Anda di halaman 1dari 12

TATALAKSANA TERKINI DELIRIUM PADA USIA LANJUT

IGP SUKA ARYANA


Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah
Denpasar

RINGKASAN

Delirium merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan


kesadaran dan perhatiandisertai gejala penurunan fungsi kognitif, emosi dan
prilaku. Kejadian delirium sangat tinggi pada usia lanjut baik pada kondisi
medik maupun bedah yang akan berpengaruh kepada efek luaran (outcome).
Faktor predisposisi pada pasien akan berperan serta dengan faktor pencetus
yang terjadi akan mempengaruhi fungsi otak dan menimbulkan
ketidakseimbangan neurotransmiter di otak. Diagnosis dini menjadi sangat
penting dalam memperbaiki prognosis pasien. Instrumen yang standar
sangat diperlukan sehingga semua staf klinis dan perawat melakukan
pengkajian secara rutin untuk dapat mendeteksi lebih dini delirium. Bila
delirium telah terdeteksi lebih dini maka penanganan terhadap factor
pencetus bisa segera dilakukan dan terus menjaga kondisi lingkungan yang
kondusif untuk pasien serta sesegera mungkin melakukan mobilisasi.
Penggunaan haloperidol dosis rendah atau olanzapine hanya digunakan
terbatas untuk kondisi delirium yang hiperaktif agar dapat mengontrol
gangguan prilaku yang terjadi pada pasien. Penatalaksanaan dilakukan
secara interdisiplin dengan strategi multikomponen untuk mencegah dan
mengobati delirium.

Kata kunci: delirium, usia lanjut, tatalaksana terkini,


PENDAHULUAN
Delirium adalah sindrom neuropsikiatri dengan onset akut dan
fluktuatif, yang secara klinis ditandai dengan adanya gangguan kesadaran,
perhatian atau gangguan orientasi, memori, pola piker dan prilaku.
Pananganan dan layanan terhadap delirium bersifat akut (acute Care) yang
ditujukan untuk mencegah dan mengobati delirium secara pendekatan
interdisiplin. Terminologi pertama yang dipakai adalah out of track oleh
Celsius pada abad pertama, yang menunjukan adanya kondisi agitasi atau
eksesif somnolen. Sebelumnya kondisi delirium disebutkan dengan berbagai
nama dan klasifikasi. Tetapi perlahan-lahan istilahnya menjadi lebih konsisten
untuk menggambarkan suatu kondisi yang reversible seperti acute brain
dysfanction. Delirium dapat terjadi di ruang rawat medis amupun bedah,
terutama menyerang usia lanjut yang memiliki banyak komorbiditas dan
penurunan fungsi kognitif. Sindrom delirium mengenai sekitar 11-15 % pada
kondisi medis dan meningkat menjadi 24-89% pada usia lanjut dengat
demensia. Kejadian delirium di masyarakat lebih rendah yaitu 0,5 13% pada
usia lanjut dengan demensia dan pada operasi ortopedi elektif insiden post
operasi nya didapatkan 9-28%. INsiden meningkat bila operasinya emergensi
menjadi 4-36% preoperasi dan sampai lebih dari 53% pos operasi. Pada
operasi jantung didapatkan kejadiannya sekitar 2-57% sedangkan pada
keadaan sepsis didapatkan lebih tinggi yaitu 9-71%. 1-3
Delirium secara independen berhubungan dengan outcome pasien
tidak hanya lama rawat, morbiditas, mortalitas tetapi juga efek jangka panjang
berupa gangguan fungsi kognitif dan penurunan fungsional sehingga
membutuhkan layanan kesehatan jangka panjang. Delirium membawa
dampak yang sangat besar secara ekonomi dilihat dari system layanan
kesehatan yang digunakan. Biaya tambahan yang dihabiskan dengan adanya
delirium lebih dari $60,000 per pasien/tahun diluar biaya pokok penyakt
seperti diabetes, jatuh dan lainnya. Sehingga layanan kesehatan yang baik
seperti dengan pembuatan Geriatric Acute Care yang melakukan penanganan
dengan pendekatan interdisiplin menjadi menguntungkan karena akan dapat
menurunkan kejadian delirium sehingga dapat melakukan efisiensi secara
bermakna. 1,2,4
DEFINISI

Ada banyak istilah yang sering dipakai untuk terminology delirium


seperti Acute Confusional State, Encephalopathy, Acute Brain Failure,
Organic Brain Syndrome, dan lain-lain. Saat ini delirium memiliki 2 sistem
klasifikasi yaitu dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
yang direvisi (DSM-IV-TR) dan International Classification of Diseases (ICD-
10). Pada DSM IV-TR, delirium didefinisikan sebagai kondisi gangguan
kesadaran (penurunan kewasadaan terhadap lingkungan dengan menurunan
konsentrasi, mempertahankan focus atau mengalihkan perhatian) dan
perubahan kognitif (seperti penurunan memori, disorientasi, gangguan
bahasa) atau berkembang menjadi terganggunya perseptual baik disertai
maupun tidak atau memburuknya kondisi demensia. Gangguan ini terjadi
dalam waktu yang pendek (jam-hari) dan fluktuatif. Didapatkan adanya
riwayat klinis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang/laboratorium
terjadinya gangguan disebabkan oleh konsekuensi langsung secara fisiologis
akibat kondisi medis, intoksikasi atau multiple etiologi. Pada kriteria diagnostik
ICD-10 disebutkan bahwa gambaran klinis delirium berupa gangguan
kesadaran dan perhatian, merupakan gagguan fungsi kognitif global berupa
gejala psikomotor, gangguan tidur dan emosional. 1,4-6

Gejala utama dari delirium adalah gangguan kesadaran (derajat


kesadaran atau kemampuan untuk tetap sadar) dan penurunan perhatian
(kapasitas untuk mempertahankan perhatian dan focus pada hal yang
relevan, serta kemampuan menerima rangsang dan merespon rangsang.
Gangguan attention lebih sering didapatkan pada episode delirium. Ini dapat
dideteksi pada saat wawancara dimana pasien akan tidak dapat mengikuti
percakapan sehingga kita harus mengulang-ulang pertanyaan. Pada kasus
yang ringan dapat dilakukan dengan pemeriksaan deteksi tes kognitif berupa
menghitung 7 mundur, atau menyebut nama bulan secara mundur.7

Kesadaran dapat dilihat dari kemampuan untuk tetap sadar terbangun


tidak tidur dan dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Bila pasien
dalam kondisi medis akut dan delirium akan kesulitan melakukan hal diatas.
Ganguan kognitif secara global dan akut pada delirium dimanifestikan
sebagai kesulitan dalam: 7-9

1. Orientasi: terganggunya orientasi terhadap diri sendiri, orang di sekitar,


orientasi waktu,tempat dan orang
2. Memori: terganggunya kemampuan untuk mempelajari informasi baru
atau mengingat memori yang baru
3. bahasa dan berpikir: gangguan dalam fungsi bahasa menyampaikan
informasi yang kompleks, gangguan dalam ekspresi bahasa, sistematis
dan loncat pikir.
4. Kemampuan visuospatial: Gangguan untuk membuat konstrukdi dan
gambar geometri.

Pasien juga sering mengalami gangguan dalam persepsi visual sehingga


terjadi ilusi dan halusinasi. Beberapa gejala lain yang merupakan gejala dari
delirium yang belum disebutkan dalam DSM berupa gangguan tidur dan
siklus tidur, afek yang labil, delusi dan gangguan motorik. Gangguan dalam
siklus tidur-bangun sering terjadi pada pasien delirium baik dari gangguan
tidur saat malam hari maupun rasa mengantuk dan drowsiness sepanjang
hari. Gejala delusi merupakan gejala berupa hilangnya kepercayaan dan ide
paranoid. Sering gejala ini tidak muncul tetapi membuat pasien lebih
sensitive, mudah marah dan depresi. Perubahan prilaku motoric dapat berupa
hiperaktif (agitasi) atau hipoaktif Prilaku agresif sering merupakan
konsekuensi dari ide paranoid disertai kondisi lapar, mengantuk dan nyeri. 1,8,9

Subtipe Delirium
Dalam klinis praktis sering delirium tersebut dibagi menjadi beberapa subtype
sesuai dengan gambaran psikomotor yang timbul yaitu: 1
1. Hipoaktif: ditandai dengan adanya penurunan kesadaran, sedasi
aktifitas motorik yang kurang. Memiliki prognosis lebih buruk karena
sering tidak terdeteksi
2. Hiperaktif: agitasi, hiperaktif, halusinasi, dan delusi. Kejadiannya lebih
banyak dan memerlukan penanganan segera
3. Tetapi kasus yang lebih banyak ditemukan adalah tipe campuran
(Mixed). Gejalanya bergantian terkadang hiperaktif dan hipoaktif.
PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Patofisiologi delirium1

Delirium merupakan manifestasi klinis akut akibat gangguan


homeostasis otak secara global, yang mengakibatkan kegagalan fungsi
intergratif kognitif, perilaku dan emosi. Proses ini melibatkan system
neurofisiologis yang kompleks di susunan saraf pusat. 10
Pada kondisi medis dan bedah dapat menimbulkan delirium. Bagaimana
patofisiologi yang terjadi gangguan perifer dapat mempengaruhi kondisi di
susunan saraf pusat? Telah diketahui bahwa bertambahnya umur, demensia,
banyaknya komorbiditas meningkatkan risiko terjadi delirium walaupun
terpapar oleh kejadian keci seperti infeksi saluran kencing. Delirium
merupakan kejadian yang dipengaruhi oleh banyak faktor/kondisi dan
merupakan kombinasi dari semua factor tersebut. Jadi patofisiologi delirium
secara konseptual merupakan kondisi yang dinamis dan kompleks dimana
terjadi interaksi anatara factor predisposisi, proteksi, dan pencetus. Beberapa
factor pencetus yang sering menjadi penyebab antara lain: obat, gangguan
metabolik, infeksi, pembedahan dan gangguan di SSP. 11,12
Beberapa studi telah mencoba untuk melakukan penelitian yang fokus
pada penemuan perubahan neurotransmiter selama delirium.
Ketidakseimbangan neurotransmiter seperti asetilkolin, serotonin, dopamine,
glutamate, GABA terlibat dalam delirium. Beberapa neuropeptide,
katekolamin, kortisol, dan petanda inflamasi juga terlibat dalam patofisiologis
delirium. Saat ini ada 2 teori yang digunakan yaitu: 1,4
1. Defiensi kolinergik
2. Gangguan akibat respon stress/neuroinflamasi.
Bukti teori pertama tentang desiensi colenergik didukung oleh adanya
bukti bahwa delirium, gangguan kognitif dan psikosis sering di picu oleh
bahan toksik (atropa belladonna) dan obat yang berkerja sebagai
antikolinergik seperti antidepresan trisiklik dan antihistamin. Beberapa obat-
obatan yang bekerja secara antagonis, mengganggu sistem sintesis,
transport dan pengeluaran asetilkolin. Metabolisme asetilkolin sangat
berhubungan dengan kondisi neuron dalam hal ini berperan pada proses
pembentukan energy dari ATP dengan prekusor Acetyl-Coenzyme A.
Sehingga pada kondisi hipoksia atau inflamasi akan terjadi gangguan oksidasi
sehingga terjadi penurunan asetilkolin di otak. Defisiensi asetilkolin
menyebabkan neuron kehilangan cholinergic yang menjelaskan makanisme
mendasar terjadinya delirium dan demensia. Walaupun ada banyak penyebab
tetapi kolinergik menjadi sentral utama jalur akhir menjelaskan munculnya
gejala pada delirium.12
Pada percobaan binatang yang dilakukan oleh Cunningham
menunjukan bahwa factor pencetus local atau perifer dapat (seperti
lipopolisakarida) dapat mendasari patofisiologi gangguan di SSP dengan
dihasilkannya sitokin proimflamasi oleh sel mikroglia. Perubahan
neuroinflamasi dapat mengganggu kognitif maupun prilaku sehingga sering
disebut sebagai sickness behavioural syndrome. HIpotesis tentang respon
stress yang meningkatkan kortisol sebagai mekanisme delirium ada beberapa
studi yang mendukung. Studi yang dilakukan baik pada pasien medis maupun
bedah didapatkan peningkatan beberapa beberapa mediator sitokin inflamasi,
Interleukin 6 dan kortisol. Hal yang menarik didaptkan ternyata terdapat
hubungan antara system kolinergik dan sistem imun yang disebut sebagai
cholinergic anti-inflammatory path- way. Meskipun belum ditemukan tetapi
strategi farmakologi kedepan diharapkan aka nada yang bekerja pada jalur
tersebut. 1,9,12
Laporan hasil studi neuroimaging didapatkan adanya penurunan
perfusi aliran darah ke otak dan hiperintensitas dibagian substansia alba pada
delirium. Nilai anisotropi fraksi yang diukur dengan diffusion tensor imaging
pada substansia alba bagian dalam dan thalamus juga menurun pada pasien
postoperative delirium. Jika pada demensia didapatkan ada lewy bodies maka
pada delirium mungkin penting dilakukan DaTSCAN untuk dapat
membedakan perbedaan hasil antara delirium dan demensia. 1

DIAGNOSIS DELIRIUM
Pada delirium tidak memiliki gejala yang patognomoni/khas, diagnosis
ditegakan dari adanya kumpulan gejala dan tanda yang tidak spesifik seperti
disebutkan diatas yang ditekankan pada onset yang akut atau eksaserbasi
dari kondisi medis umum yang mengganggu status mental pasien. Delirium
serig tidak terdeteksi baik oleh para klinisi maupun perawat. Under-diagnosed
atau misdiagnosed delirium sangat berhubungan dengan buruknya outcome
dan tingginya mortalitas. Langkah awal yang harus dilakukan adalah
meningkatkan kewaspadaan semua pelayan kesehatan, termasuk yang
bukan dokter untuk memahami manifestasi klinis yang berhubungan dengan
delirium.1
Waspada Warning Signs of Delirium.
Para pakar mengatakan pentingkan mendeteksi adanya perubahan
akut yang terjadi pada kondisi mental pasien maka pikirkan delirium. Hati-hati
dengan delirium hipoaktif karena lebih sulit diketahui. Monitoring dengan baik
kebiasaan tidur pasien, gangguan konsentrasi, penurunan aktifitas,
penurunan nafsu makan dan gangguan kehidupan social pasien sebagai
tanda awal munculnya delirium. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko
delirium yaitu: umur 65 tahun, adanya gangguan kognitif sebelumnya, hip
fraktur, dan kondisi kritis harus dilakukan monitoring yang ketat untuk
mendeteksi dini munculnya delirium minimal setiap hari. Sebaiknya dibuatkan
instrumnen sederhana untuk dipakai mengkaji pasien setiap hari yang dapat
dilakukan oleh perawat dan tenaga medis untuk mendeteksi delirium. 10
Konfirmasi diagnosis
Berdasarkan adanya manifestasi klinis dan deteksi dini dari warning
signs, dokter diharapkan dapat mendiagnosis delirium dengan akurat.
Walaupun baku emas diagnosis menggunkan DSM V atau ICD 10, tetapi
pemeriksaan menggunakan Confusion Assessment Method (CAM) dan CAM-
ICU (untuk pasien kritis di ICU) telah dinyatakan sebagai pilihan alternative
yang yang sudah teruji valid. Diagnosis berdasarkan DSM terdapat 4 kriteria
yaitu: 1,2
1. Onset akut dan fluktuatif
2. Adanya inattention
3. Disorganized thinking
4. Altered level of consciousness.
Delirium didiagnosis bila terdapat gejala 1 dan 2 ditambah dengan salah atau
atau keduanya dari 3 dan 4. Metode CAM pertama kali dilakukan uji validasi
menggunakan 56 sampel didapatkan sensitifitasnya 94 to 100% dan
spesifisitasnya 9095%. Pemeriksaan sangat mudah dilakukan dengan
menghabiskan waktu 5-10 menit sudah termasuk observasi dan pemeriksaan
kognitif seperti MMSE (Mini-Mental State Examination). Metode CAM-ICU
juga memiliki hasil uji yang baik yaitu sensitifitas 93100%, dan spesifisitas
98100%.1,2
Instrumen tambahan lain yang dapat dilakukan untuk mengetahui derajat
berat-ringanya delirium yaitu:1,10
1. Delirium Rating Scale (DRS) yang pertama kali di publikasikan tahun
1998 yang terdiri dari 3 item diagnostic dan 13 item untuk skor derajat
beratnya. Dari setiap item diberikan skor 0-3 (terlampir).
2. Memorial Delirium Assessment Scale (MDAS) banyak digunakan pada
ruang rawat intensif dan kritis serta pada pasien kanker stadium lanjut.
Terdiri dari 10 item skala untuk mengetahui tingkat kognitif dan gejala
neuropsikiatri. Baik digunakan untuk mengetahui derajat berat delirium
dibandingkan untuk skrining dan diagnosis.
3. Neelon and Champagne (NEECHAM) Confusion Scale dibuat oleh
perawat untuk mengkaji pasien berdasarkan observasi yang dilakukan.
Terdiri dari 9 item yang dibagi menjadi 3 subskala. Total skor menjadi
30 dan cutoff point yang dipakai untuk delirium adalah 24.
4. Delirium Observation Screening Scale (DOS) dibuat oleh perawat
dalam melakukan observasi terhadap pasien. Metode ini juga sudah
teruji dan baik juga digunakan untuk diagnosis tetapi memang lebih
jarang dipakai.

TATALAKSANA
Tatalaksana delirium membutuhkan ketelitian dimulai dari pemeriksaan
fisik dan terapi secara komprehensif dan interdisiplin. Pada pemeriksaan
anamnesis data sebaiknya dikumpulkan secara rinci dari berbagai sumber
baik aloo maupun heteroanamnesis. Dikaji adanya komorbiditas dan obat-
obatan yang sedang diminum atau yang dihentikan minumnya tertamu obat-
obat yang bekerja sebagai antikolenergik. Pada pemeriksaan fisik diperiksan
secara keseluruhan dari tanda vital dan seluruh system organ untuk mencari
kemungkinan penyebab dari delirium. Adanya nyeri dan gangguan sensoris
harus dikaji. Pemeriksaan penunjang umum yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi ginjal, hati, analisis urin, foto
torak, dan EKG. BIla diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan tambahan
seperti analisis toksikologi, neuroimaging, atau lumbal punksi. Banyak pasien
demensia berpeluang mendapatkan berbagai masalah yang dapat menjadi
pencetus delirium seperti: ulkus decubitus, retensi urin, impaksi, dehidrasi dan
lain-lain. Jadi walaupun sepertinya factor tersebut ringan tetapi sangat
potensial menjadi pencetus delirium yang semua faktor tersebut harus
dikoreksi/ditangani.12
Medication Review.
Bila diagnosis delirium telah ditegakan maka harus dilakukan evaluasi
dan pengkajian secara klinis, laboratium dan radiologi untuk secepatnya
mendapatkan factor pencetus dan mengkoreksi secepatnya. Penelusuran
obat-obatan dan berupaya menimalkan efek obat yang akan ikut
memperburuk delirium. Hal ini menjadi sangat penting, stop obat-obatan yang
tidak penting/esensial, serta obat yang memiliki efek antikolinergik atau
kemungkinan interaksi obat yang berkerja pada tempat yang sama.
Sistematik review mendapatkan beberapa obat yang dapat meningkatkan
risiko delirium seperti opioid (OR 2.5, 95% CI 1.252), benzodiazepin (OR-
3.0, 95% CI 1.36.8) dihydropyrdin (OR = 2.4, 95% CI 1.05.8), dan
antihistamin (OR = 1.8, 95% CI 0.74.5). Jadi bila pasien menggunakan obat
golongan tersebut segera hentikan dan jangan memberikan obat golongan
tersebut pada kondisi delirium.1,12
Nonpharmacological Interventions.
Intervensi multi komponen dilakukan dengan target memperbaiki factor
risiko harus dibentuk dan dbuat dalam bentuk suatu program khusus.
Program dibuat bentuk pelatihan terhadap tenaga kesehatan. Protokol
intervensi nonfarmakologi juga memasukan intervensi perbaikan lingkungan
pasien. Intervensi multikomponen memiliki efisiensi lebih baik dalam
mencegah kejadian delirium. Beberapa risiko penting yang harus diwaspadai
dan diatasi antara lain: gangguankognitif, disorientasi, dehidrasi, konstipasi,
hipoksia, infeksi, imobilitas, nyeri, obat, nutrisi, gangguan sensoris, dan
gangguan tidur. Intervensi nonfarmakologi secara umum sebaiknya harus
dilakukan pada semua pasien seperti: aktivitas sehari-hari, suasana
lingkuangan nyaman dan tenang, pergantian staf pemberi pelayanan yang
teratur, hindari penggantian ruangan dan tempat tidur yang tidak diperlukan,
penggunaan alat bantu (kaca mata, alat dengar), penggunaan alat-alat yang
biasa dipakai pasien, hindari kunjungan/besuk berlebih, hindari penggunaan
alat berlebih seperti kateter, syring pump, kurangi pemeriksaan dan tes yang
tidak diperlukan (pengukuran tekanan darah, temperature). 1,11,12
Pharmacological intervention
Studi farmakologi untuk pencegahan telah dilakukan pada berbagai
jenis obat seperti: antipsikotik tipikal dan atipikal, benzodiazepin,
cholinesterase inhibitors. Ada 2 placebo-controlled trials melaporkan
penurunan insiden delirium pada penggunaan risperidon dan olanzapin pada
perioperatif operasi jantung dan ortopedi. Sepertinya menjanjikan tetapi
perkembangan penelitian berikutnya hasilnya tidak memuaskan dan
disimpulkan belum cukup bukti untuk merekomendasikan obat tersebut
sebagai obat yang digunakan untuk mencegah delirium. Penggunaan obat
untuk terapi delirium bukan merupakan langkah lini pertama. Pada beberapa
pasien dengan kondisi distress, agitasi, halusinasi, (hiperaktif), pemberian
haloperidol atau olanzapine dapat diberikan dengan perhatian khusus.
Risperidon (0.51 mg) dan quetiapin (2550 mg) dapat dijadikan sebagai
pilihan alternatif. Benzodiazepin dapat menjadi pilihan hanya pada pasien
dengan alcohol withdrawal tetapi tidak untuk penyebab yang lain. Beberapa
laporan kasus menggunakan cholinesterase inhibitors (donepezil and
rivastigmine) baik untuk terapi maupun pencegahan delirium tetapi hasil studi
randomized control trial gagal membuktikan bahwa obat tersebut efektif.
Bahkan studi pada pasien dengan kondisi kritis penggunaan rivastigmin
didapatkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan control.
Penggunaan cholinesterase inhibitors mungkin dapat dipertimbangkan bila
pasien memiliki gangguan kognitif sebelumnya. 1,12

KESIMPULAN
Delirium merupakan sindrom neuropsikiatrik yang sering terjadi pada
usia lanjut di rumah sakit. Delirium membawa dampak outcome yang besar
baik pada biaya, lama rawat, morbiditas dan mortalitas. Perawatan pasien
delirium memerlukan penanganan interdisiplin yang komprehensif.
Penanganan yang terpenting adalah melakukan identifikasi tidak saja patient
centred care (memenuhi kebutuhan pasien, fasilitas kominukasi) tetapi juga
intervensi lingkungan, keluarga. Intervensi non-farmakologi (seperti bantuan
meningkatkan komunikasi dan reorientasi yang efektif, dukungan
keluarga/teman/perawat, mengurangi stress dan tindakan yang tidak
diperlukan. Tidak ada pengobatan spesifik, penangan lebih ditujukan
memperbaiki semua factor pencetus. Terapi farmakologi dengan haloperidol/
olanzapine hanya diberikan jika diperlukan terutama pada kondisi delirium
hiperaktif.

DAFTAR RUJUKAN
1. Cerejeira J and Ladinska EBK, A Clinical Update on Delirium: From
Early Recognition to Effective Management. Nursing Research and
Practice 2011, vol 2011:1-13
2. Maldonado JR, Neuropathogenesis of Delirium: Review of Current
Etiologic Theoriesand Common Pathways, Am J Geriatr Psychiatry
2013: 21; 1190-1222
3. Tropea J, Slee J, Brand CA, Gray L, Snell T. Clinical practice guidelines
for the management of delirium in older people in Australia. Australas J
Ageing 2008;27:1506.
4. Hossain HT, Arefin M, Sultana N, Siddiqui FM. Acute Confusional State
: A common Clinical Condition with Versatile Variability-A Prospective
Study. J Medicine 2012; 13:46-50
5. Martins S. Femandes L. Delirium in Elderly People : a review. Frontiers
in Neurology 2012; 101:1-12
6. Wass S, Webster PJ, Nair BR. Delirium in the Elderly : A review. Oman
Medical Journal 2008; 23: 1-8
7. Coffey CE, Cummings JL. Delirium. Lovell MR, Pearison GD (in
second editions). Textbook of Geriatric Neuropsychiatry. The American
Psychiatric Press 2008; 333-348
8. Lorenzl S, Fusgen I, Noachtar S. Continuing Medical Education: Acute
Confusional States in the Elderly-Diagnosis and Treatment. Dtsch
Arztebl Int 2012; 109: 391-400
9. Fong, TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in Elderly Adults:
Diagnosis, Prevention and Treatment. Nat Rev Neurol 2011; 5: 210-
220
10. Witlox J. Eurelings LS, Jonghe JF, Kalisvaart KJ, Eikelenboom P, Gool
WA. Delirium In Elderly Patients And The Risk Of Postdischarge
Mortality, Institutionalization, And Dementia: A Meta-Analysis. JAMA
2010; 304: 443-51
11. Buschbacher RM. Delirium. Means KM.,Kortebein PM.,(in
Rehabilitation Medicine Quick Reference Series), Geriatrics-
Neurologi:Delirium. Demos Medical,New York 2013; 148-151
12. Browne R. Delirium, The Sixth Geriatric Vital Sign-Elder Care: A
Resource for Interprofessional Providers. Arizona Geriatric Education
Center 2010; 1-2

Anda mungkin juga menyukai