Anda di halaman 1dari 10

Naskah Sutradara : Sepasang Merpati Tua

Penulis : Bakdi Soemanto

Sutradara : Afwin Sulistiawati

Drama terdiri atas satu latar saja, yakni sebuah panggung yang menggambarkan sebuah ruangan tengah rumah sepasang orang tua. Di atas
sebelah kiri ada meja makan kecil dengan dua buah kursi. Di atas meja ada teko, sepasang cangkir, dan stoples berisi panganan. Agak di
tengah ruangan itu terdapat sofa, lusuh warna gairahnya. Di belakang terdapat pintu dan jendela.

Komposisi awal ketika drama dimulai dan sebelum dialog diucapkan, Nenek duduk sambil menyulam. Sebentar-bentar ia menengok ke
belakang, kalau-kalau suaminya datang. Saat itu hari menjelang malam.

No. Dialog Lampu Musik Komposisi

00 Nenek : (Bicara sendiri). Ah, dasar! Kayak Warna-warni, mirip Musik hingar-bingar,
nggak ingat sudah pikun. Pekerjaannya lampu diskotik lalu disusul romantis
tidak ada lain selain bersolek. (instrumental)
Dikiranya masih ada gadis-gadis yang suka
memandang. Hmmm (Mengambil
cangkir, lalu meminumnya)
Kakek : (Masuk). Bagaimana kalau aku pakai
kopiah seperti ini, Bu?
Nenek : Astaga! Tuan rumah mau pesiar ke
mana menjelang malam begini?
Kakek : tidak kemana-mana. Cuma mau

01 duduk-duduk saja, sambil baca koran. Netral senyap/tanpa musik Semula di tengah, lalu
Nenek : Ada berita rahasia mondar-mandir
Kakek : rahasia? memanfaatkan lebarnya
Nenek : habis kau baca koran kenapa panggung, juga rensponsif
menyendiri? thd alat yang ada di
Kakek : Malu. panggung
Nenek : Malu? Kau aneh. Malu pada siapa?
Kakek : dilihat banyak orang tuuuh. (Menunjuk
penonton). Sudah tua kenapa
pacaran terus.
Nenek : (Berdiri menghampiri Kakek, lalu
duduk di sebelahnya, lalu menyandarkan
kepalanya ke bahu Kakek sebelah kiri).
Kakek : Gila. Malah demonstrasi.
Nenek : Sekali waktu memang perlu.
Kakek : Ya, tapi kan bukan untuk saat ini?
Nenek : Kukira justru!
Kakek : Duilah apa-apaan ini.
Nenek : Agar orang tetap tahu, aku milikmu.
Kakek : Siapa mengira kita sudah cerai?
Nenek : Ah, wanita. Bagaiamanapun sudah tua,
aku tetap wanita. (Berdiri, pergi ke
kursi dan duduk). Dunia wanita yang hidup dalam
angan-angan, takut kehilangan, tapi menuntut
kenyataan-kenyataan.
Kakek : Bagus!
Nenek : Apa maksudmu?
Kakek : Tindakan terpuji, itu namanya.
Nenek : He, apa sih maksudmu, Pak?
Kakek : Mengaku dosa di depan orang banyak!
Nenek : Hu hu hu (Menangis)
Kakek : He, ada apa kau, Bu? Ada apa? Digigit
nyamuk rupanya?
Nenek : Kau memperolok-olok aku di depan
orang banyak begini. Siapa aku ini?
Istrimu bukan? Kalau aku dapat malu, kan kau
juga ikut dapat malu toh. Hu hu hu
Kakek : Bukan maksudku memperolok-olok
kau, Bu. Aku justru memuji tindakanmu yang
berani.
Nenek : Ah, laga profesormu kumat lagi, Pak?
Kakek : Yaaa, aku dulu memang punya cita-cita
jadi professor.
Nenek : Dan kandas.
Kakek : Belum. O, malah sudah berhasil,
Cuma tunggu pengakuan.
Nenek : Siapa yang akan mengakui
keprofesoranmu? Kau tidak mengajar di
perguruan tinggi manapun di dunia ini.
Kakek : Secara formal memang tidak. Secara
material ia.
Nenek : Hah, bagaimana mungkin?
Kakek : Kau lihat, banyak mahasiswa yang
datang kemari, bukan? Tidak hanya itu, malahan
para guru besar pada datang ke mari. Mereka
mengajak diskusi aku, segala macam soal. Dari
soal-soal tata pemerintahan sampai bagaimana
mengatasi kesepian.
Nenek : Bukankah itu cuma omong-omong,
mengapa mesti dikatakan diskusi?
Kakek : Siapa bilang orang memberi kuliah di
depan kelas tidak pake omong, he?
Nenek : Mestinya kau tidak usah jadi professor
saja, Pak. Jadi diplomat ulung saja
Kakek : Aku kurang senang jadi diplomat.
Nenek : Tapi kau lebih terkemuka, lebih
ternama, lebih terkenal.
Kakek : Diplomat terlalu banyak menipu hati
nuraninya sendiri. (Nenek termenung
tiba-tiba)
Kakek : Ada apa kau? Kau tidak senang aku
jadi professor. Kau kepingin aku jadi diplomat?
Baik. Aku akan jadi diplomat demi keselamatan
perkawinan kita.
Kakek : Aku akan segera jadi diplomat
sekarang juga. Di mana posku? Negara-negara
Barat? Timur? Asia? Atau PBB?
Nenek : Ya, PBB saja
Kakek : Aku ingin jadi diplomat yang diberi
pos di kolong jembatan saja
Nenek : Ah bagaimana, nanti kalau aku
arisan dan ditanya teman-teman
bagaiamana jawabku, Pak. Coba
bayangkan, bayangkan
Kakek : (Memandang Nenek). Susah
Nenek : Siapa?
Kakek : Kita semua
Nenek : Termasuk para penonton itu?
Kakek : Ya.
Nenek : Kenapa?
Kakek : Karena kita hidup
Nenek : Mengapa begitu?
Kakek : Orang hidup punya beban sendiri.
(Pergi mengambil teko, menuang kopi, lalu
meminumnya)
(Nenek memandang tindakan-tindakan sang
suami. Kakek membuka stoples lalu memakan
makanannya)
Nenek : Seorang diplomat harus tahu aturan.
Kakek : Apa maksudmu?
Nenek : Makan tidak boleh sambil berdiri. Ini
adalah adat timur.
Kakek : Sudah nyopot dari pekerjaan.
Nenek : Mau pindah pekerjaan?
Kakek : Ya.
Nenek : Apa?
Kakek : Teknokrat.
Nenek : Gila.
Kakek : Aku mau jadi teknokrat dalam
bidang.
Nenek : Ekonomi?
Kakek : Bukan!
Nenek : Politik?
Kakek : Bukan
Nenek : Militer?
Kakek : Bukan
Nenek : Lalu apa?
Kakek : Bidang persampahan
Nenek : Apa?
Kakek : Bidang sampah-sampah! Ini perlu
sekali, salah satu sebab adanya banjir di kota ini,
karena orang-orang kurang tahu artinya selokan-
selokan itu. Kau lihat di jalan-jalan yang sering
tergenang air itu. Coba selokan itu kita keduk,
sampahnya luar biasa banyaknya
(Nenek termenung)
Kakek : Kau tidak senang?
Nenek : Ah, makin pusing mendengarkan
bicaramu
Kakek : Kreativitas harus dibangkitkan. Bukan
dengan konsep-konsep tetapi dengan
merangsangnyadengan menggoncangkan
jiwanya agar tumbuh keberaniannya menjadi diri
sendiri. Tidak menjadi manusia bebek. Yang
cuma meniru, meniru, meniru(kakek rebah,
nenek menjerit).
Nenek : (Terseduh)
Kakek : (Bangkit tetapi tidak diketahui oleh
nenek). Mengapa kau menangisi aku, tangisilah
dirimu sendiri.
Nenek : Kau masih hidup?
Kakek : Aku tidak begitu yakin, selama aku
terbelenggu oleh doktrin. Aku hanya mengerti,
apa aku hidup atau tidak, kalau aku menghayati
hidupku sendiri.
Nenek : Tetapi kau berbicara, kau bernapas.
Kakek : Bukan itu ukuran adanya kehidupan.
Nenek : Sudah larut tengah malam.
Kakek : Ya. Dan sebentar lagi ambang pagi
akan datang.
Nenek : Kita akan menjadi segar kembali.
Kakek : Dan tambah tua.(Nenek termenung.
Kakek termenung)
Nenek : Kapan kita mati?
Kakek : Entah. Tapi kita harus siap-siap.
Nenek : Sungguh ngeri!
Kakek : Mudah-mudahan kau tahu, begitulah
hidup. Kebiasaan-kebiasaan, ukuran-ukuran,
konsep-konsep tidak terlalu cocok.
Nenek : Bagaimana cara kita mengerti?
Kakek : Itulah soalnya.
(Layar turun, lampu mati)

Anda mungkin juga menyukai