Anda di halaman 1dari 10

Ashifa Maulidya Shibly

04011381419194

CEREBRAL PALSY

Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan gerak atau postur yang
disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang sedang berkembang (immatur).
Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa terjadi sebagai akibat
proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak progresif pada saat
prenatal dan sampai 2 tahun post natal termasuk dalam kelompok CP. Cerebral palsy bukanlah
termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk sekelompok gejala motorik
yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol
dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan
berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan daerah
kerusakan otak yang terjadi.

Etiologi

Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal dan post natal.
Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan
pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab
yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada bayi berat
lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari
2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP.
Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu
meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrition
dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau
peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan
USG Doppler. Kehamilan multipel meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000
bayi kembar tiga. Kelainan kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar
0,03% dari yang lahir hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri
yang terjadi pada ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
CP. Infeksi maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan
berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler. Defisiensi iodium sudah menjadi
penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan
protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada kalangan
sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak penelitian menduga
perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil yang mengkonsumsi
alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak jelas pada yang
mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada otak, akibat mempunyai
efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan pemeriksaan USG setelah lahir.
Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya resiko CP pada bayi lahir lebih 32
minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir
aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil
yang bermakna dalam menurunkan insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesium
berfungsi menutup reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron dan menghambat efek
sitotoksik dari hipoksia akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan
tersebut. Sekitar 10% kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan
menyebabkan proses hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan,
faktor-faktor abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation)
mempunyai kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus
lama, presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami
asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat
persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah
berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi
abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan persalinan
yang mungkin timbul. Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal yang modern,
didapatkan perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak dengan CP
dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan prematuritas, dan kaitan
antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan hidup dan adanya hubungan
antara leukomalasia periventrikuler dan amnionitis (bisa diakibatkan komplikasi khorionitis).
Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap CP dengan
meningkatkan resiko primaturitas. Meningitis atau ensefalitis pada saat neonatal atau anak dapat
menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan terjadinya kernikterus sebagai akibat
peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil menurunkan terjadinya kelainan
neurologis. Bagaimanapun juga ,hiperbilirubinemia merupakan penyebab yang bermakna adanya
kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik, didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia
berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin 2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada
hubungan dengan keterlambatan perkembangan, terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi
prematur. Di Australia barat kecelakaan lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna
terjadinya gangguan perkembangan saraf.
Neuropatologi

Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek
motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita cacat
berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis,
hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel
atau iskemia yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis didaerah periventrikel
substansia alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri.

Kelainan tersebut dapat fokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena. Pada CP yang ringan
kadang-kadang jaringan otak tampak normal tetapi dengan berat otak yang berkurang. Tidak
didapatkannya area yang abnormal membuat dukungan pada dugaan bahwa sebagian CP mengalami
abnormalitas gangguan perkembangan pada tingkatan mikroskopis. Pada pemeriksaan neuroimaging
bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler, malformasi kongenital, atropi
kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang multipel.

Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemik-ensefalopati saat neonatal, pada gambaran
mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled. Pada satu laporan kasus pada 111 anak
dengan CP tipe hemiplegi spastik, dengan pemeriksaan CT Scan, didapatkan 29% normal, atrofi
periventrikel 42%, malformasi kongenital 17%, kortikal-subkortikal atrofi 12% dan kelainan lain 3%.
Kragelohmann dengan pemeriksaan MRI pada tipe kuadriplegi spastik 9% normal, 9% malformasi,
68% kerusakan pada substansia alba dan 14% kerusakan subkortikal. Hayakawa melakukan
pemeriksaan MRI pada tipe diplegi spastik, 21% normal, 0% malformasi, 70% kerusakan substansia
alba dan 9% kerusakan subkortikal.

Patofisiologi

Kerusakan otak saat prenatal, perinatal dan postnatal disebabkan oleh insufisiensi vaskuler,
infeksi, genetik, trauma maupun metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan adanya defisit
neurologi yang terjadi disebabkan oleh malformasi serebral akibat murni kelainan gestasi. Dengan
kompleksnya jaringan otak dan kepekaan pada tiap tahap perkembangan otak, memberikan kelainan
yang berbeda. Iskemia serebral sebelum usia kehamilan 20 minggu akan terjadi defisit migrasi
neuronal, antara 26-34 minggu terjadi leukomalasia periventrikuler dan antara 34-40 minggu terjadi
kerusakan fokal atau multifokal. Kerusakan otak akibat insufisiensi vaskuler sebelum aterm terjadi
pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah watersheath zone ini sangat peka
dengan adanya proses hipoksik-iskemik-ensefalopati, menyebabkan terjadinya infark yang diikuti
terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya dilatasi ventrikel.

Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal ventrikel.
Perdarahan terjadi karena meningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan rupturnya
pembuluh darah akibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya pembuluh
darah dilapisan ependim ventrikel. Pada korona radiata bagian medial merupakan jaras motorik untuk
ekstremitas bawah, oleh karena itu sering terjadi kelainan tipe diplegi spastik. Patogenesis dari
leukomalasia periventrikuler sendiri masih belum jelas dan kemungkinan besar bersifat multifaktorial.
Terdapat 4 faktor yang diduga berperanan.

Faktor pertama karena tidak adekuatnya perfusi darah dan terjadinya infark didaerah watersheath
zones periventrikel. Yang kedua akibat terganggunya autoregulasi dengan pemeriksaan doppler ultra
sound, terutama pada bayi prematur yang pernah mengalami kejadian hipoksik-iskemik. Faktor ketiga
akibat pekanya terhadap neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat pada saat awal proses terjadinya
deferensiasi oligodendroglia. Kepekaan ini mungkin akibat tidak adekuatnya enzim antioksidan
seperti katalase dan glutathion peroksidase selama periode tersebut. Teraktifasinya pertukaran antara
glutamat-sistein, terjadi penurunan sistein, mengakibatkan terhambatnya sintesis gluthation. Yang
terakhir citokine mempunyai peranan penting dalam menginduksi kerusakan substansia alba. Studi
retrospektif menunjukkan, dalam darah neonatus menunjukkan tingginya kadar citokine dan TNF alfa
pada anak lahir prematur maupun matur dengan spastik diplegi dibanding kontrol. Diduga Citokine
seperti interferon-, TNF-, IL-6, IL-8 merusak substansia alba dengan terjadinya hipotensi atau
induksi iskemia melalui terjadinya intravaskuler koagulasi. Mekanisme utama kematian sel pada bayi
prematur akibat pekanya sel oligo- dendroglia deferensiasi awal pada iskemia terhadap paparan
radikal bebas.

Disamping itu juga terjadi akibat pembentukan reaktif oksigen, aktifitas sitokin dan leukosit,
ditambah dengan peningkatan kadar glutamat dan kadar glutathion yang rendah. Pada penelitian
dengan kultur oligodendrosit, didapatkan kerusakan lebih besar terjadi pada immatur daripada matur
oligodendrosit dan pada medium yang mengandung sistein mengalami kerusakan lebih kecil pada
paparan radikal bebas. Sistein diperlukan untuk membentuk glutathion peroksidase yang merupakan
antioksidan yang merubah H2O2 menjadi H20+O2.

Pada penelitian eksperimental diduga bahwa inflamasi-infeksi intrauterin maternal dan sitokin
berhubungan dengan terjadinya leukomalasia perventrikuler. Insiden leukomalasia periventrikuler
meningkat pada bayi lahir prematur yang didapatkan adanya peningkatan insiden infeksi plasenta
maternal, peningkatan IL-6 pada darah palsenta, peningkatan IL-6 dan 1 beta pada cairan amnion,
peningkatan interferon gamma, IL6, IL1 diantara sitokin yang lain pada darah neonatus. Pada
penelitian dengan kultur menunjukkan oligodendrosit yang imatur lebih peka terhadap toksisitas
interferon gama. TNF alfa meningkatkan toksisitas interferon gama. Adanya iskemia menyebabkan
aktifasi mikroglia, sekresi sitokin, migrasi makrofag, dan sel-sel inflamasi. Infeksi dan sitokin bisa
menyebabkan terjadinya iskemia. Endotoksin dapat merusak endotel vaskuler dan menyebabkan
hipotensi pada anjing yang baru lahir, untuk membentuk lesi seperti leukomalasia periventrikuler.
Sitokin mempunyai efek vasoaktif (seperti TNF alfa) akan menyebabkan kaskade inflamasi dan
gangguan regulasi serebrovaskuler. Insiden leukomalasia periventrikuler lebih tinggi pada bayi yang
terdapat perdarahan intraventrikuler. Perdarahan merupakan sumber yang kaya Fe++ untuk
terbentuknya radikal hidroxy. Pada kehamilan aterm, di mana pembuluh darah hampir sama dengan
orang dewasa, terjadinya infark pada daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang utama
pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A. karotis media menyebabkan kelainan tipe
hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari
janin yang mati pada kehamilan kembar.

Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama kelahiran.
Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler pada kondisi
lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran darah regional atau
total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan kardiak output mengakibatkan
hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak. Mekanisme peningkatan aliran darah
serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia
atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion hidrogen perivaskuler. Akibat peningkatan aliran darah
otak dapat terjadi perdarahan pada pembuluh darah yang peka.

Terganggunya autoregulasi sensitif terjadi akibat perubahan kadar gas darah. Penurunan PO2 yang
menyebabkan saturasi O2 sampai dibawah 50%, dipertimbangkan sebagai ambang hipoksia dalam
mengakibatkan gangguan auotoregulasi. Cepat dan beratnya hipotensi yang terjadi tergantung lama
dan beratnya asfiksia. Penyebab ini terutama diakibatkan penurunan kardiak output, mungkin
diakibatkan efek sekunder dari terganggunya miokardium, hipoksia menginduksi terjadinya
bradikardi dan kemudian diikuti dengan penurunan aliran darak ke otak/iskemia. Ensefalopati akibat
hiperbilirubin menyebabkan kerusakan neuron yang spesifik pada tempat tertentu. Daerah tersebut
meliputi utamanya basal ganglia, bisa juga mengenai globus palidus, nukleus subtalamikus,
hipokampus, substansia nigra, nukleus vestibularis, kokhlearis dan fasialis dan nukleus dentatus
serebelum. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia (thalamus,
nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen).

Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan
lebih sering mengenai bayi aterm dengan gambaran seperti marbled akibat pola mielin yang tidak
normal. Alasan mengapa secara selektif terdapat kepekaan pada ganglia basalis terhadap asfiksia
belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan bahwa daerah ini mempunyai kadar O2 baseline yang
tinggi dengan pemeriksaan positron emission tomograpy (PET). Data eksperimental mendapatkan
kepekaan daerah ini ditentukan oleh pola neurotransmiter. Tujuan observasi efek primer glutamat pada
kerusakan neuron di ganglia basalis, diduga ditentukan oleh perbedaan fenotipe reseptor glutamat,
maturitas neuron dan berat serta lamanya asfiksia. Kista forensefali adalah kista intraparenkim besar
yang berhubungan dengan ventrikel. Hal ini sering terjadi akibat infark pada arteri besar, utamanya A.
serebri media, meskipun juga bisa terjadi akibat sekuele perdarahan intra ventrikel grade IV yang
menyebabkan perluasan ventrikel kearah daerah hematom yang sudah diabsorbsi.

Patogenesis terjadinya perdarahan intraventrikuler tidak sepenuhnya dimengerti. Pada bayi prematur
terdapat padatnya vaskularisasi pada subependimal matrik germinal, dimana pada bayi immatur
sebagian besar suplai darah serebrum kedaerah tersebut. Disamping itu kapiler pada bayi prematur
mempunyai membran basalis yang tipis. Dan yang terakhir adanya hipoksia menyebabkan tekanan
arterial berfluktuasi mengenai kapiler periventrikel yang rapuh. Iskemia, hipoksia dan trauma yang
terjadi pada otak janin pada semeter kedua dan ketiga dapat menyebabkan malformasi yang bukan
terjadi primer akibat kelainan genetik. Akibat perkembangan otak belum sempurna, lesi yang terjadi
menyebabkan gangguan perkembangan dan dapat menyebabkan hambatan migrasi neuroblast atau
glioblast sebelum prosesnya lengkap. Dapat menyebabkan fokal displasia atau laminasi kortikal dan
heterotopia akibat neuron yang berhenti dalam migrasinya.

Pada tahun 1995, postulat volpe membagi hipoksik-iskemik neuropatologi menjadi 5 subtipe dasar:

1. Nekrosis parasagital otak besar, terjadi pada bayi cukup bulan, manifestasi jangka
panjang berupa kuadriplegi spastik. Parasagital area merupakan daerah yang mendapat
vaskularisasi dari cabang paling perifer dari ketiga arteri besar serebral. Pada penelitian
eksperimental menunjukkan daerah para sagital kortek merupakan daerah yang paling
awal dan paling berat mengalami kerusakan setelah asfiksia yang berkepanjangan.
Kerusakan lebih maksimal pada regio parieto-oksipital posterior.

2. Leukomalasia periventrikuler, terjadi pada bayi prematur, lesi kecil menyebabkan


kelainan spastik diplegi dan lesi luas menyebabkan kelinanan tipe kuadriplegi dengan
defisit visual dan kognitif. Lesi lebih tampak nyata didaerah posterior horn ventrikel
lateral, optik radiasi bisa terlibat dan dapat menyebakan gangguan visual kortikal.

3. Nekrosis otak fokal atau multifokal, akibat infark pada daerah vaskularisasi pembuluh
darah. Dimana sering mengenai cabang A. serebri media menyebabkan kelainan tipe
hemiplegi spastik.
4. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia, thalamus,
nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen. Hal ini merupakan akibat dari proses
hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi
aterm.

Nekrosis neuronal selektif, merupakan cedera yang tersering terjadi. Terdapat neuron spesifik yang
peka termasuk CA 1 dan subkulum hipokampus, ganglion genikulatum lateral dan thalamus, nukleus
kaudatus, basal ganglia, putamen, nukleus N.V dan VII. Gejala yang timbul jangka panjang
menyebakan retardasi mental dan kejang.

Klasifikasi

Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk


memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik (piramidal),
diskinetik (ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran. Tipe spastik sering
didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25% terbagi pada tipe diskinetik dan
campuran. Pada tipe spastik berdasarkan distribusi topografi kelainan yang terjadi dibagi menjadi
monoplegia, diplegia, triplegi, kuadriplegi dan hemiplegi. Tipe monoplegi dan triplegi sangat jarang
ditemukan. Pada tipe diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur, pada bayi aterm penyebabnya
lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat diidentifikasi. Ekstremitas atas mempunyai gangguan
yang lebih ringan, gangguan lebih berat terjadi pada ekstremitas bawah.

Gangguan kognitif didapatkan pada sekitar 30% pada tipe ini. Kelainan mata, 50% berupa strabismus
dan gangguan visus sekitar 63%. Epilepsi terjadi pada 20-25% kasus. Pemeriksaan MRI didapatkan
adanya leukomalasia periventrikuler atau post hemoragik forensefali. Pada tipe kuadriplegi spastik
kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe ini 50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan
20% postnatal. Lebih sering didapatkan kesulitan menelan dan prosentase yang tinggi adanya
gangguan kognitif. Tingginya kejadian kelainan visual dan biasanya dengan derajat yang lebih berat.
Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada MRI anak lahir prematur didapatkan gambaran
leukomalasia periventrikuler, anak lahir aterm didapatkan berupa lesi untuk tipe aterm seperti lesi
parasagital.

Multi kistik ensefalomalasia dan malformasi lebih sering didapatkan pada tipe ini. Tipe hemiplegi
spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan biasanya lebih berat dari kaki. Sebesar 70-
90% kasus terjadi secara kongenital dan 10-30% bawaan dapat terjadi akibat vaskuler, inflamasi atau
trauma. Bila terjadi pada bayi prematur akibat adanya asimetri leukomalasia periventrikuler. Bisa
terjadi kelainan nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan visual terjadi pada 25% pada tipe ini,
termasuk hemianopsia homonim dan strabismus konvergen. Kelainan kognitif pada 28% kasus,
epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus. Tipe diskinetik ditandai dengan pola gerakan
ekstrapiramidal.

Kelainan ini akibat sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan koordinasi. Tipe ini
dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe khoreoathetosis adanya gerakan
involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang dijumpai adalah athetosis. Khorea terdapat dalam
derajat yang bervariasi. Tremor, mioklonus dan distonia juga mungkin tampak. Kombinasi gerakan
khoreoathetosis menimbulkan pola gerakan diekstremitas bawah yang hipertonus dan gerakan rotasi
yang menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan dalam bicara dengan adanya kecepatan
dan volume suara yang meledak-ledak.
Tipe distonik jarang ditemukan, gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher yang tertarik
kearah satu sisi. Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi hingga tampak aneh. Pada
pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak hiperinten pada T2 pada tipe athetoid.
Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis dengan manifestasi klinik tipe
diskinetik. Kondisi CP atonik tidak umum dibandingkan dengan bentuk yang lain . CP atonik sering
bersamaan dengan keterlambatan perkembangan motorik dengan reflek tendon yang normal atau
meningkat. Pada penderita CP sering awalnya hipotonik, kemudian berubah menjadi hipertoni, pada
tipe ini tidak mengalami perubahan menjadi spastik dengan bertambahnya usia, tetapi tetap hipotonik.

Pada tipe ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia. Manifestasi awal berupa hipotoni dan mulai
timbul gejala ataksia sejak umur 2-3 tahun. Anak berjalan dengan kaki melebar, sering ditemukan
adanya nistagmus dan dismetri hipotoni. Tes romberg positif dengan mata terbuka.

Hal ini menunjukkan tanda adanya keterlibatan fungsi serebelum. Manifestasi tipe campuran terdiri
dari tipe spastik, ekstrapiramidal dan sering kali ataksia didapatkan. Pasien dengan gejala kuadriplegi
yang menonjol dapat ditemukan khoreoathetosis derajat ringan. Sebaliknya pasien khoreoathetosis
yang menonjol, menunjukkan gejala-gejala upper motor neuron. Pola gangguan motorik sebagai
akibat dari sekuele yang luas didaerah otak terutama didaerah ganglia basalis dan kortek.

Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan dan berhubungan dengan
hidrosefalus. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang disebabkan gangguan dalam
kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun. Secara formal ditentukan dengan nilai IQ.
Insiden mental retardasi pada penderita CP antara 30%-50%. Sekitar 1/3 dengan retardasi mental
ringan. Sering didapatkan pada tipe rigid, atonik dan tipe kuadriplegi. Pada Cerebral palsy, kelainan
motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi sering juga disertai dengan gangguan lain yang
bukan motorik.

Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP:

1. Retardasi mental (75%).

2. Epilepsi (25-50%)

3. Gangguan visual: Strabismus (75%), Gangguan refraksi (25-50%), Hemianopsia (<25%),


Lain-lain (<25%)

4. Gangguan pendengaran (75%)

5. Disartria (<25%)

6. Defisit sensorik kortikal (25-50%)

7. Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama (unequal) (25-50%)

8. Skoliosis (75%)

9. Dental dismorfogenesis (25%)

10. Kontraktur sendi (75%)

Penatalaksanaan
Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di otak,
bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita CP
memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak, neurolog,
psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis, dokter gigi dan ahli
gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan meningkatkan kemampuan untuk
beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual. Terapi menggunakan obat tergangtung dari gejala
yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen.
Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan
meningkatkan luas gerak sendi (ROM), menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap
fisioterapi dan okupasional terapi dan mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat
epilepsi, membutuhkan pemberian obat anti epilepsi.
Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau
gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi pada
pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada kelainan
seperti hip dislokasi, skoliosis dan spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure). Perlu
dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel dan riwayat
keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan penyakit paru kronik
akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi. Terapi rehabilitasi meliputi
fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan pemaikaian alat bantu.
Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot,
latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas bimanual,
latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi wicara untuk
mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan penggunaan bracing,
bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk pencegahan dan koreksi deformitas.
Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus yang menurun yang terjadi selama tidur
untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah. Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk
ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik.

TUMBUH KEMBANG ANAK USIA 20 BULAN


Perkembangan mental Gerakan kasar dan halus, emosi, sosial ,perilaku dan Bicara (SKALA
YAUMIL-MIMI)

18-24 Bulan

1. Naik turun tangga, berlari-lari


2. Menyusun 6 kotak
3. Menunjuk mata dan hidungnya
4. Menyusun 2 kata
5. Belajar makan sendiri
6. Menggambar garis di kertas atau pasir
7. Mulai belajar mengontrol BAK dan BAB
8. Menaruh minat terhadap apa yang dikerjakan orang-orang yang lebih besar
9. Memperlihatkan minat kepada anak lain dan bermain dengan mereka

DAFTAR PUSTAKA
1. Freeman Miller, MD. Cerebral Palsy, Alfred I. duPont Hospital for Children Nemours
Foundation Wilmington, DE 19899 USA
2. Kremli, Mamoun. Principles of Cerebral Palsy. College of Medicine & King Khalid
University Hospital.
3. Cogher L, Savage E, Smith, Michael. Cerebral Palsy The Child and Young Person. London.
Chapman and Hall Medical. 1992
4. Hay, W., Levin, M., Sondheimer, J., & Deterding, R. (eds). Current Pediatric Diagnosis &
Treatment. 17th Edition. McGraw-Hill, 2005
5. Tumbuh Kembang Anak , dr. Soetjiningsih . EGC

Anda mungkin juga menyukai