Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan sangat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan


maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan
perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk
yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana
damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari
hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila islam mengatur masalah


perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. Untuk membawa umat manusia
hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-
tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan
ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al Khaliq
( Tuhan Maha Pencipta ) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan
kehidupan sejenisnya.

Selain itu, dalam berbangsa dan bernegara sebagai warga negara yang baik
kita harus taat dan patuh pada hukum yang berlaku. Untuk urusan perkawinan,
negara kita telah memiliki undang-undang perkawinan dan termuat juga dalam
Kompilasi Hukum Islam. Meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun
dan syarat perkawinan yang telah ditentukan, belum tentu perkawinan tersebut
sah. Ada satu hal yang masih menjadi halangan untuk sah atau tidaknya sebuah
perkawinan. Hal tersebuat adalah halangan perkawinan atau disebut juga dengan
mahram.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud larangan perkawinan itu?
2. Apa yang dimaksud dengan mahram?
3. Bagaimana hubungan antara hukum di Indonesia dengan syariat islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Larangan Perkawinan

Pada dasarnya laki-laki adalah pasangan bagi wanita. Allah menciptakan


tumbuh-tumbuhan, binatang maupun manusia secara berpasangan-pasangan.
Namun demikian, menurut hukum Islam tidak setiap laki-laki dibolehkan kawin
dengan setiap perempuan. Ada di antara perempuan yang tidak boleh dinikahi
oleh laki-laki tertentu karena antara keduanya terdapat penghalang perkawinan
yang dalam fiqh munakahat disebut dengan mawani an-nikah. Dimaksud dengan
penghalang perkawinan atau mawani an-nikah yaitu hal-hal, pertalian-pertalian
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang menghalangi terjadinya
perkawinan dan diharamkan melakukan akad nikah antara keduanya.1

Dalam hal ini larangan yang dimaksud adalah perempuan-perempuan mana saja
yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki karena adanya hubungan mahram
atau sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, Mahrom adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab,
persusuan dan pernikahan. [Al-Mughni 6/555]

Berkata Imam Ibnu Atsir rahimahullah, Mahrom adalah orang-orang yang


haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan
lain-lain.[An- Nihayah 1/373]

Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan, Mahrom wanita adalah suaminya dan semua
orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak,

1 M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995), hal. 45

2
anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara
sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya.2

B. Macam-macam Larangan Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum islam


dan Dikuatkan Oleh Syariat Islam

Menurut buku fiqih munakahat oleh Abdul rahman secara garis besar,
larangan kawin antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara dibagi
menjadi dua, yaitu Larangan Sementara dan Larangan Selamanya. Di antara
larangan-larangan selamanya ada yang telah di sepakati dan ada pula yang tidak
disepakati. Yang disepakati ada tiga, yaitu : 3

1. Nasab ( keturunan )
2. Pembesanan ( karena pertalian kerabat semenda )
3. Sesusuan

Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu :

1. Zina
2. Lian

Larangan-larangan sementara ada sembilan, yaitu :

1. Larangan bilangan
2. Larangan mengumpulkan
3. Larangan kehambaan
4. Larangan kafir
5. Larangan ihram

Secara garis besar larangan perkawinan itu ada dua macam yaitu :

2Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat hal ; 67

3Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, jakarta,
2010), hal110

3
Pertama: Larangan perkawinan untuk selamanya dalam arti sampai kapanpun dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan itu tidak boleh melakukan
perkawinan. Larangan dalam bentuk ini disebut mahram muabbad.

Kedua: larangan perkawinan berlaku untuk sementara waktu tertentu; suatu ketika
bila keadaan dan waktu tertentu itu sudah berubah ia sudah tidak lagi menjadi
haram, yang disebut mahram muaqqat.4

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 yang berisi tiga


ayat menjelaskan bahwa Dilarang melangsungkan perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Hal ini sama dengan
Mahram muabbad, yaitu orang yang haram melakukan pernikahan untuk
selamanya ada tiga kelompok. Larangan perkawinan itu berlaku untuk :

a. Disebabkan oleh adanya hubungan kekerabatan.

KHI telah mengatur larangan perkawinan karena hubungan


kekerabatan yang tertera pada pasal 39 ayat 1 berbunyi :
(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

Di dalam ayat di atas telah jelas disebutkan bahwa perempuan-perempuan


yang haram dikawini oleh laki-laki untuk selamanya disebabkan oleh hubungan
kekerabatan atau Nasab adalah sebagai berikut:

Ibu
Anak
Saudara
Saudara ayah
Saudara ibu
Anak dari saudara laki-laki; dan
Anak dari saudara perempuan5

4Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,


(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal. 110

5 ibid

4
Sesuai dengan yang berbunyi dalam surat an-Nisa ayat 23:

23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Larangan Perkawinan Karena Adanya Hubungan Perkawinan yang Disebut


Hubungan Mushaharah.

Selanjutnya mengenai ayat dua dalam pasal 39 yang mengatur larangan


perkawinan karenan adanya hubungan perkawinan atau disebut juga dengan
kerabat semenda yang berbunyi :

(2) Karena pertalian kerabat semenda :

5
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya
atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang
menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas
isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan
dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

Fiqih menyebut hubungan perkawinan atau disebut juga dengan kerabat


semenda dengan hubungan Mushaharah yang berarti hubungan antara perempuan
dengan kerabat dari laki-laki yang telah menikahinya. Dengan adanya hubungan
mushaharah ini, maka timbul pula larangan perkawinan.

Perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki untuk


selamanya karena hubungan mushaharah itu adalah sebagai berikut:

a. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri.


b. Perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu.
c. Ibu istri atau mertua.
d. Anak dari istri dengan ketentuan istri itu telah digauli.6

Empat perempuan yang telah dilarang untuk dinikahi sebagaimana


disebutkan di atas sesuai dengan petunjuk Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat
22 dan 23:

22. dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

c. Karena Hubungan Sepersusuan

6 Ibid hal. 112

6
Ayat ketiga pasal 39 menyebutkan bahwa salah satu larangan perkawinan
disebabkan adanya hubungan sepersusuan. Ayat itu berbunyi :

(3) Karena pertalian sesusuan :


a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya
menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya
menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan
keturunannya.

Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu
tersebut menjadi darah daging dan pertumbuhan bagi si anak sehingga perempuan
tersebut sudah menjadi seperti ibunya. Sedangkan perempuan itu menghasilkan
ASI karena mempunyai anak dari hubungan dengan suaminya maka suaminya
tersebut telah seperti ayah dari anak yang menyusu tersebut. Demikan pula anak
dari perempuan itu sudah seperti saudara bagi anak yang menyusu tersebut.

Apabila seorang perempuan menyusukan seorang anak yang belum sampai


umurnya dua tahun, maka menurut hukum seperti anak perempuan itu. 7Hal ini
juga tertera dalam surat an-Nisa ayat 23. Terdapat perbedaan faham diantara
ulama, apakah muhrim dengan jalan persusuan itu, bercabang juga terhadap
muhrim dengan jalan perkawinan atau tidak? Sebagian ulama berpendapat, tidak!
Mazhab yang empat berpendapat, ia bercabang pula kepada muhrim sebab
perkawinan, maka haram atas seorang suami menikah ibu persusuan istrinya,8

Syarat-syarat yang menjadikan muhrim adalah sebagai berikut :

1. Umur anak sewaktu menyusu kurang dari dua tahu.

7 H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976), hal. 401

8 Ibid hal 402.

7
Firman Allah SWT :

















233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya
dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa
Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.

2. Menyusunya anak itu lima kali sampai kenyang dan waktu yang terpisah.

Mahram muaqqat adalah larangan kawin yang berlaku untuk sementara


waktu disebabkan oleh hal-hal tertentu. Bila hal tersebut sudah tidak ada, maka
larangan itu tidak berlaku lagi.9hal ini bisa dijadikan acuan pada KHI pasal 40
9Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal.124

8
sampai pasal 44. Larangan kawin sementara itu berlaku dalam hal sebagai
berikut :

a. Mengawini Dua Orang Saudara dalam Satu Masa

Pasal 41 mengatur larangan mengawini dua orang saudara sekaligus. Yaitu


dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yag
bersaudara, atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan
bapaknya, atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian
mahram. Pasal itu berbunyi :

Pasal 41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang


wanita yang mempunyai hubungan
pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau
keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun


isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

Hal ini juga telah di jelaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa ayat 23.
Hukum dari perkawinan kedua itu adalah haram sesuai dengan pangkal ayat ini
yang berbunyi : yang artinya diharamkan atasmu
mengawininya. Hikmah dari perkawinan ini adalah merusak silaturahmi antara
orang yang seharusnya menjaga silaturahmi. Jika istrinya sudah diceraikan maka,
penghalang perkawinan itu hilang dan dia boleh menikahi saudara perempuannya.

b. Poligami di luar batas

Dalam pasal 42 mengatur tentang poligami diluar batas. Ayat tersebut


berbunyi :

Pasal 42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan


seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4

9
(empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah
seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang
yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari seorang, tetapi
dibatasi paling banyak adalah empat orang. 10 Maka, jika seorang lelaki telah
memiliki empat orang istri, haram baginya untuk menikah lagi, kecuali dia telah
menceraikan salah satu istrinya dan telah melewati masa iddah. Seperti yang
tertera pada surat an-Nisa ayat 3 :

Artinya: dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.

c. Larangan karena ikatan perkawinan

Seorang wanita yang berada dalam ikatan perkawinan tidak boleh


dinikahi siapapun. Hal ini berlaku sampai suaminya meninggal maupun setelah
dicerai dan habis masa iddahnya. Seperti yang tercantum dalam pasal 40 poin a
dan b yang berbunyi :

Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn
seorang wanita karena keadaan

10 H. Hasbiyallah, M.Ag., Masail Fiqhiyah, (Jakarta :Direktorat jenderal


pendidikan islam, jakarta, 2009) hal. 90

10
tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain;

Hal ini juga di jelaskan dalam surat an-Nisa ayat 24 :




24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki.

d. Larangan karena talak tiga

Dalam pasal 43 menjelaskan tentang seorang suami yang menceraikan


istrinya dengan tiga talak baik sekaligus maupun bertahap, mantan suaminya itu
haram mengawininya sampai mantan istri itu dikawini lalu diceraikan oleh laki-
laki lain dan habis masa iddahnya. Pasal 43 itu berbunyi :

Pasal 43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :


a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga
kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas
isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan
tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Hal ini dinyatakan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230.

230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain.

11
e. Larangan karena beda agama

Dalam KHI pasal 44 dan pasal 40 point c dijelaskan bahwa perkawinan


beda agama itu dilarang. Baik dari pihak laki-laki maupun pihak
perempuan dilarang menikah dengan orang yang tidak beragama islam.
Bunyi dari pasal 44 dan pasal 40 point c:

Pasal 44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan


dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.

Pasal 40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn


seorang wanita karena keadaan tertentu:
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

12
221. dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Dan dengan adanya ayat di atas telah jelas bahwa perkawinan beda agama itu
dilarang baik secara hukum maupun secara syariat. Halangan ini dapat gugur
apabila calon istri maupun suami yang mau menikah telah beriman kepada Allah
SWT.

f. Larangan karena ihram

Wanita yang sedang melakukan ihram. Hal ini tidak berlaku lagi setelah
berakhir masa ihramnya. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan Utsman bin Affan: Orang yang sedang ihram tidak boleh
menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.

g. Larangan karena perzinahan

Pembahasan berkenaan dengan pezina ini dijelaskan olehProf. Dr. Amir


Syarifuddin menyangkut dua hal yaitu :

1. Kawin dengan pezina

Perempuan pezina haram dinikahi laki-laki baik (bukan pezina),


sebaliknya perempuan baik-baik tidak boleh kawin dengan laki-laki
pezina.11Setelah dia bertaubat, maka dia boleh dinikahi. Keharaman
mengawini pezina ini di dasarkan pada firman Allah SWT dalam surat an-
Nur ayat 3 :

11Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,


(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006) , Hal.130

13

3. laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin

2. Kawin dengan perempuan hamil karena zina

Dalam hal ini sudah jelas hukumnya, karena wanita hamil itu sedang
menjalani masa iddah hamil. Setelah wanita tersebut melahirkan dan
selesai nifasnya maka bolehlah ia dikawini oleh seorang laki-laki. Seperti
diterangkan dalam hadist :

Wanita yang hamil tidak boleh digauli (jima) sampai ia melahirkan, dan yang tidak
hamil tidak boleh digauli sampai setelah datangnya satu kali haid. (HR. Abu Daud :
2159, Di shahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Irwa : 7/214 no : 2138)

BAB III

KESIMPULAN

Bila diperhatikan UU perkawinan dan KHI yang mengatur tentang


perkawinan kelihatannya hampir semua ketentuan terdapat dalam fiqih telah
diakomodir dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Bahkan

14
ketentuan dalam perundangan tersebut hampir seluruhnya berasal dari fiqih yang
bersumber langsung pada Al-Quran.

Menurut ajaran agama islam larangan perkawinan itu memang ada, bahkan
sudah sangat jelas diatur dalam al-quran, hadist dan sunah. Jadi bagi umat
muslim wajib untuk mematuhinya. Ada 2 hal tentang larangan perkawinan
tersebut yaitu : larangan sementara dan larangan selamanya.

Larangan sementara adalah larangan perkawinan hanya dalam waktu


sementara tidak untuk selamanya. Contoh dari larangan sementara adalahWanita
yang sedang dalam masa iddah, baik masa iddah cerai maupun masa iddah
ditinggal mati berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dan
234.

Larangan selamanya adalah larangan perkawinan dalam waktu yang lama


atau selama-lamanya contoh nya wanita yang mempunyai hubungan darah dalam
garis lurus ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan , baik dari anak
laki-laki maupun anak perempuan ke bawah haram untuk dinikahi.

Namun, ada dua point yang belum terdapat dalam KHI yaitu hukum
tentang menikahi wanita yang sedang berihram dan menikahi pezina. Semoga hal
ini dapat menjadi acuan bagi kita untuk lebih menyempurnakan Hukum
perkawinan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

M Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : CV. Sinar Grafika, Jakarta,
1995)
Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashu bil mu'minat

15
Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
jakarta, 2010)

Prof. Dr. Amir Syarifuddin, HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA,


(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006)

H. Sulaiman Rasyid, FIQIH ISLAM, (Jakarta: ATTAHIRIYAH, jakarta, 1976)


H. Hasbiyallah, M.Ag., Masail Fiqhiyah, (Jakarta :Direktorat jenderal pendidikan
islam, jakarta, 2009)
KOMPILASI HUKUM ISLAM
UNDANG UNDANG PERKAWINAN

16

Anda mungkin juga menyukai