Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Etika

oleh Abdullah, 1606828324


Judul : Sejarah Etika
Pengarang : Dr. Bagus Takwin dan Dra. Wuri Prasetyawati, M.Psi.

Data Publikasi : Universitas Indonesia, 2016 Buku Ajar I MPKTA

Etik sudah cukup lama berkembang menjadi wacana yang diperdebatkan dalam
pelbagai profesi hukum, politik, filsafat, administrasi publik, dan sektor-sektor
lainnya. Pengertian selalu dikaitkan dengan prinsip-prinsip untuk mengevaluasi
seuatu perbuatan baik atau buruk, benar atau salah. Etik berkaitan dengan standar-
standar pertimbangan mengenai nilai benar dan salah yang harus dijadikan
pegangan bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Nilai-
nilai etik itu dapat dibedakan antara nilai yang bersifat normatif (normative ethics)
dan nilai bersifat deskriptif (descriptive ethics). Normative ethics
menggambarkan standar-standar tentang perbuatan yang benar dan salah,
sedangkan descriptive ethics berkenaan dengan penyelidikan empiris mengenai
keyakinan-keyakinan moral seseorang. Descriptive ethic berusaha menentukan
seberapa besar porsi warga masyarakat yang percaya bahwa pembunuhan itu
selalu salah, sedangkan normative ethics berusaha menentukan apakah dapat
dibenarkan untuk memegang kepercayaan yang demikian itu.

Pembahasan mengenai etika telah dimulai dari masa Yunani Kuno dan
berkembang hingga era kontemporer atau saat ini. Bagian ini akan membahas
kajian etika pada triadik SokratikPlatoAristoteles dan pemikir masa Helenistik
lainnya, yaitu Epikurus, Kaum Stoa, dan Diogenes dari kaum Sinis (Cynics).
Pembahasan awal mengenai etika dimulai dari sejumlah konsep kunci, yaitu
virtue atau arte, dan happiness atau eudaimonia. Kedua konsep itu berusaha
menunjukkan alasan seseorang mesti berbuat baik. Pengertian virtue secara literal
adalah keutamaan. Maksud dari keutamaan adalah tindakan yang harus dilakukan
seseorang dalam kehidupannya. Dua tradisi pemikiran lain juga disumbang pada
masa helenistik. Ada dua pemikiran etika yang cukup dominan pada masa itu,
yaitu Epikureanisme dan Stoisime. Pertama, Epikurus (341 270 SM) pendiri
Epikureanisme. Berbeda dengan para pendahulunya yang mengedepankan rasio
sebagai instrumen menentukan putusan moral, Epikurus menekankan pada faktor
yang lebih sederhana, yaitu kesenangan (pleasure). Epikurus menyederhanakan
kebahagiaan menjadi kesenangan. Seluruh tindakan dianggap baik jika ditujukan
untuk mencapai kesenangan, sementara tindakan yang harus dihindari saat hanya
menimbulkan rasa sakit (pain) (Donald, 2006). Epikurus membuat dua jenis dari
kesenangan, yaitu kesenangan alamiah (natural pleasure), kesenangan yang sia
sia (vain pleasure).

Pemikir helenistik lainnya adalah stoisisme. Figur sentral dalam aliran itu
adalah Zeno dari Siprus (334262 SM). Stoisisme banyak mendalami kajian etika
pada perbuatan manusia. Para pemikir Stoa sepakat dengan triadik SokratesPlato
Aristoteles bahwa putusan moral manusia merupakan bentuk pengetahuan. Tiga
pemikir Stoa, yaitu Seneca (465 M), Epictetus, dan Marcus Aaurelius (121180
M) meyakini manusia dapat menjalani hidup yang baik (an excellence life) saat
dirinya telah mendapat pencerahan pengetahuan (Donald, 2006). Kajian terhadap
etika mulai berkembang lagi saat peradaban memasuki masa Renaissance, secara
literal artinya Kebangkitan Kembali. Periode itu terjadi sekitar 14501600.
Masa itu mencapai puncaknya pada Era Pencerahan (The Enlightment), yaitu saat
rasionalitas manusia menjadi ukuran dalam seluruh aspek kehidupan. Segala
bentuk pemikiran, termasuk kajian filsafat dan begitupun etika tidak lagi tunduk
pada otoritas teks suci agama. Pemikiran dalam teks suci itu dianggap dogmatis
dan ditempatkan pada urusan personal tiap individu. Dalam masa modern
pencerahan itu, sejumlah pemikir Etika yang cukup terkenal adalah David Hume
(17111776), Immanuel Kant (17241804), Jeremy Bentham (17481832), dan
John Stuart Mill (18061873).

Hume mengajukan gagasan bahwa analisis mengenai moral tidak


terhubung dengan proposisi yang dibentuk oleh kognisi atau kapasitas rasional
manusia. Ia menyampaikan analisis terhadap putusan moral merupakan
pandangan nonkognitif. Pandangan Hume yang meminggirkan akal budi manusia
pada kajian etika mendapat reaksi penolakan dari Immanuel Kant. Karya Kant
mengenai etika tertulis dalam bukunya berjudul A Critique of Practical Reason.
Pemikiran etika Kant banyak dikenal dengan sebutan Deontologi Kantian.
Deontologi merupakan istilah yang terdiri dari kata deon, berarti kewajiban atau
keharusan. Kant berpendapat manusia memiliki akal praktis yang memungkinkan
dirinya memiliki pengetahuan atas moral. Contoh dari Deontologi Kantian dapat
dilihat dari narasi Kadiroen dalam Hikayat Kadiroen karya Semaun. Deontologi
Kantian pun mendapat pertentangan dari Utilitarianisme. Aliran itu juga dianggap
bagian dari Konsekuensionalisme. Alasannya, pemikiran itu meyakini suatu
tindakan secara moral baik atau buruk bergantung pada konsekuensi atas
perbuatannya terlepas bagaimanapun prosesnya. Bentham menegaskan analisis
mengenai. , bahwa kesenangan merupakan nilai yang utama dalam hidup. Ia
memiliki rumusan tersendiri mengenai kesenangan itu, yaitu nilai hedonistik yang
sosial. Pemikiran Utilitarian berlanjut ke John Stuart Mill. Dalam pandangannya
mengenai kesenangan, Mill merevisi pandangan Bentham bahwa kondisi itu mesti
diukur dari kualitasnya. Utilitarianisme terus berkembang hingga era kontemporer
ini. Peter Singer banyak fokus pada ranah etika terapan, yaitu penggunaan
perangkat Utilitarian ke persoalan dilema moral yang kompleks dan ditemui
dalam keseharian, misalnya kasus aborsi dan euthanasia. Singer mengajukan teori
yang dinamakan Utilitarian Preferensional (Preference Utilitarianism). Dalam
pemikirannya, Singer berpendapat membunuh seorang manusia akan berdampak
buruk dari mencabut nyawa mahluk hidup lainnya. Alasannya, manusia bernilai
dari kapasitanya mengarah pada masa depan.

Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak


percabangan hingga saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan
memiliki dimensi etika, misalnya saja Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, juga
Etika Dunia Virtual (Cyberethics). Percabangan pemikiran etika itu terjadi karena
kemajuan teknologi dan relasi antara manusia dan makhluk hidup lain semakin
kompleks. Satu hal yang dapat disadari dalam kajian etika, dunia yang dihadapi
tidak bersifat netral dan bebas nilai (value free). Segala sesuatu yang melibatkan
tindakkan memiliki dimensi nilai yang dapat dipertanyakan kondisi baik atau
buruknya.

Anda mungkin juga menyukai