Anda di halaman 1dari 20

Referat

Ketuban Pecah Dini (PROM dan PPROM)

Disusun Oleh:

David 112015253

Pembimbing:

dr. Rachmat Sobarna, Sp.OG, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT RAJAWALI BANDUNG

PERIODE 2 JANUARI 2017 11 MARET 2017

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan kesempatan dan
kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyusun referat ini dengan baik serta tepat
waktunya. Di dalam referat ini, penulis akan membahaskan mengenai ketuban pecah dini
(PROM dan PPROM).

Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan juga
penelusuran situs medikal serta telah mendapatkan beberapa bantuan dari berbagai pihak
untuk membantu dalam menyelesaikan tantangan dan hambatan selama proses mengerjakan
referat ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan referat ini.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Rachmat Sobarna, Sp.OG, M.Kes selaku pembimbing Kepaniteraan Ilmu Penyakit Obstetri
dan Ginekologi di RS Rajawali Bandung, yang telah memberikan masukan yang berguna
dalam proses penyusunan referat ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada
rekan-rekan staf di RS Rajawali Bandung yang juga turut membantu selama kepaniteraan
klinik ini berlangsung.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang
dapat membangun nilai kerja penulis ini. Kritikan yang berunsur konstruktif dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan referat ini selanjutnya. Semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan apabila ada kata-kata yang kurang berkenan penulis
memohon maaf sebesar-besarnya.

Akhir kata semoga referat ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Bandung, 24 Januari 2017

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan
berbagai komplikasi yang ditimbulkannya, yang berdampak pada peningkatkan morbiditas
dan mortalitas perinatal maupun maternal.1
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses persalinan. Ketuban pecah
dini adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini
terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, disebut Preterm Premature Rupture of the
Membranes (PPROM). Bila ketuban pecah dini terjadi sesudah usia kehamilan 37 minggu
atau aterm disebut Premature Rupture of the Membranes (PROM).
KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian
perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan,
dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan
yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif.2
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran, atau
meningkatnya tekanan intrauterin, atau oleh kedua faktor tersebut. Penatalaksanaan ketuban
pecah dini memerlukan pertimbangan usia gestasi, adanya infeksi pada komplikasi ibu dan
janin, dan adanya tanda-tanda persalinan. Minimnya upaya-upaya penyelamatan kehamilan
pada KPD seringkali berujung pada tindakan terminasi yang sudah sangat jelas meningkatkan
morbiditas dan mortalitas perinatal.3

3
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi
Ketuban pecah dini memiliki bermacam-macam batasan, teori dan definisi. Beberapa
penulis mendefinisikan ketuban pecah dini atau Premature Rupture of the Membranes
(PROM) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum proses persalinan, (4,5) ada juga
yang menyatakan Ketuban Pecah Dini (KPD) ialah pecahnya selaput ketuban secara spontan
pada saat belum inpartu, bila diikuti satu jam kemudian tidak timbul tanda-tanda awal
persalinan. Penggunaan istilah Premature Rupture of the Membranes (PROM) pada beberapa
literatur sedikit membingungkan. Istilah ini cukup tepat jika digunakan pada pasien yang usia
kehamilannya diatas 37 minggu atau aterm, datang dengan ketuban yang pecah spontan, dan
tanpa tanda-tanda persalinan. Sedangkan Preterm Premature Rupture of the Membranes
(PPROM) adalah pecahnya ketuban pada pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37
minggu.6 Pendapat lain menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, yaitu bila
ketuban pecah sebelum pembukaan pada primigravida kurang dari 3 cm dan pada
multigravida kurang dari 5 cm.7 Dalam keadaan normal selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan.4

Insidens
Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah
dini. KPD preterm terjadi 1% dari seluruh kehamilan. KPD preterm menyebabkan terjadinya
1/3 persalinan preterm dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.4
KPD iatrogenik yang dikelola secara ekspektatif memiliki angka kematian perinatal
sebesar 60%. Hampir sepertiganya meninggal dalam kandungan. Hipoplasi paru terjadi pada
50% kasus yang terdiagnosa sebelum usia kehamilan 19 minggu. Sequelae yang berat terjadi
pada bayi yang selamat antara lain kebutaan, penyakit paru kronis dan serebral palsi.8

Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban


Selaput ketuban (amniotic sac) yang membatasi rongga amnion terdiri atas amnion dan
khorion yang sangat erat ikatannya. Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang
lentur tapi kuat. Struktur avaskular ini memiliki peran penting dalam kehamilan pada
manusia. Pada banyak kasus obstetri, pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan
yang masih muda merupakan penyebab tersering kelahiran preterm.(4,5)

4
Bagian dalam selaput berhubungan dengan cairan amnion yang merupakan jaringan sel
epitel kuboid yang berasal dari ektoderm embrionik. Epitel ini melekat erat kesebuah
membran basal yang berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung kolagen I, III, dan
V. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm. Lapisan
amnion ini berhubungan dengan korion leave. Lapisan dalam amnion merupakan mikrovili
yang berfungsi mentransfer cairan dan metabolik. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat
metalloproteinase-1.(4,5)
Gambar 1. Lapisan Membran Amnion

Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput menjadi lentur dan
kuat. Di samping itu, jaringan tersebut menghasilkan sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit
chemoattractant protein-1); zat ini bermanfaat untuk melawan bakteri. Disamping itu, selaput
amnion menghasilkan zat vasoaktif: endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP (parathyroid
hormone related protein), suatu vasorelaksan. Dengan demikian, selaput amnion mengatur
peredaran darah dan tonus pembuluh lokal.(4,5)
Selaput amnion juga meliputi tali pusat. Sebagian cairan akan berasal pula dari difusi
pada tali pusat. Pada kehamilan kembardikorionik-diamniotik terdapat selaput amnion dari
masing-masing yang bersatu. Namun, ada jaringan korion leave ditengahnya (pada USG

5
tampak sebagai huruf Y, pada awal kehamilan); sedangkan pada kehamilan kembar dikorion-
monoamniotik (kembar satu telur) tidak akan ada jaringan korion diantara kedua amnion
(pada USG tampakgambaran huruf T).(4,5)
Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan selaput.Pada
perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada ketahanan selaput sehingga mudah pecah. Pada
kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke
dalam cairan ketuban sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada
IL-1B, tetapi pada persalinan preterm IL-1B akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya infeksi.5
Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah dibentuk. Cairan ketuban merupakan
pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolalitas, kadar
natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda dengan kadar serum ibu, artinya kadar di cairan
ketuban merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan ketuban mengandung banyak sel janin
(lanugo,verniks kaseosa). Fungsi cairan ketuban yang juga penting ialah menghambat bakteri
karena mengandung zat seperti fosfat dan seng.4

Pembentukan Cairan Ketuban


Pada kehamilan sangat muda, air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari plasma maternal
dan dibentuk oleh sel amnionnya. Pada trimester II kehamilan, air ketuban dibentuk oleh
difusi ekstraseluler melalui kulit janin sehingga komposisinya mirip dengan plasma janin.
Selanjutnya, setelah trimester II, terjadi pembentukan zat tanduk kulit janin dan menghalangi
difusi plasma janin sehingga sebagian besar air ketubannya dibentuk oleh; sel amnionnya,
dan air kencing janin.4
Ginjal janin mulai mengeluarkan urin sejak usia 12 minggu dan setelah mencapai usia
18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14 cc/hari. Janin aterm mengeluarkan
urin 27 cc/jam atau 650 cc dalam sehari. Dengan demikian, komposisi yang membentuk air
ketuban adalah mengikuti suatu postulat bahwa bertambahnya air ketuban bukan merupakan
kenaikan linier, tetapi bervariasi sebagai berikut :
a. Bertambah 10 cc sampai usia 8 minggu
b. Bertambah 60 cc sampai usia 21 minggu
c. Terjadi penurunan produksi sampai usia kehamilan 33 minggu
d. Pertambahan tetap sampai usia aterm dan mencapai jumlah sekitar 800 sampai dengan
1500 cc
e. Melewati usia kehamilan 42 minggu, terjadi penurunan sekitar 150 cc/minggu sehingga
akan cenderung terjadi oligohidramnion.

6
Setelah usia kehamilan melebihi 12 minggu, yang ikut membentuk air ketuban adalah
ginjal janin (sehingga dijumpai urea, kreatinin, asam urat), deskuamasi kulit janin (sel kulit,
rambut lanugo, vernik kaseosa), sekresi dari paru janin, transudat dari permukaan amnion
plasenta, hormonal ataupun zat mirip hormon dalam air ketuban. Sementara itu regulasi air
ketuban sangat penting artinya sehingga jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap.
Pengaturannya dipengaruhi oleh tiga komponen penting berikut, yaitu; produksi yang
dihasilkan oleh sel amnion, jumlah produksi air kencing, serta jumlah air ketuban yang
ditelan janin. Lebih jauh regulasi air ketuban pada kehamilan aterm meliputi jumlah yang
diminum oleh janin 500-1000 ml, masuk ke dalam paru 170 ml, serta dari tali pusat dan
amnion 200-500 ml. Sedangkan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh janin ke rongga
amnion adalah dari sekresi oral 25 ml, sekresi dari traktus respiratorius 170 ml, urin
800-1200 ml, serta transmembran dari amnion 10 ml. Dengan demikian tampak bahwa urin
janin menjadi dominan dalam produksi cairan ketuban, dan rata-rata regulasi mendekati
aterm mencapai 500 cc/hari.

Gambar 2. Volume Cairan Ketuban menurut Usia Kehamilan. 9

Gambar 3. Perubahan Mingguan Volume Air Ketuban Menurut Usia Kehamilan. 9

7
Fungsi Cairan Ketuban
Cairan ketuban mempunyai peranan penting dalam menunjang proses kehamilan dan
persalinan. Di sepanjang kehamilan normal kompartemen dari cairan ketuban menyediakan
ruang bagi janin untuk tumbuh bergerak dan berkembang. Tanpa cairan ketuban rahim akan
mengkerut dan menekan janin, pada kasuskasus dimana tejadi kebocoran cairan ketuban
pada awal trimester pertama janin dapat mengalami kelainan struktur termasuk distrorsi
muka, reduksi tungkai, dan cacat dinding perut akibat kompresi rahim.(9,10,11,12)
Menjelang pertengahan kehamilan cairan ketuban menjadi semakin penting untuk
perkembangan dan pertumbuhan janin , antara lain perkembangan paruparunya, bila tidak ada
cairan ketuban yang memadai selama pertengahan kehamilan janin akan sering disertai
hipoplasia paru dan berlanjut pada kematian. Selain itu cairan ini juga mempunyai peran
protektif pada janin. Cairan ini mengandung agen-agen anti bakteria dan bekerja menghambat
pertumbuhan bakteri yang memiliki potensi patogen.(9,10,11, 13,14)

Selama proses persalinan dan kelahiran cairan ketuban terus bertindak sebagai medium
protektif pada janin untuk membantu dilatasi servik. Selain itu cairan ketuban juga berperan

8
sebagai sarana komunikasi antara janin dan ibu. Kematangan dan kesiapan janin untuk lahir
dapat diketahui dari hormon urin janin yang diekskresikan ke dalam cairan ketuban.(9,10)
Cairan ketuban juga dapat digunakan sebagai alat diagnostik untuk melihat adanya
kelainan-kelainan pada proses pertumbuhan dan perkembangan janin dengan melakukan
kultur sel atau melakukan spectrometer.(9,10)
Fungsi lain cairan ketuban juga dapat melindungi janin dari trauma, sebagai media
perkembangan musculoskeletal janin, menjaga suhu tubuh janin, meratakan tekanan uterus
pada partus, membersihkan jalan lahir sehingga bayi kurang mengalami infeksi, serta
menjaga perkembangan dan pertumbuhan normal dari paru-paru dan traktus gastro
intestinalis.15

Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau
meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan
membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Beberapa hal masih merupakan kontroversi di bidang obstetri. Penyebab lainnya adalah
sebagai berikut:1
a. Serviks inkompeten, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada
servik uteri (akibat persalinan, kuretase, atau tindakan bedah obstetri lainnya).
b. Ketegangan rahim berlebihan (tekanan intra uterin meningkat secara berlebihan /
overdistensi uterus: seperti pada keadaan trauma, kehamilan ganda, hidramnion).
c. Kelainan letak janin dan rahimmisalnya: letak sungsang dan letak lintang, sehingga
tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat
menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
d. Kemungkinan kesempitan panggul dimanabagian terendah belum masuk PAP misalnya
pada Cephalo Pelvic Disproportion (CPD).
e. Infeksi yang menyebabkan terjadinya biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
preteolitik sel sehingga memudahkan ketuban pecah (Amnionitis/Korioamnionitis).
f. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin Crendah, ataupun kelainan genetik).
g. Akhirnya, pecahnya selaput ketuban juga dapat disebabkan oleh trauma dan setelah
fetoskopi atau amniosentesis (iatrogenic).3

Masa interval sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten. Makin
panjang fase laten, makin tinggi kemungkinan infeksi. Makin muda kehamilan, makin sulit
upaya penatalaksanaannya tanpa menimbulkan morbiditas janin.

9
Mekanisme Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh.4
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matriks ekstraselular. Perubahan
struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks
metalloproteinase (MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor
protease. Mendekati waktu persalinan, keseimbanganantara MMP dan tissue inhibitors
metalloproteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraselular
dan membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang persalinan.4
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester ketiga selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi
perubahan biokimia pada selaput ketuban sehingga pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina. Disamping itu
ketuban pecah dini preterm juga sering terjadi pada polihidramnion, inkompeten servik, serta
solusio plasenta.4
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi. Pada
sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%). Termasuk
diantaranya; high virulensi yaitu Bacteroides, dan low virulensi yaitu Lactobacillus.4
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan retikuler korion
dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifas dan
inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi
peningkatan aktifitas iL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga
terjadi depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban tipis, lemah
dan mudah pecah spontan.4

Diagnosis
A. Anamnesis
Pasien merasakan basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara
tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok. Cairan berbau khas dan perlu diperhatikan

10
warnanya. Menentukan usia kehamilan dari hari pertama menstruasi terakhir (HPHT) atau
dari USG.
B. Inspeksi
Tentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban keluar dari vagina.
C. Pemeriksaan dengan speculum
Pemeriksaan dengan speculum pada KPD akan tampak keluar cairan dari Orifisium
Uteri Eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita
diminta batuk, mengejan, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari
ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.
D. Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Pemeriksaan
Vaginal Toucher (VT) perlu dipertimbangkan, terutama pada kehamilan yang kurang bulan
yang belum dalam persalinan sangat dibatasi dilakukan pemeriksaan dalam (VT), karena
pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim
dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi
pathogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan pada kasus KPD yang sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan.

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menentukan ada atau tidaknya infeksi, kriteria laboratorium yang digunakan
adalah adanya Leukositosis maternal (WBC yang lebih dari 16.000/uL), adanya peningkatan
C-reactive protein cairan ketuban dan gas-liquid chromatography, serta Amniosentesis untuk
mendapatkan bukti yang kuat (misalnya cairan ketuban yang mengandung leukosit yang
banyak atau bakteri pada pengecatan gram maupun pada kultur aerob maupun anaerob).16
Tes lakmus (tes Nitrazin) digunakan, yaitu jika kertas lakmus merah berubah menjadi
biru menunjukkan adanya air ketuban (alkalis). Normalnya pH air ketuban berkisar antara 7-
7,5. Darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes yang positif palsu.(1,4)
Mikroskopik (tes pakis), yaitu dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan
dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.(1,4)

b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri.
Dikenal tiga cara pengukuran cairan ketuban, yaitu secara subyektif, semikuantitatif

11
(pengukuran satu kantong), dan pengukuran empat kuadran menurut Phelan. Sayangnya tidak
ada satupun metode pengukuran volume cairan ketuban tersebut yang dapat dijadikan standar
baku emas. Penilaian subyektif oleh seorang pakar dengan menggunakan USG real-time
dapat memberikan hasil yang baik.17
Penilaian subyektif volume cairan ketuban berdasarkan atas pengalaman subyektif
pemeriksa didalam menentukan volume tersebut berdasarkan apa yang dilihatnya pada saat
pemeriksaan. Dikatakan normal bila masih ada bagian janin yang menempel pada dinding
uterus, dan bagian lain cukup terisi cairan ketuban. Bila sedikit, maka sebagian besar tubuh
janin akan melekat pada dinding uterus, sedangkan bila hidramnion, maka tidak ada bagian
janin yang menempel pada dinding uterus.17
Pengukuran semikuantitatif dilakukan melalui pengukuran dari satu kantong (single
pocket) ketuban terbesar yang terletak antara dinding uterus dan tubuh janin, tegak lurus
terhadap lantai.Tidak boleh ada bagian janin yang terletak didalam area pengukuran tersebut.
Klasifikasinya dapat dilihat dalam table 1. dibawah ini.

Tabel 1: Pengukuran Semikuantitatif (Satu Kantong) Volume Cairan Ketuban

HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI


> 2 cm, < 8 cm Volume cairan ketuban normal
> 8 cm Polihidramnion
8-12 cm Polihidramnion ringan
12-16 cm Polihidramnion sedang
>16 cm Polihidramnion berat
1 cm, 2 cm Volume cairan ketuban meragukan
normal borderline
< 1 cm Oligohidramnion

Pengukuran volume cairan ketuban empat kuadran atau indeks cairan amnion
(ICA)/amnion fluid index (AFI) diajukan oleh Phelan, dkk (1987) lebih akurat dibandingkan
cara lainnya. Pada pengukuran ini, abdomen ibu dibagi atas empat kuadran. Garis yang dibuat
melalui umbilikus vertikal ke bawah dan transversal. Kemudian transduser ditempatkan
secara vertikal tegak lurus lantai dan cari diameter terbesar dari kantong ketuban, tidak boleh
ada bagian janin atau umbilikus didalam kantong tersebut. Setelah diperoleh empat
pengukuran, kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditulis dalam millimeter atau sentimeter.17

Tabel 2. Indeks Cairan Ketuban Berdasarkan Pengukuran Empat Kuadran (Phelan)


HASIL PENGUKURAN INTERPRETASI

12
50 250 mm Normal
>250 mm Polihidramnion
< 50 mm Oligohidramnion

Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah; memastikan
diagnosis, menetukan umur kehamilan, mengevaluasi ada tidaknya infeksi maternal ataupun
infeksi janin, serta apakah dalam keadaan inpartu, atau terdapat kegawatan janin.(1,4,5)
Prinsip penanganan Ketuban Pecah Dini adalah memperpanjang kehamilan sampai
paru-paru janin matang atau dicurigai adanya atau terdiagnosis khorioamnionitis.
A. KPD Dengan Kehamilan Aterm.
1. Diberikan antibiotika prafilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari.
2. Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis dilakukan
terminasi kehamilan.
3. Observasi temperaturrektal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan meningkat lebih
atau sama dengan 38 C, segera dilakukan terminasi
4. Bila temperatur rektal tidak meningkat, dilakukan observasi selama 12 jam.
Setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan terminasi.
5. Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan indikasi obstetrik
6. Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi Pelvic Score (PS) :
a. Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan oksitosin drip.
b. Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan servik dengan Misoprostol 50
gr setiap 6 jam per oral maksimal 4 kali pemberian.

Tabel 3 :Pelvic Score (PS) menurut Bishop

SKOR 0 1 2 3

Pembukaan 0 1-2 3-4 5-6


serviks (cm)
Pendataran 0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan -3 -2 -1,0 +1,+2
kepala diukur

13
station (cm)
Konsistensi Keras Sedang Lunak
serviks
Posisi serviks Kebelakang Searah Kearah
sumbu jalan depan
lahir

B. KPD Dengan Kehamilan Pre Term.


1. Penanganan di rawat di RS
2. Diberikan antibiotika : Ampicillin 4 x 500 mg selama 7 hari.
3. Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk UK kurang dari
35 minggu) : Deksametason 6 mg setiap 12 jam sebanyak 4 kali.
4. Observasi di kamar bersalin :
a. Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri.
b. Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada kecenderungan
terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau sama dengan 38 C, segera
dilakukan terminasi.
5. Di ruang Obstetri :
a. Temperatur rektal diperiksa setiap 6 jam.
b. Dikerjakan pemeriksaan laboratorium : leukosit dan laju endap darah (LED)
setiap 3 hari.
6. Tata cara perawatan konservatif :
a. Dilakukan sampai janin viable
b. Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
dalam
c. Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan USG untuk
menilai air ketuban:
Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan.
Bila air ketuban kurang (oligohidramnion), dipertimbangkan untuk
terminasi kehamilan.
d. Pada perawatan konservatif, pasen dipulangkan pada hari ke-7 dengan saran
sebagai berikut :
Tidak boleh koitus.
Tidak boleh melakukan manipulasi vagina.
Segera kembali ke RS bila ada keluar air ketuban lagi
e. Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan dengan
melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat leukositosis atau
peningkatan LED, lakukan terminasi.

C. Terminasi Kehamilan:

14
Induksi persalinan dengan drip oksitosin.
Seksio sesaria bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau bila drip oksitosin
gagal.
Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi persalinan dengan
Misoprostol 50 gr oral tiap 6 jam, maksimal 4 kali pemberian.

Komplikasi
Beberapa komplikasi yang seringkali ditimbulkan dari KPD sangat berpengaruh
terhadap morbiditas dan mortalitas bayi serta dampak terhadap ibunya sendiri, diantaranya
adalah :(1,4)
a. Persalinan prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten tergantung
umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam setelah ketuban pecah.
Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan dalam 24 jam.Pada kehamilan kurang
dari 26 minggu persalinan seringkali terjadi dalam 1 minggu.
b. Infeksi
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada ketuban pecah dini. Pada ibu terjadi
korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis. Umumnya terjadi
korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban pecah dini preterm, infeksi lebih
sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi sekunder pada ketuban pecah dini
meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
Kriteria klinis infeksi yang digunakan pada KPD yaitu; adanya febris, uterine
tenderness (di periksa setiap 4 jam), takikardia (denyut nadi maternal lebih dari 100x/mnt),
serta denyut jantung janin yang lebih dari 160 x/mnt.
c. Hipoksia dan asfiksia
Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidamnion sehingga bagian kecil janin
menempel erat dengan dinding uterus yang dapat menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia
atau hipoksia.Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidamnion,semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.
d. Sindrom deformitas janin
Ketuban pecah dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan janin
terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota badan janin, serta hipoplasi
pulmonary.18

15
Amniopatch
Amniopatch adalah suatu tehnik penambalan selaput ketuban (amniochorion
membrane) pada ketuban pecah dini yang terjadi pada kehamilan sebelum 37 minggu atau
preterm premature rupture of the membranes (PPROM). Idenya adalah memberikan
kesempatan pada platelet untuk menemukan area yang cedera lalu clot yang terjadi
distabilisasi dengan kriopresipitat. Terapi Amniopatch ini menyerupai patch darah yang
digunakan pada kasus nyeri kepala spinal setelah kebocoran cairan cerebrospinal iatrogenik.
Hal ini didukung oleh data eksperimen in vitro yang menunjukkan bahwa platelet melekat
pada ketuban yang terluka dan membentuk sumbatan yang distabilisasi oleh cryopresipitate.
Proposal pertama dari metode yang mendukung memperbaiki membran sudah
diusulkan sejak 1986 (Baumgarten) dan 1994 (Uchide) yang berdasarkan Instilasi
Transcervical Fibrin. Sampai tahun 1996 tidak ada penanganan yang tersedia untuk KPD
iatrogenik. Sampai saat itu (1996) penanganan untuk KPD iatrogenik sebelum 23 minggu
sering berupa induksi persalinan karena adanya risiko infeksi untuk ibu disertai dengan
kemungkinan hidup yang rendah untuk bayi. Pada tahun 1996 penanganan KPD iatrogenik
dengan injeksi platelet dan kriopresipitat kedalam cairan ketuban dilaksanakan dengan
sukses, sejak Quintero, dkk melakukan intra-amniotic infusion konsentrat trombosit (platelet)
yang bertujuan menutup defek kantong ketuban yang terjadi akibat tindakan fetoscopy untuk
mengikat tali pusat dari janin acardiac pada kehamilan kembar monoamniotik.(3,8,19)
Amniopatch khususnya ditawarkan pada beberapa pasien dengan kriteria; umur
kehamilan lebih atau sama dengan 16 minggu, serta pada KPD iatrogenik atau pelepasan
membran yang tidak menutup spontan. Amniopatch sendiri tidak ditawarkan pada pasien;
yang sudah mengalami inpartu atau ada his, serta bila ada tanda-tanda infeksi intrauterin
seperti demam, nyeri tekan uterus, ketuban bau, dan fetal takikardi.(20,21)
Pasien kemudian diberi antibiotik intravena dan tirah baring selama seminggu untuk
memberi kesempatan membran menutup secara spontan. Bila penyembuhan spontan tidak
terjadi (tindakan konservatif gagal), setelah dilakukan informed consent, maka amniopatch
mulai dikerjakan.(8,20)
Prosedur selanjutnya adalah sebagai berikut: 19
A. Melakukan pengambilan 350-400 ml darah dalam 4 kantong sesuai protokol
autotranfusi yang diikuti dengan penyisihan platelet autolog dan cryoprecipitate yang
disimpan dalam suhu -80oC.
B. Pembersihan lapangan operasi dengan antiseptik betadin pada perut sekitar umbilikus.

16
C. Dilakukan evaluasi pre-prosedur dengan USG dan penentuan target pungsi, jika tidak
ada kantong (jumlah cairan sedikit) akan sulit dilakukan amniopatch.
D. Dilakukan pungsi dengan jarum amniosentesis ukuran 22 (dengan panduan USG),
kemudian dihubungkan dengan satu set tabung intravena dengan three way stopcock.
E. Dilakukan pembilasan (flushing) dengan NaCl 0,9% sebanyak 5 cc untuk membuat
space antara dinding uterus dengan tubuh janin. Kemudian akan tampak free space
melewati three way stopcock.
F. Dilanjutkan memasukkan trombosit konsentrat autolog 30 ml.
G. Memasukkan cryoprecipitate20 ml.
H. Pembilasan (Flushing) kembali dengan NaCl 0,9 % sebanyak 3 ml.
I. Jeda masing-masing suntikan 15 menit.
J. Jarum dicabut.
K. Tempat tusukan jarum ditutup dengan betadine.
L. Evaluasi janin dengan USG.

Evaluasi post prosedur:(8,19,20)


A. Bed Rest selama 7 hari
B. Evaluasi tanda vital sign, dan tanda infeksi
C. Lanjutkan Antibiotik seperti, Amoxicillin 3x500 mg tab p.o
D. Jika ada tanda-tanda kontraksi uterus, diberikan tokolitik seperti; Nifedipine 3x20 mg
tab p.o
E. 12 jam post tindakan jika tidak ada keluhan, pasien boleh pindah ruangan.
F. Evaluasi USG kembali dilakukan pada hari ke-3 dan hari ke-7 post prosedur, untuk
melihat kesejahteraan janin, keberhasilan terapi (apakah masih ada air ketuban yang
keluar), tanda-tanda inpartu, ataupun infeksi. Bila kondisi memungkinkan, amniopatch
dapat diulangi lagi, tetapi bila tidak (kesejahteraan janin terganggu, KPD bertambah
berat, ataupun adanya tanda-tanda infeksi), mungkin diperlukan suatu terminasi
kehamilan.

Komplikasi dari Amniopatch diantaranya :20


A. Jarum dapat menembus usus, blass, pembuluh darah pelvic atau melukai fetus. Hal ini
dicegah dengan menusukkan jarum dibawah panduan USG.
B. Potensi infeksi. Dicegah dengan amniosentesis dengan tehnik yang steril. Infeksi
sendiri sering kali diakibatkan ataupun mengakibatkan PPROM, bila infeksi intra uterin
terdeteksi, kehamilan sebaiknya diterminasi.

17
C. Kadang-kadang pasien inpartu setelah amniosentesis. Persalinan dapat dicetuskan dari
KPD ataupun infeksi.
D. Dalam jumlah yang sangat kecil (1:2000-225000) dapat terjadi infeksi setelah tranfusi
platelet dan faktor pembekuan. Hal ini dicegah dengan prosedur standar saat perlakuan
darah di bank darah.
E. Terdapat kematian fetus setelah prosedur amniopatch. Kematian ini akibat pemberian
platelet yang terlalu banyak, yang mengakibatkan perubahan tekanan darah dan denyut
jantung. Jumlah platelet yang disuntikkan kemudian dimodifikasi menjadi tidak lebih
dari 35 cc. Bagaimanapun belum diketahui berapa kadar platelet yang aman dan efektif.

BAB III

KESIMPULAN

KPD merupakan masalah penting dalam obstetri berkaitan dengan berbagai komplikasi
yang ditimbulkannya, yang berdampak pada peningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal
maupun maternal. Penyebab dari KPD bermacam-macam namun pada prinsipnya disebabkan
karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh
kedua faktor tersebut. Terdapat 2 macam penggolongan KPD yaitu Premature Rupture of the
Membranes (PROM) dan Preterm Premature Rupture of the Membranes (PPROM).
Penanganan masing-masing berbeda dan disesuaikan dengan keadaan ibu dan anak. Metode
amniopatch dapat menjadi pilihan pada kasus PPROM walaupun penggunaannya masih
jarang di Indonesia.

18
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Sualman K. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada Kehamilan Preterm. Universitas


Riau, Pekanbaru. 2009
2. Lewi L, Schoubroeck DV, Ranst MV, Bries G, Emonds M-P, Arabin B, et al. Successful
Patching of Iatrogenic Rupture of the Fetal Membranes.Placenta (2004), 25, 352356
3. Devlieger R, Millar LK, Bryant G, Lewi L, Deprest JA. Fetal Membrane Healing After
Spontaneous and Iatrogenic Membrane Rupture: A Review of Current Evidence.
American Journal of Obstetrics and Gynecology (2006) 195, 151220
4. Wiknyosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadi T. Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1999; 85-86
5. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD.Williams
Obstetrics. 21 st edition.2001. 1647-1649.
6. Quintero R, Romero R, Dzieczkowski J, Mammen E,Evans MI. Sealing of Ruptured
Amniotic Membranes withIntra-amniotic Platelet-cryoprecipitate Plug [letter]. Lancet.
1996; 347: 1117.
7. Rustam Mochtar. Sinopsis Obstetri. Ed. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
1998
8. Quintero R, Morales W, Allen M, Bornick P, Arroyo J, LeParc G. Treatment of
Iatrogenic Previable Premature Rupture of Membranes with Intraamniotic Injection of
Platelets and Cryoprecipitate (Amniopatch): Preliminary Experience. Am J Obstet
Gynecol 1999;181:744-749

19
9. Brace RA, Wolf EJ. Amniotic Fluid Volume Changes Throughout Pregnancy. Am J
Obstet Gynecol, 161:382, 1989
10. Durfee RB, Pernoll ML. Premature Rupture of the Membranes In: Current Obsetrics &
Gyecologic Diagnosis & Treatment, Pernoll ML, ed. Lange Medical Publications, New
Jersey; 1991; 332-334
11. Lewi L, Gratacos E, Ortibus E, Schoubroeck DV, Carreras E, Higueras T, et.al.
Pregnancy and infant outcome of 80 consecutive cord coagulations in complicated
monochorionic multiple pregnancies. American Journal of Obstetrics and Gynecology
(2006) 194, 7829
12. Supono. Ilmu Kebidanan Fisiologis. Bagian Obstetric dan Ginekologi RSUP
Palembang/FK Unsri, 1985
13. Mercer BM. Preterm Premature Rupture of the Membranes. Obstet Gynecol
2003;101:178-93.
14. Siswodarmo R. Obstetri Fisiologis. Edisi 1. Yogyakarta : Andi Offset , 1992
15. Sadller TW. Embriologi kedokteran Langmans. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 1996
16. Parry S, Struss JF. Premature Rupture of Fetal Membranes: a review article. NEJM
1998;338:663-670.
17. Weber G, Merz E. Amniotic Fluid. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology.
2005:409-414
18. Carnaghan KH, Harrison MR. Presealing of the chorioamniotic membranes prior to
fetoscopic surgery:Preliminary study with unfertilised chicken egg models. European
Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 144S (2009) S142
S145.
19. Contino B, Armellino F, Brokaj L, Patroncini S. Amniopatch, a Repairing Technique for
Premature Rupture of Amniotic Membranes in Second Trimester. 27-30. 2004. In
http://www.nebi.nlm.nih.gov/pubmed/15301286
20. Quintero R, Morales W, Kalter C, Allen M, Mendoza G, Angel J, et. al. Transabdominal
intra-amniotic endoscopic assessment of previable premature rupture of membranes.
Am J Obstet Gynecol 1998;179:71-6.
21. Palacio M, Cobo T, Figueras F, Gomez O, Coll O. Previable Rupture of Membranes:
Effect of Amniotic Fluid on Pregnancy Outcome. European Journal of Obstetrics &
Gynecology andReproductive Biology 138 (2008) 158163.

20

Anda mungkin juga menyukai