Anda di halaman 1dari 4

BAB IV

PEMBAHASAN

Peritonitis adalah suatu respon inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang

disebabkan oleh iritasi kimiawi atau invasi bakteri. Peradangan peritoneum merupakan

komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ

abdomen (misalnya appendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura

saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.

Dari hasil anamnesa didapatkan bahwa pasien mengalami nyeri di seluruh

lapangan perut, nyeri dirasakan terus menerus dan semakit berat. Keluhan diawali

dengan nyeri pada epigastrium hingga akhirnya menyebar ke seluruh perut, disertai

dengan demam, mual, dan muntah. Nyeri semakin terasa ketika pasien bergerak,

sehingga pasien tidak mampu untuk beraktivitas.

Dari pemeriksaan fisik abdomen didapatkan :

Inspeksi : distensi (+), darm countour (-), darm steifung (-), jejas (-)

Auskultasi : Bising usus (-)

Perkusi : Hipertimpani di seluruh lapang abdomen

Palpasi : Defans muskular (+), nyeri tekan di seluruh abdomen (+)

Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut, pasien ini telah mengalami

peradangan di peritoneum akibat dari pemakaian obat untuk penghilang nyeri sendi,

obat ini dikonsumsi pasien terus menerus, sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu

penyebab perforasi gaster pada pasien ini adalah perforasi non trauma yaitu penggunaan

obat penghilang nyeri sendi.

32
Pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan laboratorium diantaranya

pemeriksaan darah rutin, kimia darah, elektrolit dan GDS. Nilai hemoglobin dan

hematokrit untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau dehidrasi. Hitung

leukosit dapat menunjukkan adanya proses peradangan. Hitung trombosit dan faktor

koagulasi diperlukan untuk persiapan bedah.

Dilakukan juga pemeriksaan radiologis untuk melihat penyebab peritonitis pada

pasien ini, karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi.

Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena

sebab lain.

Peritonitis yang tidak diobati dapat menjadi sangat fatal. Penatalaksanaan

peritonitis secara kausal ialah eradikasi kuman yang menyebabkan radang di

peritoneum. Secara non-invasif dapat dilakukan dengan drainase abses dan endoskopi

perkutan, namun yang lebih umum dilakukan ialah laparotomi eksplorasi rongga

peritoneum.

Pada tahun 1926, prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan operasi telah mulai

dikerjakan. Hingga kini tindakan operatif merupakan pilihan terbaik untuk

menyelesaikan masalah peritonitis. Selain itu, harus dilakukan pula tata laksana

terhadap penyakit yang mendasarinya, pemberian antibiotik dan terapi suportif untuk

mencegah komplikasi sekunder akibat gagal sistem organ.

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang

dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran

cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik

(apendiks, dan sebagainya) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan

nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

33
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian

volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,

dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah

harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.

Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya

setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang

dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan

drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena

bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi

laparotomi. Operasi ini untuk mengontrol sumber primer kontaminasi bakteri. Insisi

yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke

seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi

ditujukan diatas tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan

kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal.

Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan

menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan

menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat

yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau

antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi,

sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat

menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

34
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain

itu dengan segera akan terisolasi atau terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat

menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan

dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk

peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

Komplikasi pembedahan dengan laparotomi eksplorasi tetap bisa terjadi dan

komplikasinya juga tidak sedikit. Secara bedah dapat terjadi trauma di peritoneum,

fistula enterokutan, kematian di meja operasi, atau peritonitis berulang jika pembersihan

kuman tidak adekuat.Namun secara medis, penderita yang mengalami pembedahan

laparotomi eksplorasi membutuhkan narkose dan perawatan intensif yang lebih lama.

35

Anda mungkin juga menyukai