Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

TRAUMA TRAKTUS URINARIUS

Disusun Oleh :
Zulfahmi Siregar
1111103000024

Pembimbing :

dr. Amrizal Umran, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
PERIODE 3 JANUARI 12 MARET 2017
JAKARTA
KATA PENGANTAR

Segala puji saya panjatkan hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat kasih sayang, kenikmatan, dankemudahan yang begitu besar.Shalawat dan
salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW,
dengan kasih sayangnya yang tiada pernah pudar. Atas nikmat-Nya dan karunia-Nya
Yang Maha Besar sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Trauma Traktus Uranarius
Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
mendukung saya dalam pembuatan makalah ini. Rasa terima kasih juga saya sampaikan
kepada kedua orang tua saya yang tiada henti-hentinya memberikan kasih sayang dan
doa yang tulus.

Jakarta, Januari 2017

Zulfahmi siregar
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma tumpul merupakan penyebab utama cedera saluran kemih, namun dapat juga
berupa trauma tajam ataupun cedera iatrogenik akibat tindakan dokter pada saat operasi atau
petugas medik yang lain. Pada trauma tajam, baik berupa trauma tusuk maupun trauma tembus
oleh peluru, harus dipikirkan untuk kemungkinan melakukan eksplorasi, sedangkan trauma
tumpul sebagian besar hampir tidak diperlukan tindakan operasi. Kejadian trauma tumpul pada
ginjal yang bisa bersifat langsung maupun tidak langsung.
Secara anatomi sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal
(kecuali genitalia eksterna ), dan terlindung oleh otot-otot dan organ-organ lain. Oleh karena
itu jika didaptkan cedera organ urogenitalia, harus diprhitungkan pula kemungkinan adanya
kerusakan organ lain yang mengelilinginya. Sebagian besar cedera organ urogenitelia bukan
cedera yang mengancam jiwa, kecuali cedera berat yang merusak parenkim ginjal yang cukup
luas dan atau terputuskan pembuluh darah ginjal.
Cedera pada ureter karena trauma eksternal jarang terjadi. Hal ini dikarenakan ureter
dilindungi dengan baik di retroperitoneal oleh tulang panggul, otot psoas dan tulang belakang.
Kerusakan pada ureter biasanya disebbakan oleh trauma yang cukup signifikan dan hampir
terjadi kerusakan pada organ lain di abdomen.
Beratnya cedera pada kandung kemih tergantung dari severapa penuhnya kandung
kemih dan bagaimana mekanisme traumanya. Trauma pada kandung kemih jarang terjadi
dikarenakan letak kandung kemih di dalam struktur didalam struktur tulang panggul. Cedera
pada kandung kemih biasanya dikarenakan trauma yang cukup berat dan menyebabkan farktur
dan terdapapat fragmen tulang menembus dinding kandung kemih. Trauma pada kandung
kemih atau uretra dapat menyebabkan uretra masuk pada rongga peritoneum yang dapat
menyebabkan peritonitis, biasanya disebabkan oleh trauma pada bili dalam keadaan penuh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius


1.1 Anatomi ginjal

Terdapat sepasang ginjal yang berwarna kemerahan, berbentuk seperti kacang merah
yang terletak dibawah costae dan di atas panggul diantara peritoneum dan dinding posterior
dari abdomen.Karena posisi ginjal yang terletak di belakang peritoneum abdomen, maka
ginjal disebut sebagai organ retroperitoneal. Ginjal berlokasi pada throrakal 12 dan lumbal
3 vertebra, posisi ginjal ini terlindungi oleh costae 11 dan costae 12. Ginjal sebelah kanan
berada sedikit lebih dibawah dibandingkan yang kiri karena pada sebelah kiri terdapat
hepar yang terletak di atas ginjal.

Ginjal dewasa memiliki panjang sekitar 10-12 cm, lebar 5-7cm ketebalan 3cm dan
memilki massa sekitar 135-150 g. batas medial dari ginjal menghadap kolumna vertebra.
Di tengah batas konkaf ginjal terdapat indentasi yang disebut renal hilus dimana tempat
ureter keluar dari ginjal bersama dengan e=oembuluh darah, pembuluh limfatik dan saraf.
Terdapat tiga lapisan yang melindungi ginjal, bagian dalam yaitu kapsula renalis yang
bersifat lembut, transparan dan irregular dalam melapisi ginjal sebagai jaringan
penghubung yang kontinu melapisi ureter.Bagian ini memiliki fungsi sebagai barrier untuk
trauma dan menjaga bentuk dari ginjal.Bagian ginjal bagian tengah yaitu kapsula adipose,
ini merupakan bagian berlemak yang melapisi ginjal.Bagian ini juga merupakan
perlindungan untuk ginjal dari trauma dan menjaga ginjal tetap pada posisinya di rongga
abdomen.Bagian yang superfivial, adalah fasia renalis, laipisan tipis yang merupakan
jaringan penghubung irregular yang menjaga ginjal dari struktur di sekitarnya dan dari
dinding abdomen.Pada bagian anterior ginjal, fasia renalis menempel pada peritoneum.
Gambar 1. Anatomi ginjal dan ureter

Gambar 2. Letak ginjal pada rongga abdomen


1.2 Anatomi ureter
Masing-masing ureter mentransportasikan urin dari pelvis renalis ke vesika
urinaria.Kontraksi peristaltis dari dinding muscular ureter mendorong urin ke vesika
urinaria, namun tekanan hidrostatik dan gravitasi juga memiliki kontribusi dalam
transportasi urin.Gelombang peristaltic yang ada berjumlah sekitar 1-5 kali dalam semenit,
tergantung seberapa cepat urin dibentuk. Ureter berukuran sepanjag 25-30 cm dan memiliki
dinding yang tebal, memiliki diameter yang sempit yaitu sekitar 1mm -10mm. letak urerter
sama seperti ginjal, yaitu di retroperitoneal. Pada basis vesika urinaria, ureter melekuk ke
bagian medial dan masuk secara obliq melalui dindin posterior vesika urinaria.
Walaupun tidak terdapat katup anatomis untuk membuka pada vesika, mekanisme
fisiologis sudah efektif untuk mentransportasikan urin.Setelah vesika urinaria terisi urin,
tekanan di dalamnya menekan bukaan obliq dari ureter dan mencegah kembalinya urin ke
ureter.Ketika mekanisme fisiologis ini tidak terjadi, urin kembali kea as dan
memungkinkan mikroba ikut ke atas dari vesika ke ginjal.

1.3 Anatomi vesika urinaria


Vesika urinaria merupakan organ berrongga, dapat berdistensi dan memiliki otot yang
terletak di rongga pelvis, posterior dari simfisis pubis.Pada laki-laki, letak nya terletak
langsung anterior dari rectum, sedangkan pada perempuan letaknya anterior dari vagina
dan inferior dari uterus.Lekukan dari peritoneum menahan vesika urinaria pada
posisinya.Ketika vesika urinaria menjadi lebih distensi akibat urin yang terakumulasi,
bentuk vesika menjadi sferis.Ketika tidak ada isinya, maka menjadi kolaps.Ketika volume
urin meningkat, maka bentuknya menjadi seperti buah pear lalu naik ke rongga
abdomen.Kapasitas dari vesika urinaria adalah sekitar 700-800 mL.Pada wanita ukuranya
lebih kecil karena tempatnya ditempati oleh uterys yang terletak di atas dari vesika urinaria.
Gambar 3. Anatomi vesika urinaria

1.4 Anatomi uretra


Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli melalui proses
miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra
anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra dilengkapi
dengan sfingter interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra interna
terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga saat buli-buli penuh,
sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem
somatik yang dapat diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter
ini terbuka dan tetap tertutup saat menahan kencing.
Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5 cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23-
25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urin lebih
sering terjadi pada pria.
Gambar 3. Uretra pada pria.
Dikutip dari : Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3rd Ed. USA: Icon Learning System; 2003. p. 368.

Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi
oleh kelenjar prostat, dan uretra pars membranasea. Di bagian posterior lumen uretra pars
prostatika, terdapat suatu tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens yaitu kedua duktus
ejakulatorius, terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan sekresi kelenjar
prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.
Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra
anterior terdiri atas (1) pars bulbosa, (2) pars pendularis, (3) fossa navikularis, dan (4) meatus
uretra eksterna. Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang
berfungsi dalam proses reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma
urogenitalis dan bermuara di uretra pars bulbosa, serta kelenjar Littre yaitu kelenjar
parauretralis yang bermuara di uretra pars pendularis.
Panjang uretra wanita kurang lebih 4 cm dengan diameter 8 mm. Berada di bawah simfisis
pubis dan bermuara di sebelah anterior vagina. Di dalam uretra bermuara kelenjar periuretra,
di antaranya adalah kelenjar Skene. Kurang lebih sepertiga medial uretra, terdapat sfingter
uretra eksterna dan tonus otot levator ani berfungsi mempertahankan agar urin tetap berada di
dalam buli-buli pada saat perasaan ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi
tekanan intauretra akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
2. Trauma Traktus Urinarius
2.1 Trauma ginjal
Kerusakan ginjal merupakan jenis yang paling umum dari cedera saluran kemih. Meski
begitu trauma ginjal merupakan kejadian yang relatif jarang, terhitung hanya 1,4-3,25% dari
kasus trauma. Lebih dari 90% trauma ginjal disebabkan oleh cedera tumpul, dimana sekitar
90% dapat dikelola secara konservatif. Manajemen awal pasien dengan cedera ginjal berikut
didirikan prinsip ATLS, terutama karena banyak pasien telah dikaitkan cedera.Hematuria
ditemukan dalam 80-94% kasus, namun ada atau tidaknya hemarturi tidak bukan merupakan
tolak ukur dalam indikasi penilaian keparahan cedera. Bahkan 18-36% pasien dengan cedera
pedikel mayor tidak memiliki bukti mikroskopis atau gross hematuria. Pada kejadian trauma
dengan bukti hematuria yang mengancam jiwa karena adanya ketidakstabilan hemodinamik,
maka eksplorasi ginjal segera dapat dilakukan. Untuk investigasi dan manajemen selanjutnya
dilakukan tergantung pada mekanisme cedera, dan ada atau tidak nya gross hematuria atau
hipotensi sistemik.

Grading trauma ginjal


2.1.1 Diagnosis trauma ginjal
Tanda-tanda vital harus dipantau saat melakukan diagnosis. Indicator dai trauma mayor
biasanya terjadi karena ada riwayat deselerasi cepat seperti jatuh, atau kecelakaan motor
dengan kecepatan tinggi dan trauma langsung pada daerah flank. Pada awal resusitasi, harus
terdapat perhatian khusus pada pasien yang sudah memiliki riwayat gangguan ginjal.Pada
pasien yang hanya memiliki ginjal soliter, keadaan ini sangat membahayakan.

Hidronefrosis, kalkuli ginjal, kista dan tumor merupakan hal yang paling umum
menyebabkan komplikasi pada trauma ginjal yang minor.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan trauma tajam yang disebabkan oleh luka tusul
pada punggung region torakal bagian bawah, flank dan abdomen bagian atas, luka masuk
peluru atau luka keluar.Pada luka tusuk, permukaan luka masuk tidak akurat dalam
menentukan dalamnya penetrasi luka tersebut.

Trauma tumpul pada bagian belakang, flank, thorax inferior, abdomen bagian atas dapat
menyebabkan trauma pada ginjal.Hematuria, nyeri flank, ekimosis, abrasi, fraktur iga, distensi
abdomen, tenderness pada abdomen meningkatkan kecurigaan pada keterlibatan trauma ginjal.

Algoritma penatalaksanaan trauma tumpul ginjal

2.1.3 Trauma penetrasi


Pada pasien dengan hemodinamik stabil dengan trauma tembus flank, dengan
hematuria maka harus dilakukan pemeriksaan radiografi. Eksplorasi dari semua cedera ginjal
penetrasi telah dianjurkan oleh beberapa studi, berdasarkan insiden dilaporkan lebih tinggi dari
perdarahan sekunder, meskipun orang lain telah melaporkan pelaksanaan yang aman dari
pendekatan selektif pada pasien hemodinamik stabil. Secara umum, operasi disarankan untuk
ketidakstabilan hemodinamik, kelas 4/5 cedera, dan ditemukan trauma ketika laparotomi
dilakukan untuk alasan lain.

Algorita penatalaksanaan trauma tajam ginjal

2.1.4 Injury grade V


Menyumbang 2-4% dari semua cedera ginjal. Bahkan di tingkat pusat trauma utama nefrektomi
tinggi: 67-86% pada pasien dengan cedera arteri utama; 25-56% pada pasien dengan cedera
vena utama. Oleh karena itu,perbaikan renovaskular dilakukan hanya jika keadaan umum stabil
jika stabil dan:
(I) Solitary kidney
(II) cedera ginjal Bilateral
(III) diagnosis Sangat cepat dan transfer ke ruang operasi (tingkat penyelamatan diabaikan jika
<8 jam) teknik Endovascular untuk flaps intima / segmental arteri cedera
2.1.5 Pendekatan pada trauma ginjal
Garis tengah full-length laparotomi.Angkat usus besar melintang ke dada dan usus kecil keluar
dari rongga peritoneum superior dan ke kanan.Mengidentifikasi aorta dan asal IMA.Insisi di
garis tengah tepat di atas IMA dan meluas ke ligamentum Treitz. Identifikasi margin lateral
aorta penting. Jika identifikasi sulit dilakukan mungkin perlu untuk dilihat bagian lateral dan
IMV untuk menemukan batas lateral aorta. Mengidentifikasi dan sling vena ginjal kiri. Retraksi
cephalad memungkinkan identifikasi asal atau kiri dan kanan arteri ginjal. Vena ginjal kanan
mungkin sulit untuk dikontrol melalui pendekatan ini; mungkin perlu kocherise duodenum.

2.1.6 Tindak lanjut setelah trauma ginjal


Urinalisis ulang dianjurkan pada semua pasien dengan trauma dan hematuria, terlepas dari
keparahan, dan untuk mengidentifikasi hematuria persisten yang membutuhkan evaluasi lebih
lanjut.Kejadian hipertensi renovaskular dan insufisiensi ginjal setelah cedera ginjal tidak khas,
juga perjalanan waktu untuk pengembangan komplikasi tersebut bukan sesuatu yang
cepat.Penelitian institusional dari 89 pasien dengan kelas 4/5 injury melaporkan sebanyak
22,4% dan 4,5% untuk insufisiensi ginjal dan hipertensi. Karena itu dianjurkan bahwa indeks
tersebut dipantau tanpa batas waktu setelah cedera ginjal mayor.

2.2 Trauma ureter


Trauma ureter merupakan trauma yang jarang, hanya terjadi sekitar 1% dari kasus
trauma genitourinaria.Sekitar 75% kasus merupakan iatrogenic, dengan sekitar separuhnya
terjadi pada satu per tiga distal dari ureter pada saat operasi ginekologi.Sisanya terjadi pada
saat operasi urologi dan operasi vaskular.Di eropa trauma tumpul abdomen merupakan
penyebab utama dari cedera ureter sedangkan di United States trauma tembak merupakan yang
paling utama menyebabkan cedera ureter.

Kerusakan biasaanya diidentifikasi pada saat intraoperative dan sekitar satu per tiga
kasus dan harus dicari secara teliti oleh spesialis urologi.Injury ligase sederhana pada dapat
ditatalaksana segera dengan deligasi dan pemasangan stent pada urter.Ketika integritas ureter
dipertanyakan maka segmen yang terkena harus dilakukan rekonstruksi.Kepuasan hasil bisa
didapatkan dengan tension-free dan spatulated anastomosis.Sering kali dicapai juga dengan
mobilisasi sederhana urerer dan uretero-ureterostomy, diikuti dengan stent ureter
profilaksis.Ketika suatu tindakan tidak dapat dilakukan, pendekatan alternatif dapat dilakukan
sesuai dengan lokasi terjadinya injury.

Grading trauma ureter

2.2.1 Diagnosis

Trauma ureter eksterna biasanya diikuti dengan trauma parah pada abdomen dan
pelvis.Trauma penetrasi biasanya berhubungan dengan trauma vaskular dan usus, yang
kebanyakan dihubungkan dengan fraktur tulang pelvis dan trauma lumbosacral.Hematuria
merupakan indicator yang buruk pada ureter, karena biasnaya didapatkan pada 50-75%
pasien.Trauma iatrogenic harus diperhatikan pada prosedur primer. Secara klinis karakteristik
yang didapatkan pada pendiagnosisan yang terlambat adalah flank pain, inkontinensia urin,
kebocoran pada vagina dan kebocoran drain urin, hematuria, demam, uremia. Ketika terjadi
miss diagnosis, maka risiko komplikasi meningkat. Identifikasi pada awal memberikan
prognosis yang lebih baik.

Diagnosis yang terlambat dari trauma iatrogenic urter terjadi kurang lebih sebanyak
pada dua per tiga pasien, pasien bisa didapatkan nyeri perut bagian bawah, ileus, demam,
kebocoran urin, peningkatan kreatinin sebagai diagnosis dari fistula traktus urinarius pada
keadaan post operasi. IVU dan CT scan dengan kontras merupakan pemeriksaan penunjang
lini pertama yang digunakan untuk mendiagnosis. Retrograde pielografi (RPG) harus
dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menegakan diagnosis tingkat dari
trauma urerer. Stent retrograde biasanya tidak berhasil dilakukan pada trauma ureter ayng
terlambat didiagnosis, tetapi pada kasus yang didiagnosis melalui IVU atau CT scan,
nefrostomi perkutan dapat dilakukan untuk membuat akses urin secara sementara sebelum
rekonstruksi definitif dilakukan dengan metode seperti berikut:
Panjang defek ureter

2- Ureteroureteros
3 cm tomy

4- Ureteroneocyst
5 cm ostomy

6- Psoas hitch
10 cm

2.3 Trauma vesika urinaria

Trauma pada vesika urinaria dapat dikategorikan sebagai trauma tumpul, tajam dan
iatrogenic. Trauma pada vesika urinaria diidentifikasi sebesar 1.6% pada trauma tumpul
abdomen, yang 80% nya berhubungan dengan fraktur pelvis. Sampai 30% kasus dapat juga
disertai dengan trauma uretra. Rupture vesika urinaria secara konvensional diklasifikasikan
sebagai intraperitoneal atau ekstraperitoneal. Rupture intraperitoneal berjumlah sebesar 40%
dari seluruh kasus. Rupture intraperitoneal terjadi ketika terdapat peningkatan tekanan secara
tiba-tiba pada intravesika, biasanya diikuti dengan trauma pada pelvis atau abdomen bagian
bawah. Bagian terlemah dari vesika urinaria adalah bagian inferior, yang dapat rupture ke
rongga abdomen yang menimbulkan ekstravasasi urin. Rupture ekstraperitoneal karena trauma
tumpul terjadi pada sekitar 60%, dan biasanya terjadi bersamaan dengan fraktur pelvis. Trauma
biasanya terjadi karena bagian tulang yang tajam menganai vesika urinaria, atau yang paling
sering adalah robekan dari dinding vesika urinaria pada bagian anterolateral.Trauma tajam
eksterna jarang terjadi.Trauma vesika urinaria iatrogenik lebih sering terjadi, paling banyak
merupakan komplikasi dari histerektomi, sectio sesaria dan reseksi trans uretra tumor vesika
urinaria.

2.3.1 Diagnosis

Tanda dari iatrogenic bladder trauma (IBT) eksternal adalah ekstravasasi urin, laserasi
yang terlihat, cairan bening pada lapang operasi, terlihat kateter pada vesika, darah atau gas
pada urine bag saat laparokopi. Inspeksi langsung pada integritas vesika merupakan metode
paling baik dalam menilai keutuhan dari vesika.Jika terdapat perforasi vesika pada trigonom
maka orificium ureter harus diinspeksi.

IBT interna pada sistoskopi dapat diidentifikasi berdasarkan jaringan lemak, batasan
gelap antara fiber muskulus detrusor, dan visualisasi usus besar. Tanda dari perforasi mayor
adalah ketidak mampuan untuk mendistensi vesika dan distensi abdomen

Tanda klinis lain yang harus diidentifikasi adalah hematuria, nyeri perut, distensi perut,
ileus, peritonitis, sepsis kebocoran urin dari lokasi trauma,penurunan urin output dan
peningkatan kreatinin serum.

Gejala ketika terdapat corpus alienum pada vesika termasuk dysuria, rekurensi dari
infeksi saluran kemih, frekuensi, urgenis, hematuria, perianal atau nyer pelvis.Biasanya
tebentuk kalkuli pada vesika jika corpus alienum sudah menetap selama lebih dari 3 bulan.

Tanda khas dari trauma vesika urinaria adalah gross hematuria, yang terlihat pada 82%-
95% kasus. Klinis yang lainya termasuk tidak bisa miksi, nyeri suprapubik, dan suprapubic
tenderness.Terjadinya ileus, distensi abdomen, asites urin/fistula, peningkatan serum urea dan
kreatinin, menunjukkan adanya ruptur vesika intraperitoneal. Modalitas sistogram digunakan
untuk mendiagnosis rupture vesika. Rupture ekstraperitoneal berkaitan dengan (flame-shaped)
area dari ekstravasasi yang dibatasi dengan jaringan perivesikel, dan disebut teardrop
deformitas yang disebabkan oleh hematoma pelvis yang besar.

Pasien dengan hematuria, isolated fraktur pelvis dan sistogram yang normal biasanya
memiliki hematom pada vesika, yang biasanya juga merupakan self limiting dan hanya
membutuhkan observasi dan drainase kateter. Metode ini juga dilakukan pada rupture
ekstraperitoneal.Pengecualian termasuk pasien dengan bladder neck atau berhubungan dengan
trauma vagina/rectum, pasien dengan open repair dan fiksasi internal pada fraktur pelvis, dan
pasien yang terpasangkateter namun gagal mendrainase secara adekuat.Trauma tajam eksteral
dan trauma tumpul intraperitoneal membutuhkan operasi eksplorasi dan open repair. Rupture
vesika intraperitoneal iatrogenic dapat direpair dengan menggunakan laparoskopi jika
ekspertise tersedia atau dengan alternatif pemasangan drainase kateter yang diobservasi. Pada
pasien yang membutuhkan open repair, jahitan absorbable dibutuhkan untuk mencegah
terjadinya batu vesika setelahnya. Pemeriksaan follow up menggunakan sistogram dilakukan
10 hari kemudian dan biasanya dilakukan sebelum pelepasan kateter.
2.4 Trauma uretra

Gambar 4. Berbagai macam trauma traktus urinarius bawah pria.


Dikutip dari : Primary Surgery Vol.2 Trauma : The lower urinary and genital tract :
The general method for an injury of the lower urinary tract.
Available from: http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0300.html

Ruptur Uretra Posterior


Etiologi
Trauma tumpul merupakan penyebab dari sebagian besar cedera pada uretra pars
posterior. Menurut sejarahnya, banyak cedera semacam ini yang berhubungan dengan
kecelakaan di pabrik atau pertambangan. Akan tetapi, karena perbaikan dalam hal keselamatan
pekerja pabrik telah menggeser penyebab cedera ini dan menyebabkan peningkatan pada
cedera yang berhubungan kecelakaan lalu lintas. Gangguan pada uretra terjadi sekitar 10% dari
fraktur pelvis tetapi hampir semua gangguan pada uretra membranasea yang berhubungan
dengan trauma tumpul terjadi bersamaan fraktur pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau
simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra
pars prostato-membranasea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di dalam
kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di kavum retzius sehingga jika ligamentum
pubo-prostatikum ikut terobek, prostat berada buli-buli akan terangkat ke kranial.
Fraktur pelvis yang menyebabkan gangguan uretra biasanya penyebab sekunder karena
kecelakaan kendaraan bermotor (68%-84%) atau jauh dari ketinggian dan tulang pelvis hancur
(6%-25%). Pejalan kaki lebih beresiko, mengalami cedera uretra karena fraktur pelvis pada
kecelakaan bermotor dari pada pengendara.
Insidensi
Fraktur pelvis merupakan penyebab utama terjadinya ruptur uretra posterior dengan
angka kejadian 20 per 100.000 populasi dan penyebab utama terjadinya fraktur pelvis adalah
kecelakaan bermotor (15,5%), diikuti oleh cedera pejalan kaki (13,8%), jatuh dari ketinggian
lebih dari 15 kaki (13%), kecelakaan pada penumpang mobil (10,2%) dan kecelakaan kerja
(6%). Fraktur pelvis merupakan salah satu tanda bahwa telah terjadi cedera intraabdominal
ataupun cedera urogenitalia yang kira-kira terjadi pada 15-20% pasien. Cedera organ terbanyak
pada fraktur pelvis adalah pada uretra posterior (5,8%-14,6%), diikuti oleh cedera hati (6,1%-
10,2%) dan cedera limpa (5,2%-5,8%).
Di Amerika Serikat angka kejadian fraktur pelvis pada laki-laki yang menyebabkan
cedera uretra bervariasi antara 1-25% dengan nilai rata-rata 10%. Cedera uretra pada wanita
dengan fraktur pelvis sebenarnya jarang terjadi, tetapi beberapa kepustakaan melaporkan
insiden kejadiannya sekitar 4-6%.
Angka kejadian cedera uretra yang dihubungkan dengan fraktur pelvis kebanyakan
ditemukan pada awal dekade keempat, dengan umur rata-rata 33 tahun. Pada anak (<12 tahun)
angka kejadiannya sekitar 8%. Terdapat perbedaan persentasi angka kejadian fraktur pelvis
yang menyebabkan cedera uretra pada anak dan dewasa. Fraktur pelvis pada anak sekitar 56%
kasus yang merupakan resiko tinggi untuk terjadinya cedera uretra.
Trauma uretra lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding wanita, perbedaan ini
disebabkan karena uretra wanita pendek, lebih mobilitas dan mempunyai ligamentum pubis
yang tidak kaku.

Mekanisme Trauma
Cedera uretra terjadi sebagai akibat dari adanya gaya geser pada prostatomembranosa
junction sehingga prostat terlepas dari fiksasi pada diafragma urogenitalia. Dengan adanya
pergeseran prostat, maka uretra pars membranasea teregang dengan cepat dan kuat. Uretra
posterior difiksasi pada dua tempat yaitu fiksasi uretra pars membranasea pada ramus
ischiopubis oleh diafragma urogenitalia dan uretra pars prostatika ke simphisis oleh
ligamentum puboprostatikum.
Gambar 6. Ruptur uretra posterior. Terjadi avulsi prostat dari rupture uretra posterior pars membranosa karena
fraktur pelvis. Ekstravasasi terjadi di atas ligament triangular, periprostat, dan perivesika.
Dikutip dari : Tanagho EA, McAninch JW. Smiths General Urology. 17th edition. New York: McGraw Hill;
2008. p. 291.

Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram, Colapinto dan McCollum (1976) membagi derajat cedera
uretra dalam 3 jenis :
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (perengangan). Foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan uretra hanya tampak
memanjang
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenitalia masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasai kontras yang masih
terbatas di atas diafragma
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut
rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstvasasi kontras meluas hingga di bawah
diafragma sampai ke perineum.

Gambaran Klinis
Pada ruptur uretra posterior terdapat tanda patah tulang pelvis. Pada daerah suprapubik
dan abdomen bagian bawah, dijumpai jejas hematom, dan nyeri tekan. Bila disertai
ruptur kandung kemih, bisa dijumpai tanda rangsangan peritoneum. Pasien biasanya mengeluh
tidak bisa kencing dan sakit pada daerah perut bagian bawah.
Kemungkinan terjadinya cedera uretra posterior harus segera dicurigai pada pasien
yang telah didiagnosis fraktur pelvis. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, beberapa
jenis fraktur pelvis lebih sering berhubungan dengan cedera uretra posterior dan terlihat pada
87% sampai 93% kasus. Akan tetapi, banyaknya darah pada meatus uretra tidak berhubungan
dengan beratnya cedera. Teraba buli-buli yang cembung (distended), urin tidak bisa keluar dari
kandung kemih atau memar pada perineum atau ekimosis perineal merupakan tanda tambahan
yang merujuk pada gangguan uretra. Trias diagnostik dari gangguan uretra
prostatomembranosa adalah fraktur pelvis, darah pada meatus dan urin tidak bisa keluar dari
kandung kemih.
Keluarnya darah dari ostium uretra eksterna merupakan tanda yang paling penting dari
kerusakan uretra. Pada kerusakan uretra tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter,
karena dapat menyebabkan infeksi pada periprostatik dan perivesical dan konversi dari
incomplete laserasi menjadi complete laserasi. Cedera uretra karena pemasangan kateter dapat
menyebabkan obstuksi karena edema dan bekuan darah. Abses periuretral atau sepsis dapat
mengakibatkan demam. Ekstravasasi urin dengan atau tanpa darah dapat meluas jauh
tergantung fascia yang rusak. Pada ekstravasasi ini mudah timbul infiltrat urin yang
mengakibatkan selulitis dan septisemia, bila terjadi infeksi. Adanya darah pada ostium uretra
eksterna mengindikasikan pentingnya uretrografi untuk menegakkan diagnosis.
Pada pemeriksaan rektum bisa didapatkan hematoma pada pelvis dengan pengeseran
prostat ke superior. Bagaimanapun pemeriksaan rektum dapat diinprestasikan salah, karena
hematoma pelvis bisa mirip denagan prostat pada palpasi. Pergeseran prostat ke superior tidak
ditemukan jika ligament puboprostikum tetap utuh. Disrupsi parsial dari uretra membranasea
tidak disertai oleh pergeseran prostat.
Prostat dan buli-buli terpisah dengan uretra pars membranasea dan terdorong ke atas
oleh penyebaran dari hematoma pada pelvis. High riding prostat merupakan tanda klasik yang
biasa ditemukan pada ruptur uretra posterior. Hematoma pada pelvis, ditambah dengan fraktur
pelvis kadang-kadang menghalangi palpasi yang adekuat pada prostat yang ukurannya kecil.
Sebaliknya terkadang apa yang dipikirkan sebagai prostat yang normal mungkin adalah
hematoma pada pelvis. Pemeriksaan rektal lebih penting untuk mengetahui ada tidaknya jejas
pada rektal yang dapat dihubungkan dengan fraktur pelvis. Darah yang ditemukan pada jari
pemeriksa menunjukkan adanya suatu jejas pada lokasi yang diperiksa.
Diagnosis

Tabel 2. Tanda-tanda adanya cedera uretra yang memerlukan evaluasi

Dikutip dari: Pineiro LM, Djakov M, Plas E, et al. EAU guidelines on urethral trauma. European Urology 57
(2010) 79-803. Available from: http://www.europeanurology.com/article/S0302-2838(10)00024-
2/pdf/EAU+Guidelines+on+Urethral+Trauma.

Adanya darah di meatus uretra eksterna mengindikasikan untuk segera melakukan


pemeriksaan uretrografi untuk menegakkan diagnosis. Nyeri tekan suprapubis dan adanya
tanda fraktur pelvis dapat ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Hematom pelvis mungkin
dapat dipalpasi. Mungkin didapatkan kontusi perineum atau suprapubis.

Gambar 12. Pemeriksaan rectal touch untuk ruptur uretra posterior (C). Uretra pada pasien ini
ruptur komplit. railroad segera.
Dikutip dari : Primary Surgery Vol.2 Trauma : The lower urinary and genital tract :
The general method for an injury of the lower urinary tract.
Available from: http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0300.html
Pemeriksaan rectal touch dapat menunjukkan hematom pelvis yang besar dengan
perpindahan prostat ke bagian superior. Pemeriksaan ini mungkin menyesatkan, karena
hematom pelvis yang keras mungkin menyerupai prostat saat dipalpasi. Perpindahan prostat ke
superior tidak terjadi pada pasien yang ligament puboprostatnya masih intak. Disrupsi parsial
uretra pars membranosa (pada 10% kasus) tidak disertai perpindahan tempat prostat.

Gambaran Radiologi
Uretrografi retrograde telah menjadi pilihan pemeriksaan untuk mendiagnosis cedera
uretra karena akurat, sederhana dan cepat dilakukan pada keadaan trauma. Sementara CT Scan
merupakan pemeriksaan yang ideal untuk saluran kemih bagian atas dan cedera vesika urinaria
dan terbatas dalam mendiagnosis cedera uretra. Sementara MRI berguna untuk pemeriksaan
pelvis setelah trauma sebelum dilakukan rekonstuksi, pemeriksaan ini tidak berperan dalam
pemeriksaan cadera uretra. Sama halnya dengan USG uretra yang memiliki keterbatasan dalam
pelvis dan vesika urinaria untuk menempatkan kateter suprapubik.

Penatalaksanaan
Syok dan pendarahan harus diatasi, serta pemberian antibiotik dan obat-obat analgesik.
Pasien dengan kontusio atau laserasi dan masih dapat kencing, tidak perlu menggunakan alat-
alat atau manipulasi tapi jika tidak bisa kencing dan tidak ada ekstravasasi pada
uretrosistogram, pemasangan kateter harus dilakukan dengan lubrikan yang adekuat.
Bila ruptur uretra posterior tidak disertai cedera intraabdomen dan organ lain, cukup
dilakukan sistotomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan
anastomosis ujung ke ujung, dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu.
Jika terjadi displacement prostat setelah trauma dan terasa seperti lumpur pada saat
rectal touche, kemungkinan ada ruptur komplit. Masukkan kateter suprapubis dan rujuk segera.
Ahli bedah akan memperbaikinya. Jika hal ini tidak dapat dijalankan, primary realignment
segera. Jika ragu terjadi ruptur komplit atau tidak karena displacement pada saat rectal touche
sulit dirasakan, tatalaksana secara konservatif.
Jika tidak terjadi displacement prostat, kemungkinan ruptur uretra parsial,
diindikasikan untuk terapi konservatif dan prognosisnya baik. Terapi konservatif yaitu pasien
diposisikan terlentang dengan kateter suprapubis yang dialirkan kontinyu. Gunakan plastik
yang lembut, suprapubic tube, bukan suprapubic Foley catheter.
1. Immediate management
Penanganan awal terdiri dari sistostomi suprapubik untuk drainase urin. Insisi
midline pada abdomen bagian bawah dibuat untuk menghindari pendarahan yang banyak
pada pelvis. Buli-buli dan prostat biasanya elevasi kearah superior oleh pendarahan yang
luas pada periprostatik dan perivesikal. Buli-buli sering distensi oleh akumulasi volume
urin yang banyak selama periode resusitasi dan persiapan operasi. Urin sering bersih dan
bebas dari darah, tetapi mungkin terdapat gross hematuria. Buli-buli harus dibuka pada
garis midline dan diinspeksi untuk laserasi dan jika ada, laserasi harus ditutup dengan
benang yang dapat diabsorpsi dan pemasangan tube sistotomi untuk drainase urin.
Sistotomi suprapubik dipertahankan selama 3 bulan. Pemasangan ini membolehkan
resolusi dari hematoma pada pelvis, dan prostat & buli-buli akan kembali secara perlahan
ke posisi anatominya.
Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2- 3 hari
kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir (railroading).

2. Delayed urethral reconstruction


Rekonstruksi uretra setelah disposisi prostat dapat dikerjakan dalam 3 bulan, diduga
pada saat ini tidak ada abses pelvis atau bukti lain dari infeksi pelvis. Sebelum rekonstuksi,
dilakukan kombinasi sistogram dan uretrogram untuk menentukan panjang sebenarnya dari
striktur uretra. Panjang striktur biasanya 1-2 cm dan lokasinya dibelakang dari tulang pubis.
Metode yang dipilih adalah single-stage reconstruction pada ruptur uretra dengan eksisi
langsung pada daerah striktur dan anastomosis uretra pars bulbosa ke apeks prostat lalu
dipasang kateter uretra ukuran 16 F melalui sistotomi suprapubik. Kira-kira 1 bulan setelah
rekonstuksi, kateter uretra dapat dilepas. Sebelumnya dilakukan sistogram, jika sistogram
memperlihatkan uretra utuh dan tidak ada ekstravasasi, kateter suprapubik dapat dilepas.
Jika masih ada ekstravasasi atau striktur, kateter suprapubik harus dipertahankan.
Uretrogram dilakukan kembali dalam 2 bulan untuk melihat perkembangan striktur.
Gambar 14. Algoritma manajemen ruptur uretra posterior pada pria.
Dikutip dari : Pineiro LM, Djakov M, Plas E, et al. EAU guidelines on urethral trauma. European Urology 57
(2010) 79-803. Available from: http://www.europeanurology.com/article/S0302-2838(10)00024-
2/pdf/EAU+Guidelines+on+Urethral+Trauma.

3. Immediate urethral realignment


Beberapa ahli bedah lebih suka untuk langsung memperbaiki uretra. Perdarahan dan
hematoma sekitar ruptur merupakan masalah teknis. Timbulnya striktur, impotensi, dan
inkotinensia lebih tinggi dari immediate cystotomy dan delayed reconstruction. Walaupun
demikian beberapa penulis melaporkan keberhasilan dengan immediate urethral
realignment.

Komplikasi
Striktur, impotensi, dan inkotinensia urin merupakan komplikasi rupture
prostatomembranosa paling berat yang disebabkan trauma pada sistem urinaria. Striktur yang
mengikuti perbaikan primer dan anastomosis terjadi sekitar 50% dari kasus. Jika dilakukan
sistotomi suprapubik, dengan pendekatan delayed repair maka insidens striktur dapat
dikurangi sampai sekitar 5%. Insidens impotensi setelah primary repair, sekitar 30-80%
(rata-rata sekitar 50%). Hal ini dapat dikurangi hingga 30-35% dengan drainase suprapubik
pada rekontruksi uretra tertunda. Jumlah pasien yang mengalami inkotinensia urin <2 %
biasanya bersamaan dengan fraktur tulang sakrum yang berat dan cedera nervus S2-4.
DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo, BB. Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2008. hal. 93-9.
2. McAninch JW Injuries to The Genitourinary Tract. In Tanagho EA, McAninch JW. Smiths
General Urology. 17th edition. New York: McGraw Hill; 2008. p. 278-93.
3. Martini FH. Fundamentals Anatomy and Physiology. 7th Ed. New York: Benjamin
Cummings Pearsons; 2006 . p.
4. Primary Surgery Vol.2 Trauma : The lower urinary and genital tract : The general method
for an injury of the lower urinary tract. Available from: http://www.primary-
surgery.org/ps/vol2/html/sect0300.htm.
5. Wein, Kavouss, Novick, et al. Campbell Walsh Urology Vol 1. 19th edition. New York:
Saunders Elsevier; 2007.
6. Albanese CT, Anderson JT. Barbaro NM, et al. Current Surgical Diagnosis and Treatment.
12th ed. USA: McGraw Hill Comp; 2006.
7. Pineiro LM, Djakov M, Plas E, et al. EAU guidelines on urethral trauma. European Urology
57 (2010) 79-803. Available from: http://www.europeanurology.com/article/S0302-
2838(10)00024-2/pdf/EAU+Guidelines+on+Urethral+Trauma.
8. Kirk RM, Ribbans. Clinical Surgery in General. 4th edition. London: Churchil Livingstone;
2004. P 26.

Anda mungkin juga menyukai