OLEH :
KELOMPOK 8
GOLONGAN I
JURUSAN FARMASI
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
PERCOBAAN IV
KECEPATAN DISOLUSI INSTRINSIK
I. LATAR BELAKANG
Obat merupakan suatu zat yang digunakan untuk mengobati, mengurangi
rasa sakit, dan mencegah penyakit pada mahluk hidup, yaitu manusia dan hewan.
Beberapa bentuk sediaan obat, diantaranya tablet, kapsul, pil, suspensi, emulsi,
sirup, dan berbagai jenis larutan sediaan farmasi. Pada umumnya, komposisi
sediaan farmasi meliputi zat aktif dan bahan pengisi. Jumlah atau persentase kadar
zat aktif dalam sediaan farmasi yang terabsorpsi dan masuk ke dalam sistem
peredaran darah untuk memberikan efek terapeutik dapat diuji dengan metode
disolusi.
Disolusi obat merupakan suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk
sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting
artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat
tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam uji disolusi, diantarnya ukuran
dan bentuk yang akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, sifat media
pelarutan yang akan mempengaruhi uji kelarutan.
Suatu bahan obat harus memiliki daya larut dalam air untuk memberikan
efek terapeutik yang diinginkan. Proses absorpsi yang tidak sempurna ditunjukkan
oleh senyawa-senyawa yang relative tidak dapat dilarutkan sehingga senyawa-
senyawa tersebut menghasilkan efek terapeutik yang kecil. Peningkatan daya
kelarutan bahan-bahan obat dapat dilakukan dengan penambahan garam dan ester
dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi. Proses disolusi sangat
berperan penting dalam pembuatan sediaan farmasi sehingga dilakukan percobaan
ini untuk meningkatkan pengetahuan tentang disolusi obat.
III. TUJUAN
Secara umum tujuan percobaan ini adalah mempelajari pengaruh pH
medium disolusi terhadap kecepatan disolusi instrinsiknya sebagai preformulasi
untuk bentuk sediaan.
(a)
(b)
Gambar 2. (a) Rumus Struktur Teofilin (Depkes RI, 1995) dan (b) Spektrum
Ultraviolet Teofilin (Moffat et al., 2005).
IV.2 Kecepatan Disolusi
Disolusi adalah suatu proses pelepasan obat dari bentuk sediaan
menjadi bentuk terlarut. Laju disolusi adalah jumLah zat aktif dalam sediaan
yang melarut dalam waktu tertentu. Tujuan utama dilakukan uji disolusi
adalah merupakan kontrol kualitas untuk membuat dugaan karakter suatu obat
di dalam saluran pencernaan, apakah obat tersebut mudah larut atau tidak
setelah lepas dari bentuk sediaannya (Hutagaol dan Irwan, 2010). Laju
pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu
sendiri (Rosmaladewi dan Filosane, 2005). Faktor yang mempengaruhi laju
disolusi sediaan obat antara lain kelarutan, ukuran partikel, dan kristalisasi
obat. Dalam sediaan tablet, faktor formulasi, pengisi, penghancur, pelincir
dan efek kekuatan pengempaan berpengaruh terhadap laju disolus (Hutagaol
dan Irwan, 2010).
Peningkatan laju disolusi obat merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk memperbaiki permasalahan bioavaibilitas. Salah satu metode
untuk meningkatkan laju disolusi obat adalah dengan pembentukan dispersi
obat yang sukar larut dalam pembawa polimer (Rosmaladewi dan Filosane,
2005). Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali
bila dinyatakan dalam masing-masing monografi (Depkes RI, 1995).
Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut telh
diajukan dalam batasa-batasan kuantitif oleh Noyes dan Whitney pada tahun
1897 dan telah dikerjakan dengan teliti oleh peneliti-peneliti. Persamaan
tersebut dituliskan sebagai:
dM D.S .Cs
dt h
(Martin et al.,1993)
Alat disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :
Ki =
Dimana Ki adalah konstanta laju disolusi, D adalah koefisien difusi, dan
hL adalah tebal lapisan difusi. Koefisien difusi ini memiliki hubungan
dengan ukuran partikel zat terlarut yang diterangkan oleh persamaan :
D=
Dimana T adalah temperatur dalam kelvin; KB adalah konstanta Boltzman
1,381 x 10-23 J/K. Persamaan diatas menggambarkan pula bahwa koefisien
f. Viskositas
Bila viskositas gas meningkat dengan naiknya temperatur, maka
viskositas cairan justru akan menurun jika temperatur dinaikkan. Fluiditas
dari suatu cairan yang merupakan kebalikan dari viskositas akan
meningkat dengan makin tingginya temperatur. Turunnya viskositas
pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan
memperbesar kecepatan disolusi (Martin et al., 1990).
g. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan memengaruhi tebal lapisan difusi (h).
Jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat
berkurang (Martin et al., 1993).
h. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil, maka luas permukaan efektif
menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat. Penurunan ukuran
atau peningkatan luas permukaan efektif tidak selalu mengakibatkan lebih
cepatnya disolusi. Jika partikel diserbukkan berlebih dan bila obat-obat
bersifat hidrofobik, agregasi mungkin dapat terjadi sesudah itu, dan ini
dapat mengakibatkan kesulitan-kesulitan dari pembasahan partikel dan
disolusi. Laju disolusi telah ditingkatkan untuk obat-obat yang sukar larut
dengan mengadsorbsi obat di atas suatu adsorben, seperti silikon dioksida
yang meningkatkan suatu luas permukaan besar (Martin, 1990).
Selain faktor-faktor tersebut diatas terdapat juga faktor-faktor yang
memengaruhi laju disolusi obat secara in vitro antara lain adalah:
a. Sifat Fisika Kimia Obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi.
Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran
partikel. Laju disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada
permukaan solute. Kelarutan obat dalam air juga memengaruhi laju
disolusi. Pada umumnya, obat berbentuk garam lebih mudah larut
daripada obat berbentuk asam maupun basa bebas.
b. Faktor Formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan
obat dapat memengaruhi kinetika pelarutan obat dengan memengaruhi
tegangan muka antara medium tempat obat melarut dengan bahan obat,
ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat. Penggunaan bahan
tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium stearat, dapat
menaikkan tegangan antarmuka obat dengan medium disolusi.
c. Faktor Alat dan Kondisi Lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan
menyebabkan perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan
pengadukan akan memengaruhi kecepatan pelarutan obat, semakin cepat
pengadukan, maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat
menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu, temperatur, viskositas, dan
komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
memengaruhi kecepatan pelarutan obat (Martin et al., 1993).
4.5 Spektrofotometri UV-Visible
Spektrofotometri adalah sebuah metode analisis untuk mengukur
konsentrasi suatu senyawa berdasarkan kemampuan senyawa tersebut
mengabsorbsi berkas sinar atau cahaya. Prinsip spektrofotometri UV-Vis
yaitu berdasarkan pengukuran serapan cahaya (radiasi elektromagnetik) oleh
suatu senyawa (analit) di daerah ultraviolet dan sinar tampak (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan
oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi
larutan. Rumus dari Hukum Lambert-Beer adalah sebagai berikut:
A = - log T = - log It / Io = . b . C
Keterangan :
A = Absorbansi sampel yang diukur
b = Tebal kuvet yang digunakan
= Koefisien ekstingsi
c = Konsentrasi sampel
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Dalam Hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan yaitu,
sinar yang digunakan dianggap monokromatis, penyerapan terjadi dalam suatu
volume yang mempunyai penampang luas yang sama, senyawa yang
menyerap dalam larutan tersebut tidak bergantung terhadap yang lain dalam
larutan tersebut, tidak terjadi peristiwa fluoresensi atau fosforisensi dan indeks
bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan (Gandjar dan Rohman, 2007).
Ada beberapa alasan menggunakan panjang gelombang maksimal yaitu,
pada panjang gelombang maksimal kepekaannya juga maksimal karena pada
panjang gelombang maksimal perubahan absorbansi untuk setiap satuan,
konsentrasi adalah yang paling besar, di sekitar panjang gelombang maksimal,
bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut Hukum Lambert-
Beer akan terpenuhi dan jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan
yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali
ketika digunakan panjang gelombang maksimal (Gandjar dan Rohman, 2007).
V. PROSEDUR PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN
1. Alat-alat yang digunakan
a. Timbangan analitik
b. Alat-alat gelas
c. Stopwatch
d. Alat uji disolusi apparatus 2
e. Spektrofotometer UV
2. Bahan-bahan yang digunakan
a. Pelet/tablet obat
b. Lilin kuning murni
c. Medium disolusi
B. PROSEDUR KERJA
1. Perhitungan
1. Pembuatan Buffer Fosfat
Diketahui :
Komposisi Buffer Phosphate pH 5,8 terdiri dari 50 mL Kalium
phosphate monobasa 0,2 M ditambahkan dengan 3,6 mL Natrium
Hidroksida 0,2 M. Kemudian diencerkan dengan air hingga 200 mL.
Volume yang dibuat = 1,5 L
Ditanya :
a. Bobot Kalium phosphate ... ?
b. Bobot Natrium Hidroksida ... ?
Jawab :
KH2PO4 0,2 M = 50 mL yang diencerkan hingga 200 mL, maka :
x 50 mL = 375 mL
x 3,6 mL = 27 mL
0,2 M = x
massa =
= 0,216 gram
b. M KH2PO4 = x
0,2 M = x
massa =
x = 10 mg
Jadi, massa parasetamol yang ditimbang sebanyak 10 mg.
2. Skema Kerja
a. Pembutan Larutan Stok Parasetamol 1 mg/mL dalam Buffer Fosfat
Pelet bentuk tablet bahan obat dituangi lilin cair pada satu sisinya,
sehingga hanya satu permukaan pelet yang terbuka yang langsung
bersinggungan dengan medium disolusi.
f. Evaluasi Data
Dibuat grafik hubungan jumlah obat yang terdisolusi sebagai
fungsi waktu setelah dikoreksi karena adanya pengurangan kadar
larutan oleh sampel yang diambil
Dihitung kecepatan disolusi intrinsik dan diekspresikan dalam DE60
atau tetapan Kwagner
Dihitung kecepatan disolusi intrinsik masing-masing sampel tiap
waktu pengambilan sampel
Disusun dalam suatu tabel berdasarkan data kecepatan pelarutan
C. ANALISIS DATA
1. Hasil
Tabel 5.1 Tabel Absorbansi Parasetamol pada Panjang Gelomang 200nm300 nm.
Panjang Absorbansi
Gelombang Parasetamol
200 0.132
203 0.138
206 0.194
209 0.26
212 0.345
215 0.377
218 0.395
221 0.409
224 0.435
227 0.447
230 0.45
233 0.454
236 0.443
239 0.401
242 0.366
245 0.334
248 0.313
251 0.293
254 0.264
257 0.226
260 0.193
263 0.165
266 0.147
269 0.138
272 0.133
275 0.131
278 0.131
281 0.133
284 0.136
287 0.138
290 0.138
293 0.136
296 0.132
299 0.126
y = bx + a
y = 0.019 x + 0.293
R = 0.982
5.2.2 Penentuan jumlah parasetamol yang terlarut dalam medium Buffer fosfat
Diketahui :
Volume medium disolusi = 900 mL
Faktor pengenceran = 50 x
Absorbansi (y) Sampel :
a. Menit ke-5 = 0,343
b. Menit ke-10 = 0,425
c. Menit ke-20 = 0,588
d. Menit ke-30 = 0,638
e. Menit ke-45 = 0,730
f. Menit ke-60 = 0,750
Ditanya : Kadar parasetamol dalam medium Buffer fosfat = ?
Jawab :
a. Menit ke-5
y = 0,019 x + 0,293
0,343 = 0,019 x + 0,293
0,343 0,293 = 0,019 x
x = 2,631 g/mL = 2,631 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 2,631 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 118,4 mg
b. Menit ke-10
y = 0,019 x + 0,293
0,425 = 0,019 x + 0,293
0,425 0,293 = 0,019 x
x = 6,953 g/mL = 6,953 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 6,953 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 312,9 mg
c. Menit ke-20
y = 0,019 x + 0,293
0,588 = 0,019 x + 0,293
0,588 0,293 = 0,019 x
x = 15,526 g/mL = 15,526 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 15,526 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 698,67 mg
d. Menit ke-30
y = 0,019 x + 0,293
0,638 = 0,019 x + 0,293
0,638 0,293 = 0,019 x
x = 18,157 g/mL = 18,157 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 18,157 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 817,065 mg
e. Menit ke- 45
y = 0,019 x + 0,293
0,730 = 0,019 x + 0,293
0,730 0,293 = 0,019 x
x = 23 g/mL = 23 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 23 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 1035 mg
f. Menit ke-60
y = 0,019 x + 0,293
0,750 = 0,019 x + 0,293
0,750 0,293 = 0,019 x
x = 24,05 g/mL = 24,05 x 10-3 mg/mL
Jumlah zat yang terlarut :
= x . Volume medium disolusi . Faktor pengenceran
= 24,05 x 10-3 mg/mL . 900 mL . 50
= 1080 mg
a. Menit ke-5
= 118,4 mg + [( ) x 0]
= 118,4 mg
b. Menit ke-10
= 312,9 mg + 0,658 mg
= 313,56 mg
c. Menit ke-20
= 698,67 mg + 1,742 mg
= 700,4 mg
d. Menit ke-30
= 817,065 mg + [( ) x 700,4 mg]
= 817,065 mg + 3,891 mg
= 821 mg
e. Menit ke-45
= 1035 mg + 4,561 mg
= 1040 mg
f. Menit ke-60
= 1080 mg + 5,8 mg
= 1086 mg
Penyelesaian :
a. Menit ke-5
= 23,7 %
b. Menit ke-10
= 62,7 %
c. Menit ke-20
= 140 %
d. Menit ke-30
= 164 %
e. Menit ke-45
= 208 %
f. Menit ke-60
= 217 %
vdisolusi intrinsik =
= 18 mg/menit
b. Menit ke-10
= 23,75 mg/menit
c. Menit ke-20
= 26,5 mg/menit
d. Menit ke-30
Kecepatan disolusi intrinsik =
= 20,7 mg/menit
e. Menit ke-45
= 17,5 mg/menit
f. Menit ke-60
= 13,7 mg/menit
AUC = (tn-tn-1)
y = % obat terlarut
t = waktu terdisolusi
Penyelesaian :
= (t2-t1)
a.
= (10-5)
= 216
= (t3-t2)
b.
= (20-10
= 1013,5
= (t4-t3)
c.
= (30-20)
= 1520
= (t5-t4)
d.
= (45-30)
= 2790
= (t6-t5)
e.
= (60-45)
= 3187,5
f. Nilai AUC60 = 216 + 1013,5 + 1520 + 2790 + 3187,5
= 8726.5
= x 100%
= 107 %
pH = pKa + log
-3,85 = log
1,41 x 10-4 =
= x 100%
= 0,014%
Persentase terion = 100% - Persentase tak terion
= 100% - 0,014%
= 99,986%
VI. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini, dilakukan penentuan kecepatan disolusi dari tablet
parasetamol, Penentuan kecepatan disolusi dilakukan dengan menggunakan
apparatus I1, yaitu padlle. Tujuan utama dilakukan uji disolusi adalah sebagai
quality control untuk membuat dugaan suatu obat di dalam saluran pencernaan,
apakah obat tersebut mudah larut atau tidak, setelah lepas dari bentuk sediaannya.
Laju pelarutan obat di dalam saluran cerna dipengaruhi oleh kelarutan obat itu
sendiri. Faktor yang mempengaruhi laju disolusi sediaan obat antara lain
kelarutan, ukuran partikel, dan kristalisasi obat. Dalam sediaan tablet, faktor
formulasi, pengisi, penghancur, pelincir dan efek kekuatan pengempaan
berpengaruh terhadap laju disolusi (Hutagaol dan Irwan, 2010). Pengujian ini juga
bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH medium disolusi terhadap kecepatan
disolusi intrinsiknya dan untuk mengetahui berapa lama obat dapat hancur dalam
tubuh dan melepaskan bahan obat dan langsung memberikan efek.
Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke
dalam larutan suatu media (Syamsuni, 2007). Uji disolusi merupakan suatu
prosedur pengendalian mutu tetap dalam praktik Cara Pembuatan Obat yang Baik
(CPOB). ). Disolusi dari suatu zat dapat digambarkan oleh persamaan Noyes-
Whitney:
Dimana dc/dt adalah laju disolusi, K adalah konstanta laju disolusi, S luas
permukaan zat padat yang melarut, Cs konsentrasi obat dalam lapisan difusi dan C
adalah konsentrasi obat dalam medium disolusi pada waktu t (Ansel, 1989).
Alat uji disolusi berfungsi melepaskan dan melarutkan zat aktif dari
sediaannya. Pada dasarnya alat ini berfungsi mengekstraksi zat aktif dari
sediaannya dalam satuan waktu di bawah antar permukaan cairan solid, suhu, dan
komposisi media yang dibakukan (Siregar, 2010). Menurut The United States of
Pharmacopeia Vol.1, ketentuan dalam uji disolusi tablet parasetamol adalah
menggunakan apparatus 2 (metode paddle) dalam medium disolusi buffer fosfat
pH 5,8. Buffer fosfat yang digunakan adalah sebanyak 900 mL dengan suhu 37C
0,5C. Kecepatan pengadukan sebesar 100 rpm. Ketentuan tersebut dibuat
sedemikian rupa untuk menyesuaikan kondisi fisiologis dalam tubuh manusia.
Buffer fosfat dengan volume dan pH sedemikian rupa mewakili suasana dan
volume cairan dalam tubuh manusia, apparatus II dan kecepatan pengadukan yang
digunakan menyesuaikan dengan gerak gerak yang terjadi dalam sistem
pencernaan manusia, dan suhu 37C 0,5C adalah suhu tubuh manusia normal
yang sehat.
Apparatus II dengan Metode paddle menggunakan suatu dayung atau
spindle yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada
posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari
sumbu vertikal wadah dan berputar agar dapat mengaduk medium disolusi.
Medium disolusi berada dalam wadah beralas bundar berfungsi untuk
memperkecil turbulensi dari media pelarutan.
Parasetamol (Acetaminophen) atau N-Acetylpaminophenol N-(4-
Hydroxyphenyl) acetamide memiliki berat molekul 151,2 g/mol, berupa kristal
putih atau terdiri dari serbuk kristal. Titik didihnya dalam air berkisar antara 168
- 172 C. Parasetamol sedikit larut dalam air dingin, sangat larut dalam air panas,
larut dalam etanol, metanol, serta tidak larut dalam petrolium eter, pentane dan
benzene (Depkes RI, 1995). Parasetamol memiliki absorbansi maksimum pada
panjang gelombang 245 (pada suasana asam) dan 257 (pada suasana basa). pKa
dari Parasetamol adalah 9,5 (Moffat et al., 2005).
Pada uji disolusi, temperatur dan kecepatan putar pengaduk dipertahankan
selalu pada kondisi konstan yaitu suhu 37C+0,5C dan kecepatan putar pada 100
rpm. Kondisi yang digunakaan saat uji sangat diharapkan agar sesuai dengan
ketentuan yang telah diatur. Karena suhu yang meningkat selain dapat
meningkatkan gradien konsentrasi (Cs) juga meningkatkan energi kinetika
molekul obat yang besar Selain itu intensitas pengadukan harus dijaga supaya
tetap, karena perubahan kecepatan pengadukan akan berpengaruh pada nilai h
yaitu tebalnya lapisan difusi atau stagnant layer juga akan mempengaruhi
penyebaran partikel. Pengadukan yang semakin cepat akan mempertipis stagnant
layers yang terbentuk serta akan memperluas permukaan partikel yang kontak
dengan pelarut sehingga berdampak pada peningkatan kecepatan palarutan obat
(Sulistyaningrum dkk, 2012). Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan
dayung. Kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi
hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk
memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Shargel et al., 2012).
Pada praktikum ini, dilakukan pembuatan kurva baku parasetamol. Kurva
baku dibuat dengan mengukur absorbansi larutan parasetamol yang sudah dibuat
dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4 dan 5 g/mL pada panjang gelombang maksimum
242 nm. Pengukuran absorbansi dari parasetamol dengan spektrofotometer UV-
Vis dilakukan pada panjang gelombang maksimum karena pada panjang
gelombang maksimum, kepekaannya juga maksimum, perubahan absorbansi
untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Di sekitar panjang
gelombang maksimum juga, bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi
tersebut hukum Lambert Beer terpenuhi. Selain itu, jika dilakukan pengukuran
ulang yang disebabkan oleh pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil
sekali ketika digunakan panjang gelombang maksimul. Dibuat dengan konsentrasi
1, 2, 3, 4 dan 5 g/mL bertujuan untuk membuat kurva kalibrasi agar
meminimalkan kesalahan pengukuran karena didalam tablet paracetamol terdiri
dari bahan tambahan lain sehingga kemugkinan akan mengganggu pembacaan
konsentrasi zat aktif parasetamol. Berdasarkan data yang diperoleh, pada
konsentrasi 1 g/mL absorbansinya sebesar 0.222, konsentrasi 2 g/mL
absorbansinya sebesar 0.331, konsentrasi 3 g/mL absorbansinya sebesar 0.355,
konsentrasi absorbansinya 4 g/mL sebesar 0.423, dan konsentrasi absorbansinya
5 g/mL sebesar 0.796. Sehingga diperoleh persamaan garis lurusnya adalah y =
0.019 x + 0.293 dan r = 0.982 . Hal ini merupakan hubungan konsentrasi
parasetamol dengan absorbansi.
Namun pada praktikum kali ini kecepatan pengadukan yang digunakan
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dikarenakan alat uji disolusi yang
digunakan tidak bekerja dengan maksimal. Kecepatan pengadukan yang
digunakan adalah 50 rpm. Larutan buffer fosfat yang telah dibuat sebelumnya
diukur dengan pH meter untuk mengetaui pH larutan. Tingkat keasaman larutan
buffer yang dibuat adalah 5,85. Nilai ini mendekati dengan nilai ketentuan yaitu
pH 5,8. Kemudian buffer fosfat tersebut dimasukkan ke dalam labu disolusi pada
alat disolusi yang telah dipersiapkan sebelumnya. Tablet parasetamol 500 mg
dimasukkan dalam larutan buffer fosfat, kemudian diatur besar kecepatan
pengadukan, yaitu 50 rpm. Dilakukan pengujian kecepatan disolusi selama 60
menit. dilakukan pengambilan larutan analit sebanyak 5 mL dengan spuit tiap
interval waktu 5, 10, 20, 30, 45, dan 60 menit. Setiap pengambilan larutan analit
sebanyak 5 mL, dilakukan juga penambahan buffer fosfat 5 ml pada labu disolusi.
Hal ini bertujuan untuk menjaga agar volume media disolusi tetap konstan
sehingga kecepatan disolusi yang dihasilkan hanya dipengaruhi oleh waktu
pengadukan dan tidak dipengaruhi oleh volume pelarut yang digunakan. Hal ini
didasarkan pada homeostasis tubuh manusia yang mana akan bereaksi jika tubuh
kehilangan cairan. Pengambilan sampling dilakukan untuk mengetahui berapa
kadar parasetamol yang terdisolusi dalam tiap tiap selang waktu yang ditentukan.
Parameter lain yang digunakan untuk menyatakan uji disolusi adalah
Dissolution Effisiency. Dissolution efficiency (DE) Dissolution efficiency adalah
luas dibawah kurva disolusi dibagi luas persegi empat yang menunjukkan 100%
zat terlarut pada waktu tertentu. Penggunaan metode ini mempunyai beberapa
keuntungan, antara lain dapat menggambarkan semua titik pada kurva kecepatan
pelepasan kecepatan disolusi obat.
Adapun hasil yang diperoleh pada pengukuran absorbansi larutan sampel
dari menit ke-5 sampai ke-60 dengan 50x pengenceran.
Larutan Konsentrasi sampel Faktor Pengenceran
Sampel Absorbansi
menit ke-5 0.343 118,4 mg 50x
menit ke-10 0.452 313,56 mg 50x
menit ke-20 0.588 700,4 mg 50x
menit ke 30 0.638 821 mg 50x
menit ke 45 0.73 1040 mg 50x
menit ke-60 0.75 1086 mg 50x
Tabel Absorbansi Larutan Sampel
Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa nilai absorbansi yang didapatkan
sesuai dengan hukum Lambert Beer, yaitu berada di rentang absorbansi 0,2-0,8
yang terdeteksi menggunakan spektrotrofotometri UV. Dari data yang didapat
dapat disimpulkan bahwa konsentrasi parasetamol dalam buffer fosfat terbesar
terletak pada menit ke-60 yaitu 1086 mg
VII. KESIMPULAN
Derajat keasaman (pH) medium disolusi mempengaruhi kecepatan disolusi
intrinsik suatu bahan obat. Untuk obat yang bersifat asam lemah, jika (H+) kecil
atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan
disolusi zat juga meningkat. Untuk obat yang bersifat basa lemah, jika (H+) besar
atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan
disolusi juga meningkat. Dari data yang didapat dapat disimpulkan bahwa
konsentrasi parasetamol dalam buffer fosfat terbesar terletak pada menit ke-60
yaitu 1086 mg. Kecepatan disolusi intrinsic parasetamol pada medium buffer
fosfat dengan pH 5,85 dalam waktu 5, 10, 20, 30, 45, dan 60 menit masing masing
18 mg/menit, 23,75 mg/menit, 26,5 mg/menit, 20,7 mg/menit, 17,5 mg/menit,
13,7 mg/menit dengan efisiensi disolusi sebesar 107 % dan fraksi parasetamol
yang terionkan sebesar 99,98%
DAFTAR PUSTAKA
Ansel, H.C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI
Press
Alatas, F., S. Nurono, dan S. Asyarie. . 2006. Pengaruh Konsentrasi PEG 4000
Terhadap Laju Disolusi Ketoprofen dalam Sistem Dispersi Padat
Ketoprofen-PEG 4000. Majalah Farmasi Indonesia. Vol. 1. Hal. 57-62.
Attwood, D. dan T. F. Alexander, 2008. Psysical Pharmacy. London :
Pharmaceutical Press.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia. Edisi V. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Dressman, J. dan J. Kramer. 2005. Pharmaceutical Dissolution Testing. London:
Taylor and Francis Group.
Gandjar, I. G. dan A. Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hutagaol, L. dan Y. Irwan. 2010. Disolusi Kapsul Teofilin Dalam Model Racikan
Resep Dokter. Jurnal Farmasi Indonesia. Vol. 5. No. 1. Hal. 33-40.
Malamy, J. dan F. K. Daniel. 1992. Salicylic Acid and Plant Disease Resistance.
The Plant Journal. Vol. 2. No. 5. Page. 643-654.
Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1990. Farmasi Fisik. Jilid 1 Edisi
Ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Martin, A., J. Swarbrick, and A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik. Jilid 2 Edisi
Ketiga. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Moffat, A. C., M. D. Osselton, B. Widdop, and L. Y. Galichet. 2005. Clarke's
Analysis of Drugs and Poisons 3rd edition. London: Pharmaceutical Press.
Pandit, N. K. 2007. Introduction to The Pharmaceutical Science. USA: Lippincort
Williams and Walkin.
Rosmaladewi, S. dan F. H. Filosane. 2005. Pengaruh Polivinil Pirolidon Terhadap
Laju Disolusi Furosemid Dalam Sistem Dispersi Padat. Majalah Ilmu
Kefarmasian. Vol. 2. No. 1. Hal. 30-42.
Shargel, L. et al., 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi
Kelima. Surabaya: Airlangga University Press.
Siregar, C. J. P. 2010. Teknologi Farmasi Sediaan TabletDasar-Dasar Praktis.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sulistyaningrum, I. H. M. Djatmiko, dan Sugiyono.2012. Uji Sifat Fisik dan
Disolusi Tablet Isosorbid Dinitrat 5 Mg Sediaan Generik dan Sediaan
dengan Nama Dagang yang Beredar di Pasaran.Majalah Farmasi dan
Farmakologi.Vol. 16, No. 1 hlm. 21 30.
Syamsuni, A. H. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
[USP Convention] United States Pharmacopeial Convention. 2009. United States
Pharmacopeia and the National Formulary (USP 32 - NF 27). Rockville
(MD): The United States Pharmacopeial Convention.
LAMPIRAN