Anda di halaman 1dari 10

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI PASCA STROKE


DEFINISI
Epilepsi pascastroke ialah bangkitan berulang pascastroke dengan
konfirmasi diagnosis epilepsi. Sementara kejang pasca stroke didefinisikan
sebagai satu atau lebih episode bangkitan pasca stroke dan dianggap berhubungan
dengan kerusakan serebral, baik reversibel maupun irreversibel, akibat stroke,
tanpa menilai onset kejang terhadap onset stroke. Bangkitan atau kejang muncul
sebagai manifestasi klinis akut terhadap kelainan tersebut dan tidak akan berulang
jika kondisi yang mendasarinya telah teratasi atau telah melewati fase akutnya.
Bila epilepsi terjadi dalam waktu satu minggu dari penyebabbnya
dikatakan sebagai simtomatik akut, bila terjadi dalam waktu lebih dari 1 minggu
disebut remote symptomatic seizure. Penyebab simtomatik akut mencakup stroke
infark maupun perdarahan, cedera kepala, alcohol withdrawal atau pemakaian
obat-obatan. Remote symptomatic seizure dapat disebabkan pascastroke,
arteriosklerosis arteri otak pada sepertiga penyandang epilepsi, pascacedera
kepala, tumor otak dan penyakit degenratif seperti demensia Alzheimer.

EPIDEMIOLOGI
Stroke merupakan penyebab kejang tersering pada populasi pasien lanjut
usia. Pada sebuah studi deskriptif di Nigeria, stroke merupakan penyebab
terbanyak kedua pada kasus acute symptomatic seizure, yakni sebesar 29,8%
setelah infeksi (36,2%), sebagian besar adalah stroke hemoragik. Kasus ini banyak
ditemukan pada pasien dengan kelompok usia 50-69 tahun. Pasien dengan stroke
yang mengalami kejang sekitar 5-10% dari seluruh pasien stroke dan 45% pasien
mengalami serangan pada 24 jam pertama pasca onset stroke. Pasien dengan onset
kejang yang lebih lambat, paling banyak ditemukan pada saat 6-12 bulan pasca
onset stroke, dengan tingkat resiko kejang berulang hingga 90%.
Epilepsi terjadi pada kurang lebih 1/3 pasien dengan kejang pascastroke
onset dini ( 7 hari dari onset stroke) dan pada pasien dengan kejang
pascastroke onset lambat. Pada studi prospektif berdasarkan data rumah sakit
yang melibatkan 2.021 pasien dengan stroke akut, Bladin et al menunjukkan
insidensi kejang sekitar 9% selama 9 bulan follow up. Perdarahan intraserebral
merupakan insiden tertinggi kejang pasca stroke (10,6% -15,4%) dan transient
ischaemic attack insiden terendah (3,7%). Sedangkan perdarahan subarachnoid
sekitar 8,5% dan stroke iskemik 6,5% - 8,5%. Bladin et al juga melaporkan
bahwa sekitar sepertiga (3%) dari pasien dengan kejang pasca-stroke berlanjut
menjadi epilepsi.

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG PASCA STROKE


HEMORAGIK
Berdasarkan studi prospektif oleh Yang et al pada 263 pasien dengan
perdarahan otak spontan didapatkan bahwa pasien yang mengalami kejang berusia
kurang dari 60 tahun, adanya hidosefalus dan kerusakan kortek serta perdarahan
setelah operasi.
Tabel 1. Faktor yang berhubungan dengan kejang pasca ICH spontan
Tabel 2. Faktor yang berhubungan dengan kejang dini pasca ICH spontan

DIAGNOSIS
Semiologi kejang pascastroke dapat sesuai dengan lokalisasi lesi serebral
(2/3 pasien dengan bangkitan fokal), tetapi sebanyak kurang lebih 1/3 pasien
dengan bangkitan umum tonik klonik. Kejang onset dini biasanya memiliki tipe
bangkitan fokal, sedangkan bangkitan umum tonik klonik lebih sering didapatkan
pasa kasus kejang onset lambat. Lebih lanjut, status epileptikus terjadi pada 9%
dari seluruh kasus kejang pascastroke.
Pada penelitian Lamy et al, dari 20 pasien dengan EPS, bentuk bangkitan
yang muncul ialah bangkitan simple parsial pada 10 pasien, complex parsial 2
pasien, umum sekunder 7 pasien, dan status epileptikus pada 1 pasien. Penelitian
Lossius et al. mendapatkan hasil bangkitan simple atau complex partial pada 3
pasien dan umum sekunder 12 pasien.
Hasil pemeriksaan EEG dapat ditemukan normal pada kurang lebih 5%
kasus, sehingga hasil EEG dalam batas normal tidak menjadi faktor eksklusi
adanya epileptogenesis. Perlambatan fokal atau difus dihubungkan dengan resiko
yang rendah untuk terjadinya kejang, tetapi jika ditemukan gambaran aktivitas
epileptiform, misalnya gelombang paku fokal atau cetusan bilateral periodik
menunjukkan resiko kejang yang lebih tinggi.
Pada penelitian Pitkanen et al, gambaran EEG yang paling sering
ditemukan ialah perlambatan fokal pada sisi hemisfer yang mengalami infark. De
Ruck et al. melaporkan adanya perlambatan difus (n=15), aktivitas delta ritmik
intermiten (n=17), atau PLED (periodic lateralized epileptic discharges) (n=4)
pada 69 pasien dengan kejang onset dini (n-12) atau onset lambat (n=57).
Gambaran EEG normal didapatkan pada 9% pasien stroke iskemik dengan kejang.
Namun, perlu diingat bahwa interpretasi hasil EEG menjadi tantangan tersendiri
karena pada pasien stroke walaupun tanpa episode kejang, gambaran perlambatan
fokal juga dapat ditemukan.

TATALAKSANA
Tujuan pengobatan dengan OAE adalah untuk mengontrol bangkitan tetapi
mempertahankan kualitas hidup. Pergantian obat harus berdasarkan respon klinis
daripada kadar OAE dalam darah. Semua OAE dapat menyebabkan dose-
dependent sedation dan gangguan kognitif.
Obat lini pertama untuk epilepsi usia lanjut termasuk karbamazepin, asam
valproat, okskarbazepin, gabapentin dan lamotigrin. Pemilihan obat pada epilepsi
usia lanjut perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
- Pemilihan obat berdasarkan jenis epilepsi
- Bila ada kesulitan menelan berikan obat yang dapat digerus
- Bila ada gangguan fungsi organ lainnya yang memerlukan terapi, OAE
dipilih yang tidak berinteraksi dengan obat-obat tersebut
- Pemberian OAE kadang memerlukan waktu lebih dari 3 tahun karena
umumnya simtomatis
Tabel 3. Perbedaan karakteristik antara epilepsi pada lansia dan orang muda
Epilepsi pada orang
Manifestasi klinis Epilepsi pada lansia
muda
Bentuk bangkitan Sedikit (3 jenis) Banyak
Tipe bangkitan tersering Parsial kompleks Kejang umum tonik
klonik
Frekuensi bangkitan Sedikit Banyak
Pascabangkitan Kesadaran lama pulih Cepat pulih
Potensial trauma Tinggi Rendah
Respon terhadap OAE Umumnya buruk Umumnya baik
Toleransi terhadap OAE Umunya buruk Umumnya baik
Dosis obat Umumnya rendah Tinggi
Kecepatan titrasi OAE Perlahan-lahan Cepat

Tabel 4. Pemilihan OAE berdasarkan bentuk bangkitan


Bangkita
Bangkita Bangkita
Bangkita Bangkita n
OAE n umum n tonik
n fokal n lena miokloni
sekunder klonik
k
Fenitoin + + + - -
Karbamazepi + + + - -
n
Asam + + + + +
valproat
Fenobarbital + + + 0 ?+
Gabapentin + + ?+ 0 ?-
Lamotigrin + + + + +-
Topiramat + + + ? ?+
Zonisamid + + ?+ ?+ ?+
Levetiraceta + + ?+ ?+ ?+
m
Okskarbazep + + + - -
in

Tabel 5. Dosis OAE untuk orang dewasa


Waktu
Jumla Waktu
Dosis Dosis paruh
h dosis Titrasi tercapainya
OAE awal rumata plasm
per OAE steady state
(mg/hr) n a
hari (hari)
(jam)
Karbamazepi 400- 400- 2-3x Mulai 15-25 2-7
100/200
mg/hari
sampai
n 600 1600
target
dlm 1-4
minggu
Mulai
100
mg/hari
200- 200-
Fenitoin 1-2x sampai 10-80 3-15
300 400
target
dlm 3-7
hari
Mulai
500
mg/hari
Asam 500- 500-
2-3x bila 12-18 2-4
valproat 1000 2500
perlu
setelah 7
hari
Mulai
30-50
mg
malam
hari 50-
Fenobarbital 50-100 50-200 1 8-30
bila 170
perlu
setelah
10-15
hari
1 atau
Klonazepam 1 4 20-60 2-10
2
Mulai
10
mg/.hari
bila
Klobazam 10 10-30 1-2x 10-30 2-6
perlu
setelah
1-2
minggu
Okskarbazepi 600- 600- 2-3x Mulai 8-15 2-4
n 900 3000 300
mg/hari
sampai
target
dlm 1-3
minggu
Mulai
500/100
0 mg/hr
1000- 1000-
Levetiracetam 2x bila 6-8 2
2000 3000
perlu
setelah 2
minggu
Mulai
25
mg/hr
100-
Topiramat 100 2x 25-50 20-30 2-5
400
mg/hr
tiap 2
minggu
Mulai
300-900
mg/hr
900- 900-
Gabapentin 2-3x sampai 5-7 2
1800 3600
target
dlm 5-
10 hr
Mulai
25
mg/hr
selama 2
minggu
sampai
Lamotigrin 50-100 50-200 1-2x 50 15-35 2-6
mg/hr
selama 2
minggu
50
mg/2
minggu
Mulai
200-400
100- 100- mg/hr
Zonisamid 1-2x 60 7-10
200 400 sampai
1-2
minggu
Pregabalin 50-75 50-600 2-3x 6,3 1-2
PROGNOSIS
Dampak kejang pascastroke terhadap keluaran pasien stroke belum
diketahui secara pasti. Beberapa studi melaporkan keluaran yang baik atau tidak
banyak berbeda dengan keluaran pasien stroke tanpa kejang, sedangkan beberapa
studi lainnya menggambarkan kejang sebagai faktor prediktif keluaran yang
buruk. Berdasarkan penelitian Arbaix et al. yang dilakukan terhadap 1.197 pasien
stroke akut dengan penilaian Scandinavian stroke scales (SSS), didapatkan kejang
berhubungan dengan keluaran yang lebih baik. Kejang dengan onset dini tidak
berhubungan dengan peningkatan mortalitas saat perawatan stroke fase akut (p
0,56), tetapi justru berhubungan dengan keluaran yang baik pada pasien, yang
ditandai dengan peningkatan skor SSS sebanyak 5,7 poin (p 0,002).
Di sisi lain, berdasarkan studi Shinton et al, didapatkan hasil penelitian
bahwa pasien stroke dengan kejang memiliki prognosis yang lebih buruk,
khususnya pada 48 jam pertama setelah onset, jika dibandingkan dengan
kelompok pasien stroke tanpa kejang. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian
Myint et al. bahwa pasien dengan kejang pada 48 jam pertama onset stroke atau
transient ischemic attack (TIA) memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi
(37,9%) dibandingkan dengan pasien stroke dan TIA tanpa kejang (14,4%).
Mortalitas dan morbiditas stoke itu sendiri juga sangat bergantung pada etiologi
yang mendasarinya.

Anda mungkin juga menyukai