Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN


APLIKASI KITOSAN TERHADAP REDUKSI BEBAN PENCEMARAN LIMBAH
INDUSTRI PERIKANAN

Disusun oleh :
Dhea Prasanti
14/364783/PN/13634

LABORATORIUM MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN


DEPARTEMEN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai potensi cukup besar sebagai
penghasil jenis ikan dan hewan laut lainnya seperti udang dan kepiting. Industri pengolahan
udang dan rajungan bekembang pesat di Indonesia karena merupakan salah satu komoditas
ekspor utama perikanan dengan nilai ekonomi yang sangat tinggi. Volume produksi dan ekspor
udang olahan Indonesia meningkat drastis dari tahun ke tahun. Seiring dengan peningkatan
jumlah produksi udang olahan, makin besar juga limbah cangkang hasil yang dihasilkan. Tanpa
melalui cara penanganan dan pemanfaatan yang benar, limbah tersebut dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan air, lahan, dan udara (bau busuk) (Khan, 2002). Sebagaiamana menurut
Hamard (2007) bahwa industri sebagai salah satu kegiatan ekonomi yang cukup strategis
meningkatkan pendapatan dan perekonomian masyarakat juga mampu memberikan dampak
negatif berupa limbah. Limbah bila tidak dikelola dan dimanfaatkan akan menggangu
keseimbangan lingkungan. Aktivitas industri dan manusia selalu menghasilkan kenaikan entropi
(limbah), baik limbah cair, padat, gas, maupun bunyi yang mengganggu keseimbangan ekologi
atau merusak komponen lingkungan (sumber daya air, lahan/tanah, udara, tumbuhan, biota air,
manusia, dan lain-lain). Kondisi ini semakin diperparah, dimana umumnya industri belum
menerapkan teknologi pengendalian limbah yang baik, disamping ada keterbatasan kapasitas
lingkungan dalam mereduksi limbah.
Limbah padat Crustacea (kulit, kepala, kaki) merupakan salah satu masalah yang harus
dihadapi oleh pabrik pengolahan Crustacea. Selama ini limbah tersebut dikeringkan dan
dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan
semakin majunya i1mu pengetahuan kini limbah udang dapat dijadikan bahan untuk membuat
kitin dan kitosan (Fahmi, 1997). Penyusun utama cangkang udang adalah kitin, suatu
polisakarida alami yang memiliki banyak kegunaan, seperti sebagai bahan pengkelat, pengemulsi
dan adsorben. Sifat kitin yang tidak beracun dan mudah terdegradasi mendorong dilakukannya
modifikasi kitin dengan tujuan mengoptimalkan kegunaan maupun memperluas bidang aplikasi
kitin.
Salah satu senyawa turunan dari kitin yang dikembangkan karena aplikasinya yang luas
adalah kitosan. Kitosan suatu amina polisakarida hasil proses deasetilasi kitin. Senyawa ini
merupakan biopolimer alam yang penting dan bersifat polikationik sehingga dapat diaplikasikan
dalam berbagai bidang seperti adsorben logam, penyerap zat warna, bahan pembuatan kosmetik
serta agen antibakteri (Bhuvana, 2006). Sifat biokompatibel, dan nontoksik yang dimiliki
kitosan, merekomendasikan penggunaan senyawa ini dalam industri ramah lingkungan. Kitosan
dapat digunakan sebagai adsorben/penjerap yang dapat menyerap logam-logam berat, seperti Zn,
Cd, Cu, Pb, Mg dan Fe (Knoor,1984). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengaplikasian kitosan
pada limbah industri perikanan agar air limbah yang dihasilkan dapat dibuang ke badan air sesuai
dengan baku mutu air sehingga dapat menekan pencemaran serta tetap menjaga kelestarian
lingkungan.

2. Tujuan
Tujuan praktikum ini yaitu mempelajari kemampuan kitosan dalam mereduksi limbah
beban pencemaran limbah cair Industri Perikanan.

3. Manfaat
3.1 Memberikan pengetahuan serta memperluas wawasan mengenai pemanfaatan kitosan
dalam bidang penanganan pencemaran limbah cair.

3.2 Dapat mengaplikasikan kitosan sebagai bahan pereduksi beban pencemaran limbah cair
organik
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Kitin-Kitosan
1.1 Kitin

Kitin ( C8 H 12 NO 5 ) adalah polisakarida dari N-Asetil-D-glukosamin (N-Asetil-2

Amino-2-Deoksi-D-Glukosa) atau poli(1,4)-2-asetamido-2-deoksi-beta-D-glukosa yang


dihubungkan dengan ikatan -D(1-4) (Chandumpai et al., 2004). Kitin adalah polimer kedua
terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang,
kepiting, cumi-cumi, dan artropoda lainnya, serta bagian dari dinding sel kebanyakan fungi dan
alga. Setiap tahun dari perairan (laut) dihasilkan sekitar 10 11 ton kitin, namun kurang dari 0.1%
yang dimanfaatkan kembali. Kitin memiliki struktur yang mirip selulosa. Bila selulosa tersusun
atas monomer glukosa, maka kitin tersusun dari monomer N-asetilglukosamin (Gambar 1).
Keduanya memiliki kelarutan sangat rendah dalam air serta mengalami biodegradasi melalui
mekanisme yang hampir serupa dengan melibatkan komplek enzim.

Gambar 1. Struktur Kitin, Kitosan, dan Selulosa (Skjak-Braek and Sanford, 1989)

Kitin merupakan senyawa organik yang tersebar luas dan sangat melimpah di bumi, dapat
dibiodegradasi, dan tidak beracun. Pada umumnya kitin tidak terdapat dalam keadaan bebas di
alam, kitin berikatan dengan protein, mineral dan beberapa pigmen. Di alam polimer ini terutama
terdapat sebagai penyusun kulit keras atau cangkang Crustacea (jenis udang-udangan) dan
serangga, serta terdapat dalam dinding-dinding sel yeast dan jamur (Hartati, et al, 2002).
1.2 Kitosan
Kitosan merupakan produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia menggunakan
basa natrium hidroksida atau reaksi enzimatis menggunakan enzim kitin deacetylase. Kitosan
merupakan biopolimer yang resisten terhadap tekanan mekanik. Unsur-unsur yang menyusun
kitosan hampir sama dengan unsur-unsur yang menyusun kitin yaitu C, H, N, O dan unsur-unsur
lainnya. Kitosan adalah turunan kitin yang diisolasi dari kulit kepiting, udang, rajungan, dan kulit
serangga lainnya. Kitosan merupakan kopolimer alam berbentuk lembaran tipis, tidak berbau,
terdiri dari dua jenis polimer, yaitu poli (2 Deoksi 2 asetilamin 2 - Glukosa) dan poli (2
Deoksi 2-Aminoglukosa) yang berikatan G D (1 4 ) (Sabnis, 1997). Chitosan merupakan
komponen glukosamin dan juga turunan chitin melalui proses deasetilasi dan banyak terkandung
pada lapisan cangkang kepiting, crustacea dan juga terdapat pada serangga, alga, diatom, dan
kapang (Rinaudo, 2006).

2. Mekanisme Perubahan Kitin menjadi Kitosan


Secara umum proses pembuatan kitosan terdiri dari dua proses utama yaitu proses isolasi
kitin dan proses deasetilasi kitin. Proses isolasi kitin terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu deproteinasi,
demineralisasi, dan depigmentasi/dekolorisasi. Secara umum pemurnian kitin secara kimiawi
terdiri dari empat tahap yaitu (Fitriasti, 2010) :
a. Deproteinisasi
Tahap awal dimulai dengan pemisahan protein dengan larutan basa, yang disebut dengan
tahap deproteinasi. Deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein pada bahan dasar
cangkang. Efektifitas prosesnya tergantung pada konsentrasi NaOH yang digunakan. Reaksi
deproteinase dapat dilihat dari Gambar 2 :

Gambar 2. Reaksi deproteinase (Baxter et al., 2005)


a. Demineralisasi
Tahap kedua yaitu demineralisasi. Tahap demineralisasi bertujuan untuk memisahkan
mineral organik yang terikat pada bahan dasar, yaitu CaCO3 sebagai mineral utama dan
Ca(PO4)2 dalam jumlah minor. Dalam proses demineralisasi menggunakan larutan asam klorida
encer.
Proses penghilangan mineral menurut Baxter et al. (2005) adalah sebagai berikut :
CaCO3 (s) + 2HCl(aq) CaCl2 (aq) + CO2 (g) + H2O (l)
Ca3(PO4)2 (s) + 6HCl(aq) 3CaCl2 (aq) + 2H3PO4 (aq)
b. Depigmentasi
Penghilangan zat-zat warna dilakukan pada waktu pencucian residu setelah proses
deproteinasi dan proses demineralisasi. Pada proses ini hasil dari proses demineralisasi
direaksikan lebih lanjut dengan menggunakan agensia pemutih berupa natrium hipoklorit
(NaOCl) atau peroksida. Proses decolorisasi bertujuan untuk menghasilkan warna putih pada
kitin.
c. Deasetilasi
Tranformasi kitin menjadi kitosan disebut tahap deasetilasi, yaitu dengan memberikan
perlakuan dengan basa berkonsentrasi tinggi. Reaksi deasetilasi bertujuan untuk memutuskan
gugus asetil yang terikat pada nitrogen dalam struktur senyawa kitin untuk memperbesar
persentase gugus amina pada kitosan.
Proses deasetilasi dengan menggunakan alkali pada suhu tinggi akan menyebabkan
terlepasnya gugus asetil (CH3CHO-) dari molekul khitin. Gugus amida pada khitin akan
berikatan dengan gugus hidrogen yang bermuatan positif sehingga membentuk gugus amina
bebas NH2. Transformasi kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Transformasi kitin menjadi kitosan (Baxter et al., 2005)


Gambar 4. Transformasi kitin menjadi kitosan (Baxter et al., 2005)
Pada deasetilasi terjadi pemutusan ikatan antara karbon pada gugus asil, dengan nitrogen
pada kitin, menjadi gugus amina. Reaksi hidrolisis kitin dengan basa kuat yang terjadi
diperkirakan mengikuti reaksi pada Gambar 5.

Gambar 5. Hidrolisis kitin dengan basa kuat


Menurut Yunizal et al. (2001) roses deproteinasi bertujuan mengurangi kadar protein
dengan menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup. Proses demineralisasi
dimaksudkan untuk mengurangi kadar mineral dengan menggunakan asam konsentrasi rendah
untuk mendapatkan kitin, sedangkan proses deasetilasi bertujuan menghilangkan gugus asetil
dari kitin melalui pemanasan dalam larutan alkali kuat dengan konsentrasi tinggi.
Gambar 6. Diagram cara pembuatan chitin dan chitosan, serta beberapa pemanfaatan dan
penggunan chitin dan chitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007)

3. Mekanisme Kitosan sebagai Pereduksi Limbah Organik


Lingkungan perairan seringkali tercemar oleh berbagai limbah termasuk limbah cair.
Limbah cair yang masuk ke badan air dapat berasal dari jenis limbah organik dan limbah
anorganik. Limbah cair organik sebagian besar dihasilkan oleh industri pangan. Pada industri
penanganan dan pengolahan perikanan, senyawa protein merupakan komponen yang banyak
terdapat dalam limbah cair yang dihasilkan. Kitosan dilaporkan mampu digunakan sebagai
koagulan untuk mengikat protein dalam limbah cair. Kitosan dapat dimanfaatkan sebagai agensia
penggumpal dalam penanganan limbah karena sifat polikationiknya, terutama limbah berprotein
yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Pada penanganan limbah cair, kitosan
sebagai chelating agent yang dapat menyerap logam beracun seperti mercuri, timah, tembaga,
pluranium dan uranium dalam perairan dan untuk mengikat zat warna tekstil dalam air limbah
(Krissetiana, H. 2004).
Kitosan adalah senyawa yang memiliki gugus amina (NH 2) yang bersifat elektrolit yang
dapat mengikat substansi negatif, salah satunya adalah senyawa protein. Proses pengikatan
protein oleh kitosan dalam limbah cair mempunyai prinsip yang sama dengan mekanisme
koagulasi partikel koloid dalam limbah cair dengan menggunakan koagulan kimia.
Partikel protein di dalam limbah cair merupakan contoh dari sistem koloid dimana partikel
protein sebagai fase zat terlarut terpisah dengan fase medium pelarutnya (Savitha, 1997). Proses
pereduksi limbah oleh kitosan melalui tiga tahap yaitu:
a. Koagulasi
Kitosan yang memiliki sifat polikationik dan memiliki gugus aktif amina (-NH2) dan
gugus hidroksi (-OH) akan berinteraksi dengan gugus negatif pada limbah terutama
limbah protein. Pada perduksi limbah logam. Keadaaan ini menyebabkan terjadinya
ikatan antar partikel.
b. Flokulasi
Koagulan-koagulan yang terbentuk selanjutnya akan berinteraksi membentuk flok-flok
yang berukuran lebih besar.
c. Sedimentasi
Flok-flok yang terbentuk selanjutnya akan mengendap. Sedimentasi (pengendapan) ini
terjadi karena flok yang terbentuk memiliki massa yang lebih besar sehingga tidak dapat
mempertahankan massany agar tetap melayang.

Gambar 7. a) Gaya-gaya yang terjadi antar partikel koloid di dalam air limbah. b)
Destabilisasi partikel koloid dan flokukasi. c) Kelompok-kelompok partikel koloid yang
mengendap (Savitha, 1997).
Sebagian besar partikel koloid dalam air mempunyai muatan ion negatif (Sannan, 1978)
seperti halnya protein dalam air limbah. Berdasarkan gambar 7a terlihat bahwa terjadi beberapa
gaya antar partikel koloid di dalam air limbah. Ion-ion positif dalam air akan cenderung tertarik
kepada partikel koloid dan membentuk lapisan ion positif yang kompak sehingga terbentuk
lapisan ganda elektrik (the charged double layer). Adanya ion-ion positif pada tiap permukaan
partikel koloid menimbulkan adanya gaya tolak menolak antar partikel koloid. Gaya tolak
menolak inilah yang menyebabkan partikel koloid tidak dapat mengendap dan tetap stabil di
dalam air. Selain gaya tolak menolak terdapat juga gaya tarik menarik antar partikel koloid yang
disebut gaya Van Der Walls Namun nilai gaya Van Der Walls ini lebih kecil dari gaya tolak
menolak yang terjadi.
Tujuan proses koagulasi kimia adalah untuk menghilangkan stabilitas (destabilisasi)
partikel koloid dalam air. Koagulan berfungsi untuk menimbulkan proses koagulasi yaitu
hilangnya stabilitas partikel koloid di dalam air (destabilisasi partikel). Tahap koagulasi
selanjutnya akan berlanjut pada tahap flokulasi yaitu saling bergabungnya partikel yang telah
mengalami koagulasi (tidak stabil). Partikel-partikel ini saling bergabung sehingga diperoleh
ukuran partikel yang lebih besar dari semula. Gabungan partikel ini kemudian akan mengendap
secara berkelompok dan membentuk sedimentasi di dasar perairan (Sannan, 1978).
Proses koagulasi dilakukan dengan menambahkan zat koagulan ke dalam air limbah.
Prinsip koagulasi adalah adanya zat koagulan dengan muatan kation yang besar akan
meningkatkan gaya Van Der Walls dan memperkecil gaya tolak menolak antar partikel koloid.
Semakin besar muatan kation, makin efisien kation dalam mengurangi gaya tolak menolak
partikel. Zat koagulan dengan muatan kation yang besar akan lebih kuat untuk bereaksi dengan
ion negatif partikel koloid. Reaksi ini akan menekan ion-ion positif lemah yang mengitari
partikel koloid. Tekanan ini akan memperkecil gaya tolak menolak antar partikel koloid dan
meningkatkan gaya Van Der Walls (Gambar 7b).
Adanya gaya Van Der Walls yang semakin besar dan diikuti hilangnya gaya tolak-menolak
antar partikel, menimbulkan terjadinya kontak antar partikel koloid. Partikel koloid selanjutnya
akan membentuk kumpulan-kumpulan kecil dan berkembang membentuk flok-flok dengan
ukuran dan massa yang lebih besar dari sebelumnya. Tahap inilah yang dinamakan tahap
flokulasi yang berlanjut dengan mengendapnya flok-flok partikel di dasar perairan akibat gaya
gravitasi (Gambar 7c).
4. Mekanisme Kitosan sebagai Pereduksi Limbah Anorganik
Limbah anorganik sendiri merupakan limbah yang dihasilkan oleh bahan anorganik (logam
berat seperti Pb, Hg, Cr, Cd, Cu, Zn) yang tidak dapat didekomposisi oleh alam. Limbah cair
anorganik banyak dihasilkan oleh industri non pangan seperti industri tekstil, industri
penyamakan kulit dan sebagainya. Gugus amino pada kitosan menjadi penentu kemampuan
kitosan dalam menangani limbah anorganik (Synowiecki, 2003).
Kemampuan kitosan untuk menyerap logam dengan cara pengkhelatan (pengikatan) yang
dipengaruhi oleh kandungan nitrogen yang tinggi pada rantai polimernya. Prinsip dasarnya
adalah dalam mekanisme pengikatan antara kitosan dan logam berat yang tergantung dalam
limbah cair industri tekstil adalah prinsip penukaran ion. Dimana gugus amina khususnya kitosan
akan bereaksi dan mengikat logam dari persenyawaan limbah cair. Kitosan yang tidak dapat larut
dalam air akan menggumpalkan logam menjadi flok-flok yang akan bersatu dan dapat dipisahkan
dari air limbah. Kitosan dapat bekerja sempurna jika dilarutkan dalam larutan asam. Mekanisme
ini membantu dalam menetralkan pH air limbah sebelum dibuang ke lingkungan bebas. Prinsip
koagulasi kitosan adalah penukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina
dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki pencemar dengan electron yang
dimiliki oleh Nitrogen (N). Limbah cair yang mengandung logam berat apabila direaksikan
dengan reagen yaitu kitosan khususnya dengan gugus aminanya maka akan berubah menjadi
koloid dan koloid inilah yang disebut flok ( Prayudi dan Joko,2001)
Gugus amina pada kitosan memiliki pasangan elektron bebas sebagai basa lewis yang
berfungsi sebagai donor elektron. Elektron bebas inilah yang digunakan untuk berikatan bersama
logam membentuk senyawa kompleks seperti pada persamaan reaksi berikut :
6 NH3 + Fe3+ [Fe(NH3)6]3+ (1)
Persamaan ini merupakan persamaan reaksi antara molekul amino dan ion logam (besi)
membentuk senyawa kompleks (heksaamin besi III). Senyawa kompleks ini terdiri dari ion besi
(Fe3+) sebagai ion pusat dan molekul amino (NH3) sebagai ligan dengan bilangan koordinasi 6
yang sekaligus menunjukkan jumlah ligan dalam senyawa tersebut.

5. Pemanfaatan dan Perkembangan Kitosan


Selama ini limbah cangkang krustasea, seperti udang, rajungan dan kepiting dikeringkan
dan dimanfaatkan sebagai pakan dan pupuk dengan nilai ekonomi yang rendah. Seiring dengan
semakin majunya i1mu pengetahuan kini limbah udang dapat dijadikan bahan untuk membuat
kitin dan kitosan (Fahmi, 1997)

Dewasa ini aplikasi kitin dan kitosan sangat banyak dan meluas. Kitosan merupakan
senyawa yang memiliki banyak manfaat baik kitosan maupun senywa turunannya. Manfaat
kitosan dalam berbagai bidang aplikasi antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Pemanfaatan Kitosan dalam Berbagai Bidang Aplikasi

No Bidang Aplikasi Fungsi


Pengolahan limbah Bahan koagulasi limbah cair, penghilang ion-ion metal limbah
1
cair
Pertanian Menurunkan kadar asam sayur, buah dan ekstrak kopi, bahan
2
pupuk,bahan antimikrobia
3 Industri tekstil Serat tekstil dan meningkatkan ketahanan warna
4 Bioteknologi Bahan immobilisasi enzim
5 Kosmetik Bahan kosmetik untuk rambut dan kaki
6 Biomedis Mempercepat penyembuhan luka, menurunkan kadar kolestrol
7 Fotografi Melindungi film dari kerusakan
Sumber: Robert (1992) cit Meriatna (2008)
III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum yaitu pipet tetes, tabung reaksi, Erlenmeyer 1000
mL, botol oksigen, bulb pump, pipet ukur, kertas pH, kertas saring, hot plate stirrer, gelas
beaker, timbangan analitik, spatula, corong dan stopwatch

2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu limbah cair organik, akuades, serbuk
kitosan 0,5; 1; 1,5 , 2 % dan 2,5 %, larutan asam asetat glasial dan reagen untuk analisis DO,
BOD, TSS, kekeruhan dan pH.

3. Tata Laksana Praktikum


Tahap 1: pembuatan larutan kitosan

250 mL akuades + 2% asam asetat glasial

Distirer sampai homogen

serbuk kitosan komersial (0,5% = 1,25 g; 1% = 2,5 g; 1,5% = 3,75 g; 2% = 5 g; 2,5% = 6,25 g). Distir

Distirer sampai homogen

Ukur pH
Tahap 2: aplikasi kitosan pada limbah cair organik perikanan perlakuan tanpa dan dengan
pengenceran
Limbah cair 250 ml + air 250 ml

Limbah cair 500 ml

IV. HIPOTESIS
1. Kitosan dapat mereduksi beban pencemaran limbah industri perikanan
2. Semakin tinggi konsetrasi kitosan maka semakin besar kemampuan kitosan dalam
mereduksi beban pencemaran limbah cair industri perikanan
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil
Tabel 2. Tabel Hasil

KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK KELOMPOK


I II III IV V
(KITOSAN (KITOSAN (KITOSAN (KITOSAN (KITOSAN
PARAMETE
0,5%) 1%) 1,5%) 2%) 2.5%)
R
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
PH Larutan
3 3 4 4 4
Kitosan
PH Limbah 6 3 6 4 6 4 6 4 6 4
TSS 0,51 0,50 0,50 0,50 0,50
0,508 0,508 0,508 0,508 0,508
(mg/liter) 0 8 8 5 7
Kekeruhan ++++ +++ ++++ +++ ++++ +++ ++++ +++ ++++ +++

Keterangan :
I = limbah cair dengan penambahan larutan kitosan 0,5 %
II = limbah cair dengan penambahan larutan kitosan 1 %
III = limbah cair dengan penambahan larutan kitosan 1,5 %
IV = limbah cair dengan penambahan larutan kitosan 2 %
V = limbah cair dengan penambahan larutan kitosan 2,5 %
1 = limbah cair sebelum penambahan larutan kitosan
2 = limbah cair setelah penambahan larutan kitosan

Kekeruhan
+ : Bening
++ : Agak Bening
+++ : Keruh
++++ : Sangat Keruh
+++++ : Sangat Keruh Sekali

2. Pembahasan
2.1 Limbah Organik
2.1.1 Sumber Limbah
Praktikum ini dilakukan aplikasi kitosan terhadap reduksibeban pencemaran limbah
industri perikanan. Sehingga sampel yang digunakan dalam praktikum adalah air limbah
organik berupa limbah cucian ikan yang berasal dari Pasar Kranggan, Yogyakarta. Limbah
ini merupakan sisa pencucian ikan-ikan yang dijual di pasar tersebut.
2.1.2 Cara Kerja dan Fungsinya
Cara kerja dari acara aplikasi kitosan terhadap reduksi beban pencemaran limbah
industri perikanan terdiri dari 2 tahap, yaitu pembuatan larutan kitosan dan aplikasi kitosan
pada limbah cair organik perikanan. Tahap pertama dilakukan dengan menyiapkan 250 mL
akuades lalu tambahkan 2% asam asetat glasial. Penambahan asam asetat glacial tersebut
berfungsi melarutkan kitosan dalam limbah cair karena kitosan tidak larut dalam air
sehingga membutuhkan asam untuk melarutkanya. Menurut Puspawati (2010), kitosan dapat
dengan cepat larut dalam asam organik seperti asam formiat, asam sitrat dan asam asetat
yaitu dengan mengaduknya selama 10 menit supaya homogen dan bercampur rata.
Begitupula menurut Prayudi et al. (2000) bahwa kitosan tidak larut dalam air namun dapat
larut dalam bermacam-macam asam organik, asam klorida, dan asam nitrat pada konsentrasi
0,15% - 1,1%. Selanjutnya tambahkan serbuk kitosan komersial (0,5% = 1,25 g; 1% = 2,5 g;
1,5% = 3,75 g; 2% = 5 g; 2,5% = 6,25 g) dan distirer sampai homogen,kemudian diukur pH
awal. Stirer berfungsi mengaduk campuran agar homogen tercampur merata dengan
kecepatan rpm tertentu. Beberapa konsetrasi kitosan yang digunakan dalam mereduksi
limbah dugunakanuntuk mengetahui presentasi kitosan yang paling efektif.

Tahap berikutnya adalah aplikasi kitosan pada limbah cair organik perikanan.
Sebelumnya lakukan analisis DO, BOD, TSS, dan pH terlebih dahulu pada limbah cair
sebelum diberi perlakuan. Disiapkan 500 ml limbah cair organik (250ml limbah cair + 250
ml air) lalu tambahkan 250 mL kitosan sesuai dengan masing-masing perlakuan yaitu 0,5 %,
1 %, 1,5 %, 2% dan 2,5 %. Semua campuran larutan kitosan dan limbah tersebut diaduk
dengan konstan selama 10 menit yaitu 9 menit cepat dan 1 menit lambat. Fungsi pengadukan
cepat yaitu agar gaya tolak menolak menurun dan gaya tarik menarik antar partikel dapat
mengalami peningkatan sehingga terjadi ikatan antar partikel dan pembentukan senyawa
kompleks (Hammer, 1986). Pengadukan lambat berfungsi agar partikel dapat mengalami
penggumpalan yang disebut dengan flok dan membentuk partikel yang besar. Kemudian,
campuran limbah dengan kitosan dan asam asetat diendapkan selama 60 menit menunggu
proses pengendapan terjadi. Air limbah yang telah diendapkan kemudian dianalisis kadar
DO, BOD, TSS, TDS, pH dan kekeruhan. Data kemudian dicatat dalam suatu tabel dan
semua data dibandingan antara data seluruh kelompok. Analisis setelah penambahan limbah
dilakukan untuk mengetahui beban pencemaran limbah setelah direduksi menggunakan
kitosan. (Yuliusman, 2007).
2.1.3 Karakteristik dan Bahaya Limbah Organik
Air limbah industri yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan
adalah air limbah dengan kandungan organik tinggi. Karakteristik air limbah organik tinggi
ditunjukan dengan tingginya parameter BOD dan COD dalam air limbah. Contoh industri
dengan air limbah organik tinggi adalah industri tapioka, tahu, gula, kecap, sitrat, asam
glutamat, tekstil, bir, alkohol dan lain-lain, karena sifat polikationik nya, kitosan dapat
dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal dalam penanganan limbah terutama limbah
berprotein yang kemudian dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Penanganan limbah
cair, kitosan sebagai chelating agent yang dapat menyerap logam beracun seperti mercuri,
timah, tembaga, pluranium dan uranium dalam perairan dan untuk mengikat zat warna
tekstil dalam air limbah (Krissetiana, H. 2004). Karakteristik limbah cair organik adalah
menimbulkan bau tidak sedap, oksigen terlarut rendah, BOD tinggi, dengan
nutrien/kesuburan tinggi (Sahubawa, 2005). Limbah organik meliputi limbah padat semi
basah berupa bahan-bahan organik yang umumnya berasal dari limbah hasil pertanian.
Limbah industri perikanan mudah diuraikan melalui proses alami karena memiliki sifat
kimia yang stabi sehingga zat tersebut akan mengendap ke dalam tanah, dasar sungai, danau
serta laut dan selanjutnya akan mempengaruhi organisme di dalamnya (Mahida, 1992).
Limbah organik berpotensi bahaya bagi kesehatan manusia yaitu penyakit diare,
kolera, tifus karena menyebar cepat. Limbah organik adalah sisa atau buangan dari berbagai
aktifitas manusia seperti rumah tangga, industri, pemukiman, peternakan, pertanian dan
perikanan yang berupa bahan organik; yang biasanya tersusun oleh karbon, hidrogen,
oksigen,nitrogen, fosfor, sulfur dan mineral lainnya (Polprasert, 1989 dalam Garno, 2004).
Dimanapun limbah organik berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain, seperti
ikan, kepiting, benthos dan lainnya maka akan segera dimanfaatkan oleh mikroba, baik
mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen), mikroba anaerobik
(mikroba yang hidupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba fakultatif (mikroba yang
dapat hidup pada perairan aerobik dan anaerobik). Limbah organik di badan air bagian
manapun cenderung selalu merugikan karena sebagian besar produknya (NH3, H2S dan
CH4) dapat langsung mengganggu kehidupan fauna, sedang produk yang lain (nutrien)
meskipun sampai pada konsentrasi tertentu menguntungkan namun jika limbah/nutrien terus
bertambah (eutrofikasi) akan menjadi pencemar yang menurunkan kualitas perairan dan
akhirnya mengganggu kehidupan fauna (Garno, 2004).
2.1.4 Mekanisme Kitosan dalam Pelarut Asam Asetat dapat Mereduksi Limbah
Organik
Kemampuan koagulasi kitosan akan muncul karena adanya gugus amino bebas yang
mengalami protonisasi karena adanya ion H+ dari asam asetat. Pada pH asam, gugus amino
terprotonisasi sehingga meningkatkan kelarutan kitosan yang bersifat tidak larut dalam
pelarut alkali dan pH netral (Guibal,2004) sehingga kitosan dapat menyumbangkan sifat
polielektrolit kation yang sangat potensial untuk koagulasi.
Kitosan larut dalam asam organik/mineral encer melalui potonasi gugus amino bebas
(NH2 NH3+) Pada pH kurang dari 6.5.Pelarut yang baik untuk kitosan adalah asam format,
asam asetat dan asam glutamate. Kelarutan kitosan menurun dengan bertambahnya berat
molekul kitosan. Gugus amina dan hidroksil yang bertindak sebagai donor electron, Oleh
sebab itu, kitosan bisa berinteraksi dengan partikel-partikel koloid yang terdapa di dalam air
limbah melalui proses jembatan antar partikel (koagulasi), sehingga mampu menurunkan
kekeruhan limbah organic dengan menambahkan kitosan sebagai koagulan (Ibrahinm,2009).
Mekanisme inilah yang menyebabkan kitosan dapat mereduksi limbah
2.1.5 Parameter Perlakuan

Parameter yang diamati pada praktikumini yaitu pH larutan dan pH limbah, TSS, dan
kekeruhan. Hasil pengamatan aplikasi kitosan terhadap beberapa parameter pencemaran
yang diamati tersebut adalah sebagai berikut :
a. pH
Berdasarkan hasil pengamatan pH larutan kitosan untuk perlakuan konsentrasi
kitosan 0,5 % adalah sebesar 3, untuk konsentrasi 1 % adalah 3, konsentrasi 1,5 % adalah 4,
konsentrasi 2 % adalah 4, dan konsentrasi 2,5% adalah 4. Dapat dilihat bahwa pH paling
rendah terdapat pada perlakuan konsentrasi kitosan 0,5 % dan 1%. Sedangkan untuk pH
pada campuran limbah cair konsentrasi 0,5 %, sebelum ditambahkan kitosan sebesar 6 dan
sesudah ditambahkan kitosan menjadi menurun yaitu sebesar 3. Untuk perlakuan yang lain
semuanya juga mengalami penurunan pH setelah ditambahkan pH, dari 7 menjadi 4. Terlihat
bahwa pH larutan semakin bersifat asam. Hal ini terjadi karena banyaknya gugus amin yang
berikatan dengan proton yang berasal dari limbah organik. Sehingga banyak meninggalkan
gugus asam yang menyebabkan sampel bersifat asam. Nilai pH yang terlalu rendah dan
terlalu tinggi mengakibatkan limbah cair yang telah diberi perlakuan kitosan tidak layak
dibuang ke lingkungan karena dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebagaimana
menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (2014) bahwa syarat pH baku mutu limbah
cair antara 6-9.
b. TSS

Menurut Puspita (2008), TSS merupakan padatan tersuspensi yang digunakan


sebagai parameter tingkat kekeruhan suatu perairan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
jumlah padatan tersuspensi dalam limbah cair industri perikanan meliputi cara pengolahan
yang diterapkan oleh suatu industri, jenis dan jumlah bahan kimia yang terlarut dalam
limbah cair serta waktu pembuangan limbah cair (Sjafei, 2002)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa TSS sebelum diberi perlakuan tanpa
pengenceran yaitu 0,508 mg/L sedangkan setelah diberi perlakuan mengalami penurunan
pada perlakuan kitosan 2% yaitu menjadi 0,505 mg/L. Sedangkan pada kitosan 0,5%
menngalami peningkatan menjadi 0,510 mg/L, dan stabil pada kitosan 1% dan 1,5 %.
Penurunan TSS menunjukkan bahwa padatan tersuspensi telah mengalami pengendapan
sehingga penguraian bahan organik berlangsung dengan baik sedangkan nilai TSS
stabil/sama dan yang mengalami peningkatan TSS menunjukkan bahwa padatan tersebut
belum mengalami pengendapan hanya saja kandungan bahan organiknya mengalami
penguraian oleh aktivitas kitosan sehingga padatan tersuspensi masih terkandung dalam
limbah. Kitosan 2% merupakan hasil terbaik karena mampu menurunkan TSS. Berdasarkan
baku mutu standar, kadar TSS maksimal sebesar 1,5 mg/L, sehingga dapat dikatakan cukup
efektif menurunkan nilai TSS limbah cair organik. TSS berpengaruh terhadap kecerahan dan
warna air. Maka dapat dikatakan kitosan mampu meningkatkan kecerahan badan air.

c. Kekeruhan
Kandungan padatan tersuspensi dalam badan air dapat menyebabkan kekeruhan air
yang dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan menyebabkan terganggunya
osmoregulasi seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik (Munawaroh, 2013).
Berdasarkan hasil parameter kekeruhan menunjukkan adanya perubahan untuk semua
perlakuan yaitu dari sangat keruh menjadi keruh saja. Hasil pengamatan yang diperoleh
dengan perlakuan penambahan kitosan 0,5%, 1 %, 1,5 %, 2% dan 2,5% sudah terbilang
efektif meningkatkan kecerahan limbah cair organik namun warna limbah cair organik yang
dihasilkan masih tergolong keruh karena masih banyak terdapat endapan kitosan.
Berdasarkan standar bahan baku, limbah yang akan dibuang keperairan seharusnya berwarna
bening, sehingga hasil dikatakn belum bisa memenuhi standar mutu yang berlaku.
2.1.6 Perlakuan terbaik

Berdasarkan semua hasil yang diperoleh maka perlakuan penambahan kitosan yang
dapat/mampu mereduksi limbah cair organik paling baik yaitu penambahan kitosan 2%
karena dapat mengurangi kadar TSS dan pH mengalami penurunan yang tidak terlalu
spesifik karena nilai pH yang terlalu rendah dan terlalu tinggi mengakibatkan limbah cair
yang telah diberi perlakuan kitosan tidak layak dibuang ke lingkungan karena dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan. Sebagaimana berdasarkan baku mutu air limbah
perikanan pH 6-9 dan TSS antara 1-1,5 mg/L. Hasil yang didapat secara keseluruhan
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan mutu limbah menjadi lebih baik akibat pengaruh
perlakuan kitosan namun hasilnya belum efisien. Dibandingkan dengan penambahan kitosan
0,5%, 1%, 1,5%, dan 2,5% menunjukkan hasil yang kurang baik terutama pada TSS yang
stabil bahkan meningkat.

2.1.7 Perlakuan Efektif dan Efisien Perusahaan Berskala Komersial


Berdasarkan semua hasil yang diperoleh maka perlakuan penambahan kitosan yang
paling efisien dan efisien diaplikasikan pada perusahaan skala komersial adalah penambhan
kitosan 2%, karena pada konsentrasi segitu sudah mampu menurunkan TSS dan
meningkatkan kejernihan air limbah. Sehingga tidak dibutuhkan banyak biaya yang
dikeluarkan untuk penambahan kitosan tersebut pada limbah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

1.1 Kitosan dapat mereduksi beban pencemaran limbah cair organik

1.2 Konsentrasi kitosan yang paling baik adalah perlakuan 2 % untuk limbah organik
karena dapat mengurangi kadar TSS dan pH mengalami penurunan yang tidak terlalu
spesifik karena nilai pH yang terlalu rendah dan terlalu tinggi mengakibatkan limbah
cair yang telah diberi perlakuan kitosan tidak layak dibuang ke lingkungan karena
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

2. Saran

Sebaiknya dilakukan perbandingan pengujian pada perbedaan asal limbah sehingga


dapat diketahui konsentasi kitosan yang sesuai dengan pengolahan limbah. Misal asal limbah
dari pengolahan maupun budidaya perikanan. Selain itu diusahakan mungkin dengan
penambahan variasi perlakuan atau cara lain agar tidak ada praktikan yang menganggur dan
semua bisamencoba melakukan pengujian.
DAFTAR PUSTAKA

Baxter, S., Zivanovic, S. and Weiss, J. 2005. Molecular Weight and Degree of Acetylation of
High Intensity Ultrasonicated Chitosan. Food Hydrocolloids.19, 821-830.

Bhuvana. 2006 . Studies on Frictional Behavior of Chitosan-Coated Fabries, Aux. Res.


J., Vol 6 (4): 123-130

Chandumpai, A. 2004. Preparation and Physico-chemical Characterization of


Chitin and Chitosan from the Pens of the Squid Species, Loligo
lessoniana and Loligo formosana. Carbohydrate Polymers. 58: 467-474
Fahmi, R. 1997. Isolasi dan Transformasi Kitin Menjadi Kitosan. Jurnal Kimia
Andalas, 3, 1, 61-68.
Fitriasti, D. 2010. Studi Kinetika Penyerapan Ion Khromium dan ion Tembaga Menggunakan
Kitosan Produk dari Cangkang Kepiting. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Diponegoro Semarang.
Garno, Y. Soetrisno. 2004. Biomanipulasi, Paradigma Baru dalam Pengendalian Limbah Organik
Budidaya Perikanan Di Waduk Dan Tambak. BPPT, Jakarta

Hartati, F.K. 2002. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap


Deproteinasi menggunakan Enzim Protease dalam Kitin dari Cangkang
Rajungan (Portunus Pelagicus) Jurnal Biosain Vol 2.
Khan, T.A., Peh, K.K., Ching, H.S. 2002. Reporting Degree of Deacetylation
Values of Chitosan : the Influence of Analytical Methods. J. Pharm.
Pharmaceut. Sci Vol 5 No 3
Knoor, D. 1984. Functional Properties of Chitin and Chitosan. J. Food.Sci. Vol 47: 36-38.
Krissetiana, H. 2004. Kitin dan Kitosan dari Limbah Udang. Suara Merdeka.
Sahubawa, L dan Iwan Y. 2006. Isolasi Kitin-Kitosan dari Limbah
Cangkang Udang dan Rajungan, serta Aplikasinya sebagai Pereduksi
Beban Pencemaran Limbah Cair Industri Perikanan. Hibah Kebaharian
Perguruan Tinggi. Ditjen Dikti. Jakarta.
Prayudi, T dan Joko P.S. 2001. Pengaruh Ukuran Partikel Chitosan Pada Proses Degradasi
Limbah Cair Tekstil. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol.2 BPPT

Puspawati, N. M.dan I. N. Simpen. 2010. Optimasi Deasetilasi Kitin dari Kulit Udang dan
Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menadi Khitosan Melalui Variasi
Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia 4 1 : 79-90.
Sannan, T., Kurita, K., Iwakura, Y. 1978. Studies on Chitin : 7. Spectroscopic
Determination of Degree of Deacetylation. Polymer.177: 3589-3600
Savitha, V. dan Timothy, J.S.1997. Chitosan Membrane Interaction and Their
Propable Role in Chitosan Medicated Transfection. Biotechnology and
Applied Biochemistry. 27: 265-267
Sjafei, A. 2002. Studi Mengenai Karakteristik dan Proses Pengolahan Limbah
Cair Industri Hasil Perikanan. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB. Bogor
Skjak-Braek GA, Athonsen T, Sandford PT. 1989. Chitin and Chitosan: Sources, Chemistry,
Biochemistry, Physical Properties and Applications. Elsevier Appl Sci, London. p:561.
Synowiecki, J. and Al-Khateeb N.A. 2003. Production, Properties, and Some
New Applications of Chitin and its Derivatives. Jurnal Food Science and
Nutrition Vol 43 No 2
Yunizal, T., M. Nur dan W.Thamrin. 2001. Ekstraksi Khitosan dari Kepala Udang Putih
(Penaeus merguensis). Jurnal Agric., Vol. 21 (3):113-117

Anda mungkin juga menyukai