Tangga
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Pihak ketiga selama ini dianggap faktor utama yang memicu pertikaian dalam rumah tangga.
Namun jika kita telisik lebih dalam, sejatinya segala ketakserasian yang terjadi lebih disebabkan
akhlak dan perilaku suami atau istri sendiri. Sikap-sikap yang jauh dari tuntunan agama yang
dipraktikkan, alhasil, memupuk setiap perselisihan antara suami dan istri yang kemudian
menumbuhkan konflik yang bisa berbuah perceraian.
Ayat ini memuat pujian Allah Subhanahu wa Taala kepada Rasul-Nya yang pilihan,
Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Kenyataannya memang tak ada manusia yang lebih
sempurna akhlaknya daripada beliau Shallallahu alaihi wa sallam, sebagai suatu anugerah dari
Allah Subhanahu wa Taala yang telah memberi taufik kepada beliau. Tidak ada satu pun
kebagusan dan kemuliaan melainkan didapatkan pada diri beliau dalam bentuk yang paling
sempurna dan paling utama. Hal ini pun diakui oleh para sahabatnya yang menyertai hari-hari
beliau, sebagaimana dinyatakan Anas bin Malik radhiyallahu anhu:
Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam manusia yang paling bagus akhlaknya. (HR. Al-
Bukhari no. 6203 dan Muslim no. 5971)
Bagaimana Anas tidak memberikan sanjungan yang demikian, sementara ia telah berkhidmat
pada beliau Shallallahu alaihi wa sallam sejak usia sepuluh tahun dan terus menyertai beliau
selama 9 tahun.1 Tak pernah sekalipun ia mendapat hardikan dan kata-kata kasar dari Nabi yang
mulia ini.
:
:
Aku berkhidmat (melayani keperluan) beliau Shallallahu alaihi wa sallam ketika safar maupun
tidak. Demi Allah, terhadap suatu pekerjaan yang terlanjur aku lakukan, tak pernah beliau
berkata, Kenapa engkau lakukan hal tersebut demikian? Sebaliknya, bila ada suatu pekerjaan
yang belum aku lakukan, tak pernah beliau berkata, Mengapa engkau tidak lakukan demikian?.
(HR. Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5968)
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu: Dalam hadits ini ada keterangan tentang sempurnanya
akhlak Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, bagus pergaulannya, kesabarannya yang luar biasa,
kemurahan hati, dan pemaafannya. (Al-Minhaj, 15/71)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, ketika ditanya oleh Sad bin Hisyam bin Amir
tentang akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, ia menjawab:
{
} :
Akhlak beliau adalah Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah Subhanahu wa Taala,
Sungguh engkau (wahai Muhammad) berbudi pekerti (memiliki akhlak) yang agung? (HR.
Ahmad, 6/88)
Gambarannya, apa saja yang diperintahkan Al-Qur`an, beliau lakukan. Dan apa saja yang
dilarang Al-Qur`an, beliau tinggalkan. Selain memang AllahSubhanahu wa Taala telah
menciptakan beliau dengan tabiat dan akhlak yang mulia seperti rasa malu, dermawan, berani,
penuh pemaafan, sangat sabar, dan lain sebagainya dari perangai-perangai yang baik. (Bahjatun
Nazhirin, 1/670)
Kebagusan akhlak ini, tampak dari diri beliau ketika bergaul dengan istrinya, sanak familinya,
sahabatnya, masyarakatnya, bahkan dengan musuhnya. Tak heran masyarakat Quraisy yang
paganis ketika itu memberi gelar pada beliau Al-Amin, orang yang terpercaya, jujur, tak pernah
dusta lagi amanah, sebagai bentuk pengakuan terhadap salah satu pekerti beliau yang mulia.
Beliau ikut turun tangan meringankan pekerjaan yang ada seperti kata istri beliau,
Aisyah radhiyallahu anha:
Beliau manusia sebagaimana manusia yang lain. Beliau membersihkan pakaiannya, memerah
susu kambingnya, dan melayani dirinya sendiri. (HR. Ahmad, 6/256. Lihat Ash-Shahihah no.
671)
Sifat penuh pengertian, kelembutan, kesabaran, dan mau memaklumi keadaan istri amat lekat
pada diri Rasul. Aisyah radhiyallahu anha berbagi cerita tentang kasih sayang dan pengertian
beliau Shallallahu alaihi wa sallam:
.
:
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua budak
perempuan yang sedang berdendang dengan dendangan Buats2. Beliau berbaring di atas
pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku
dengan berkata, Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam?
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata, Biarkan
keduanya.3 Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada keduanya agar
menyudahi dendangannya dan keluar. Keduanya pun keluar. (HR. Al-Bukhari no. 949
dan Muslim no. 2062)
:
:
.
: : :
.
:
Biasanya pada hari raya, orang-orang Habasyah bermain perisai dan tombak (berlatih perang-
perangan). Aku yang meminta kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam (agar diperkenankan
menonton permainan tersebut) dan beliau sendiri menawarkan dengan berkata, Apakah engkau
ingin melihat permainan mereka? Iya, jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakangnya,
pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: Teruskan wahai Bani Arfidah4. Hingga ketika
aku telah jenuh, beliau bertanya, Cukupkah? Iya, jawabku. Kalau begitu pergilah, kata beliau.
(HR. Al-Bukhari no. 950 dan Muslim no. 2062)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: Dalam hadits ini ada keterangan tentang sifat yang
dimiliki Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berupa penyayang, penuh kasih, berakhlak yang
bagus, dan bergaul dengan baik terhadap keluarga, istri, dan selain mereka. (Al-Minhaj, 6/424)
Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu anha berkisah bahwa suatu malam ia pernah
mengunjungi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam saat sedang itikaf di masjid pada sepuluh
hari yang akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama beliau beberapa waktu.
Setelahnya, ia pamitan untuk kembali ke rumahnya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun
bangkit untuk mengantarkan istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah
Ummu Salamah, lewat dua orang dari kalangan Anshar, keduanya mengucapkan salam lalu
berlalu dengan segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa
sallam menegur keduanya, Pelan-pelanlah kalian dalam berjalan, tak usah terburu-buru seperti
itu, karena tak ada yang perlu kalian khawatirkan. Wanita yang bersamaku ini Shafiyyah bintu
Huyai, istriku. Keduanya menjawab, Subhanallah, wahai Rasulullah, tidaklah kami berprasangka
jelek padamu. Beliau menanggapi, Sesungguhnya setan berjalan pada diri anak Adam seperti
beredarnya darah, dan aku khawatir ia melemparkan suatu prasangka di hati kalian. (HR. Al-
Bukhari no. 2035 dan Muslim no. 5643)
Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada keluarganya maka hal ini
tidak hanya berlaku kepada para suami, sehingga para istri merasa suami sajalah yang tertuntut
untuk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tidak dapat dipahami seperti itu. Karena
akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di
atas kebaikan. Memang suamilah yang paling utama harus menunjukkan budi pekerti yang baik
dalam rumah tangganya karena dia sebagai qawwam, sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut
untuk mendidik anak istrinya di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka
sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Taala:
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)
Seorang istri pun harus memerhatikan perilakunya kepada sang suami, sebagai pemimpin
hidupnya. Tak pantas ia menyuguhi suaminya ucapan yang kasar, sikap membangkang,
membantah dan mengumpat. Tak semestinya ia tinggi hati terhadap suaminya, dari mana pun
keturunannya, seberapa pun kekayaannya dan setinggi apa pun kedudukannya. Tak boleh pula ia
melecehkan keluarga suaminya, menyakiti orang tua suami, menekan suami agar tidak
memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataannya, banyak kita dapati istri yang berani kepada suaminya. Tak segan saling berbantah
dengan suami, bahkan adu fisik. Ia tak merasa berdosa ketika membangkang pada perintah
suami dan tidak menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia
abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suaminya agar tidak
memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat, ia mencela, ia menyakiti Istri yang seperti ini
gambarannya jelas bukan istri yang berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yang dinyatakan
dalam hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:
Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri
shalihah. (HR. Muslim no. 1467)
Dan bukan istri yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada Umar ibnul
Khaththab radhiyallahu anhuma:
Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan (harta yang disimpan)
seorang lelaki, yaitu istri shalihah, yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila
diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.
(HR. Abu Dawud. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu menshahihkannya di atas syarat Muslim
dalam Al-Jamiush Shahih, 3/57)
Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memandang
perlu memberi kabar gembira kepada para sahabatnya tentang perbendaharaan harta mereka
yang terbaik, di mana harta ini lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah, yang cantik
lahir batin. Karena istri yang seperti ini akan selalu menyertai suaminya. Bila dipandang
suaminya, ia akan menyenangkannya. Ia tunaikan kebutuhan suaminya bila suami
membutuhkannya. Ia dapat diajak bermusyawarah dalam perkara suaminya dan ia akan menjaga
rahasia suaminya. Bantuannya kepada suami selalu diberikan, ia menaati perintah suami. Bila
suami sedang bepergian meninggalkan rumah, ia akan menjaga dirinya, harta suaminya, dan
anak-anaknya. (Aunul Mabud, 5/57)
Oleh karena itu, wahai para istri, perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah,
akhlak yang baik itu berat dalam timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan
pemiliknya ke dalam surga, sebagaimana dikabarkan dalam hadits berikut ini. Abud
Darda` radhiyallahu anhumengabarkan bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah
bersabda:
Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat
daripada budi pekerti yang baik. Dan sungguh Allah membenci orang yang suka berkata keji,
berucap kotor/jelek. (HR. At-Tirmidzi no. 2002, dishahihkan Asy-Syaikh Al-
Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 876)
:
Rasulullah ditanya tentang perkara apa yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga.
Beliau menjawab, Takwa kepada Allah dan budi pekerti yang baik. Ketika ditanya tentang
perkara yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, beliau jawab, Mulut dan
kemaluan. (HR. Al-Bukharidalam Al-Adabul Mufrad no. 289, At-Tirmidzi no. 2004,
dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad)
Bagi para suami hendaknya pula memerhatikan pergaulan dengan istrinya karena Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-
Shahihah no. 284)
Wallahu taala alam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Kata Anas radhiyallahu anhu:
.
Aku berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam selama sembilan tahun. (HR.
Al-Bukhari no. 2768 dan Muslim no. 5969)
2 Buats adalah hari yang masyhur di antara hari-hari yang berlangsung dalam sejarah orang
Arab. Pada hari tersebut terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj. Peperangan antara
keduanya terus berlangsung selama 120 tahun, sampai datang Islam. Syair yang didendangkan
dua anak perempuan tersebut berbicara tentang peperangan dan keberanian. Sementara
keberanian diperlukan untuk membantu agama ini. Adapun nyanyian yang menyebutkan
perbuatan keji, perbuatan haram dan ucapan yang mungkar maka terlarang dalam syariat ini.
Dan tidak mungkin nyanyian seperti itu didendangkan di hadapan Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam lalu beliau diam tidak mengingkarinya. (Syarhus Sunnah, Al-Baghawi, 4/322)
3 Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan istrinya mendengarkan dendangan
tersebut karena hari itu bertepatan dengan hari raya (Id). Sementara pada hari raya
diperkenankan bagi kaum muslimin untuk menampakkan kegembiraan, bahkan hal ini termasuk
syiar agama, selama dalam koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil untuk
menyatakan bolehnya bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dengan alat ataupun tanpa
alat, sebagaimana anggapan kelompok Sufi. (Lihat penjelasannya dalam Fathul Bari, 2/570-571)
4 Sebutan untuk orang-orang Habasyah
5 Tempat untuk bersenang-senang. (Syarah Sunan An-Nasa`i, Al-Imam As-Sindi, 6/69)
6 Karena keindahan dan kecantikannya secara lahir, karena kebagusan akhlaknya secara batin,
atau karena dia senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada
Allah Subhanahu wa Taala. (Taliq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun
Nikah, bab Afdhalun Nisa`, 1/596,Aunul Mabud 5/56)
7 Dengan perkara syari atau perkara biasa. (Aunul Mabud, 5/56)
8 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (Aunul Mabud, 5/56)
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=474
Secara terminologi, akhlak adalah pola perilaku yang berdasarkan kepada dan
memanifestasikan nilai-nilai Iman, Islam dan Ihsan. Menurut Imam Ghazali, akhlak yaitu
suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang menampilkan perbuatan dengan senang
tanpa memerlukan penelitian dan pemikiran.
Sedangkan karimah berarti mulia, terpuji, baik. Apabila perbuatan yang keluar atau yang
dilakukan itu baik dan terpuji menurut syariat dan akal maka perbuatan itu dinamakan
akhlak yang mulia atau akhlakul karimah.
Tujuan Perkawinan
e. Pada hakikatnya, hidup adalah untuk beribadah kepada Allah swt semata
sebagaimana firman Allah swt yang artinya: dan aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. QS. Adz
Dzariyaat:56
a. Memberi nafkah zahir dan batin, Suami hendaknya menyadari bahwa istri
adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-Taubah: 24)
b. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan
Rasul- Nya. (At-Taghabun: 14)
m. Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami
wajib mendidiknya dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara
paksa. (AIGhazali)
Jadilah kau raja di rumahmu. Cintailah isterimu dengan tulus dan jadikanlah ia
sebagai ratumu. Buat ia bangga menjadi permaisuri di kerajaanmu dengan
berlandaskan cinta kasih dan ketaatan kepada Allah SWT. Berikanlah dirinya
makanan yang cukup dan persembahkan untuknya beragam jenis pakaian.
Belikan untuknya minyak wangi karena wanita menyukai minyak wangi. Buatlah
dirinya bahagia selama kau hidup dan berilah nafkah yang baik dan halal untuk
isteri dan anak anakmu.
Sesungguhnya seorang istri laksana cermin bagi suaminya dan menjadi bukti
akan apa yang diusahakannya dalam mencapai kebahagiaan ataupun
kesengsaraan. Engkau adalah laksana pakaian baginya yang mampu
menampakkan kecantikan diri dan pribadinya serta menutupi setiap
kekurangannya. Jangan terlalu keras dalam rumah tanggamu karena isteri
diciptakan dari tulang rusukmu, bagian dari dirimu. Tulang rusuk berada di
tempat yang terlindung sehingga isterimu pun ada untuk kau lindungi.
Sebagaimana tulang rusuk yang bengkok, berwasiatlah yang baik terhadap
isterimu karena jika engkau keras dalam meluruskan maka ia akan patah dan
jika engkau biarkan maka selamanya ia akan bengkok.
a. Berbakti kepada suami baik dikala suka maupun duka, diwaktu kaya maupun miskin
b. Patuh dan taat pada suami, menghormatinya dalam batas-batas tertentu sesuai dengan
ajaran Islam
c. Selalu menyenangkan hati dan perasaan suami, serta dapat menentramkan pikirannya
d. Menghargai usaha atau jerih payah suami dan bahkan membantu suami dalam
menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya
f. Isteri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
h. Isteri menyerahkan dirinya, mentaati suami, tidak keluar rumah, kecuali dengan
ijinnya, tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami, menggauli suami
dengan baik, dan bersifat jujur (Al-Ghazali).
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia ini tidak lain adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. Akhlak sangat berkaitan dengan adab.
Untuk itulah beliau mengajarkan kita adab sejak bangun tidur hingga tidur.
Semua ada tuntunannya. Termasuk adab anak kepada orang tuanya,
murid kepada gurunya, pendidik kepada peserta didik.
Keberhasilan anak bukan karena guru, tapi dengan orang tuanya. Anak
berprestasi bukan karena gurunya, tapi karena orang tuanya sudah mencetak
generasi yang seperti itu. Sebaik-baik orang tua adalah orang tua yang mampu
membuat anaknya menjadi generasi rabbani, yang memiliki akhlak dan adab
seperti Rasulullah SAW. Semoga dengan informasi tentang cara mengajarkan
akhlak yang baik kepada anak ini, kita bisa menjadikan anak menjadi generasi
rabbani dan beradab. Orang tua harus lebih memperhatikan, membimbing, dan
mendidik anak dengan baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka
meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan)-nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah,
dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (QS. An-Nisa:9)
Oleh karena itu, para orang tua hendaklah bertakwa kepada Allah,
berlaku lemah lembut kepada anak, karena sangat membantu dalam
menanamkan kecerdasan spiritual pada anak. Keadaan anak ditentukan oleh
cara-cara orang tua mendidik dan membesarkannya.
Ada beberapa langkah yang dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam
peranannya mendidik anak, antara lain:
Orang tua adalah perantara perwujudan kita. Kalaulah mereka itu tidak
ada, kitapun tidak akan pernah ada. Kita tahu bahwa perwujudan itu disertai
dengan kebaikan dan kenikmatan yang tak terhingga banyaknya., berbagai
rizki yang kita peroleh dan kedudukan yang kita raih. Orang tua sering kali
mengerahkan segenap jerih paya mereka untuk menghindarkan bahaya dari
diri kita. Mereka bersedia kurang tidur agar kita bisa beristirahat. Mereka
memberikan kesenangan-kesenangan kepada kita yang tidak bisa kita raih
sendiri. Mereka memikul berbagai penderitaan dan mesti berkorban dalam
bentuk yang sulit kita bayangkan.
Menghardik kedua orang tua dan berbuat buruk kepada mereka tidak
mungkin terjadi kecuali dari jiwa yang bengis dan kotor, berkurang dosa, dan
tidak bisa diharap menjadi baik. Sebab, seandainya seseorang tahu bahwa
kebaikan dan petunjuk Allah SWT mempunyai peranan yang sangat
besar, berbuat baik kepada orang adalah kewajiban dan semestinya mereka
diperlakukan dengan baik, bersikap mulia terhadap orang yang telah
membimbing, berterima kasih kepada orang yang telah memberikan
kenikmatan sebelum dia sendiri bisa mendapatkannya, dan yang telah
melimpahinya dengan berbagai kebaikan yang tak mungkin bisa di balas.
Orang tua adalah orang-orang yang bersedia berkorban demi anaknya, tanpa
memperdulikan apa balasan yang akan diterimanya.
Kalau ibu merawat jasmani dan rohaninya sejak kecil secara langsung,
maka bapak pun merawatnya, mencari nafkahnya, membesarkannya,
mendidiknya dan menyekolahkannya, disanping usaha ibu. Kalau mulai
mengandung sampai masa muhariq (masa dapat membedakan mana yang baik
dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah mulai memasuki masa
belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan
mempertumbuhkannya menjadi dewasa, namun apabila dibandingkan antara
berat tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa dan
sebagaimana perasaan ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara
perbandingan, tidaklah keliru apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada
tugas ayah. Coba bandingkan, banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh
seorang ayah terhadap anaknya, yang hanya seorang ibu saja yang dapat
mengatasinya tetapi sebaliknya banyak tugas ayah yang bisa dikerjakan oleh
seorang ibu. Barangkali karena demikian inilah maka penghargaan kepada
ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak dimuliakan, melainkan
hendaknya mendahulukan ibu daripada mendahulukan ayahnya dalam cara
memuliakan orang tua.
Seorang anak menurut ajaran Islam diwajibkan berbuat baik kepada ibu
dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan sampai si anak
menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tua berbuat
lalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka jangan
sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas, mengimbangi
ketidakbaikan orang tua kepada anaknya, Allah SWT tidak meridhainya
sehingga orang tua itu meridhainya. Allah berfirman Firman Surat Al-Luqman :
14
Segala sikap orang tua terutama ibu memberikan refleksi yang kuat
terhadap sikap si anak. Dalam hal berkata pun demikian. Apabila si ibu sering
menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si anak pun akan berkata
halus. Kalau si ibu atau ayah sering mempergunakan kata-kata yang kasar, si
anakpun akan mempergunakan kata-kata kasar, sesuai yang digunakan oleh
ibu dan ayahnya. Sebab si anak mempunyai insting menir yang lebih mudah
ditiru adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua, terutama
ibunya. Agar anak berlaku lemah lembut dan sopan kepada orang tuanya,
harus dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana
sianak berbuat, bersikap, dan berbicara. Kewajiban anak kepada orang tuanya
menurut ajaran Islam harus berbicara sopan, lemah-lembut dan
mempergunakan kata-kata mulia.
Artinya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah
seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Perkataan yang mulia.
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil".
:Kami pernah berada pada suatu majelis bersama Nabi, seorang bertanya kepada
Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya
meninggal dunia yang aku untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku.
Rasulullah SAW bersabda: Ya, ada empat hal :mendoakan dan memintakan ampun
untuk keduanya, menempati / melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-
teman kedua orang tua, dan bersilaturrahim yang engkau tiada mendapatkan kasih
sayang kecuali karena kedua orang tua.
Hadist ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu dan
ayah kita, apabila beliau-beliau itu sudah tiada yaitu:
1) Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada Alloh SWT dari
segala dosa orang tua kita.
2) Menepati janji kedua ibu bapak. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai
janji kepada seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati
janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik haj, yang belum sampai
melaksanakannya, maka kewajiban anaknya menunaikan haji orang tua
tersebut.
3) Memuliakan teman-teman kedua orang tua. Diwaktu hidupnya ibu atau ayah
mempunyai teman akrab, ibu atau ayah saling tolong-menolong dengan
temannya dalam bermasyarakat. Maka untuk berbuat kebajikan kepada kedua
orang tua kita yang telah tiada, selain tersebut di atas, kita harus memuliakan
teman ayah dan ibu semasa ia masih hidup.
Akhlak anak terhadap kedua orang tua menurut al-Ghazali masih relevan
bagi pemuda Islam pada masa sekarang, karena berdasarkan atas al-Qur'an
dan Hadits. Akan tetapi anak yang diterlantarkan orang tua sejak kecil,
membuat mereka tidak dapat menghayati tanggung jawab orang tua
terhadapnya, tanggung jawab anak terhadap orang tua terhadap anak dan
akan menyebabkan mereka tidak berbuat baik kepada orang tua. Sayangilah,
cintailah, hormatilah, patuhlah kepadanya rendahkan dirimu, sopanlah
kepadanya. Oleh karena itu orang tua dan anak harus sama-sama
memperhatikan tanggung jawab dan haknya masing-masing, antara hak-hak
orang tua terhadap anak dan sebaliknya, supaya akhlak atau etika anak
terhadap kedua orang tua berjalan dengan baik dan sesuai dengan ajaran
agama.
Dalam ayat ini ada kalimat Litaskun, supaya kalian memperoleh atau
merasakan sakinah. Jadi sakinah itu ada pada diri dan pribadi perempuan. Laki-
laki harus mencarinya di dalam diri dan pribadi perempuan. Tapi perlu diingat
laki-laki harus menjaga sumber sakinah, tidak mengotori dan menodainya.
Agar sumber sakinah itu tetap terjaga, jernih dan suci, dan mengalir tidak
hanya pada kaum bapak tetapi juga anak-anak sebagai anggota rumah tangga,
dan gerasi penerus.
Dalam bahasa Arab Sakinah sendiri memiliki arti tenang, aman, damai,
serta penuh kasih sayang. Pastinya konteks Keluarga Sakinah ini adalah
idaman bagi setiap Muslim. Mawaddah sendiri berarti Cinta, kasih sayang
yang tulus kepada pasangan dan keluarganya. Dengan sifat ini diharapkan
keluarga Muslim dapat bertahan sekalipun harus mendapatkan cobaan dalam
dinamika rumah tangganya. Wa Rahmah terdiri dari dua kata, yaitu Wa
yang berarti dan, dan Rahmah yang berarti Rahmat, karunia, berkah, dan
anugerah. Tentunya hal ini diharapkan agar keluarga senantiasa berada di
jalan yang benar dan mendapatkan segala Rahmat disisi Allah SWT.
a. Selesaikan kejengkelan- kekesalan, dalam interaksi suami isteri baik masa lalu
maupun saat sekarang
b. Hubungan romantis suami isteri sangat prioritas dalam kehidupan (sediakan waktu
untuk berdua-duaan) saling bercerita, ungkapkan perasaan menyenangkan/kemesraan
ketika baru menikah
n Warmth, joy and humor (Kehangatan, kegembiraan dan humor), adanya saling
percaya dan keceriaan diantara keluarga
n Organization and negotiating Skill, ( Ketrampilan organisasi dan
negosiasi), kemampuan untuk melakukan negosiasi, kepala keluarga
sebagai pimpinan organisasi, bukan sebagai komandan yang hanya bisa
memerintah, membina komunikasi yang baik
n Warmth, joy and humor (Kehangatan, kegembiraan dan humor), adanya saling
percaya dan keceriaan diantara keluarga
l Memperbanyak doa,
Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari
rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an
dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah
subhanahu wataala) kepada mereka as sakinah
(ketenangan). (Muttafaqun alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu
Hurairah radhiallahu anhu)
1) Jangan Melihat ke Belakang ; Setiap orang pasti memiliki masa lalu baik yang
bagus maupun yang kelam. Termasuk pasangan. Di masa lalu pun mungkin
ada sepenggal kisah tak mengenakkan yang pernah mewarnai rumah
tangga. Jika tak ingin terseret dalam arus negatif, lupakan hal-hal buruk yang
pernah terjadi. Sambutlah masa depan dengan senyuman. Setiap orang pernah
melakukan kesalahan dan berhak untuk menjadi lebih baik. Termasuk, jangan
mengingat-ingat lagi mantan orang yang dicintai saat belum menikah dulu.
Tidak ada gunanya dan hanya menghalangi kebahagiaan untuk hadir dalam
kehidupan Bunda dan Sista.
2) Selalu Berpikir Objektif ; Saat kalut menghadapi suatu hal, kadang kala
pikiran jadi ruwet dan segalanya tampak suram. Ini terjadi jika Bunda dan Sista
ikut terpancing secara emosional. Padahal, masalah apapun itu, termasuk
konflik dengan suami maupun anak-anak, membutuhkan pikiran yang jernih
untuk menyelesaikannya.
Apalagi jika muncul pihak ketiga yang berusaha memprovokasi. Beri jeda
waktu agar pikiran menjadi dingin dan lepas dari segala beban emosional.
Setelah merasa tenang, barulah mencari solusi diawali dengan saling
mendengarkan antara kedua pihak.
5) Kebutuhan Seks ; Perkawinan tanpa seks bisa dibilang seperti sayur tanpa
garam. Hambar. Ya, seks memang perlu. Dan meski aktivitas seks sebetulnya
bertujuan untuk memperoleh keturunan, namun manusia perlu juga
mengembangkan seks untuk mencapai kebahagiaan bersama pasangan
hidupnya. Prinsip hubungan seks yang baik adalah adanya keterbukaan dan
kejujuran dalam mengungkapkan kebutuhan Anda masing-masing. Intinya,
kegiatan seks adalah untuk saling memuaskan, namun perlu dihindari adanya
kesan mengeksploitasi pasangan. Kegiatan seks yang menyenangkan akan
memberikan dampak positif bagi Bunda/Sista dan suami.
6). Hindari Pihak Ketiga; Setelah ijab qabul terucap dan sah menjadi pasangan
suami-istri, dalam tatanan masyarakat Bunda/Sista telah diperhitungkan
sebagai seorang ratu rumah tangga dari keluarga yang dipimpin oleh suami.
Saat ada urusan bermasyarakat, tak lagi dianggap sebagai bagian dari
keluarga lama tapi telah menjadi kelompok tersendiri. Maka ketika timbul
permasalahan, selesaikanlah berdua saja. Tentunya suami-istri lebih banyak
mengetahui keadaan dan arah rumah tangga ke depan. Tak perlulah
melibatkan orang lain. Banyak cerita tentang membesarnya konflik justru
setelah pihak ketiga terlibat maupun sengaja dilibatkan, entah itu mertua,
saudara ipar, tetangga, dan sebagainya.
Kalau pun ingin mendapat nasehat atau memiliki sudut pandang yang
berbeda, maka mintalah pada seseorang yang sudah teruji pengalaman
hidupnya, yang telah diketahui baik akhlaknya dan yang kemungkinan tidak
akan melibatkan emosi pribadi dalam memberikan nasehat.
9) Jaga Spiritualitas Rumah Tangga ; Salah satu pijakan yang paling utama
seseorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat
Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu
melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan. Ketika masalah
nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang
pemilik masalah, Allah SWT. Sertakan rasa baik sangka kepada Allah SWT. Dan
ambil hikmahnya dari setiap masalah. Membangun keluarga
yang Sakinah merupakan sebuah awalan yang baik untuk menciptakan kondisi
masyarakat yang ideal.
c. Melihat latar belakang keluarga dan nasab dari pasangan yang dipilih.
Diutamakan yang memiliki nasab terjaga(baik) dan terhormat.
d. Niatkan dari awal untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi segala
hubungan yang dilarang-Nya.
Pada dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya dalam hal ini Islam,
sangat menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan dan bahkan
menghormati terhadap perempuan, bahkan prinsip yang utama adalah
menciptakan rasa aman dan tentram dalam keluarga, sehingga tercipta rasa
saling asih, saling cinta, saling melindungi dan saling menyangi.
Al Quran menggaris bawahi bahwa suami maupun isteri adalah pakaian
untuk pasangannya, hal ini di sebutkan Allah dalam Firmannya surah Al
Bzaqarah ayat 187 Mereka (isteri-isterikamu) adalah pakaian bagi kamu (wahai para
suami) dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.
DAFTAR RUJUKAN
1. Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, Jakarta: Rineka Cipta, 2000
3. Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta ; Kalam Mulia, 2001
4. A. Syifaul Qulub, Pendidikan Agama Islam untuk Pendidikan Perguruan Tinggi, Jakarta,
Laros, 2010
6. Majelis Tabligh, Gender dalam Islam, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah ; 2010