Anda di halaman 1dari 26

TBC (Tuberculosis) Paru

Untuk memenuhi tugas matakuliah Patologi yang dibina oleh Bapak Roni
Yuliwar, S.Kep, Ns, M.Ked

Kelompok 2
Disusun Oleh:
1. Fajrian Dwi Anggraeni (1401460001)
2. Moh. Khoirul Huda (1401460015)
3. Novidia Sagita Primaisella (1401460024)
4. Deva Resti Anggraini (1401460034)
5. Firna Aprilianingsih (1401460044)
6. Ajeng Restiyo Rini (1401460055)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN MALANG
PROGRAM STUDI DIV KEPERAWATAN MALANG
Mei 2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sederhana
yang berjudul TBC (tuberculosis) Paru. Dalam penyelesaian makalah ini, penulis
tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :

1. Bapak Rudi Hamarno M.Kep selaku Kepala Program Studi DIV Keperawatan
Malang Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang yang telah memberikan
fasilitas dalam pembuatan makalah ini.
2. Bapak Roni Yuliwar, S.Kep, Ns, M.Ked selaku dosen pembimbing matakuliah
Patologi Prodi DIV Keperawatan Malang yang telah memberikan bimbingan
dan arahan kepada kami.
3. Seluruh teman-teman dan pihak-pihak yang telah memberikan dukungan.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa terdapat kesalahan didalam pembuatan


makalah ini, baik dalam pemilihan maupun penulisan kata. Oleh karena itu, penulis
mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
guna kemajuan mata kuliah ini.

Malang, April 2015

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR.................................................................................................
i

DAFTAR ISI............................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang...........................................................................................
1
1.2Rumusan Masalah......................................................................................
2
1.3Tujuan.........................................................................................................
3
1.4Manfaat......................................................................................................
4

BAB II PEMBAHASAN

2.1Pengertian Tuberkulosis Paru......................................................................


1
2.2Etiologi Tuberculosis Paru...........................................................................
2
2.3Patogenesis Tuberkulosis Paru....................................................................
3
2.4Patofisiologi Tuberkulosis Paru....................................................................
4
2.5Gejala Tuberkulosis Paru.............................................................................
5
2.6Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru...........................................................
6
2.7Gambaran makroskopis..............................................................................
7
2.8Gambaran Mikroskopis...............................................................................
8
2.9Diagnosis....................................................................................................

BAB IV PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini
masih dikatakan sebagai penyakit yang mematikan. Menurut Asih (2004)
mengenai tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycrobacterium tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang ditularkan
melalui udara (airborne).
Penyakit Tuberkulosis Paru ini menyebar di negara-negara berkembang juga
negara maju. Salah satunya pada negara berkembang yaitu negara Indonesia.
Menurut Tempo.co World Health Organization (WHO) memasukkan
indonesia dalam negara dengan kasus tuberkulosis atau TBC terbesar.
Perkiraan pada tahun 2001 itu juga menyebutkan setiap tahunnya diperkirakan
jumlah penderita tuberkulosis paru menular sebanyak 262 orang. Jumlah itu
merupakan bagian dari 583.000 penderita TBC Paru Baru dan sebanyak 140
orang diantaranya meninggal dunia. ... . Berdasarkan data WHO tahun 2001,
lima jenis penyakit paru sebagai penyebab utama yakni sebanyak 17,4 persen.
Kelima penyakit paru tersebut adalah infeksi paru sebanyak yang memberikan
konstribusi 7,2 persen, penyakit paru obstruktif kronik sebanyak 4,88 persen,
TBC sebanyak 3 persen, dan CA Paru berjumlah 2,1 persen serta asma
sebanyak 0,3 persen.

Menurut World Health Organization (WHO) Tuberkulosis (TB) adalah


menular dan melewati udara. Ini peringkat sebagai penyebab utama kedua

4
kematian akibat agen infeksi tunggal, setelah Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Sejumlah 9 juta orang jatuh sakit dengan TB pada tahun 2013, ... .
Pada 2013, 1,5 juta orang meninggal akibat TB, ... .

Berdasarkan data tersebut Tuberkulosis sendiri sudah terbukti bahwa


merupakan penyakit kronik yang dapat menyebabkan kematian bagi penderitanya
dan merupakan suatu penyakit yang memerlukan waktu yang cukup lama bagi
penderita dalam mengonsumsi obat, apabila ini dibiarkan dampak yang akan
timbul jika penderita berhenti minum obat adalah munculnya kuman Tuberculosis
yang resistance terhadap obat, jika ini terus terjadi dan kuman tersebut harus
menyebar pengendalian obat Tuberculosis akan semakin sulit dilaksanakan dan
meningkatkan angka kematian akibat penyakit Tuberculosis.
Dari data yang telah dijelaskan di atas, maka penulis menyusun makalah ini
untuk memberikan gambaran tentang pengetahuan penyakit TB Paru bagi semua
masyarakat, agar masyarakat dapat mencegah timbulnya penyakit TB Paru sejak
dini.
1.2 Tujuan Pembahasan

1. Mengetahui pengertian dan penyebaran penyakit Tuberkulosis Paru


2. Memberi informasi mengenai pathogenesis dan patofisiologi TB Paru
3. Mengetahui bagaimana manifestasi klinis penyakit TB Paru
4. Menambah wawasan mengenai diagnosis penyakit TB Paru

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tuberkulosis Paru


Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosis.
Tuberculosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit
tuberculosis , sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberculosis
ekstrapulmonar. Diperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia pernah
terinfeksi kuman M. tuberculosis.

2.2 Etiologi Tuberkulosis Paru


Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA)
positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi
dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat
membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selamabeberapa jam dalam
keadaan yang gelap dan lembab (Darmanto, 2007), Daya penularan seorang
pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositipan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpapar kuman

6
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007).
Menurut Darmanto (2007), penularan TB Paru dapat terjadi jika
seseorang penderita TB Paru berbicara, meludah, batuk, atau bersin, maka
kuman-kuman TB Paru berbentuk batang (panjang 1-4 mikron, diameter 0,3-
0,6 mikron) yang berada di dalam paru-parunya akan menyebar ke udara
sebagai partikulat melayang (suspended particulate matter) dan menimbulkan
droplet infection. Basil TB Paru tersebut dapat terhirup oleh orang lain yang
berada di sekitar penderita. Basil TB Paru dapat menular pada orang-orang
yang secara tak sengaja menghirupnya. Dalam waktu satu tahun, 1 orang
penderita TB Paru dapat menularkan penyakitnya pada 10 sampai 15 orang
disekitarnya.
Mycrobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang
berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar
komponen M. tuberculosis adalah berupa lemak /lipid sehingga kuman
mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor
fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai di daerah
yang banyak oksigen. Oleh karena itu, M. tuberculosis senang tinggal di
daerah apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut
menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis. (Somantri,
2007:59).
2.3 Patogenesis
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu
menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

7
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang
akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal.
Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum
tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada
saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin.
Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.

8
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya
biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran
normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk
fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering
disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang

9
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman
TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru
disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan
tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam
waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan
melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier
berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-
padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan
menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran

10
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB
paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB
paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB
milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi
primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat
pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia
terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi
kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini
jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.
2.4 Patofisiologi
1. Infeksi Primer
Pertama kali klien terinfeksi ole tuberculosis disebut sebagai infeksi primer
dan biasanya terdapat pada apeks paru atau dekat pleura lobus bawah. Infeksi
primer mungkin hanya berukuran mikroskopis, dan karenanya tidak tampak
pada foto rontgen. Tempat infeksi primer dapat mengalami proses degenerasi
nekrotik (perkejuan) tetapi bisa saja tidak, yang menyebabkan pembentukan
rongga yang terisi oleh massa basil tuberkel seperti keju, sel-sel darah putih
yang mati, dan jaringan paru nekrotik. Pada waktunya, material ini mencair
dan dapat mengalir ke dalam percabangan trakheobronkial dan dibatukkan.
Rongga yang terisi udara tetap ada dan mungkin terdeteksi ketika dilakukan
rontgen dada.

Sebagian besar tuberkel primer menyembuh dalam periode bulanan dengan


membentuk jaringan parut dan, pada akhirnya, terbentuk lesi pengapuran yang

11
juga dikenal sebagai tuberkel Ghon. Lesi ini dapat mengandung basil hidup
yang dapat aktif kembali, meski telah bertahun-tahun , dan menyebabkan
infeksi sekunder.

Infeksi TB primer menyebabkan tubuh mengalami reaksi alergi terhadap basil


tuberkel dan proteinnya. Respons imun seluler ini tampak dalam bentuk
sensitisasi sel-sel T dan terdeteksi oleh reakssi positif pada tes kulit tuberculin.
Perkembangan sensitivitas tuberculin ini terjadi pada semua sel-sel tubuh 2
sampai 6 minggu setelah infeksi primer. Dan akan dipertahankan selama basil
hidup berada dalam tubuh. Imunitas didapat ini biasanya menghambat
pertumbuhan basil lebih lanjut dan terjadinya infeksi aktif.

Faktor yang tampaknya mempunyai peran dalam perkembangan TB menjadi


penyakit aktif termasuk usia lanjut, imunosupresi, infeksi HIV, malnutrisi,
alkoholisme dan penyalahgunaan obat, adanya keadaan penyakit lain (mis.
Diabetes mellitus, gagal ginjal kronis, dan malignansi), dan predisposisi
genetic.

2. Infeksi Sekunder
Selain penyakit primer yang progresif, infeksi ulang juga mengarah pada
bentuk klinis TB aktif. Tempat primer infeksi yang mengandug basil TB
dapat tetap laten selama bertahun-tahun. Dan kemudian teraktifkan kembali
jika daya tahan klien menurun . penting artinya untuk mengkaji kembali
secara periodic klien yang telah mengalami infeksi TB untuk mengetahui
adanya penyakit aktif.

2.5 Gejala TB Paru


Gambaran klinis Tuberkulosis mungkin belum muncul pada infeksi awal dan
kemungkinan tidak akan timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Gejala saat
infeksi aktif : batuk, purulen produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya
pagi hari), malaise, keringat malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang
nafsu makan dan penurunan berat badan (Corwin, 2009).

12
Menurut Mansjoer, (2000).Gejala klinik Tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu
A. Gejala respiratorik
Batuk 3 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
B. Gejala sistemik
Demam
Rasa kurang enak badan (malaise),
Keringat malam, nafsu makan menurun (anoreksia),
Berat badan menurun

2.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru

Pada banyak individu yang terinfeksi tuberculosis adalah asimptomatis. Pada


individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap sehingga gejala tersebut
tidak dikenali sampai penyakit telah masuk tahap lanjut. Bagaimanapun,
gejala dapat timbul pada individu yang mengalami imunosupresif dalam
beberapa minggu setelah terpajan oleh basil. Manifestasi klinis yang umum
termassuk keletihan, penurunan berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan
nafsu makan), dan demam ringan yang biasanya terjadi pada siang hari.
berkeringat malam dan ansietas umum sering tampak. Dipsnea, nyeri dada,
dan hemoptysis adalah juga temuan yang umum.

13

Gambar. Manifestasi tuberkulosis pulmonal


(Patel, 2005:39)
2.7 Gambaran Makroskopis
2.8 Gambaran Mikroskopis
Morfologi dan Fisiologi Baketri Tuberculosis
Bakteri tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5 m,
bentuknya seragam, tidak berspora, dan tidak bersimpai (dapat dilihat pada
Gambar 3.1). Pada biakan, terlihat bentuknya bervariasi mulai dari bentuk
kokoid sampai berupa filamen. Beberapa strain tertentu berbeda dalam
pertumbuhannya yaitu berbentuk batang dan tersusun seperti tali yang disebut
cord formation (Budiarti (2001) dalam Muttaqin, 2008)

Dinding selnya mengandung lipid sampai hampir 60% dari berat seluruhnya,
sehingga sangat sukar diwarnai dan perlu cara khusus agar terjadi penetrasi zat
warna. Ada beberapa teknik pewarnaan tahan asam untuk mewarnai bakteri ini.
Salah satu jenis pewarnaan yang lazim digunakan adalah pewarnaan Zichl-
Neelsen (dapat dilihat pada Gambar 3.2). Cara lainnya adalah pewarnaan
Kinyoun-Gabett atau pewarnaan Than Thiam Hok. Pada pewarnaan tersebut
bakteri tampak berwarna merah dengan latar belakang biru. Pada pewarnaan
fluorokrom bakteri berfluoresensi dengan warna kuning oranye.
Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan bakteri ini sangat
tahan terhadap asam, basa, dan kerja antibiotik bakterisidal. Selain itu, bahan-
bahan makanan juga sukar mengadakan penetrasi melalui dinding selnya
sehingga untuk pertumbuhannya perlu waktu yang cukup lama.
(Muttaqin, 2008)

14
2.9 Diagnosis
1. Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis terbaik dari penyakit tuberkulosis diperoleh dengan pemeriksaan


mikrobiologi melalui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies Mycrobacterium
antara yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat koloni, waktu pertumbuhan,
sifat biokimia pad berbagai media, perbedaan kepekaan terhadap OAT dan
kemoterapeutik, perbedaan kepekaan terhadap binatang percobaan, dan percobaan
kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen Mycrobacterium. Bahan pemeriksaan
untuk isolasi Mycrobacterium tuberculosis berupa:

1. Sputum klien. Sebaiknya sputum diambil pada pagi hari dan yang pertama
keluar. Jika sulit didapatkan maka sputum dikumpulkan selama 24 jam.

2. Urin. Urin yang diambil adalah urin pertama di pagi hari atau urin yang
dikumpulkan selama 12-24 jam. Jika klien menggunakan kateter maka urin
yang tertampung di dalam urine bag dapat diambil.

3. Cairan kumbah lambung. Umumnya bahan pemeriksaan ini digunakan jika


anak-anak atau klien tidak dapat mengeluarkan sputum. Bahan pemeriksaan
diambil pagi hari sebelum sarapan.

4. Bahan-bahan lai. Misalnya pus, cairan serebrospinal (sum-sum tulang


belakang), cairan pleura, jaringan tubuh, feses, dan swab tenggorok.

15
Bahan pemeriksaan dapat diteliti secara dengan membuat sediaan dan diwarnai
dengan pewarnaan tahan asam serta diperiksa dengan lensa rendam minyak. Hasil
pemeriksaan mikroskopik dilaporkan sebagai berikut.

Bila setelah pemeriksaan teliti selama 10 menit tidak ditemukan bakteri tahan
asam, maka diberikan label (penanda): Bakteri tahan asam negatif atau BTA
(-).

Bila ditemukan bakteri tahan asam 1-3 batang pada seluruh sediaan, maka
jumlah yang ditemukan harus disebut, dan sebaiknya dibuat sediaan ulang.

Bila ditemukan bakteri-bakteri tahan asam maka harus diberi label: Bakteri
tahan asam positif atau BTA (+).

Pemeriksaan darah yang dapat menunjang diagnosis TB paru walaupun kurang


sensitif adalah pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya peningkatan LED
biasanya disebabkan peningkatan imunoglobulin terutama IgA (Loman (2001) dalam
Muttaqin, 2008).

Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaan Ct scan dilakukan untuk menemukan hubungan kasus TB


inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya gambaran garis-garis fibrotik ireguler,
pita parenkimal, klasifikasi nodul dan adenopati, perubahan kelengkungan berkas
bronkhovaskular, bronkhietaksis, dan emfisema perisikatriksial. Sebagaimana
pemeriksaan Rontgen thoraks, penentuan bahwa kelainan inaktif tidak dapat hanya
berdasarkan pada temuan CT scan pada pemeriksaan tunggal, namun selalu
dihubungkan dengan kultur sputum yang negatif dan pemeriksaan secara serial setiap
saat.

16
Gambaran adanya kavitas sering ditemukan pada klien dengan TB paru dan
sering tampak pada gambar Rontgen karena kavitas tersebut membentuk lingkaran
yang nyata atau bentuk oval radiolucent dengan dinding yang cukup tpis. Jika
penampakan kavitas kurang jelas, dapat dilakukan pemeriksaan CT scan untuk
memastikan atau menyingkirkan adanya gambaran kavitas tersebut (dapat dilihat
pada Gambar 3.9). Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk mendeteksi adanya
pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan daripada pemeriksaan Rontgen
thoraks biasa.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru meliputi pemeriksaan fisik
umum per sistem dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda
vital, B1 (Breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan

17
B6 (Bone) serta pemeriksaan yang fokus pada B2 dengan pemeriksaan
menyeluruh sistem pernapasan.
Keadaan Umum dan Tanda-tanda Vital
Keadaan umun pada klien dengan Tb paru dapat dilakukan secara selintas
pandang dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu
dinilai secara umum tentang keadaan klien yang terdiri atas compos mentis,
apatis, somnolen, spoor, soporkoma, atau koma. Seorang perawat perlu
mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang konsep anatomi fisiologi
umum sehingga dengan cepat dapat menilai keadaan umum, kesadaran, dan
pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun yang memerlukan kecepatan
dan ketepatan penilaian.
Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan TB paru biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh secara signifikan, frekuensi napas
meningkat apabila disertai sesak napas, denyut nadi biasanya meningkat
seirama dengan peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernafasan, dan
tekanan darah biasanya sesuai dengan adanya penyakit penyulit seperti
hipertensi.
B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada klien dengan TB paru merupakan pemeriksaan foksu
yang terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
a. Inspeksi
Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB
paru biasanya tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi
diameter bentuk dada antero-posterior dibandingkan proporsi diameter lateral.
Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura yang massif,
maka terlihat adanya ketidaksimetrisan rongga dada, pelebaran intercostals
space (ICS) pada sisi yang sakit.
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya gerakan
pernapasan tidak mengalami perubahan. meskipun demikian, jika terdapat
kompikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan
menggunakan otot bantu napas. Tanda lainnya adalah klien dengan TB paru
juga mengalami efusi pleura yang massif, pneumothoraks, abses paru massif,

18
dan hidropneumothoraks. Tanda-tanda tersebut membuat gerakan pernapasan
menjadi tidak simetris, sehingga yang terlihat adalah pada sisi yang sakit
pergerakan dadanya tertinggal.
Klien dengan TB paru biasanya tmpak kurus sehingga pada bentuk dada
terlihat adanya penurunan proporsi diameter antero-posterior banding proporsi
diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti adanya efusi pleura
yang massif maka terlihat adanya ketidaksemestrisan rongga dada, pelebaran
Intercostal space (ICS) pada sisi yang sakit, TB paru yang disertai ateletaksis
paru membuat bentuk dada menjadi tidak simetris dimana didapatkan
penyempitan intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan
TB paru, biasanya didapatkan batuk produktif yang disertai adanya
peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang prulen. Periksa jumlah
produski sputum, terutama apabila TB paru disertai adanya bronkhietaksis
yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum yang
sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari
sebagai penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah
diberikan.
b. Palpasi
Palpasi trachea. Adanya pergeseran trachea menunjukkan-meskipun tetapi
tidak spesifik-penyakit dari lobus atas paru. Pada TB paru yang disertai
adanya efusi pleura massif dan pneumothoraks akan mendoorng posisi trachea
kea rah berlawanan dari sisi aktif.
Gerakan dinding thiraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa
komplikasi pada saat dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya
normal dan seimbang antara bagian kanan dan kiri. Adanya penurunan
gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB parudengan
kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus fokal). Getaran yang terasa ketika perawat
meletakkan tangannya di dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang
dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring arah distal sepanjang pohon
bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan, terutama

19
pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada
disebut takil fremitus. Adanya penurunan takil fremitus pada klien dengan TB
paru biasanya ditemukan pada klien disertai
c. Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa kompikasi, biasanya akan
didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien
dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi pleura akan didapatkan
bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sakit sesuai banyaknya akumulasi
cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan
bunyi hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong
posisi paru ke sisi yang sehat.
d. Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi)
pada sisi yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk
mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana didapatkan adanya
ronkhi bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbicara disebut
sebagai resonan vocal. Klien dengan TB Paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura dan pneumothoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal
pada sisi yang sakit.

B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru, pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi : Inspeksi tentang adanya parut dan keluhan kelemahan fisik.
Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.
Perkusi : Batas jantung mengalami pergeseran pada TB paru dengan efusi
pleura masif mendorong ke sisi sehat.
Auskultasi : Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung tambahan
biasanya tidak didapatkan.

B3 (Brain)
Kesadaran biasanya composmenthis, ditemukan adanya sianosis perifer
apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan wajah meringis,
menangis, merintih,

20
meregang, dan mengheliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya
konjungtiva anemis pada TB Paru dengan hemoptoe massif dan kronis, dan
sclera ikterik pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.

B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan denga intake cairan. Oleh
karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut
merupakan tanda awal dari syok. Kliendiinformasikan agar terbiasa dengan
urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang menandakan fungsi ginjal
masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama Rifampisin.

B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.

B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala
yang muncul antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap,
dan jadwal olahraga menjadi tak teratur.

2.10 Penatalaksanaan Medis

Zain (2001), dalam Muttaqin (....:79-80) menyatakan bahwa membagi


penatalaksanaan tuberkulosis paru menjadi tiga bagian, yaitu pencegahan,
pengobatan, dan penderita (active case finding).

a. Pencegahan Tuberkulosis Paru


1. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pemeriksaan meliputi tes
tuberkulin, klinis, dan radiologis. Bila tes tuberkulin positif, maka
pemeriksaan radiologis foto thoraks diulang pada 6 dan 12 bulan mendatang.
Bila masih negatif, diberikan BCG vaksinasi. Bila positif, berarti terjadi
konversi hasil tes tuberkulin dan diberikan kemoprofilaksis.

21
2. Mass chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok
populasi tertentu misalnya:
Karyawan rumah sakit/ Puskesmas/balai pengobatan.
Penghuni rumah tahanan.
Siswa-siswi pesantren.
3. Vaksinasi BCG.
4. Kemoprofilaksis dengan menggunakan INH 5 mg/kgBB selama 6-12 bulan
dengan tujuan menghancurkan atau utama ialah bayi yang menyusu pada ibu
dengan BTA positif, sedangkan kemoprofilaksis sekunder diperlukan bagi
kelompok berikut:
Bayi di bawah lima tahun dengan hasil tes tuberkulin positif karena
risiko timbulnya TB milier dan meningitis TB,
Anak dan remaja di bawah 20 tahun dengan hasil tes tuberkulin positif
yang bergaul erat dengan penderita TB yang menular,
Individu yang menunjukkan konversi hasil tes tuberkulin dari negatif
menjadi positif,
Penderita yang menerima pengobatan steroid atau obat imunosupresif
jangka panjang,
Penderita diabetes melitus.
5. Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit tuberkulosis
kepada masyarakat di tingkat Puskesmas maupun di tingkat rumah sakit oleh
petugas pemerintah maupun petugas LSM (misalnya Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Paru Indonesia-PPTI).

b. Pengobatan Tuberculosis Paru

Tujuan pengobatan pada penderita TB paru selain mengobati, juga untuk


mencegah kematian, kekambuhan, resistensi terhadap OAT, serta memutuskan mata
rantai penularan. Untuk penatalaksanaan pengobatan tuberculosis paru, berikut ini
adalah beberapa hal yang penting untuk diketahui. Mekanisme Kerja Obat anti-
Tuberkulosis (OAT)

a. Aktivitas bakterisidial, untuk bakteri yang membelah cepat.


Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin (R) dan
Streptomisin (S).

22
Intraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Rifampisin dan Isoniazid
(INH).
b. Aktivitas sterilisasi, terhadap the persisters (bakteri semidorman).
Ekstraseluler, jenis obat yang digunakan ialah Etambutol (E), asam
para amino salisilik (PAS), dan sikloserine.
Intraseluler, kemungkinan masih dapat dimusnahkan oleh isoniazid
dalam keadaan telah terjadi resistensi sekunder.

Pengobatan Tubeculosis terbagi menjadi dua fase yaitu faase itensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri
atas obat utama dan obat tambahan. Jenis obat utama yang digunakan
sesuai dengan rekomendasi WHO adlah Rifampin, Isoniazid, Pirazinamid,
Streptomisin, dan Etambutol (Depkes RI, 2004)

Untuk keperluan pengobatan perlu dibuat batasan kasus terlebih dahulu


berdasarkan lokasi TB, berat ringannya penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologi, apusan sputum, dan riwayat pengobtan sebelumnya. Di
samping itu, perlu pemahaman tentang strategi penanggulangan TB yang
dikenal sebagai Directly Observed Treatment Short Course (DOTSC).

c. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :

a. Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan


kasus baru dengan batuk TB berat.
b. Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan
sputum BTA positf
c. Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru
yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam
kategori I.
d. Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.

23
2.11 komplikasi Tuberculosis Paru

1. Kavitasi perkembangan akhir dari aspergiloma.

2. Efusi pleura.

3. Empiema TB dengan fistula bronkopleural.

(Davey, 2006)

4. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah).

5. Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna).

6. Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat).

7. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

8. Fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada
paru.

(Vera, 2011)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

24
TBC adalah jenis penyakit menular yang mematikan. Penyakit TBC disebabkan
oleh bakteri mycobacterium tuberculosis melalui udara. Gejala-gejala yang umum
bagi penderita TBC adalah batuk-batuk, sesak nafas, dan nyeri dada. Pada umumnya
faktor-faktor yang menjadikan mudahnya penyakit TBC menyebar adalah daya tahan
pada tubuh manusia berkurang sehingga mudahnya bakteri-bakteri masuk dan
menjadi penyakit di tubuh manusia termasuk penyakit TBC. Cara penularan TB Paru
yaitu pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Terjadinya infeksi Tuberculosis dibagi
menjadi dua, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder.

DAFTAR PUSTAKA

Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (RespiratoryMedicine). Jakarta: EGC

25
Asih, N, Christantie. 2002. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: EGC

Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta: B


First

Werdhani, R. A. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis


http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf

26

Anda mungkin juga menyukai