Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ODS KONJUNGTIVITIS ALERGI

DISUSUN OLEH :
Tasya Aisyah P. Maasba (C 111 12 123)

PEMBIMBING :
dr. Adriyanto W.A.I

SUPERVISOR :
dr. Andi Muhammad Ichsan, SpM (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama: Tasya Aisyah Pratiwi Maasba
Nim: C111 12 123
Judul Laporan kasus: Konjungtivitis Alergi
Telah menyelesaikan tugas dalam rangkakepaniteraan klinik pada bagianIlmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedoteran Universitas Hasanuddin.

Makaasar, Maret 2017

Konsulen Pembimbing

dr. Andi Muhammad Ichsan, Sp.M (K) dr. Adriyanto W.A.I

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.. i
DAFTAR ISI..... ii
BAB I. LAPORAN KASUS. 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..... 6
A. LATAR BELAKANG.. 6
B. EPIDEMIOLOGI. 6
C. DEFINISI..... 7
D. ANATOMI DAN FISIOLOGI. 8
E. ETIOLOGI... 10
F. PATOFISIOLOGI.... 10
G. MANIFESTASI KLINIK.... 14
H. KLASIFIKASI..... 14
I. PENATALAKSANAAN...... 24
J. KOMPLIKASI 27
K. PROGNOSIS 27

DAFTAR PUSTAKA 28

iii
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. H.Q.A
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 5 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Makassar/Indonesia
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jl. Raya Pendidikan VI Makassar
No. Register : 0681xx
Tanggal pemeriksaan : 15 Maret 2017
Tempat pemeriksaan : Balai Kesehatan Mata Makassar

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Merah pada kedua mata
Anamnesis terpimpin (Alloanamnesis):
Merah pada kedua mata diperhatikan sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
mata merah disertai rasa gatal, penglihatan sedikit kabur dan silau jika terkena
cahaya. Selain itu pasien juga mengeluh seperti ada pasir di mata. Nyeri tidak ada,
produksi air mata berlebih tidak ada. Produksi kotoran berlebih tidak ada. Riwayat
pusing dan sakit kepala tidak ada. Keluhan ini baru dirasakan pertama kali. Riwayat
menggunakan kacamata tidak ada.
Riwayat trauma pada mata disangkal, riwayat alergi di keluarga ada, riwayat
hipertensi disangkal, riwayat diabetes melitus disangkal. Riwayat terkena debu ada
kira-kira 2 minggu lalu. Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada.
Riwayat operasi mata sebelumnya disangkal

III. STATUS GENERALIS


Keadaan Umum : Sakit sedang, gizi cukup, Composmentis
Tanda vital : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 C

IV. FOTO KLINIS

Oculus Bilateral

Oculus Dextra Oculus Sinistra

V. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
Inspeksi
Pemeriksaan OD OS

Palpebra edema (-) edema (-).


hiperemis (-) Hiperemis (-)

Apparatus lakrimalis hiperlakrimasi (-) hiperlakrimasi (-)

Silia sekret (-) sekret (-)

Konjungtiva hiperemis (+) hiperemis (+)


Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
minimal minimal

2
Bola Mata Kesan intak Kesan intak

Mekanisme muscular

Kesegala arah Kesegala arah

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

Pupil Bulat, sentral Bulat, sentral

Lensa Jernih Jernih


Palpasi
Palpasi OD OS

Tensi Okuler Kesan Tn Kesan Tn

Nyeri Tekan (-) (-)

Massa Tumor (-) (-)

Glandula Preaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

VI. NON-CONTACT TONOMETRI


Tidak dilakukan pemeriksaan
VII. PEMERIKSAAN VISUS
Pemeriksaan OD OS
Visus 20/70 F 20/30

BELUM DIKOREKSI

VIII. PENYINARAN OBLIK


Pemeriksaan OD OS

3
Konjungtiva Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
minimal minimal

Kornea Jernih Jernih

Bilik Mata Depan Normal Normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

Pupil Bulat, sentral, RC (+) Bulat, sentral, RC (+)

Lensa jernih Jernih

IX. COLOR SENSE


Tidak dilakukan pemeriksaan
X. LIGHT SENSE
Tidak dilakukan pemeriksaan
XI. CAMPUS VISUAL
Tidak dilakukan pemeriksaan.
XII. SLIT LAMP
SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), injeksi konjungtiva (+) minimal, Papil
(+), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, krypte (+), pupil bulat
central, RC (+), lensa jernih
SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), injeksi konjungtiva (+) minimal, papil
(+), kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat krypte (+), pupil bulat
central, RC (+), lensa jernih
XIII. FUNDUSKOPI
Tidak dilakukan pemeriksaan
XIV. TES FLUORESCENCE
OD: Infiltrat negatif
OS: Infiltrat negatif
XV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak dilakukan pemeriksaan

4
XVI. RESUME
Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun datang berobat ke poli mata dengan
keluhan merah pada kedua mata diperhatikan sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan
mata merah disertai rasa gatal, penglihatan sedikit kabur dan fotofobia. Selain itu
pasien juga mengeluh seperti ada pasir di mata. Nyeri tidak ada, hiperlakrimasi
tidak ada. Produksi kotoran berlebih tidak ada. Riwayat pusing dan sakit kepala
tidak ada. Keluhan ini baru dirasakan pertama kali. Riwayat menggunakan
kacamata tidak ada. Riwayat alergi di keluarga ada, riwayat trauma pada mata
disangkal, riwayat terkena debu ada. Riwayat operasi pada mata disangka;
Pada pemeriksaan fisis didapatkan sakit sedang, gizi cukup. Compos
mentis. Tanda vital dalam batas normal. Pemeriksaan oftalmologi didapatkan, VOD
: 20/70 F, VOS : 20/30. SLOD tampak konjungtiva hiperemis, injeksi konjungtiva
minimal., papil. Kornea, lensa, BMD dan iris dalam batas normal. SLOS
Konjungtiva hiperemis, injeksi konjungtiva minimal, dan papil. Kornea, lensa,
BMD dan iris dalam batas normal Pada pemeriksaan fluorescence ODS tidak
didapatkan infiltrate.
XVI. DIAGNOSIS KERJA
ODS Konjungtivitis Alergi
XVII. DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis bakteri
Konjungtivitis virus
XVIII. PENATALAKSANAAN
Tetes mata antihistamin
Anti histamine 2 dd tab
B com C 2 dd 1 cth
XIX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Visam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam
Quo ad Comesticam : Bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva atau radang selaput lendir
yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut
maupun kronis.1 Penyakit ini merupakan penyakit mata yang paling
sering didapatkan di seluruh dunia. Tingkat berat penyakitnya pun
berbeda, mulai dari hiperemis ringan dengan lakrimasi sampai dengan
konjungtivitis berat yang disertai dengan discharge yang purulent.
Penyebabnya biasanya berasal dari luar tubuh, jarang yang berasal dari
dalam tubuh.2 Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya
disebabkan oleh alergi.1
Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat
reaksi alergi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan reaksi
lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat,
bakteri dan toksik. Di negara-negara maju, 20-30% populasi
mempunyai riwayat alergi, dan 50% individual tersebut mengidap
konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari
peradangan ringan seperti konjungtivitis alergi musiman atau bentuk
kronik yang berat seperti keratokonjungtivitis alergi.2,3 Konjungtivitis
alergi jarang menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita
konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan
(self-limited disease), namun dapat pula prognosis penyakit ini menjadi
buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang
kurang baik.4
B. Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan
alergen musiman yang tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering
di daerah tropis dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah,
dan Afrika. Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-

6
laki dibandingkan perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun).
Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade.
Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian
berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada
dewasa muda.3
C. Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang
menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata.1
Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala,
salah satunya adalah mata merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari
hyperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis dapat disebabkan
oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya
kontak lensa.5
Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi.
Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan
oleh reaksi alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular.
Konjungtiva sepuluh kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan
dengan kulit.5
D. Anatomi dan fisiologi konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak
(persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea limbus.2
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel
goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal
sukar digerakkan dari tarsus.

7
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya.
Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang
merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah
bergerak.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :


Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima lapisan
sel epitel silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel
konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-
sel epitel skuamosa.
Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat atau
oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet
ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara

8
merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih
pekat daripada sel-sel superficial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.
Stroma konjungtiva, dibagi menjadi :
Lapisan adenoid (superficial)
Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan
dibeberapa tempat dapat mengandung struktur semacam
folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid
tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3
bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis
inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan
mengapa kemudian menjadi folikuler.
Lapisan fibrosa (profundus)
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva. Lapisan
fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang
struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam
stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan
sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas
tarsus atas.2
E. Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1
a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.
F. Patofisiologi konjungtivitis alergi secara umum
Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat
masuknya benda asing ke dalam konjungtiva akan memicu suatu
kompleks kejadian yang dinamakan respon radang atau inflamasi.

9
Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada umumnya adalah kalor (panas),
dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan fungsiolesa.
Masuknya benda asing ke dalam konjungtiva tersebut pertama kali akan
di respon oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata. Air mata
diproduksi oleh Apartus Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan
konjungtiva dan kornea sebagai Film air mata. Fungsi air mata:
1. Menghaluskan permukaan air kornea
2. Memberi nutrisi pada kornea
3. Anti bakteri
4. Perlindungan mekanik terhadap benda asing
5. Lapisan Akuos (berada di tengah)
Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan
menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan
aliran darah ke lokasi (vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris
anterior dan a. palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah,
terjadi penurunan velocity aliran darah ke lokasi radang (leukosit
melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi peningkatan
adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel
pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan
masuk ke jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan
marginasi dan ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah
membanjiri jaringan kapiler mengakibatkan jaringan memerah
(RUBOR) dan memanas (KALOR). Peningkatan permeabilitas kapiler,
mengakibatkan masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan
sehingga terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema),
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan
peningkatan adhesi, dan migrasi leukosit (terutama fagosit) dari kapiler
ke jaringan.
Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator
kimiawi yakni:
1. Histamin

10
Dilepaskan oleh sel merangsang vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
2. Lekotrin
Dihasilkan dari membran sel meningkatkan kontraksi otot
polos mendorong kemotaksis untuk netrofil.
3. Prostaglandin
Dihasilkan dari membran sel meningkatkan vasodilatasi,
permeabilitas vaskuler mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
4. Platelet aggregating factors
Menyebabkan agregasi platelet mendorong kemotaksis untuk
neutrofil.
5. Kemokin
Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi
inflamasi) beberapa macam kemokin: IL-8 (interleukin-8),
RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed
and secreted), MCP (monocyte chemoattractant protein).
6. Sitokin
Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen
endogen yang memicu demam melalui hipotalamus, memicu
produksi protein fase akut oleh hati, memicu peningkatan
hematopoiesis oleh sumsum tulang leukositosis beberapa
macam sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6),
TNF-a (tumor necrosis factor alpha).
7. Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis).
Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen
radikal. Oksigen dan nitrogen merupakan intermediat yang
sangat toksik untuk mikroorganisme.
Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting
disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :

11
1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung
zat-zat anti mikrobial
2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak
kelenjar limfoid
3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti
4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata,
sehingga perkembangbiakan mikroorganisme terhambat
5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata
6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil
sekresi sel-sel goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air
mata
Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1
(tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi
sebelumnya berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata
merupakan suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta
chemokins seperti eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast
pada permukaan mata. Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi
yang akan mempersiapkan sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen
spesifik. Sel T yang berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan
sitokin yang akan merangsang produksi antigen spesifik imunoglobulin E
(IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor pada permukaan sel mast.
Kemudian smemicu pelepasan sitokin, prostaglandin dan platelet activating
factor. Sel mast menyebabkan peradangan dan gejala-gejala alergi yang
diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast.
Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung saraf dan
menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan
berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan
menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti
chemokin, interleukin IL-8 terlibat dalam memicu netrofil.Sitokin TH2
seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu
peningkatan sensitivitas.5,6

12
G. Manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang konjungtivitis
alergi secara umum
Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit,
bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda
karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva,
injeksi konjungtiva, datang bermusim, yang dapat mengganggu
penglihatan. Walaupun penyaki alergi konjungtiva sering sembuh
sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan
pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel
plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu
sendiri.1,2
H. Klasifikasi Konjungtivitis Alergi
Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang
dimediasi oleh IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu
dengan riwayat atopi. Semua gejala pada konjungtiva akibat dari
konjungtiva bersifat rentan terhadap benda asing. Terdapat beberapa
jenis konjungtivitis yakni konjungtivitis demam jerami,
keratokonjungivitis atopik, konjungtivitis musiman, vernal
konjungtivitis, Giant papilary konjungtivitis dan konjungtivitis flikten.
Konjungtivitis dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya
yakni konjungtivitis yang bersifat akut yakni konjungtivitis alergi
musiman dan konjungtivitis parennial sedangkan konjungtivitis kronis
yakni keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis atopik.1

a. Konjungtivitis hay fever (konjungtivitis demam


jerami/konjungtivitis simpleks)

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan


mukosa nasal. Oleh karena itu, alergen yang bisa mencetuskan
rhinitis allergi juga dapat menyebabkan konjuntivitis alergi.
Alergen airborne seperti serbuk sari, rumput, bulu hewan dan

13
lain-lain dapat memprovokasi terjadinya gejala pada serangan
akut konjuntivitis alergi.
Sebuah inflamasi konjungtiva ringan, bersifat non spesifik
yang umumnya dikaitkan dengan hay fever (rhinitis alergi). Pada
sebagian besar kasus terdapat riwayat alergi terhadap serbuk
bunga, rumput, bulu binatang, dan lain-lain.2
Gejala klinis dapat berupa mata gatal, lakrimasi, dan mata
merah. Selain itu pasien juga mengeluh matanya terlihat
tenggelam dengan jaringan sekitar. Terdapat injeksi ringan pada
konjungtiva palpebral dan bulbi, dan selama fase akut tampak
kemosis berat, yang tanpa ragu dideskripsikan sebagai
tenggelam.2
Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah
waktu timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan
konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti
pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen
utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput
dan pada musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya
tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan
konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala
sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu
rumah, asap rokok, dan bulu hewan.4
Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:
1) Respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah yang
menyebabkan terjadinya eksudasi.
2) respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi
eosinofil, sel plasma dan mediator lain.
3) respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva,
diikuti dengan meningkatnya pembentukan jaringan ikat.4

14
b. Konjungtivitis Vernal
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva
bilateral dan berulang (recurrence) yang khas, dan merupakan
suatu reaksi alergi. Penyakit ini juga dikenal sebagai
konjungtivitis musiman atau konjungtivitis musim
kemarau. Sering terdapat pada musim panas di negeri
dengan empat musim, atau sepanjang tahun di negeri tropis
(panas).1,2
1. Etiologi dan Predisposisi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas tipe I yang mengenai kedua mata, sering terjadi
pada orang dengan riwayat keluarga yang kuat alergi.1,2
Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis
kelamin sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah
10 tahun. Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan
gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.1
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:3,4
Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan
antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel
basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
menimbulkan reaksi tipe cepat.
Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam
hal ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan
dengan antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel
tersebut. Reaksi ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin
(1986), reaksi allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis
ini.

15
Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen
membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan
neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa
keratitis herpes simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok,
pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian juga terjadi pada
keratitis Herpes simpleks.
Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan
adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen,
dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai
pada reaksi penolakan pasca keratoplasti, keraton- jungtivitis
flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis diskiformis.3
2. Manifestasi Klinis
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain
yang menyertai meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa
pedih terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang masuk.
Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang, dan sangat
membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia tidak
dapat beraktivitas normal.1,2
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :
Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal
superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (cobble
stone) yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva
tarsal bawah hiperemi dan edema, dengan kelainan
kornea lebih berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik
papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak

16
(polygonal) dengan permukaan yang rata dan dengan
kapiler ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral


o Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus
superior yang dapat membentuk jaringan
hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan
Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel
kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus
kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit
eosinofil.1,2

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal


3. Patofisiologi
Pada bentuk palpebral, perubahan struktur
konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang
insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai

17
hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan
diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang
menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak
terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan
menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga
terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang
berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan
sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau.
Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von
Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil
pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis
mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis
serta erosi epitel kornea.
Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama,
yaitu: perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah
kolagen, dan infiltrasi sel plasma, limfosit, eosinofil dan
basofil ke dalam stroma. Limbus konjungtiva juga
memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi
yang menghasilkan lesi fokal. Penggunaan jaringan yang
dilapisi plastik yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya
dan elektron dapat memungkinkan beberapa observasi
tambahan. Basofil sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak
dalam jaringan epitel sebagaimana juga pada substansi
propria. Walaupun sebagian besar sel merupakan komponen
normal dari substansi propia, namun tidak terdapat jaringan
epitel konjungtiva normal.
Walaupun karakteristik klinis dan patologi
konjungtivitis vernal telah digambarkan secara luas, namun
patogenesis spesifik masih belum dikenali.2,5
4. Gambaran Histopatologik

18
Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase pr
ehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak pembentukan
neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu
lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara
papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil
ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN,
eosinofil, basofil, dan sel mast.
Hasil penelitian histopatologik terhadap konjungtivitis
vernalis mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang
menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva.
Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid.
Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel
eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan dalam
kekambuhan konjungtivitis.
Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi
hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal,
tetapi juga di fornix, serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi
radang pada iris dan badan siliar. Fase vaskular dan selular dini
akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase,
peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel
radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan
substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya
deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaanklinis.
Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant
papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Kolagen
maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi.
Epiteliumnya berproliferasi menjadi 510 lapis sel epitel yang
edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah
besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks
sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan
mengalami keratinisasi.1,2,5

19
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang
sama berupa pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan
dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-Trantas
dots yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas
eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada
sel PMN dan limfosit.

Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang Terutama Eosinofil

5. Pemeriksaan Penunjang
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan
Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik
bebas. Pada pemeriksaan darah ditemukan eosinofilia dan
peningkatan kadar serum IgE.
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel
yang secara rutin tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan
yang lebih baik adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan
plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat
memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1
berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per
kubik milimeter tidak melampaui jumlah normal.
Diperkirakan bahwa peradangan sel secara maksimum
seringkali berada dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi,
untuk mengakomodasi lebih banyak sel dalam proses
peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan

20
membesar dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan
pembuluh darah.
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari
empat pasien konjungtivitis vernal yang terkontaminasi
dengan zat imun, yaitu: dua dari empat pasien mengandung
spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya
membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada
konjungtiva normal dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari
sampel serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan 10 subjek
kontrol telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang
signifikan antara air mata dengan level kandungan serum
pada kedua mata. Kandungan IgE pada air mata diperkirakan
muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam serum
(1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien
konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum
(201ng/ml) dan pada air mata (61ng/ml) dari orang normal.
Butiran antibodi IgE secara spesifik ditemukan pada air mata
lebih banyak daripada butiran antibodi pada serum. Selain itu,
terdapat 18 dari 30 pasien yang memiliki level antibodi IgG
yang signifikan yang menjadi butiran pada air matanya.
Orang normal tidak memiliki jenis antibodi ini pada air
matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini
menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi
perantara mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis
konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi terjadi
pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan negatif
pada orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi pada
penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan
dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada
antibodi IgE.

21
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan
pasien konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih
tinggi daripada kandungan histamin air mata pada 13 orang
normal (10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan
pengamatan menggunakan mikroskopi elektron yang
diperkirakan menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel
mastosit dalam substantia propia daripada dengan
pengamatan yang menggunakan mikroskopi cahaya.
Sejumlah besar sel mastosit ini terdapat pada air mata dengan
level histamin yang lebih tinggi.
Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang
terinfeksi menunjukkan adanya banyak eosinofil dan butiran
eosinofilik. Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap
pembesaran 25x dengan sifat khas penyakit (pathognomonic)
konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan adanya akumulasi
eosinofil pada daerah permukaan lain pada level ini.4,5
c. Konjungtivitis atopi

Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis


atopi. Tanda dan gejalanya berupa sensasi terbakar, kotoran mata
berlendir, merah dan fotofobia. Terdapat papil halus tetapi papil
raksasa tidak ditemukan seperti pada konjungtivitis vernal.
Kerokan konjungtiva menampakan eosinofil meski tidak sebanyak
terlihat pada keratokonjungtivitis vernal.1

d. Giant papilary konjungtivitis

Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip


dengan konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang
menggunakan mata buatan dari plastik atau lensa kontak terutama
jika memakainya melewati waktunya. Konjungtivitis Giant
Papillarry diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva
tarsalis superior. Konjungtivitis ini mungkin merupakan reaksi

22
hipersensitivitas tipe lambat kaya basofil dan mungkin dimediasi
oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil
(sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil
akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1,2

e. Konjungtivitis flikten

Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi


(hipersensitivitas tipe IV) terhadap bakteri atau antigen tertentu,
seperti tuberkuloprotein pada penyakit tuberkolosis, infeksi bakteri
(stafilokok, pneumokok, streptokok, dan Koch Weeks), virus
(herpes simplek), toksin dari moluskum kontagiosum yang terdapat
pada margo palpebra, jamur (kandida albikan), cacing (askaris,
tripanosomiasis), limfogranuloma venereal, leismaniasis, infeksi
parasit dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Konjungtivitis flikten
biassanya dimulai dengan munculnya lesi kecil berdiameter 1-3 mm
yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi zona hiperemis. Di
limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah kornea.1,2

I. Penatalaksanaan
Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi
antigen spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif
seperti lubrikan dan kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang
dirasakan oleh pasien. Obat-obatan yang menurunkan respon imun juga
digunakan pada kasus konjungtivitis alergi untuk menurunkan respon imun
tubuh dan meredakan gejala inflamasi.
Obat obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:
Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi
(misalnya, edema, dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut
juga membatasi migrasi makrofag dan neutrofil untuk daerah meradang serta
memblokir aktivitas fosfolipase A2 dan selanjutnya induksi asam arakidonat
cascade. Obat ini digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut alergi,

23
steroid efektif dalam mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya
harus dibatasi karena potensi efek samping dengan bila lama digunakan.
Penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang dapat menyebabkan
komplikasi seperti katarak subkapsular posterior dan peningkatan tekanan
intraokular (TIO).
Kombinasi Vasokonstriktor topikal dan antihistamin. Agen ini
menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan permeabilitas
pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal dengan memblokir histamin H1
receptors Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan
reseptor histamin dan dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine
hidroklorida 0,05%, sebuah H1 selektif topikal antagonis reseptor histamin,
efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala alergi lain conjunctivitis.
H1 selektif antagonis, azelastine hidroklorida 0,05%, efektif dalam
mengurangi gejala yang terkait dengan alergi, difumarate 0,05%, suatu
antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif dibandingkan levocabastine
dalam mengurangi chemosis, kelopak mata bengkak,dan tanda-tanda dan
gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis alergi musiman pada pasien
dewasa dan anak.
Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini
menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab
untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac
trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi
tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi, meskipun
Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac
untuk pengobatan konjungtivitis alergi.
Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel
mast, sehingga membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin,
neutrofil dan eosinofil faktor chemotactic, dan platelet-activating factor.
Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik
ampuh digunakan untuk mengobati berbagai penyakit yang melibatkan
sistem imun. Pengobatan Sistemik dengan siklosporin A dapat menjadi

24
pengobatan yang efektif untuk pasien dengan keratokconjugtiviits atopik
yang berat.
Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu
Mereka harus digunakan dengan hati-hati karena efek penenang dan
antikolinergik dari beberapa antihistamin generasi pertama obat-obatan.
Pasien harus memperingatkan efek samping potensial. Antihistamin baru
yang jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menyebabkan sedasi, tetapi
penggunaannya dapat mengakibatkan kekeringan okular meningkat
permukaan.3
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :
a. Terapi lokalis
- Steroid topical penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis
vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma.
Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam)
selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali
sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah
fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone.
Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara semua
steroid tersebut.1,2,3
- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%
- Antihistamin topical
- Acetyl cysteine 0,5%
- Siklosporin topical 1%
b. Terapi sistemik;
- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal
- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive
c. Terapi lain dan pencegahan
- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid
supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang
sangat besar.

25
- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari
tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis
dari mediator -mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah
super infeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya
glaukoma sekunder dan katarak.
- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa
serbuk sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
- Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan
alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari
karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.
- Kompres dingin dapat meringankan gejala.
- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga
berfungsi protektif karena membantu menghalau alergen.4
- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering
juga disebut sebagai climato-therapy.
- Menjauhi alergen merupakan modifikasi prilaku utama untuk semua
jenis konjungtivitis alergi, akan tetapi, mata memiliki area permukaan
yang luas oleh karena itu sulit untuk menghindari pemaparan alergen
melalui udara.4
J. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada
kornea dan infeksi sekunder. Sedangkan, komplikasi konjungtivitis vernal
adalah pembentukan jaringan sikratik dapat mengganggu penglihatan.3
K. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus
dapat sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat
terjadi apabila tidak ditangani dengan baik.2,3

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. 2011. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam:
Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-4. Jakarta: FKUI. h121-137.
2. Nijm, Lisa M, et al. 2011. Vaughan & Asbury General Ophtalmology. Edisi
18. United State: McGraw-Hill
3. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. 2012. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. 16 Maret
2017
4. La Rosa, Mario. Et al. 2013. Allergic conjunctivitis: a comprehensive review
of the literature. Italian Journal of Pediatrics 2013, 39:18.
http://www.ijponline.net/content/39/1/18
5. Khurana AK. 2011. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor.
Comprehensive Ophtalmology. Ed. 4. New Delhi: New Age; h. 51-88.
6. Bonini, Stefano. Et al. 2009. Allergic Conjunctivitis: Update on Its
Pathophysiology and Perspectives for Future Treatment. Allergy Frontiers:
Clinical Manifestations, 25-40.

27

Anda mungkin juga menyukai