Sembilan Puluh Kilo
Sembilan Puluh Kilo
Mengapa aku disini. Mengapa aku pergi. Jika kalau bukan karena itu. Aku
masih tetap disana. Gumamku seorang diri yang meratapi masa lalu yang mungkin
saja membuatku takkan bisa kembali lagi. Pada awalnya berjalan baik, walaupun
tak mulus. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Setiap kerikil bisa
aku lewati. Lalu, masa itu datang. Masa yang kelam. Penuh kabut hitam yang
menutupi mataku akan jalan dan kemana arah kakiku melangkah. Sesekali aku
jatuh di genangan air yang kotor, tapi aku masih bisa kembali walaupun diriku telah
menjadi kotor. Sesekali terjatuh dan bangkit, aku berharap angin kan datang
mengusir kabut ini.
Benar angin datang. Hanya sesekali tak kencang. Bagi kabut ini, angin itu
ibarat bulu yang menggelitikinya. Lucu, tak terasa di kulit. gumamku. Semakin lama
tidak ada sedikit belas kasihan kabut itu kepada orang lemah sepertiku. Dibuatnya
kotor sekotor-kotornya kemudian dia semakin tebal hingga tak ada beda antara
mataku yang terpejam dan terjaga. Di depanku bukan lagi jalan, kerkikil, ataupun
genangan air. Tetapi, jurang yang dalam nan tajam. Semua akan berujung pada
kematian dalam benakku. Aku tak bisa melihatnya. Hanya bisikan angin kecil yang
memberitaukannya kepadaku. Aku mulai memberanikan diri berjalan. Angin itu
berbisik, diantara jurang itu ada sebuah jembatan. Tentukan, kau terjun ke jurang ,
ataukah kau bisa melawati jembatan itu?, bisa juga kau terdiam disini bersama
kabut hitam ketakutanmu.
Sejanak aku berfikir dan mulai ku putuskan aku berjalan. Tanpa angin. Tanpa
cahaya. aku mulai membangun sedikit kepercayaan diri. Sayangnya, Kabut gelap
yang pekat tak menaruh rasa iba dan terus menggelitiki rasa takutku. Aku
tergoncang. Aku goyang. Akupun terjatuh. Sesekali kulihat dari kejauhan kabut itu
tertawa.
Kuharap cerita ini kan segera berakhir pikirku ketika aku terjatuh. Namun,
takdir tak menuliskannya demikian. Takdir menyiapkan cambuk yang memintaku
tuk bangkit dan merangkak kepermukaan. Sungguh sialan.
Her.