau perburukan PaO2
< 50 mmHg atau PaCO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi mekanis
(invasif atau non-invasif).

20
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (merokok)
Penyesuaian aktivitas

2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas),
kecuali pada eksaserbasi digunakan bentuk oral atau sistemik. Nebuliser
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek
panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator adalah : golongan
antikolinergik, golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-
2, dan golongan xantin.

b. Anti inflamasi
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral
(diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi
untuk menekan inflamasi yang terjadi. Pilihan utama adalah golongan
metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Uji steroid positif adalah bila
dengan pemberian steroid oral selama 10 14 hari atau inhalasi selama 6
minggu 3 bulan menunjukkan perbaikan gejala klinis atau fungsi paru.

21
Tabel 2.4. Formulasi Obat yang Sering Digunakan pada Pasien PPOK

c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Tidak dianjurkan
penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan
antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat.
Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan

22
makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan
dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.
Pemakaian antioksidan yang direkomendasikan oleh Internasional dan
nasional guideline adalah N-acetylcysteine (NAC). NAC selain sebagai
agen mukolitik, juga berperan sebagai antioksidan dan anti-inflamasi, serta
imunomodulator. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang
sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. NAC sebagai agen
mukolitik bekerja dengan cara menghancurkan/memecah jembatan
disulfida dari makromolekul mukoprotein yang terdapat dalam sekresi
bronkial, sehingga mukus menjadi lebih encer, serta bekerja dengan cara
memperbaiki kerja silia saluran napas.
Dengan adanya kerja silia yang membaik ini, maka akan sedikit
mukus yang melekat pada epitel dan menyebabkan penetrasi antibiotika ke
dalam jaringan akan meningkat, dan hal ini akan mengurangi kolonisasi
bakteri. Efek ini dikenal sebagai anti adherens bacteria dari NAC.
NAC sebagai antioksidan akan menjadi prekursor glutation
(antioksidan) karena NAC mudah untuk berpenetrasi kedalam sel dan
diasetilasi menjadi sistein. Sistein ini berperan terhadap sintesis glutation.
Selain berperan secara tidak langsung sebagai antioksidan, peranan NAC
secara langsung sebagai antioksidan adalah membawa gugus tiol (gugus
SH) bebas yang dapat berinteraksi dengan gugus elektrofilik ROS.
Peranan NAC sebagai anti-inflamasi yaitu menghambat pelepasan
sitokin pro-inflamasi, dan sebagai imunomodulator dengan cara
meningkatkan fungsi sel-sel imunitas seperti limfosit dan makrofag
terhadap radikal bebas dan bakteri atau benda asing.
Uji klinis NAC pada PPOK yang melibatkan 1392 pasien
membuktikan bahwa pemberian NAC dapat mengurangi viskositas
ekspektorasi, memudahkan ekspektorasi, dan mengurangi derajat
keparahan batuk.
Terapi lain yang saat ini sedang diteliti peranannya dalam PPOK
adalah anti-TNF alpha (telah ditunjukan efektif pada penyakit inflamasi
kronis seperti artritis reumatoid) dan penghambat iNOS.
23
e. Mukolitik (pengencer dahak)
Tidak diberikan secara rutin. Hanya diberikan terutama pada
eksaserbasi akut, karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi,
terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang lengket dan kental.
Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang.

f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati. Diberikan hanya bila terdapat batuk
yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan
kontraindikasi.

3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam
sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Harus berdasarkan analisis gas darah, baik pada penggunaan jangka
panjang atau eksaserbasi. Pemberian yang tidak hati-hati dapat menyebabkan
hiperkapnia dan memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada
PPOK stabil derajat berat dapat memperbaiki kualitas hidup.
Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam sehari) pada PPOK derajat IV
dengan :
PaO2 < 55 mmHg, atau SO2 < 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2 < 88% disertai hipertensi pulmonal, edema
perifer karena gagal jantung, polisitemia

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas
kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau
tanpa intubasi. Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU pada eksaserbasi

24
berat. Ventilasi mekanik non-invasif digunakan di ruang rawat atau di rumah
sebagai perawatan lanjutan setelah eksaserbasi pada PPOK berat.

5. Operasi Paru
Bulektomi, bedah reduksi volume paru, dan tranplantasi paru
merupakan opsi bedah yang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan PPOK
yang sangat berat. Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar atau
transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara maju). Rujukan
kepada spesialis bedah thorax diindikasikan untuk menilai lebih lanjut
kecocokan prosedur ini untuk pasien.

6. Vaksinasi Influenza
Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada PPOK stabil. Vaksinasi
influenza dipertimbangkan diberikan pada :
Pasien usia di atas 60 tahun
Pasien PPOK sedang, berat, dan sangat berat

7. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperapnea menyebabkan terjadinya
hipermetabolisme.

8. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan
pernapasan.
Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan
pernapasan lainnya), program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner
dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup.

25
Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah
terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.

Tabel 2.5. Penatalaksanaan Menurut Derajat PPOK


Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan
Derajat I : VEP1 80% prediksi Bronkodilator kerja singkat (SABA,
PPOK Ringan (normal spirometer) atau antikolinergik kerja singkat bila perlu)
Pemberian anti kolinergik kerja lama
VEP1/KVP < 70%
sebagai terapi pemeliharan
Dengan atau tanpa
gejala
Derajat II
: 50% < VEP1 < 80% Pengobatan reguler dengan bronkodilator :
PPOK Sedang - Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
prediksi atau VEP1/KVP
pemeliharan + LABA + Simtomatik
< 70%
Rehabilitasi
Dengan atau tanpa
gejala
Derajat III : 30% < VEP1 < 50% Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
PPOK Berat prediksi atau VEP1/KVP bronkodilator :
- Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
< 70%
pemeliharan + LABA + Simtomatik
Dengan atau tanpa
- Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
gejala
respon klinis atau eksaserbasi berulang
Rehabilitasi
Derajat IV : VEP1 < 30% prediksi Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih
PPOK Sangat atau VEP1 < 50% bronkodilator :
Berat prediksi disertai gagal - Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
napas kronik atau pemeliharan + LABA
VEP1/KVP < 70% - Pengobatan pada komplikasi
- Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
Rehabilitasi
Terapi oksigen jangka panjang bila gagal
napas
Pertimbangkan terapi pembedahan

26
H. Prognosis
Prognosis PPOK dubia, tergantung dari derajat, penyakit paru komorbid,
penyakit komorbid lain. Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang
bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat. Penderita yang berumur
kurang dari 50 tahun dengan :
Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis masa hidup (survival)
penderita PPOK :
1. Gangguan fungsional inisial, VEP1 sering dijadikan parameter untuk menilai
prognosis, umumnya prognosis buruk, bila VEP 1 mencapai 1,5 liter atau
kurang, dengan survival kurang lebih 10 tahun, menjadi 4 tahun pada VEP1
0,1 liter dan 2 tahun pada VEP1 0,5 liter.
2. Adanya cor pulmonale yang umumnya disertai dengan hipoksemia dan
hiperkapnia.
3. Kurang berat, lebih dari 20%.
Penyebab kematian utama :
1. Cor pulmonale (53%)
2. Gagal napas akut (sub akut 30%)
3. Aritmia jantung

I. Pengaruh PPOK terhadap Sistem Kardiovaskuler


Berbagai penelitian juga membuktikan bahwa PPOK bukan sekedar penyakit
paru melainkan suatu penyakit sistemik yang melibatkan berbagai sistem organ di
antaranya sistem kardiovaskular. Selain itu, PPOK juga sudah diidentifikasi
meningkatkan risiko terjadinya berbagai kelainan kardiovaskular 2-3 kali lebih
tinggi tanpa dipengaruhi oleh faktor risiko lainnya seperti kebiasaan merokok yang
telah dianggap sebagai faktor risiko independen.
Inflamasi merupakan hubungan etiopatogenesis yang sejalan antara PPOK
dengan komplikasi kardiovaskular. Sitokin TNF-a memiliki peran utama dalam

27
proses inflamasi baik pada paru maupun sistem kardiovaskular, serta ditemukan
meningkat bermakna pada kaheksia dan muscle wasting. Peningkatan TNF-a telah
dikaitkan dengan beratnya derajat gagal jantung kronik serta memperberat
disfungsi jantung. Peningkatan kadar CRP pada pasien PPOK stabil dianggap
sebagai indikator penilaian risiko terjadinya suatu komplikasi kardiovaskular.
Peningkatan kadar CRP dapat disebabkan oleh pelepasan TNF-a dan interleukin-6.
Peningkatan kadar CRP tersebut akan mempercepat progresivitas aterosklerosis
yang sedang berlangsung. Selain itu, CRP meningkatkan produksi sitokin pro-
inflamasi dan tissue factor pada monosit, meningkatkan ambilan LDL oleh
makrofag, serta merangsang ekpresi molekul adesi pada sel endotel. Molekul CRP
juga dapat secara langsung menempel pada dinding arteri sehingga berinteraksi
dengan mediator inflamasi lainnya membentuk sel busa (foam cells) yang
merupakan bahan pembentuk plak aterogenik. Fibrinogen serum juga dapat
mempercepat proses aterosklerosis dengan meningkatkan viskositas darah dan
bekerja sebagai ko-faktor agregasi trombosit.4,6,7 Pasien PPOK stabil telah
diketahui mengalami peningkatan kadar CRP darah sehingga keadaan eksaserbasi
akan semakin meningkatkan kadar CRP. Inflamasi paru akut ditemukan
menginduksi terjadinya gangguan pada jantung dengan mengaktivasi kaskade
koagulasi akibat peningkatan fibrinogen plasma dan kadar interleukin-6, sehingga
akan meningkatkan risiko trombosis.2-5 Hubungan antara peningkatan kadar CRP
dan obstruksi saluran napas yang dikaitkan dengan risiko infark miokard telah
dibuktikan oleh Sin dkk.3 Tanda-tanda inflamasi sistemik derajat rendah
ditemukan pada pasien dengan obstruksi saluran napas sedang sampai berat
dikaitkan dengan peningkatan risiko jejas jantung yang dinilai dengan Cardiac
Infarction Injury Score.3 Hal tersebut dapat menjelaskan tingginya kejadian
komplikasi kardiovaskular pada pasien PPOK. Peningkatan risiko terjadinya infark
miokard dan gangguan serebrovaskular terutama dalam tiga hari pertama setelah
terjadinya infeksi saluran napas.4 Interaksi antara proses inflamasi lokal dan
inflamasi sistemik PPOK dengan penyakit arteri koroner, gagal jantung, serta
komorbiditas lainnya dapat dilihat pada gambar 3. Dekatnya hubungan dan
interaksi antara PPOK dengan penyakit arteri koroner mengindikasikan perlunya
evaluasi sistem kardiovaskular pada pasien PPOK dan evaluasi ada tidaknya
obstruksi saluran napas pada pasien dengan penyakit arteri koroner.

28
Selain hal di atas, Hipertensi pulmoner (Pulmonary hypertension) merupakan
salah satu komplikasi utama sistem kardiovaskular Pembesaran ventrikel kanan
pada cor pulmonal merupakan fungsi pembesaran atau kompensasi dari
peningkatan dalam afterload. Jika reseistensi vaskular paru-paru meningkat dan
tetap meningkat, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru-paru,
peningkatan curah jantung dan pengerahan tenaga fisis dapat meningkatkan
tekanan arteri pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronis
meningkat jika volume paru-paru membesar seperti pada PPOK yang dikarenakan
adanya pemanjangan pembuluh paru-paru dan kompresi kapiler alveolar.
Penyakit paru-paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis yang pada suatu
waktu akan mempengaruhi jantung, menyebabkan pembesaran ventrikel kanan,
dan sering kali berakhir dengan gagal jantung. Beberapa kondisi yang
menyebabkan penurunan oksigenasi paru-paru, dapat mengakibatkan hipoksemi
(Penurunan PaO2), hiperkappnia (Peningkatan PaCo2), dan insufisiensi ventilasi.
Hipoksia dan hiperkapnia akan menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonar dan
memungkinkan penurunan vaskularisasi paru-paru.akibatnya, akan terjadi
peningkatan tahanan pada sistem sirkulasi pulmonal, sehingga menyebabkan
hipertensi pulmonal. Arterial mean pressure pada paru-paru sebesar 45 mmHg atau
lebih dapat menimbulkan cor pulmonal. Ventrikel kanan akan hipertofi dan
mungkin diikuti oleh gagal jantung kanan.

29
BAB III
PENYAJIAN KASUS

I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : Tn. P
Jenis Kelamin : Laki laki
Umur : 76 tahun
Pendidikan : SD/Sederajat
Alamat : Kampung Tengah Sui Durian, KKR
Pekerjaan : Sudah tidak bekerja
Nomor RM : 806141
Tanggal Masuk RS : 20 Oktober 2013

Anamnesis dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2013 pukul 09.00 WIB

Keluhan Utama
Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

30
Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan ini telah dialami pasien sejak 3 tahun yang lalu. Timbul terutama sejak
beraktivitas dan sesak dirasakan lebih berat ketika berbaring daripada duduk. Pasien
juga mengaku sesak sering timbul saat subuh atau malam hari sejak 1 tahun yang
lalu.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dada sejak 2 hari SMRS, keluhan ini juga
sering dialami oleh pasien terutama ketika sesak setelah aktivitas. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 1 tahun yang lalu, batuk kadang disertai dahak berwarna
putih, dan kadang tanpa dahak. Riwayat batuk darah disangkal oleh pasien. Selain
itu, pasien juga sering mengeluhkan demam yang hilang timbul, dan nafsu makan
berkurang.
Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 30 tahun, namun sudah
berhenti sejak keluhan mulai timbul sekitar 3 tahun yang lalu. Dalam 1 hari
pasienmenghabiskan sekitar 1 bungkus rokok.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah masuk ke Rumah Sakit sebanyak 2 kali sebelumnya dengan
keluhan yang sama. Menurut pengakuan pasien, pertama masuk RS 3 tahun yang
lalu, selama 2 hari, pasien melakukan foto dada, dan dikatakan mengalami
pembesaran jantung. Masuk RS yang kedua, selama 9 hari, pasien dikatakan
mengalami penyempitan saluran nafas (PPOK). Riwayat minum OAT disangkal
oleh pasien. Riwayat sakit kencing manis disangkal. Riwayat infeksi saluran nafas
berulang disangkal oleh pasien. Riwayat alergi disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien memiliki riwayat asma bronkial.

Riwayat Sosial Ekonomi


Saat ini pasien sudah tidak bekerja lagi dikarenakan penyakitnya. Riwayat
pekerjaan pasien :
- Sebagai operator kapal keruk yang menggunakan bahan bakar
solar. Pasien mengaku saat bekerja sering terpapar asap gas
buang kapal tersebut.

31
- Sebagai pemotong balok kayu dengan menggunakan gergaji
manual. Saat bekerja pasien tidak memakai masker.
- Bekerja di perusahaan sawmil sebagai penerima bahan basah
dan menjadikannya bahan kering, saat bekerja banyak
terpaparasap dan debu kayu, pasien tidak menggunakan masker
saat bekerja.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2013 pukul 09.00

Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis, GCS : E4M6V5
Tanda vital
- Nadi : 92 x/menit, isi keras, irregular, kadang pulsus paradoksus.
- Tekanan darah : 120/70 mmHg
- Napas : 29 x/menit, teratur, dengan jenis pernapasan abdomino-torakal
- Suhu : 36C, aksilar
- Kulit : warna kulit sawo matang, sianosis (-), dekubitus (-)
- Kepala : bentuk tidak ada kelainan, simetris, dan nyeri tekan (-)
- Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
- Hidung : sekret (-), deviasi septum (-)
- Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1/T1
- Leher : pembesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-), deviasi
trakea (+), pembesaran tiroid (-).

Jantung
- Inspeksi : iktus kordis terlihat keras di SIC VIII
- Palpasi : iktus kordis teraba keras
- Perkusi : Batas kanan atas : SIC II Linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah : SIC VII Linea parasternalis dextra
Batas kiri atas : SIC II Line parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : SIC VIII Linea Mid Axillaris
32
Kesan : Kardiomegali
- Auskultasi : terdengar bunyi S1 dan S2, gallop (+)

Abdomen
- Inspeksi : bentuk normal, venektasi (-)
- Palpasi : nyeri tekan (+) di regio epigastrium, hati tidak teraba, lien
tidak teraba
- Perkusi : asites (-)
- Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas : oedema (-), sianosis (-), jari tabuh (+), capillary refill < 2 detik pada
ekstremitas atas dan bawah, tremor (-) pada ekstremitas atas

Status Lokalis
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari dada
kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi :
Tidak ada pembesaran KGB
Trakea deviasi ke kiri
Terdapat lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal,
dapat digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar.
Fremitus taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi :
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki mulai SIC V
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


33
Foto Toraks
17 Oktober 2013

Kesan :
- Diafragma mendatar
- Pelebaran sela iga
- Kardiomegali (Rasio Jantung-Paru lebih dari 50%)
- Jantung Pendulum
EKG
20 Oktober 2013

34
Kesan :
- Lingkaran merah: menunjukkan jarak R-R sekitar 2 kotak besar,
jumlah denyut jantung = 300 : 2 = 120 kali. Pasien mengalami
takikardi.
- Lingkaran hitam :menunjukkan bentuk gelombang P Pulmonal ( tinggi
>2,5 mm) yang menunjukkan adanya pembesaran atrium kanan dan P
mitral ( lebar > 2,5 mm) yang menunjukkan adanya pembesaran atrium
kiri.
- Lingkaran putih menunjukkan S di V1+R di V5/V6 > 35mm yang
mengindikasikan adanya hipertrofi ventrikel kiri

IV. RESUME

Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS.


Keluhan ini telah dialami pasien sejak 3 tahun yang lalu. Timbul terutama sejak

35
beraktivitas dan sesak dirasakan lebih berat ketika berbaring daripada duduk. Pasien
juga mengaku sesak sering timbul saat subuh atau malam hari sejak 1 tahun yang
lalu.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dada sejak 2 hari SMRS, keluhan ini juga
sering dialami oleh pasien terutama ketika sesak setelah aktivitas. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 1 tahun yang lalu, batuk kadang disertai dahak berwarna
putih, dan kadang tanpa dahak. Riwayat batuk darah disangkal oleh pasien. Selain
itu, pasien juga sering mengeluhkan demam yang hilang timbul, dan nafsu makan
berkurang.
Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 30 tahun, namun sudah
berhenti sejak keluhan mulai timbul sekitar 3 tahun yang lalu. Dalam 1 hari
pasienmenghabiskan sekitar 1 bungkus rokok.
Pasien pernah masuk ke Rumah Sakit sebanyak 2 kali sebelumnya dengan
keluhan yang sama. Menurut pengakuan pasien, pertama masuk RS 3 tahun yang
lalu, selama 2 hari, pasien melakukan foto dada, dan dikatakan mengalami
pembesaran jantung. Masuk RS yang kedua, selama 9 hari, pasien dikatakan
mengalami penyempitan saluran nafas (PPOK). Riwayat minum OAT disangkal
oleh pasien. Riwayat sakit kencing manis disangkal. Riwayat infeksi saluran nafas
berulang disangkal oleh pasien. Riwayat alergi disangkal oleh pasien.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis pasien dengan keadaan
umum sakit sedang, compos mentis dan takikardi. Pemeiksaan kulit,kepala, mata,
mulut, dan hidung tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan jantung didapatkan Ictus
Cordis terlihat di SIC VIII dan teraba keras, perkusi menunjukkan kesan
kardiomegali, dengan auskultasi terdengar bunyi galop S4. Pemeriksaan abdomen
tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan ekstremitas di dapatkan jari tabuh.
Pemeriksaan status lokalis dalam keadaan statis didapatkan dada Barrel
Chest, dada kiri lebih tinggi dari dada kanan, dan sela iga melebar. Dalam keadaan
dinamis didapatkan gerakan dada simetris dan tidak tertinggal, pernafasan
abdominotorakal. Pemeriksaan palpasi didapatkan deviasi trakea ke kiri, dan erdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar, frremitus taktil
sebelah kanan melemah. Perkusi menunjukkan hipersonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi dada kiri didapatkan suara nafas pokok : Vesikuler dengan Suara Nafas

36
Tambahan Rhonki basah mulai SIC V. Auskultasi Kanan menunjukkan Suara Nafas
Pokok Vesikuler melemah dengan suara nafas tambahan rhonki basah.
Pemeriksaan penunjang foto toraks menunjukkan kesan kardiomegali dan
jantung pendulum. Pemeriksaan penunjang EKG menunjukkan kesan takikardi dan
hipertrofi atrium dan ventrikel.

V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Cardiomegali e.c. PPOK

VI. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
- Tirah baring
- Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Terapi nutrisi
Medikamentosa :
- Combivent (Salbutamol + Ipratropium Bromida) nebulizer 3 x 1
- Aminophilin drip 3 x 1 amp
- Injeksi Dexamethasone 3 x 1 amp
- Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 gr
Usulan Pemeriksaan Lanjutan :
- Pemeriksaan BTA (SPS)
- Rntgen Thoraks PA
- Pemeriksaan spirometri
- Pemeriksaan EKG

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : malam
Ad sanactionam : malam

37
CATATAN KEMAJUAN
Rabu, 23 Oktober 2013
S : sesak nafas saat berbaring, batuk, dahak sulit keluar
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/80 mmHg, FN : 100x/menit, FP : 24x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki

- A : PPOK
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- B complex oral 3x1
- Nebulilizer combivent 2x1
- Spironolactone

38
Kamis, 24 Oktober 2013
S : sesak napas, sulit tidur, batuk
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/70 mmHg, FN : 64x/menit, FP : 26x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki

A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- B complex oral 3x1
- Nebulilizer combivent 2x1
-

Jumat, 25 Oktober 2013


S : sesak napas berkurang, batuk berkurang
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
39
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 130/90 mmHg, FN : 100x/menit, FP : 28x/menit, suhu 36,20 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing
ekspirasi nada sedang
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing
ekspirasi nada sedang
A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- B complex oral 3x1
- Nebulilizer combivent 2x1

Sabtu, 26 Oktober 2013


S : sesak napas berkurang, batuk berkurang
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/70 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 24x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
40
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi
A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1

Minggu, 27 Oktober 2013


S : sesak napas berkurang, batuk berkurang
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 100/70 mmHg, FN : 72x/menit, FP : 20x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
41
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi
A : PPOK, DD :
P : - Ambroxol 3x1

Senin, 28 Oktober 2013


S : sesak napas kambuh saat subuh, batuk berkurang
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 130/90 mmHg, FN : 84x/menit, FP : 24x/menit, suhu 36,70 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi

A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
42
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- B complex 3x1

Selasa, 29 oktober 2013


S : sesak berkurang, batuk
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/90 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 24x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi

A : PPOK, DD :
P :

Rabu, 30 Oktober 2013

S : sesak berkurang, batuk


43
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/90 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 24x/menit, suhu 360 C
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi

A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- Ambroxol oral 3x1
- B Complex oral 3x1

31 Oktober 2013
S : sesak berkurang, batuk
O : Keadaan umum tampak sakit ringan
Kesadaran kompos mentis, GCS 15
TD : 110/90 mmHg, FN : 80x/menit, FP : 24x/menit, suhu 360 C
44
Pemeriksaan paru :
- Inspeksi :
Statis: dada Barrel Chest, tidak simetris (dada kiri lebih tinggi dari
dada kanan), sela iga melebar, sikatriks (-)
Dinamis: gerakan dada simetris, tidak tertinggal.
- Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB; Trakea deviasi ke kiri; Terdapat
lipoma di daerah klavikula kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat
digerakkan, tidak nyeri tekan, warna kulit sama dengan sekitar; Fremitus
taktil sebelah kanan melemah
- Perkusi : hipersonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi
Kiri : Suara Nafas Pokok : Vesikules
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi
Kanan: Suara Nafas Pokok : Vesikuler, melemah
Suara Nafas Tambahan : Rhonki basah inspirasi, wheezing nada
sedang ekspirasi

A : PPOK, DD :
P : - Terapi oksigen 3 L/menit
- Terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml
- Ceftriaxone 25mg/ml, 8 ml i.v. 1x1
- Ranitidine 25mg/ml, 2 ml i.v 2x1
- Ambroxol oral 3x1
- B Complex oral 3x1

45
BAB IV
PEMBAHASAN

Bunyi jantung 4 (S4), terdengar, karena vibrasi dari dinding ventrikel selama kontraksi atrium.
Bunyi ini biasanya dihubungkan dengan penegangan ventrikel, dan dan oleh karena itu bunyi ini
terdengar pada pasien hipertropi ventrikel, miokardi iskemia, atau pada orang tua.

Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 minggu SMRS.


Keluhan ini telah dialami pasien sejak 3 tahun yang lalu. Timbul terutama saat
beraktivitas dan sesak dirasakan lebih berat ketika berbaring daripada duduk. Pasien
juga mengaku sesak sering timbul saat subuh atau malam hari sejak 1 tahun yang
lalu.
Pasien juga mengeluhkan nyeri dada sejak 2 hari SMRS, keluhan ini juga
sering dialami oleh pasien terutama ketika sesak setelah aktivitas. Pasien juga
mengeluhkan batuk sejak 1 tahun yang lalu, batuk kadang disertai dahak berwarna
putih, kadang kuning, dan kadang tanpa dahak. Riwayat batuk darah disangkal oleh
pasien. Selain itu, pasien juga sering mengeluhkan demam yang hilang timbul, dan
nafsu makan berkurang.
Pasien merupakan perokok aktif sejak usia 30 tahun, namun sudah
berhenti sejak keluhan mulai timbul sekitar 3 tahun yang lalu. Dalam 1 hari
pasienmenghabiskan sekitar 1 bungkus rokok. Dengan Indeks Brinkman
yaituperkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun, dapat dihitung :
18 x 43 = 774
Nilai 774 termsuk dalam derajat merokok yang berat.
Pasien pernah masuk ke Rumah Sakit sebanyak 2 kali sebelumnya dengan
keluhan yang sama. Menurut pengakuan pasien, pertama masuk RS 3 tahun yang
lalu, selama 2 hari, pasien melakukan foto dada, dan dikatakan mengalami
pembesaran jantung. Masuk RS yang kedua, selama 9 hari, pasien dikatakan
mengalami penyempitan saluran nafas (PPOK). Riwayat minum OAT disangkal
oleh pasien. Riwayat sakit kencing manis disangkal. Riwayat infeksi saluran nafas
berulang disangkal oleh pasien. Riwayat alergi disangkal oleh pasien.

46
Dari pemeriksaan fisik didapatkan didapatkan Ictus Cordis terlihat di SIC
VIII dan teraba keras, perkusi menunjukkan kesan kardiomegali, dengan auskultasi
terdengar bunyi galop S4.
Pemeriksaan status lokalis dalam keadaan statis didapatkan dada Barrel
Chest, dada kiri lebih tinggi dari dada kanan, dan sela iga melebar. Pemeriksaan
palpasi didapatkan deviasi trakea ke kiri, dan terdapat lipoma di daerah klavikula
kanan berukuran 4 cm, single, kenyal, dapat digerakkan, tidak nyeri tekan, warna
kulit sama dengan sekitar, frremitus taktil sebelah kanan melemah. Perkusi
menunjukkan hipersonor di seluruh lapang paru. Auskultasi dada kiri didapatkan
suara nafas pokok : Vesikuler dengan Suara Nafas Tambahan Rhonki basah mulai
SIC V. Auskultasi Kanan menunjukkan Suara Nafas Pokok Vesikuler melemah
dengan suara nafas tambahan rhonki basah.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditegakkan diagnosis Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dengan diagnosis banding asma bronkial dan gagal
jamtung.
Dari pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis adalah ditemukannya
tanda-tanda PPOK yaitu : inspeksi adanya barrel chest, pelebaran sela iga, palpasi
stem fremitus melemah, perkusi hipersonor, dan auskultasi suara napas vesikuler
melemah, rhonki basah, dan whhezing.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien
menderita PPOK. Tetapi perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri karena
baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Selain itu, untuk
menentukan derajat PPOK-nya. Pada pasien PPOK akan didapatkan hasil spirometri :
rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai VEP1 sesuai derajat.
Asma bronkial diambil sebagai diagnosis banding karena asma bronkial
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan PPOK yaitu : mengi, sesak napas, batuk-
batuk, dan berdahak. Tetapi pada asma, onsetnya usia dini, ada riwayat atopi / asma
dan alergi dalam keluarga, gejalanya bervariasi dari hari ke hari dan memburuk pada
waktu malam/dini hari, diawali oleh pencetus yang bersifat individu, hambatan aliran
udara umumnya reversibel, dan respons dengan pemberian bronkodilator. Sementara
pada pasien, gejalanya progresif lambat, sesak napas bertambah berat terutama pada
saat melakukan aktivitas, dan tidak ada riwayat asma dalam keluarga. Untuk
47
menyingkirkan asma bronkial, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru yang bertujuan
untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, dan variabilitas
faal paru (penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas). Uji faal paru yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator.
Gagal jantung diambil

Pemeriksaan penunjang foto toraks menunjukkan kesan kardiomegali dan


jantung pendulum. Pemeriksaan penunjang EKG menunjukkan kesan takikardi dan
hipertrofi atrium dan ventrikel.

Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Dari anamnesis didapatkan bahwa
keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun, sering kambuhan, dan semakin berat
sejak 1 hari sebelum pasien masuk RS. Pasien juga mengeluh sering batuk, demam
yang hilang timbul, kadang berkeringat pada malam hari yang tidak biasa, dan nafsu
makan berkurang. Pasien pernah mendapatkan obat 6 bulan yang membuat kencing
berwarna merah (OAT) 1 tahun yang lalu. Tetapi, pengobatannya tidak tuntas. Pasien
hanya mengkonsumsi obat tersebut selama 1 bulan. Pasien merokok sejak kecil
kurang lebih 3-4 batang sehari.
Dari pemeriksaan fisik paru didapatkan pelebaran sela iga, perkusi hipersonor
di seluruh lapang paru, dan auskultasi terdengar suara vesikuler yang melemah di
kedua lapang paru, wheezing di seluruh lapang paru, dan komponen ekspirasi yang
memanjang.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, ditegakkan diagnosis Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dengan diagnosis banding TB paru, asma bronkial,
dan bronkiektasis.
PPOK ditegakkan sebagai diagnosis kerja karena berdasarkan dari anamnesis
didapatkan bahwa keluhan pasien sesuai dengan gejala-gejala PPOK, yaitu : sesak
napas yang terasa bertambah berat terutama pada saat melakukan aktivitas, batuk
kronik dan berdahak kronik yang sudah bertahun-tahun (> 3 bulan) dan hilang timbul.
Selain itu, pasien juga memiliki faktor risiko untuk terjadinya PPOK yaitu : pasien
berada dalam usia yang lebih tua dari usia pertengahan (pasien berusia 63 tahun) dan
riwayat pajanan asap rokok (pasien merokok sejak kecil kurang lebih 3-4 batang
sehari dan baru berhenti sejak sesak napas dirasakan semakin memberat).

48
Dari pemeriksaan fisik yang mendukung diagnosis adalah ditemukannya
tanda-tanda PPOK yaitu : inspeksi adanya pelebaran sela iga, palpasi stem fremitus
melemah, perkusi hipersonor, dan auskultasi suara napas vesikuler melemah,
wheezing (mengi), dan komponen ekspirasi yang memanjang. Hasil pemeriksaan
rntgen toraks ditemukan diafragma yang mendatar. Ini merupakan salah satu bentuk
kelainan radiologis yang dapat ditemukan pada PPOK.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang
berusia pertengahan atau yang lebih tua. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pasien
menderita PPOK. Tetapi perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri karena
baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji spirometri. Selain itu, untuk
menentukan derajat PPOK-nya. Pada pasien PPOK akan didapatkan hasil spirometri :
rasio VEP1/KVP < 70% dan nilai VEP1 sesuai derajat.
TB paru diambil sebagai diagnosis banding karena TB paru juga memiliki
gejala-gejala yang sesuai dengan keluhan pasien. Gejala utama pasien TB paru adalah
batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan. Selain itu, pasien pernah
mendapatkan OAT 1 tahun yang lalu. Tetapi, pasien hanya mengkonsumsi obat
tersebut selama 1 bulan karena pasien merasa tidak ada perbaikan. Walaupun pada
gambaran rntgen toraks tidak tampak infiltrat, ini tidak bisa menyingkirkan TB paru
sebagai diagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis atau menyingkirkan TB paru
hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA
melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Karena pasien
merupakan suspek TB paru, jadi perlu diperiksa 3 spesimen dahak sewaktu - pagi -
sewaktu (SPS). Sampai dengan pemeriksaan sputum terakhir, didapatkan hasil BTA I
dan II negatif.
Asma bronkial diambil sebagai diagnosis banding karena asma bronkial
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan PPOK yaitu : mengi, sesak napas, batuk-
batuk, dan berdahak. Tetapi pada asma, onsetnya usia dini, ada riwayat atopi / asma
dan alergi dalam keluarga, gejalanya bervariasi dari hari ke hari dan memburuk pada
49
waktu malam/dini hari, diawali oleh pencetus yang bersifat individu, hambatan aliran
udara umumnya reversibel, dan respons dengan pemberian bronkodilator. Sementara
pada pasien, gejalanya progresif lambat, sesak napas bertambah berat terutama pada
saat melakukan aktivitas, dan tidak ada riwayat asma dalam keluarga. Untuk
menyingkirkan asma bronkial, perlu dilakukan pemeriksaan faal paru yang bertujuan
untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibilitas kelainan faal paru, dan variabilitas
faal paru (penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas). Uji faal paru yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan uji bronkodilator.
Bronkiektasis diambil sebagai diagnosis banding karena bronkiektasis
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan PPOK yaitu : batuk-batuk dan berdahak.
Hanya pada bronkiektasis, sputum pasien bersifat purulen (berwarna hijau) dalam
jumlah banyak, sering berhubungan dengan infeksi bakteri, ronki basah kasar pada
auskultasi, ditemukannya jari tabuh, dan gambaran foto toraks tampak dilatasi
bronkus dan penebalan dinding bronkus. Sementara pada pasien, sputumnya berwarna
putih hanya kadang-kadang hijau, gambaran rntgen toraks tidak tampak dilatasi dan
penebalan dinding bronkus, tidak ditemukan jari tubuh, dan pada foto toraks hanya
tampak diafragma yang mendatar, tidak ada dilatasi dan penebalan dinding bronkus.
Jadi, bronkiektasis dapat disingkirkan.
Pasien ini perlu diberikan terapi non medikamentosa berupa : tirah baring,
terapi oksigen 3 L/menit, terapi cairan RL atau NaCl 0,9% 500 ml, terapi nutrisi, dan
edukasi untuk berhenti merokok.
Pemberian oksigen konsentrasi rendah 3 liter/menit secara terus menerus ini
bertujuan untuk memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, dan toleransi beban
kerja. Tetapi, pada pasien PPOK, harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus
dipantau secara ketat. Oleh karena pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang
menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor sentral yang dalam keadaan
normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus
bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus
merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka.
Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO 2 lebih dari 50
mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK
biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi
dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi kualitas hidup. Pada pasien ini,
terapi oksigen dilakukan dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan

50
sumber oksigen. Cara ini kurang efektif. Ventimask adalah cara paling efektif untuk
memberikan oksigen pada pasien PPOK.
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi. Ini disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang meningkat.
Jadi, pasien ini perlu diberikan terapi nutrisi karena pasien tampak kurus (mungkin
sudah terjadi malnutrisi) dan pasien juga mengeluhkan nafsu makan berkurang.
Pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Berhenti
merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi
resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresifitas penyakit. Jadi, pasien
perlu mendapatkan edukasi untuk berhenti merokok. Pasien harus tahu dan mengerti
bahwa rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit.
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok dapat dilakukan dengan 5 A yaitu :
Ask (Tanyakan), Advise (Nasihati), Assess (Nilai), Assist (Bantu), dan Arrange (Atur).
Selain itu, pasien beserta keluarga juga perlu diberikan edukasi mengenai PPOK.
Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta
faktor yang bisa memperburuk penyakit.
Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah combivent
(salbutamol + ipratropium bromida) nebulizer 3 x 1, aminophilin drip 3 x 1 amp,
injeksi dexamethasone 3 x 1 amp, dan injeksi ceftriaxone 1 x 1 gr.
Salbutamol, ipratroprium bromida, dan aminophilin merupakan bronkodilator.
Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan kerja panjang.
Bronkodilator kerja singkat mungkin satu-satunya merupakan medikasi yang
diperlukan untuk meringankan gejala pada pasien dengan penyakit ringan. Dengan
meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat
memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Semua pasien
simptomatik dengan diagnosis PPOK sebaiknya diberikan inhalasi bronkodilator
percobaan, tak peduli apakah hasil spirometri memperlihatkan respon bronkodilator
yang bermakna atau tidak.
Antikolinergik dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk
PPOK. Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan
enzim guanil siklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi
terhambat. Contohnya adalah : ipratropium bromida dan tiotroprium bromida yang
diberikan dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromida merupakan antikolinergik kerja
singkat yang buruk diabsorbsi oleh saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan
memiliki sedikit efek terhadap klirens (bersihan) mukosilier. Penggunaan

51
antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif penggunaannya
pada asma.
2-agonis diduga menyebabkan bronkodilatasi dengan menstimulasi adenyl
cyclase dan meningkatkan cyclic adenosine monophosphat (cAMP) intraseluler.
Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis
adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.
Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis
bronkodilator monoterapi. 2-agonis dapat diberikan dengan kombinasi antikolinergik
untuk mengoptimalkan efek bronkodilator. Pada pasien ini diberikan kombinasi 2-
agonis kerja singkat dan antikolinergik kerja singkat yaitu : salbutamol + ipratropium
bromida.
Bronkodilator dapat diberikan dengan terapi inhalasi yaitu sebagai inhaler
dosis terukur (MDI/meter-dosed inhaler) menggunakan peralatan tertentu atau
sebagai inhaler bubuk kering (DPI/dry-powder inhaler), yang memberikan dosis
terukur, pemberian ditargetkan pada saluran napas sehingga meminimalisir efek
samping sistemik. Terapi inhalasi yang digunakan pada pasien ini adalah nebulizer.
Nebulizer memberikan dosis yang lebih besar, menggunakan alat yang besar, dan
membutuhkan keterampilan dalam perawatan mesin dan penggunaan medikasi. Maka
sebenarnya MDI yang digunakan pada spacer device merupakan metode yang lebih
dipilih dalam pemberian medikasi inhalasi.
Bronkodilator golongan xantin bekerja dengan menghambat enzim
fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat
dipertahankan pada kadar yang tinggi. Obat ini juga diperkirakan meningkatkan
kontraktilitas diafragma dengan meningkatkan aliran darah diafragma. Efek yang
menguntungkan pada fungsi diafragma ini dapat meminimalkan atau mencegah
kelelahan diafragma atau kegagalan respiratorik pada PPOK berat. Contoh obat
golongan xantin adalah : teofilin dan aminofilin. Teofilin telah menunjukkan
meringannya gejala PPOK namun obat ini memiliki masa terapeutik yang singkat.
Maka bronkodilator lainnya, jika tersedia, lebih dianjurkan. Pada pasien ini diberikan
aminofilin.
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada PPOK
masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan.
Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau injeksi
intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan inflamasi yang
terjadi dengan menghambat banyak sel inflamasi yaitu : makrofag, sel limfosit T,

52
eosinofil, sel mast di epitel sel saluran napas dan submukosa. Pengobatan dihentikan
bila tidak ada respon. Obat yang termasuk kortikosteroid adalah : dexamethason,
prednison dan prednisolon. Diberikan kortikosteroid pada pasien ini karena pasien
sedang mengalami eksaserbasi akut. Kortikosteroid yang dipilih adalah
dexamethason secara intravena.
Keadaan eksaserbasi pada PPOK kebanyakan dipresipitasi oleh infeksi
respiratorik yang biasanya akibat virus namun dapat pula akibat bakteri yang biasanya
sering ditemukan pada saluran napas bagian atas. Eksaserbasi moderat atau berat
ditandai dengan memburuknya sesak napas, batuk, dan peningkatan produksi dan
purulensi dari sputum. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin
memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam
penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik (mencakup antibiotik untuk
Haemophilus influenzae, pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis) dapat
mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Salah satu antibiotik yang dapat
digunakan adalah golongan sefalosporin generasi ketiga, misalnya : ceftriaxone.
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama
dan penting pada pengelolaan PPOK. Maka dari itu, digunakanlah mukolitik
(mukokinetik, mukoregulator) seperti : ambroksol, karbosistein, dan gliserol iodida.
Mukolitik hanya diberikan terutama pada keadaan eksaserbasi akut, yang biasa
dipakai adalah bromheksin. Pada hari keempat pasien dirawat di rumah sakit,
diberikan mukolitik berupa ambroksol karena pasien mengeluh semakin sering batuk
dan banyak dahak (pasien sedang mengalami eksaserbasi akut). Jadi, selain pasien
diberikan bronkodilator, kortikosteroid sistemik, dan antibiotik; pasien perlu
mendapatkan mukolitik.

BAB V
KESIMPULAN

53
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonal yang signifikan, yang
dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang berbeda pada tiap individu.
PPOKadalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di
saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel / reversibel sebagian. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya.
Asap rokok merupakan satu-satunya penyebab terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Faktor risiko genetik yang paling sering dijumpai adalah
defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease
serin.
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat I (PPOK ringan), derajat II (PPOK sedang),
derajat III (PPOK berat), derajat IV (PPOK sangat berat).
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, dan ada faktor risiko. Sedangkan PPOK ringan
dapat tanpa keluhan atau gejala. Dan baku emas untuk menegakkan PPOK adalah uji
spirometri. Prognosis PPOK tergantung dari derajat, penyakit paru komorbid, dan
penyakit komorbid lain.
Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa sesak napas dan batuk yang
sudah bertahun-tahun dan sering kambuhan. Didiagnosis PPOK dengan diagnosis
banding TB paru, asma bronkial, dan bronkiektasis. Selama dirawat di rumah sakit,
pasien perlu mendapatkan terapi non medikamentosa berupa tirah baring, terapi
oksigen, terapi cairan, terapi nutrisi, dan edukasi untuk berhenti merokok. dan
medikamentosa berupa combivent (kombinasi salbutamol + ipratropium bromida),
aminophilin, ceftriaxone, dan ambroxol. Rencana pemeriksaan lanjutan adalah
pemeriksaan BTA (SPS) dan spirometri.

DAFTAR PUSTAKA

54
1. Depkes R.I. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Jakarta. Ditjen PPTM & PL, Departemen Kesehatan R.I. 2007.
2. CBN Portal Cyberhealth. Rokok Tingkatkan Risiko Penyakit Paru Obstruktif
Kronik. Last update October 2003. Available from http://cybermed.cbn.net.id
3. DMI. Acuan Penanganan PPOK Terkini. Last update December 2006. Available
from http://www.kalbe.co.id
4. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease [serial online]. USA. Last update 2007. Available from
http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=1116
5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Pocket Guide to COPD
Diagnosis, Management and Prevention [serial online]. USA. Last update 2007.
Available from http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intI=98
6. Klik Dokter Menuju Indonesia Sehat. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Last
update 2008. Available from http://www.klikdokter.com
7. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih
bahasa: Azwar Agoes. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) :
Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. Revisi, Juni 2004.
9. Price, SA. & Wilson, LM. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol
1. Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta. EGC. 2006.
10. Riyanto, BS. & Hisyam, B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Editor : Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus
Alwi, Marcellus Simadibrata K., & Siti Setiati. Jakarta. Pusat Penerbitan
Departemen IPD FKUI. 2006.
11. Syaifudin & Firman, E. Studi Penggunaan Obat pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik. Last update July 2006. Available from
http://www.adln.lib.unair.ac.id
12. Yunus, F. Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi. Dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 114. 1997.

55

Anda mungkin juga menyukai