Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara sebagai warga negara yang baik
kita harus taat dan patuh pada hukum yang berlaku. Untuk urusan perkawinan,
negara kita telah memiliki undang-undang perkawinan dan termuat juga dalam
Kompilasi Hukum Islam. Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun
dan syarat perkawinan yang telah ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut
sah. Ada satu hal yang masih menjadi halangan untuk sah atau tidaknya sebuah
perkawinan. Hal tersebuat adalah halangan perkawinan atau disebut juga dengan
mahram.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud larangan perkawinan itu?
2. Apa yang dimaksud dengan mahram?
3. Bagaimana hubungan antara hukum di Indonesia dengan syariat islam?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Larangan Perkawinan
Dalam hal ini larangan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan mana saja
yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki karena adanya hubungan mahram
atau sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Mahrom adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan. [Al-Mughni 6/555]
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan, Mahrom wanita adalah suaminya dan semua
orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak,
1 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995), hal. 45
2
anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara
sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya.2
Menurut buku fiqih munakahat oleh Abdul rahman secara garis besar,
larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara dibagi
menjadi dua, yaitu Larangan Sementara dan Larangan Selamanya. Di antara
larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati dan ada pula yang tidak
disepakati. Yang disepakati ada tiga, yaitu : 3
1. Nasab ( keturunan )
2. Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )
3. Sesusuan
1. Zina
2. Lian
1. Larangan bilangan
2. Larangan mengumpulkan
3. Larangan kehambaan
4. Larangan kafir
5. Larangan ihram
Secara garis besar larangan perkawinan itu ada dua macam yaitu :
3Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, jakarta,
2010), hal110
3
Pertama: Larangan perkawinan untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad.
Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu tertentu; suatu ketika
bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi
haram, yang disebut mahram muaqqat.4
Ibu
Anak
Saudara
Saudara ayah
Saudara ibu
Anak dari saudara laki-laki; dan
Anak dari saudara perempuan5
5 ibid
4
Sesuai dengan yang berbunyi dalam surat an-Nisa ayat 23:
5
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya
atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
6
Ayat ketiga pasal 39 menyebutkan bahwa salah satu larangan perkawinan
disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Ayat itu berbunyi :
Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu
tersebut menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan
tersebut sudah menjadi seperti ibunya. Sedangkan perempuan itu menghasilkan
ASI karena mempunyai anak dari hubungan dengan suaminya maka suaminya
tersebut telah seperti ayah dari anak yang menyusu tersebut. Demikan pula anak
dari perempuan itu sudah seperti saudara bagi anak yang menyusu tersebut.
7 H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976), hal. 401
7
Firman Allah SWT :
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya
dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
2. Menyusunya anak itu lima kali sampai kenyang dan waktu yang terpisah.
8
sampai pasal 44. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal sebagai
berikut :
Pasal 41
Hal ini juga telah di jelaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 23.
Hukum dari perkawinan kedua itu adalah haram sesuai dengan pangkal ayat ini
yang berbunyi : yang artinya diharamkan atasmu
mengawininya. Hikmah dari perkawinan ini adalah merusak silaturahmi antara
orang yang seharusnya menjaga silaturahmi. Jika istrinya sudah diceraikan maka,
penghalang perkawinan itu hilang dan dia boleh menikahi saudara perempuannya.
Pasal 42
9
(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.
Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang, tetapi
dibatasi paling banyak adalah empat orang. 10 Maka, jika seorang lelaki telah
memiliki empat orang istri, haram baginya untuk menikah lagi, kecuali dia telah
menceraikan salah satu istrinya dan telah melewati masa iddah. Seperti yang
tertera pada surat an-Nisa ayat 3 :
Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn
seorang wanita karena keadaan
10
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;
24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki.
Pasal 43
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas
isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.
11
e. Larangan karena beda agama
Pasal 44
Pasal 40
12
221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Dan dengan adanya ayat di atas telah jelas bahwa perkawinan beda agama itu
dilarang baik secara hukum maupun secara syariat. Halangan ini dapat gugur
apabila calon istri maupun suami yang mau menikah telah beriman kepada Allah
SWT.
Wanita yang sedang melakukan ihram. Hal ini tidak berlaku lagi setelah
berakhir masa ihramnya. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan Utsman bin Affan: Orang yang sedang ihram tidak boleh
menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.
13
3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin
Dalam hal ini sudah jelas hukumnya, karena wanita hamil itu sedang
menjalani masa iddah hamil. Setelah wanita tersebut melahirkan dan
selesai nifasnya maka bolehlah ia dikawini oleh seorang laki-laki. Seperti
diterangkan dalam hadist :
Wanita yang hamil tidak boleh digauli (jima) sampai ia melahirkan, dan yang tidak
hamil tidak boleh digauli sampai setelah datangnya satu kali haid. (HR. Abu Daud :
2159, Di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwa : 7/214 no : 2138)
BAB III
KESIMPULAN
14
ketentuan dalam perundangan tersebut hampir seluruhnya berasal dari fiqih yang
bersumber langsung pada Al-Quran.
Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan
sudah sangat jelas diatur dalam al-quran, hadist dan sunah. Jadi bagi umat
muslim wajib untuk mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan
tersebut yaitu : larangan sementara dan larangan selamanya.
Namun, ada dua point yang belum terdapat dalam KHI yaitu hukum
tentang menikahi wanita yang sedang berihram dan menikahi pezina. Semoga hal
ini dapat menjadi acuan bagi kita untuk lebih menyempurnakan Hukum
perkawinan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995)
Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat
15
Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
jakarta, 2010)
16