Anda di halaman 1dari 46

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Shalat

Shalat merupakan kewajiban yang dilakukan umat muslim setiap hari minimal

lima waktu sehari sebagai wujud rasa syukur dan keimanan kita kepada Allah SWT. Saat

melaksanakan shalat, seluruh aspek kesehatan (lahir, mental dan pikir) bersinergi secara

harmonis. Motivasi menegakkan shalat bersumber pada kesadaran diri (aspek mental,

spritual dan pikir) untuk menghamba kepada Allah SWT sebagai Sang Khalik. Kemudian

dilanjutkan dengan rukun atau tata gerakan shalat itu sendiri (Wratsangko, 2006).

1. Definisi Shalat

Menurut Rahman (2002) shalat berarti doa, ibadah, memohon dengan khusyuk

kepada Tuhan; meminta rahmat Tuhan. Hasan (2000) menjelaskan bahwa shalat menurut

bahasa (etimologi) adalah doa, sedangkan shalat menurut istilah (terminologi) adalah

semua ucapan dan perbuatan yang bersifat khusus yang dimulai dengan takbir dan

disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa syarat yang ditentukan. Wratsangko

(2006) menjelaskan bahwa shalat berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental

(spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik, perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang

harmonis.

Dari penjelasan diatas shalat adalah semua ucapan dan perbuatan yang bersifat

khusus yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, dan memenuhi beberapa

syarat yang ditentukan.

Universitas Sumatera Utara


13

2. Shalat lima waktu (Shalat Fardhu)

Hasan (2000) mengatakan bahwa shalat Fardhu ain artinya setiap muslim yang

sudah baligh dan berakal dituntut menunaikannya, seperti shalat wajib lima waktu sehari

semalam. Menurut Sabiq (1990) shalat lima waktu (dalam Karim, 1999) yaitu Shalat

Subuh, Zhuhur, Ashar, Magrib, Isya.

Wijayakusuma (1996) menguraikan shalat lima waktu berdasarkan sabda dan

praktek Rasulullah SAW sebagai berikut:

1. Shalat Subuh.Waktunya mulai terbit fajar sampai terbit matahari, dan dikerjakan

sebanyak dua rakaat.

2. Shalat Zhuhur.Waktunya setelah matahari turun dari pertengahan langit sampai

matahari dalam pertengahan jalan atau matahari mulai tergelincir ke barat sampai

bayang-bayang sesuai panjang bendanya, dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.

3. Shalat Ashar.Waktunya mulai bayang-bayang sesuatu sepanjangnya sampai

terbenam matahari dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.

4. Shalat Maghrib.Waktunya mulai matahari terbenam sampai setelah warna merah

(syafaq) di langit hilang, dan dikerjakan sebanyak tiga rakaat.

5. Shalat Isya.Waktunya semenjak hilangnya pantulan sinar matahari (syafaq)

sampai terbit fajar dan dikerjakan sebanyak empat rakaat.

3. Hikmah Shalat

Rafiudin & Zainudin (2004) menguraikan ada beberapa rahasia dan hikmah yang

dikandung ibadah shalat, antara lain:

Universitas Sumatera Utara


14

1. Mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Shalat merupakan sarana dialog antara manusia dengan Tuhannya, sehingga

manusia akan merasa dekat dengan Tuhannya yang terlihat dari aspek-aspek shalat, baik

hati, ucapan maupun gerakan .

2. Mencegah dari sifat keji dan munkar.

Hal ini akan tampak dari cerminan akhlak atau perilaku sehari-hari, disamping

terhindar dari perbuatan keji, dosa dan kemunkaran dengan memelihara shalat, tentulah

hatinya juga suci dan bersih jiwanya. Kesucian hati dan jiwa akan membawa

keberuntungan dan kebahagian bagi orang tersebut di dunia dan kebahagian kekal di

akhirat.

Al Ghazali (dalam Rafiudin & Zainuddin, 2004) memberikan penjelasan tentang

makna batin yang dapat mengantarkan kepada kesempurnaan, sehingga diharapkan shalat

berfungsi sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar, penangkal dari segala

konflik kejiwaan sekaligus mendatangkan rasa aman dan tentram.

3. Shalat menimbulkan jiwa yang tenang.

Mengingat Allah SWT hati menjadi tentram dan jiwa menjadi tenang, tidak

gelisah, takut atau khawatir, karena orang yang senantiasa mengingat Allah akan

melakukan hal-hal yang baik dan ia merasa bahagia dengan kebajikan yang telah

diakukan. Mengingat Allah lewat shalat akan membawa keteguhan hati dan sikap optimis

serta ketenangan jiwa. Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah shalat yaitu sebagai

penenang jiwa orang resah gelisah. Menurut Basyarahil (2001) shalat dapat menimbulkan

ketenangan hati dan ketentraman batin.

Universitas Sumatera Utara


15

4. Mendidik sikap disiplin dan tanggung jawab.

Disiplin disini dimaksudkan untuk ketepatan waktu dan kepatuhan seseorang

dalam mengerjakan shalat setiap hari, sehari semalam. Panggilan shalat adalah

manifestasi dari rasa tanggung jawab manusia sebagai hamba Allah, atas kewajiban yang

harus dilaksanakan. Shalat yang telah ditentukan waktu-waktunya oleh Allah akan

mengingatkan manusia akan rasa tanggung jawabnya. Sejak dari kita bangun dari fajar

pagi sampai kita akan tidur lagi, bahkan disaat kita disibukkan oleh pekerjaan di siang

hari, kita di suruh untuk berhenti sejenak melepaskan kesibukan kita untuk mengingat

Allah.

5. Memupuk rasa solidaritas, persatuan dan kesatuan.

Shalat merupakan bentuk ibadah pertama yang diwajibkan bagi setiap muslim

baligh, berakal, sehat dan suci dari haid dan nifas (bagi perempuan). Kewajiban ini tidak

dibedakan antara orang yang berpangkat dengan rakyat jelata, orang kaya dan miskin,

orang pandai dan bodoh, tetap memilki kewajiban dalam melaksanakan shalat, baik di

kala sehat maupun dikala sakit, di tempat maupun di perjalanan, baik dikala aman bahkan

dikala terjadi peperangan wajib mendirikan shalat dengan ketentuan ketentuan tertentu.

Tidak pula dibedakan shaf (barisan) paling depan, tengah dan belakang, hanya takwalah

yang membedakan kita dihadapan Allah.

6. Melatih konsentrasi.

Shalat yang dikerjakan dengan cara yang khusyuk akan melatih konsentrasi

fikiran, perasaan kemauan dan hatinya dipusatkan (dikonsentrasikan) menjadi satu

dengan badan dan hanya dihadapkan kepada Allah. Membaca doa dengan memusatkan

fikiran dan pemahaman serta renungan akan isi, makna dan maksud yang terkandung

Universitas Sumatera Utara


16

dalam rangkaian kalimat tersebut. Hal tesebut membiasakan orang terlatih konsentrasi

dan memusatkan fikiran, perhatian dan perasaan serta kemauannya dalam segala

persoalan. Konsentrasi merupakan faktor yang paling utama untuk mencapai kesuksesan.

Cita-cita akan berhasil apabila seluruh perhatian dipusatkan untuk meraihnya.

7. Menjaga kesehatan jasmani.

Menurut Thabarah (dalam Rafiudin & Zainuddin, 2004) yang mengatakan

tentang manfaat ruku dan sujud sangat penting bagi kesehatan badan, dan menambah

kreativitas kerja.

Saboe (dalam Haryanto 2005) mengatakan hikmah yang dapat diperoleh dari

gerakan-gerakan ibadah shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah, dan dengan

sendirinya membawa efek pula kepada kesehatan rohaniah (menssana in corpotre sano)

atau kesehatan mental/jiwa seseorang. Selanjutnya dijelaskan bila ditinjau dari sudut ilmu

kesehatan, setiap gerakan, setiap sikap, serta setiap perubahan dalam gerak dan sikap

tubuh pada waktu melaksanakan shalat, adalah yang paling sempurna dalam memelihara

kondisi kesehatan tubuh.

Menurut Noer (2006), banyak hikmah bagi kehidupan manusia yang kita peroleh

dari shalat, baik itu bagi kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat:

a. Shalat sebagai sarana penghubung manusia dengan Allah swt

Hubungan manusia dengan Allah SWT adalah hubungan makhluk terhadap

pencipta-Nya. Hubungan ini tidak akan terputus selama manusia sadar dan ingat bahwa ia

hanyalah ciptaan Allah yang tidak akan hidup dan tujuan penciptaannya adalah hanya

untuk beribadah kepada Allah.

Universitas Sumatera Utara


17

b. Shalat sebagai penolong

Shalat berfungsi pula sebagai penolong bagi manusia untuk mencapai rahmat

Allah. Dengan shalat manusia bisa meminta bantuan atau pertolongan apapun melalui

shalat dan bersabar.

c. Mempersatukan umat dengan shalat berjamaah

Segala perbedaan baik warna kulit, bahasa, bangsa, negara, dan lainnya tidak

berpengaruh ketika umat Islam berjamaah shalat sesuai dengan tuntutan Rasulullah.

Maka dalam hal ini shalat berjamaah telah mempersatukan umat Islam dengan

komitmen bahwa ketika shalat saja kita bisa berjamaah, maka dalam hal lainpun kita

bisa.

d. Shalat sebagai kontrol diri dari perbuatan buruk

Manusia pada dasarnya suka berkeluh kesah dan bersifat kikir. Namun hal ini

tidak terjadi pada orang yang suka menunaikan shalat dengan khusyuk.

a. Komitmen terhadap waktu (disiplin diri).

b.Menjaga kebersihan diri dll.

4 . Manfaat Gerakan Shalat

Menurut Wratsongko (2006), makna rahasia gerakan shalat terkait dengan

pencegahan dan perawatan kesehatan tubuh. Pemahaman tentang tata laksana gerakan

shalat dimaksud adalah:

Universitas Sumatera Utara


18

1. Berdiri tegak

Sikap berdiri dengan tegak dengan sikap kaki menumpu seluruh berat badan. Dalam

posisi berdiri tegak seperti ini, maka tubuh berada dalam posisi anatomisnya. Seluruh

otot, tulang dan sendi berada dalam posisi pasif sehingga timbulah relaksasi.

2. Takbiratul Ihram

Saat kedua tangan atau lengan diangkat disisi kanan-kiri tubuh dalam takbir, maka

otot-otot dada akan mengembang secara pasif. Dengan mengembangnya otot-otot ini

maka organ paru yang ada didalamnya juga akan mengembang secara pasif mengikuti

hukum tekanan negatif sehingga udara (oksigen) bisa masuk secara optimal hingga ke

pembuluh paru terkecil (alveoli). Oksigenasi yang optimal juga dirasakan oleh otak,

sebagai pusat utama pengatur segala aktifitas tubuh manusia. Ketika organ paru

mengambang, maka organ jantung yang ada diantaranya sedikit mendapatkan

keleluasaan ruang untuk berdenyut.

3. Ruku

Ketika posisi membungkuk disertai dengan wajah menghadap ke depan, maka ruas

tulang belakang segmen leher sampai ekor membentuk posisi sedemikian rupa, dimana

kelengkungan tiap-tiap segmen berkurang. Dengan kata lain mendekati posisi melurus,

dimana keadaan ini menyebabkan serabut saraf tulang belakang mengalami relaksasi,

termasuk rangkaian saraf otonom (simpatik dan parasimpatik) yang berupa juluran seperti

rantai di sisi luar (kanan-kiri) tulang belakang kita. Saraf otonom ini turut serta berperan

dalam mengatur irama kerja organ di dalam tubuh kita (jantung, paru, usus, organ

reproduksi, alat kelamin dan-lain-lain) apakah irama kerja tersebut akan meningkat

ataukah menurun. Meningkat atau menurunya irama kerja organ ini merupakan

Universitas Sumatera Utara


19

peringatan bagi kita mengenai kondisi tubuh yang terganggu. Saat ruku akan

menyebabkan peningkatan di dalam saluran tulang belakang yang diteruskan ke rongga

kepala.

4. Itidal

Posisi ini membantu metabolisme otak dan jantung bekerja optimal. Oleh karena itu

dalam itidal aliran darah yang tadinya terfokus di kepala setelah ruku akan turun ke

badan sesuai garavitasi. Gerakan takbir bersamaan dengan menegakkan badan saat itidal,

menyebabkan stimulus pada cabang besar saraf di bahu, ketiak yang merupakan cabang

saraf yang melayani organ jantung, paru dan sebagain organ pencernaan.

5. Sujud

Gerakan sujud akan membuat otot dada dan otot sela iga menjadi kuat sehingga

rongga dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang dengan baik dan dapat

menghisap udara. Lutut yang membentuk sudut yang tepat memungkinkan otot-otot perut

berkembang dan mencegah dibagian tengah. Menambah aliran darah ke bagian atas tubuh

terutama kepala (mata, telinga, dan hidung) serta paru-paru, memungkinkan toksin-toksin

dibersihkan oleh darah.

6. Duduk diantara dua sujud

Pada posisi ini otot-otot pangkal paha di mana di dalamnya terdapat salah satu saraf

pangkal paha yang besar berada diatas tumit kaki yang berfungsi sebagi penyangga. Hal

ini menyebabkan otot-otot di daerah ini terpijit (refleksi). Pijatan ini bermanfaat untuk

melindungi diri dari penyakit saraf pangkal paha (neuralgia) yang terasa sakit, nyeri

hingga mengakibatkan kaki tidak dapat digerakkan.

Universitas Sumatera Utara


20

7. Takhiyatul akhir

Gerakan dalam posisi ini kaki kiri dilipat dan kaki kanan dalam posisi menekuk

kelima jarinya. Pada posisi ini saraf yang terstimulasi kurang lebih sama dengan duduk

diantara dua sujud. Sirkulasi energi dihentikan karena tulang punggung dibengkokkan

dan pusat energi dibagian bawah diantara dubur dan kemaluan ditutup dengan ujung

tumit. Dengan demikian sirkulasi energi yang mengalir dari tulang ekor menjalar

ketulang punggung dan terus masuk ke otak dihentikan. Dan diakhiri dengan gerakan

salam yaitu, menoleh kekanan kemudian kekiri.

5. Definisi Keteraturan Shalat

Menurut Adi (1994) keteraturan shalat ialah setiap hari mengerjakan shalat lima

waktu dan tidak satupun yang ditinggalkan yaitu shalat subuh, shalat zhuhur, shalat ashar,

shalat maghrib, dan shalat isya.

6. Aspek-Aspek Keteraturan Shalat

Menurut Adi (1994) dalam melaksanakan shalat secara teratur perlu adanya usaha

dan kesungguhan hati. Aspekaspek keteraturan shalat meliputi :

1. Faktor ketepatan dan disiplin.

Shalat wajib lima waktu harus dilaksanakan dengan disiplin yaitu dengan

menepati waktu-waktu shalat yang telah ditentukan. Seseorang dikatakan disiplin bila

selalu melakukan shalat tepat waktu secara terus menerus, karena apabila sering

terlambat atau bermalas-malas dalam mengerjakan shalat akan dianggap gagal dalam

mencapai keteraturan shalat.

Universitas Sumatera Utara


21

2. Faktor kesadaran dan tanggung jawab.

Kesadaran dan tanggung jawab sangat penting dalam melaksanakan shalat wajib

lima waktu. Kalau tidak diikuti kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk menjalankan

shalat, maka akan menjadikan seseorang merasa sulit dan berat untuk memenuhi

kewajiban tersebut. Seolah-olah hanya terpaksa saja dan kurang ikhlas. Seseorang yang

memiiki kesadaran akan pentingnya shalat akan memandang shalat sebagai kebutuhan.

3. Faktor kekuatan kehendak dan dapat mengatasi pengaruh lingkungan.

Kekuatan kehendak atau kekuatan niat sangat menentukan perilaku seseorang

termasuk shalatnya. Seseorang yang memilki kekuatan niat akan senantiasa

melaksanakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, termasuk sakit atau dalam

perjalanan. Kekuatan niat dapat mengatasi pengaruh lingkungan yang bersifat negatif,

karena kalau tidak memilki kekuatan niat, tentu akan kurang kuat pula motivasi dan

gairahnya untuk menjalankan shalat, sehingga sering gagal dan menyerah saja pada

pengaruh lingkungan.

7. Aspek-Aspek Teraupetik Dalam Ibadah Shalat

Menurut Ancok & Suroso (2001) ada beberapa aspek terapeutik yang terdapat

dalam ibadah shalat, antara lain: aspek olah raga, aspek meditasi, aspek auto-sugesti,

aspek kebersamaaan. Disamping itu shalat juga mengandung unsur relaksasi otot,

relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Adi, 1994 & Haryanto 2005).

1. Aspek olah raga.

Ancok (2001) bila dikaitkan dengan shalat yang banyak rakaatnya (shalat

tahajud), maka tidak dapat dipungkiri bahwa shalat pun akan dapat menghilangkan

Universitas Sumatera Utara


22

kecemasan. Kalau kita perhatikan shalat, maka mengandung unsur gerakan-gerakan olah

raga; mulai dari takbir, berdiri, ruku, sujud, duduk diantara dua sujud, duduk akhir

(atahiyat) sampai mengucapkan salam. Shalat yang dilakukan secara khusyuk, terutama

shalat pada malam hari (tahajud) akan membantu terciptanya rasa khusyuk tersebut.

Al Qayyim (dalam Al-khuli, 2003) mengatakan gerakan-gerakan dalam shalat

merupakan latihan (olahraga) yang menjadikan badan ringan dan energik, menciptakan

selera makan, memperkokoh persendian dan menguatkan jaringan-jaringan tubuh,

sehingga dapat menghindarkan tubuh dari penyakit fisik dan psikis. Marzuq (dalam Al-

Khuli, 2003) mengatakan diantara manfaat-manfaat shalat bahwa shalat merupakan

olahraga yang cocok untuk otot-otot persendian tubuh.

Moinuddin ( dalam Haryanto 2005) mengatakan bahwa dalam satu hari paling

sedikit kita melaksanakan tujuh belas rakaat yang terdiri atas sembilan belas posisi yang

terpisah pada tiap-tiap rakaatnya. Total ada 119 postur per hari atau 3.570 postur per

bulan atau 42.840 postur per tahun. Rata-rata umur orang dewasa empat puluh tahun,

maka telah melakukan 1.713.600 postur. Siapapun yang melaksanakan akan terlindung

dan tercegah dari penyakit ringan dan berat.

2. Aspek meditasi

Zuroff (dalam Adi, 1994 & Subandi, 2003) mengatakan bahwa meditasi dapat

mengurangi kecemasan telah diselidiki oleh tokoh-tokoh sarjana Barat, seperti pada

penyelidikan Zen Meditation dan kemudian pada penyelidikan Trancendental Meditation.

Ancok (2001) mengatakan bahwa shalat merupakan proses yang menuntut

konsentrasi yang dalam. Setiap muslim dituntut untuk melakukan hal tersebut yang di

Universitas Sumatera Utara


23

dalam bahasa Arab adalah khusyuk. Kekhusyukan di dalam shalat tersebut adalah

meditasi.

Shalat juga memiliki efek seperti meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan

dengan benar dan khusyuk. Dalam kondisi khusyuk seseorang hanya akan mengingat

Allah SWT bukan mengingat yang lain (Ancok, 2001).

Shalat seperti meditasi mempunyai efek yang mujizat terhadap seluruh sistem

tubuh kita seperti syaraf, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, pengeluaran, otot-

otot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. Shalat juga sebagai meditasi yang dapat

melepaskan diri dari kesibukan dunia yang mencemaskan, untuk masuk ke dalam suasana

tenang walau sesaat pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara teratur, untuk berdoa

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat mengurangi kecemasan (Nizami,

1981).

3. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis

Bacaan-bacaan dalam shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon

ampun, doa, maupun permohonan yang lain, sesuai dengan arti shalat itu sendiri yaitu

doa (Ash-Shiddieqy, 1983). Teori hipnosis yang menjadi landasan dari salah satu teknik

terapi kejiwaan, pengucapan kata-kata itu berisikan suatu proses auto-sugesti.

Mengatakan hal-hal yang baik terhadap diri sendiri adalah mensugesti diri sendiri agar

memiliki sifat yang baik tersebut. Proses shalat pada dasarnya adalah terapi yang tidak

berbeda dengan terapi self-hypnosis (Ancok, 2001).

4. Aspek Kebersamaan

Mengerjakan shalat sangat disarankan oleh agama untuk melakukannya secara

berjamaah (bersama orang lain), ditinjau dari segi psikologi kebersamaan itu sendiri

Universitas Sumatera Utara


24

mengandung aspek terapeutik. Beberapa ahli Psikologi mengatakan bahwa perasaan

keterasingan dari orang lain adalah penyebab utama terjadinya gangguan jiwa, dengan

shalat berjamaah perasaan terasing dari orang lain itu akan hilang.

Shalat yang dijalankan secara berjamaah menimbulkan rasa hangat dalam

hubungan interpersonal antara sesama manusia yang senasib sederajat. Shalat yang

dilakukan berjamaah juga mempunyai efek terapi kelompok (group therapy), sehingga

perasaan cemas, terasing, takut menjadi nothing atau nobody akan hilang (Lingren, dalam

Haryanto, 2001).

5. Relaksasi otot

Shalat adalah proses yang menuntut sesuatu aktivitas fisik. Ibadah shalat juga

mempunyai efek seperti relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan tekanan pada

bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat. Lehrer (dalam Adi, 1994)

kontraksi otot dan tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan shalat

itu menyerupai proses relaksasi otot yang telah diselidiki oleh sarjana-sarjana Barat dan

dapat mengurangi kecemasan, tidak dapat tidur, mengurangi hiperaktivitas pada anak,

mengurangi toleransi sakit dan membantu mengurangi merokok bagi para perokok yanbg

ingin sembuh atau berhenti merokok.

Penelitian yang dilakukan Prawitasari (dalam Haryanto, 2001) dengan

menggunakan teknik relaksasi otot, relaksasi kesadaran indera dan yoga, hasilnya

menunjukkan bahwa teknik-teknik tersebut ternyata efektif untuk mengurangi keluhan

berbagai penyakit terutama psikosomatis.

Universitas Sumatera Utara


25

6. Relaksasi kesadaran indera

Relaksasi kesadaran indera ini seseorang biasanya diminta untuk membayangkan

pada tempat-tempat yang mengenakkan. Saat shalat seseorang seolah-olah terbang ke

atas (ruh), menghadap kepada Allah secara langsung tanpa ada perantara. Setiap bacaan

dan gerakan senantiasa dihayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa kepada Allah.

Arifin (dalam Haryanto, 2001) dalam bukunya Samudera Al-Fatihah, bahwa dalam shalat

memang benar-benar terjadi dialog antara hamba dengan Tuhannya.

7. Pengakuan dan penyaluran (katarsis)

Adi (1994) mengatakan bahwa dalam shalat, individu bisa langsung berdialog

dengan Sang Pencipta Yang Maha Mengetahui jadi bisa selalu katarsis (catharsis) dan

tidak lagi merasa terpencil, karena si individu akan menyadari dia sesungguhnya tidak

sendirian, paling sedikit masih ada Allah yang selalu memperhatikan dan menyertainya,

dan selalu bersedia memelihara dan menolongnya, dengan rasa kebersamaan ini

diharapkan kecemasannyapun bisa berkurang.

8. Terapi air (Hydro Therapy)

Satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa sebelum melakukan shalat, maka

syaratnya adalah terlebih dahulu wudhu dengan air kecuali kalau tidak ada air boleh

tayammum dengan debu. Menurut Adi (1985) dan Effendy (dalam Haryanto, 2001)

wudhu ternyata memiliki efek penyegaran (refreshing), membersihkan badan dan jiwa,

pemulihan tenaga, relaksasi, menghilangkan ketegangan-ketegangan dan kelelahan, mirip

benar dengan terapi air.

Universitas Sumatera Utara


26

B. LANJUT USIA (Lansia)

1. Definisi Lanjut Usia (Lansia)

Menurut Santrock (2002) lansia disebut sebagai masa dewasa akhir, yang dimulai

pada usia 60-an dan diperluas sampai sekitar 120 tahun, memiliki rentang kehidupan

yang paling panjang dalam perkembangan manusia lima puluh tahun sampai enam puluh

tahun.

Menurut para ilmuan lain ( dalam Papalia, 2001) yang mempelajari tentang lansia

dan membaginya kedalam tiga kelompok yaitu: (1) usia tua muda (young old) berusia 65-

74 tahun, biasanya masih aktif dan fit; (2) usia tua (old old) berkisar antara usia 75-84

tahun dan; (3) usia lanjut (oldest old) berusia 85 tahun keatas telah mengalami kesulitan

dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini menggunakan definisi menurut program

dunia kesehatan lansia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Menurut program

dunia kesehatan lanjut usia adalah individu yang berusia 55 tahun keatas. Definisi ini

berpatokan pada umur harapan hidup tahun 1955 yang berkisar 61-63 tahun dan umur

masa pensiun 55 tahun serta UU no. 4 tahun 1965.

2.Tugas Perkembangan Lansia.

Menurut Havighurst ( dalam Hurlock, 1999) sebagaian tugas perkembangan lanjut

usia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan

orang lain. Adapun tugas perkembangan tersebut antara lain:

Universitas Sumatera Utara


27

1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan.

Hal ini sering diartikan sebagai perbaikan dan perubahan peran yang pernah

dilakukan didalam maupun diluar rumah. Mereka diharapkan untuk mencari kegiatan

sebagai pengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagaian besar waktu kala

mereka masih muda.

2. Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya income (penghasilan)

keluarga.

Pada usia ini, lansia sudah memasuki masa pensiun dan tidak bekerja lagi,

sehingga pemasukan yang ada hanya berasal dari dana pensiun maupun dari pemberian

anak-anak mereka.

3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup.

Sebagaian besar orang lansia perlu mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan

peristiwa kematian suami atau istri. Kejadian seperti ini lebih menjadi masalah dengan

peristiwa kematian suami atau istri. Dimana kematian suami berarti berkurangnya

pendapatan dan timbul bahaya karena hidup sendiri dan melakukan perubahan dalam

aturan hidup.

4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang sesuai.

Pada lansia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia

mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan anak yang tumbuh besar dan

masa pensiun.

Universitas Sumatera Utara


28

5. Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan.

Menyadari bahwa menurunnya kesehatan dan fungsi-fungsi fisik, pada masa

lansia mereka berusaha untuk mempertahankan dan mengatur kegiatan sehari-hari yang

berhubungan dengan kesehatan, yakni berolahraga maupun mengatur pola makan.

6. Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes.

Pada lansia, individu mengalami perubahan peran. Dimana, para lansia

mempunyai pengalaman lebih daripada orang yang lebih muda, sehingga peran lansia

biasanya diminta untuk memberi pendapat, masukan ataupun kritikan, dan partisipasi

lansia terhadap kehidupan sosial menurun biasanya disebabkan oleh masalah fisik.

3. Beberapa Masalah Yang Umum Dialami Oleh Para Lansia

Berikut ini ada beberapa masalah yang sering dihadapi oleh lansia sehubungan

dengan berbagai perubahan dan penurunan yang terjadi pada lanjut usia tersebut:

1. Masalah yang berhubungan dengan keadaan fisik. Keadaan fisik yang lemah dan

tak berdaya sehingga menyebabkan harus bergantung pada orang lain (Hurlock,

1999)

2. Masalah status ekonomi, berkaitan dengan hal-hal seperti penghasilan, jaminan

sosial, perumahan, kendaraan, jaminan pelayanan medis, dan lain-lain (Monks,

1999).

3. Masalah sosial berkaiatan dengan bagaimana mencari teman baru untuk

menggantikan suami atau istri yang telah meninggal, pindah ke panti dan peran

sosial yang baru ( Monks, 1999).

Universitas Sumatera Utara


29

4. Masalah pensiun hal ini terkait dengan keadaan ekonomi, meskipun tujuan ideal

pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua (

Papalia, 2001).

5. Masalah-masalah kesehatan, biasanya ketuaan menjadikan manusia rentan

terhadap berbagai penyakit. Pada lansia biasanya penyakit yang dialami berupa

penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, TBC paru, darah tinggi, jantung,

kanker, gangguan pernafasan, radang sendi, osteoporosis dan alzheimer

(Santrock, 2002).

6. Masalah yang berkaitan dengan penurunan fungsi berpikir, seperti dengan

menurunnya daya ingat, kemampuan konsentrasi, memecahkan masalah,

penurunan Fluid Intellegence, dan lain-lain ( Santrock, 2002).

7. Masalah psikologis terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan

keluar masalah yang timbul sebagai akibat dari proses menua. Rasa tersisih, tidak

dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang

tidak kunjung sembuh, kematian pasangan, depresi, dan post power syndrome, the

empty nest (Munandar, dkk, 2001).

8. Masalah seksual, bagi lansia yang masih mempunyai pasangan sering terjadi

masalah dalam aktivitas seksual. Hal ini disebabkan oleh penyakit yang mungkin

diserita salah satu pasangan hidup lansia tersebut atau karena suami mengalami

kesulitan dalam mencapai orgasme, sehingga mempengaruhi keinginannya untuk

melanjutkan hubungan seksual (Papalia, 2001).

Universitas Sumatera Utara


30

4.Gambaran Emosi pada Lansia

Pada umumnya emosi lansia memiliki tingkat sensitifitas emosional yang

meningkat, kurang gairah, kurang mampu menghadapi tekanan (stress), merasa rendah

diri, mudah tersinggung dan merasa tidak berguna lagi. Keadaan seperti ini tentunya akan

membuat kondisi emosi yang dirasakan akan semakin tidak stabil, apalagi diikuti dengan

ketidakberhasilan menemukan jalan keluar dari masalah yang timbul sebagai akibat dari

proses menua (Achir dalam Munandar, 2001).

Satu dari beberapa penelitian yang berdasarkan pengalaman emosi dan usia yang

dilakukan oleh Malatesta dan Kalnok (1984) (dalam Robert dkk, 2004). Mereka

melakukan survey terhadap 240 orang kulit putih yang berasal dari kelas menengah yang

dibagi kedalam 3 kategori usia 17-34, 35-56, dan 57-88. Mereka menemukan

bahwasanya tidak ada kecenderungan untuk responden-responden yang lebih tua (usia 66

tahun) untuk lebih memiliki respon-respon yang negatif. Mereka juga menemukan lebih

banyak persamaan daripada perbedaan diantara kategori-kategori diatas. Perbedaan

gender kecil kebanyakan responden-responden tua tidak merasa bahwa emosi mereka

berubah seiring berjalannya usia. Pengalaman emosi sama pentingnya antara orang-orang

usia tua dengan usia menengah tetapi tidak terlalu penting bagi orang-orang dewasa usia

muda. Kesedihan kebanyakan disebabkan oleh masalah-masalah fisik untuk orang

dewasa didalam seluruh kategori seluruh usia. Sebagai contoh 55% dari dewasa muda

melaporkan bahwa kesedihan itu berhubungan dengan masalah fisik, dibandingkan

dengan 66% pada usia menengah dan 79% pada usia tua. Disisi lain masalah-masalah

personal losses menyebabkan kesedihan 45% dewasa muda, 34% usia menengah dan

21% untuk usia dewasa akhir. Penemuan ini menyarankan bahwasanya kesehatan

Universitas Sumatera Utara


31

menjadi sumber yang lebih besar atas kesedihan berdasarkan usia tetapi asumsi

bahwasanya personal lossess menjadi masalah yang lebih sering ditemukan terhadap

distress dalam kehidupan selanjutnya bisa menjadi tidak akurat.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya masalah kesehatan

menjadi masalah utama yang membuat keadaan emosional pada lansia menjadi lebih

sering tidak stabil.

C. EMOSI

1. Pengertian Emosi

Emosi berasal dari bahasa latin movere yang artinya menggerakkan, sehingga

emosi berarti sesuatu yang mendorong terjadinya perubahan suatu keadaan (Kalat, 2005).

Emosi menurut Goleman (2004) ialah pergolakan pikiran dan perasaan, termasuk setiap

keadaan mental yang hebat, meluap-luap dan berujung pada timbulnya suatu perasaan

yang khas, perubahan fisiologis tertentu serta kecenderungan untuk bergerak.

Sementara itu, Preez (dalam Martin, 2003) menjelaskan emosi dalam tiga

pengertian. Pertama, emosi adalah suatu reaksi tubuh menghadapi situasi tertentu. Kedua,

emosi adalah hasil proses persepsi terhadap situasi. Ketiga, hasil reaksi kognitif (berpikir)

terhadap situasi spesifik.

Pengertian emosi lebih lengkap dijelaskan oleh Atkinson dan Hilgard (2003)

emosi merupakan suatu keadaan psikologis yang disebabkan oleh peristiwa, objek atau

orang yang secara khusus meliputi penilaian secara kognitif (interpretasi individu

terhadap suatu peristiwa), pengalaman subjektif (emosi yang dirasakan individu),

kecenderungan berpikir dan bertindak (individu berpikir tentang respon emosi apa yang

Universitas Sumatera Utara


32

akan ditampilkannya), perubahan tubuh secara internal (adanya perubahan fisiologis

akibat emosi yang muncul seperti detak jantung, pernapasan dan tekanan darah), ekspresi

wajah (emosi yang dirasakan dapat ditunjukkan melalui ekspresi wajah, yang terlihat dari

mata, bibir, hidung, dll) dan respon terhadap emosi (bagaimana individu menunjukkan

emosi yang dirasakannya melalui tingkah laku, atau nada suara).

Frijda (dalam Pluutchick, 1994) mengemukakan bahwa emosi timbul ketika suatu

peristiwa memiliki makna pribadi bagi individu, atau jika situasi tersebut dapat

bermanfaat atau merugikan kepentingannya. Frijda (1986) menggambarkan emosi

sebagai perubahan kesiapan tindakan yang ditimbulkan oleh kejadian yang berarti. Ketika

individu mengalami suatu kejadian maka ia melakukan apppraisal yang dapat

menyebabkan kesiapan tindakan menjadi berubah.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas disimpulkan bahwa emosi ialah suatu

perasaan yang timbul sebagai respon terhadap stimulus tertentu yang melibatkan

pengalaman subjektif, respon fisiologis dan ekspresi yang dapat diamati, serta juga

melibatkan penilaian secara kognitif, kecenderungan berpikir dan bertindak serta respon

terhadap emosi.

2 Jenis-Jenis Emosi

Lafreniere (1999) membagi emosi menjadi dua kelompok yaitu :

a. Emosi positif yaitu emosi yang dikehendaki seseorang, seperti :

1) Gembira

Kegembiraan, keriangan dan kesenangan timbul akibat rangsangan seperti

keadaan fisik yang sehat atau keberhasilan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ada

Universitas Sumatera Utara


33

berbagai macam ekspresi kegembiraan, dari yang tenang sampai meluap-luap. Seiring

dengan bertambahnya usia, lingkungan sosial akan memaksa individu untuk mampu

mengendalikan ekspresi kegembiraannya agar dapat dikatakan dewasa atau matang

(Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

2) Rasa ingin tahu

Rangsangan yang menimbulkan emosi ingin tahu sangat banyak. Contohnya sesuatu

hal yang aneh dan baru akan menyebabkan seseorang berusaha mencari tahu hal tersebut

(Izard dalam Lafreniere, 1999).

3) Cinta

Perasaan yang melibatkan rasa kasih sayang baik terhadap benda maupun manusia

(Lazarus dalam Lafreniere, 1999).

4) Bangga

Suatu perasaan yang dapat meningkatkan identitas ego seseorang misalnya dengan

cara berhasil mencapai sesuatu yang bernilai atau dapat mewujudkan keinginan, seperti

meraih prestasi (Lewis dalam Lafreniere, 1999).

b. Emosi negatif yaitu emosi yang tidak dikehendaki seseorang, seperti :

1) Marah

Emosi marah pada umumnya ditimbulkan oleh berbagai macam rintangan terhadap

aktivitas dan keinginan yang dapat berasal dari orang lain maupun ketidakmampuan diri

sendiri. Selain itu, marah juga dapat muncul karena kejengkelan yang bertumpuk. Reaksi

kemarahan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu impulsif dan ditekan. Rasa

marah sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya perasaan kita sedang tersinggung.

Universitas Sumatera Utara


34

Rasa marah merupakan emosi yang paling sulit untuk diterima dan diungkapkan (Lazarus

dalam Lafreniere, 1999).

2) Sedih dan depresi

Sedih adalah bentuk yang lebih ringan dari trauma psikis yang disebabkan oleh

hilangnya sesuatu yang dicintai atau kegagalan mewujudkan keinginan. Bentuk yang

lebih berat dari sedih disebut depresi. Perbedaan antara sedih dan depresi adalah sedih

biasanya tidak menghalangi individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Depresi

dapat dilihat dengan ciri khasnya yaitu cara berpikir yang tidak realistis, sering merasa

diri tidak berharga, sering merasa bersalah terhadap sesuatu yang sesungguhnya dia tidak

bertanggung jawab dan ada kemungkinan untuk melukai diri sendiri serta mengakhiri

hidup (Bowlby dalam Lafreniere, 1999).

3) Takut

Emosi takut merupakan reaksi dari rangsangan yang terjadi secara tiba-tiba dan

mengancam serta tidak memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi

tersebut. Rasa takut juga muncul jika seseorang tidak bisa melakukan sesuatu sebaik yang

dia inginkan (Witherington & Campos dalam Lafreniere, 1999).

4) Cemburu

Cemburu merupakan emosi yang biasanya dirasakan seseorang saat orang yang

dicintai mengalihkan perhatian dan cintanya kepada orang lain (Saarni dalam Lafreniere,

1999).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa emosi terbagi dua yaitu emosi

positif (seperti gembira, rasa ingin tahu, cinta dan bangga) dan emosi negatif (seperti

marah, sedih, depresi, takut dan cemburu).

Universitas Sumatera Utara


35

3. Pengertian Regulasi Emosi

Regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang

timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi

yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan (regulate feeling), reaksi

fisiologis (regulate physiology), kognisi yang berhubungan dengan emosi (emotion-

related cognitions), dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (emotion-related

behavior) (Shaffer, 2005).

Regulasi emosi diartikan sebagai:

....., the process of initiating, maintaining, modulating or changing the

occurence, intensity, or duration of internal feeling states and emotion-related

physiological processes, often in the service of accomplishing ones goal

(Eisenberg et al., dalam Garnefski et al.. 2002: 404 dalam Karista, 2005)

Defenisi lainnya adalah:

....the process of managing responses taht ariginate within cognitive experiental,

behavioral-expressive, and physiological biochemical components (Brenner &

Salovey, 1997: 170).

Dengan demikian dapat disimpulan bahwa regulasi emosi merupakan proses

memulai, mengatur, memodulasi, atau mengubah kejadian, intensitas, atau durasi dari

kondisi perasaan internal yang melibatkan aspek kognitif, perilaku dan fisiologis untuk

mencapai tujuan.

Sementara itu, Gross (1999) menyatakan bahwa regulasi emosi ialah strategi yang

dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar untuk mempertahankan, memperkuat atau

mengurangi satu atau lebih aspek dari respon emosi yaitu pengalaman emosi dan

Universitas Sumatera Utara


36

perilaku. Seseorang yang memiliki regulasi emosi dapat mempertahankan atau

meningkatkan emosi yang dirasakannya baik positif maupun negatif. Selain itu,

seseorang juga dapat mengurangi emosinya baik positif maupun negatif.

Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi

merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya

intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari

pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat

memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku

yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes,

Reiser & Guthrie 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima,

mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi

dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta

perilaku yang dapat diobservasi.

Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie 2000) mengatakan bahwa

regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk

mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas

dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi

kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.

Aspek penting dalam regulasi emosi ialah kapasitas untuk memulihkan kembali

keseimbangan emosi meskipun pada awalnya seseorang kehilangan kontrol atas emosi

yang dirasakannya. Selain itu, seseorang hanya dalam waktu singkat merasakan emosi

yang berlebihan dan dengan cepat menetralkan kembali pikiran, tingkah laku, respon

Universitas Sumatera Utara


37

fisiologis dan dapat menghindari efek negatif akibat emosi yang berlebihan

(Sukhodolsky, Golub & Cromwell dalam Gratz & Roemer, 2004).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah

suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta menyesuaikan emosi

yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang

meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara berpikir seseorang, dan

respon emosi (ekspresi wajah, tingkah laku dan nada suara) serta dapat dengan cepat

menenangkan diri setelah kehilangan kontrol atas emosi yang dirasakan.

4. Ciri-Ciri Regulasi Emosi

Individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang

cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi dapat dilihat dalam

lima kecakapan yang dikemukakan oleh Goleman (2004), yaitu :

a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak dengan

efektif

b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain

c. Memiliki sikap hati-hati

d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan

tantangan

e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi

f. Memiliki pandangan yang positif terhadap diri dan lingkungannya

Menurut Martin (2003) ciri-ciri individu yang memiliki regulasi emosi ialah :

a. Bertanggung jawab secara pribadi atas perasaan dan kebahagiaannya

Universitas Sumatera Utara


38

b. Mampu mengubah emosi negatif menjadi proses belajar dan kesempatan untuk

berkembang

c. Lebih peka terhadap perasaan orang lain

d. Melakukan introspeksi dan relaksasi

e. Lebih sering merasakan emosi positif daripada emosi negatif

f. Tidak mudah putus asa dalam menghadapi masalah

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri individu yang dapat

melakukan regulasi emosi ialah memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik,

sikap hati-hati, adaptibilitas, toleransi terhadap frustasi, pandangan yang positif, peka

terhadap perasaan orang lain, melakukan introspeksi dan relaksasi, lebih sering

merasakan emosi positif daripada emosi negatif serta tidak mudah putus asa.

5. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk

menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :

a. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat

mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara

yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri

kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.

b. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk

tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap

berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.

Universitas Sumatera Utara


39

c. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat

mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon

fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan

emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

d. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk

menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa

malu merasakan emosi tersebut.

Garnefski et al. (2001) (Dalam Karista, 2005) mengemukakan bahwa regulasi emosi

melibatkan aspek biologis, sosial, perilaku, dan proses kognitif baik yang disadari

maupun yang tidak disadari. Menarik napas panjang ketika stress merupakan contoh

regulasi emosi dalam aspek biologis. Dalam aspek sosial, regulasi emosi dilakukan

dengan membangun hubungan interpersonal dengan orang lain dan mencari sumber

dukungan. Dalam aspek perilaku, emosi diregulasi dengan melakukan berbagai perilaku

yang bertujuan agar kondisi yang dialami seseorang tidak memberikan pengaruh negatif

pada dirinya. Terakhir emosi dapat diregulasi melalui proses kognitif tidak sadar (seperti:

denial, projection) dan sadar (blamming others, rumination, dsb).

6. Strategi Regulasi Emosi

Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi.

Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu :

a. Antecedent-focused strategy

Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi

muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi. Antecedent-

Universitas Sumatera Utara


40

focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir

seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa

yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive

reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi

sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan.

b. Respon-focused strategy

Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat

ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi

ini disebut juga dengan expressive suppression. Respon-focused strategy hanya efektif

untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi

emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy

membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa

yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang

menggunakan antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedent-

focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focused

strategy.

Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan banyak

cara, yaitu:

a. Situation selection

Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat

menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih

nonton dengan temannya daripada belajar pada malam sebelum ujian untuk

menghindari rasa cemas yang berlebihan.

Universitas Sumatera Utara


41

b. Situation modification

Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi

pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang mengatakan

kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kegagalan yang dialaminya agar

tidak bertambah sedih.

c. Attention deployment

Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak

menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya,

seseorang yang menonton film lucu, mendengar musik atau berolahraga untuk

mengurangi kemarahan atau kesedihannya.

d. Cognitive change

Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara

berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi.

Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi sebagai suatu

tantangan daripada suatu ancaman.

e. Respon modulation

Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak

berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kemarahannya

pada orang lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam

strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy,

situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan

respon modulation.

Universitas Sumatera Utara


42

7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Williams dari Universitas Duke mengatakan bahwa latihan fisik khususnya yang

mengandung nilai relaksasi seperti meditasi dan hatha yoga dapat mempengaruhi

peningkatan regulasi emosi seseorang karena membantu mengurangi kemarahan, rasa

cemas dan depresi (Robbins, Powers & Burgess, 1997).

Selain faktor diatas, ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi kemampuan

regulasi emosi seseorang, yaitu :

a. Usia

Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan

adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang

semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia

seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol (Maider dalam Coon, 2005).

Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa kemampuan anak melakukan regulasi

emosi tanpa bantuan orang lain terus meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Selain itu, kemampuan untuk mengevaluasi kontrolabilitas dari suatu stressor dan

memilih strategi regulasi juga meningkat sejalan dengan tahapan perkembangan

seseorang (Brenner & Salovey, 1997).

b. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam

mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya.

Perempuan menunjukkan sifat feminimnya dengan mengekspresikan emosi sedih, takut,

cemas dan menghindari mengekspresikan emosi marah dan bangga yang menunjukkan

sifat maskulin. Perbedaan gender dalam pengekspresian emosi dihubungkan dengan

Universitas Sumatera Utara


43

perbedaan dalam tujuan laki-laki dan perempuan mengontrol emosinya. Perempuan lebih

mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta membuat mereka

tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih mengekspresikan marah dan

bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi terhadap emosi marah dan bangga,

sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan cemas (Fischer dalam Coon, 2005).

Menurut Brenner dan Salovey (1997) mengatakan bahwa wanita lebih sering

berusaha mencari dukungan social untuk menghadapi distress sedangkan pria lebih

memilih melakukan aktivitas fisik untuk mengurangi distress. Selain itu, dibanding pria,

wanita lebih sering menggunakan emotion focused regulation yang melibatkan

komponen kognitif dan emosi.

c. Religiusitas

Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya.

Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi

yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya

rendah (Krause dalam Coon, 2005).

d. Kepribadian

Orang yang memiliki kepribadian neuroticism dengan ciri-ciri sensitif, moody,

suka gelisah, sering merasa cemas, panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri

dan tidak memiliki kemampuan coping yang efektif terhadap stres akan menunjukkan

tingkat regulasi emosi yang rendah (Cohen & Armeli dalam Coon, 2005).

Universitas Sumatera Utara


44

e. Pola Asuh

Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk

kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Parke (dalam Brenner & Salovey, 1997)

mengemukakan beberapa cara orang tua mensosialisasikan emosi kepada anaknya

diantaranya melalui: pendekatan tidak langsung dalam interaksi keluarga (antara anak

dengan orang tua); teknik teaching dan coaching; dan mencocokkan kesempatan dalam

lingkungan.

f. Budaya

Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat

mempengaruhi cara individu menerima, menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan

menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai

atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam

berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi (Lazarus, 1991).

g. Individual Dispositional

Brenner & Salovey (1997) menjelaskan bahwa karakteristik kepribadian seperti trait

kepribadian yang dimiliki seseorang, dapat mempengaruhi cara seseorang meregulasi

emosinya. Contohnya, anak yang mengalami depresi cenderung menggunakan strategi

menghindar dalam mengatasi kondisi distress dibanding anak yang tidak mengalami

depresi.

h. Tujuan dilakukannya regulasi emosi (Goals)

Merupakan apa yang individu yakini dapat mempengaruhi pengalaman, ekspresi

emosi dan respon fisiologis yang sesuai dengan situasi yang dialami (Gross, 1999).

Universitas Sumatera Utara


45

i. Frekuensi individu melakukan regulasi emosi (Strategies)

Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara

yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan (Gross, 1999).

j. Kemampuan individu dalam melakukan regulasi emosi (Capabilities)

Jika trait kepribadian yang dimiliki seseorang mengacu pada apa yang dapat individu

lakukan dalam meregulasi emosinya (Gross, 1999).

D. Jantung Koroner

1. Definisi Penyakit Jantung Koroner

Penyakit akibat dari penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi

untuk menyuplai jantung dengan darah yang penuh dengan oksigen. Peredaran darah

menjadi tersumbat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut atherosclerosis (Sarafino,

2006).

Penyakit jantung koroner adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh

penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke otot

jantung. (Soeharto,2000).

2. Faktor Resiko Penyakit Jantung Koroner

Terdapat beberapa faktor risiko penyakit jantung yaitu faktor risiko alami dan

faktor risiko gabungan (Soeharto, 2000).

A. Faktor risiko yang alami terdiri dari:

Universitas Sumatera Utara


46

1. Keturunan.

Hasil studi para pakar ilmu kesehatan menunjukkan bahwa berbagai penyakit

mempunyai hubungan dengan keturunan. Dalam suatu keluarga, ketahanan atau

kerentanan seorang anggota keluarga terhadap penyakit kelihatannya ada keterkaitannya.

Keturunan mengambil peranan penting dalam menentukan risiko alamiah dari PJK.

Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai anggota menderita PJK

dibawah umur 55 tahun menunjukkan bahwa ada anggota lain dari keluarga tersebut

mempunyai penyakit jantung yang bersifat prematur (Soeharto, 2000).

2. Jenis Kelamin.

Penyakit jantung bukan monopoli orang laki-laki. Perempuan pun dapat terkena

juga. Memang betul lebih banyak laki-laki yang terkena serangan jantung daripada

perempuan dan dalam usia yang lebih muda. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan

sebelum fase menopouse memiliki risiko serangan jantung lebih rendah daripada laki-

laki. Hal ini disebabkan oleh hormon estrogen yang bersifat melindungi terhadap

penyakit tersebut (Soeharto, 2000).

Hormon ini mempunyai pengaruh bagaimana tubuh bekerja menghadapi lemak

dan kolesterol, sehingga menghasilkan kadar HDL tinggi dan LDL rendah. Karena itu

pada pemeriksaan darah umumnya perempuan memiliki kadar HDL lebih tinggi daripada

laki-laki. Karena itulah, risiko PJK pada perempuan lebih rendah daripada laki-laki

(Soeharto, 2000).

3. Umur.

Jelas sekali umur merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap terjadinya

pengendapan aterosklerosis pada arteri koroner. Saluran arteri koroner ini dapat

Universitas Sumatera Utara


47

dibandingkan dengan saluran pipa leding, yaitu makin tua umurnya makin besar

kemungkinan timbul kerak di dindingnya, yang menyebabkan terganggunya aliran air

di dalam pipa (Soeharto, 2000).

4. Riwayat Kesehatan Pribadi.

Faktor-faktor tertentu dari riwayat kesehatan pribadi dapat mempengaruhi risiko

terkena PJK. Misalnya, pada mereka yang pernah terkena serangan jantung,

kemungkinan terkena lagi lebih besar dibandingkan dengan mereka yang belum

mengalaminya (Soeharto, 2000).

B. Faktor risiko gabungan terdiri dari :

1. Riwayat keluarga

Hasil studi para pakar ilmu kesehatan menunjukkan bahwa berbagai penyakit

mempunyai hubungan dengan keturunan. Dalam suatu keluarga, ketahanan atau

kerentanan seorang anggota keluarga terhadap penyakit kelihatannya ada keterkaitannya.

Keturunan mengambil peranan penting dalam menentukan risiko alamiah dari PJK.

Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai anggota menderita PJK

dibawah umur 55 tahun menunjukkan bahwa ada anggota lain dari keluarga tersebut

mempunyai penyakit jantung yang bersifat prematur (Soeharto, 2000).

Jika orang tua meninggal karena serangan jantung atau stroke, maka risiko akan

semakin tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan faktor genetik. Eksperimen menunjukkan

sekitar 5 sampai 10 persen bayi yang baru lahir mempunyai kadar kolesterol yang lebih

tinggi dari biasa. Banyak diantaranya tidak berbahaya, dan dalam waktu yang cukup

lama, dapat juga kembali normal. Tetapi ada beberapa orang yang mempunyai apa yang

disebut turunan dari keluarga hypercholesterolaimea, artinya orang tersebut mewarisi

Universitas Sumatera Utara


48

kecenderungan darah berkadar kolesterol yang tinggi. Nasib orang seperti ini memang

kurang menguntungkan, karena mempunyai faktor-faktor risiko yang tinggi untuk

mendapat penyakit jantung pada usia muda (Knight, 1996).

2. Olahraga

Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih peka (sensitif)

terhadap insulin. Sebagai hasilnya organ diatas dapat menggunakan atau menyimpan

glukose lebih efektif, sehingga dapat membantu menurunkan kadar glukose. Keadaan ini

dapat berlangsung untuk beberapa jam setelah melakukan olahraga. Namun demikian,

perlu diingat bahwa meningkatnya kepekaan insulin akan hilang setelah beberapa hari

melakukan olahraga. Manfaat latihan diatas akan hilang bila berhenti 3-4 hari. Keadaan

ini menekankan bagaimana pentingnya melakukan olahraga secara teratur dan

berkesinambungan (Soeharto,2000).

3. Umur

Jelas sekali umur merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap terjadinya

pengendapan aterosklerosis pada arteri koroner. Saluran arteri koroner ini dapat

dibandingkan dengan saluran pipa leding, yaitu makin tua umurnya makin besar

kemungkinan timbul kerak di dindingnya, yang menyebabkan terganggunya aliran air

di dalam pipa (Soeharto, 2000).

4. Merokok

Keadaan jantung dan paru-paru mereka yang merokok tidak akan dapat bekerja

secara efisien. Mereka mempunyai risiko yang tinggi terhadap PJK, stroke, bronkhitis

yang kronis, bahkan kanker (Soeharto, 2000).

Universitas Sumatera Utara


49

Dalam beberapa dekade belakangan ini semakin banyak bukti yang menyatakan

bahwa mengisap rokok adalah salah satu penyebab utama seseorang menderita penyakit

kardiovaskular (Knight, 1996).

5. Tekanan Darah Tinggi

Tekanan darah tinggi atau hipertensi merupakan salah satu faktor risiko PJK.

Jikalau dibiarkan tanpa perawatan yang tepat, dapat timbul komplikasi yang berbahaya.

Penderita sering tidak menyadari selama bertahun-tahun sampai terjadi komplikasi besar

seperti stroke, serangan jantung atau kegagalan ginjal (Soeharto, 2000).

6. Kegemukan

Obesitas atau kegemukan adalah kata yang digunakan untuk menunjukkan adanya

penumpukan lemak tubuh yang melebihi batas normal (Soeharto, 2000). Hubungan di

antara badan yang terlalu gemuk dengan penyakit sudah jelas. Pertambahan berat badan

biasanya ditimbulkan oleh karbohidrat dan lemak yang terlalu banyak. Lebih banyak

orang yang timbangan badannya terlalu berat menderita penyakit jantung koroner

(Knight, 1996).

7. Jenis Kelamin

Penyakit jantung bukan monopoli orang laki-laki. Perempuan pun dapat terkena

juga. Memang betul lebih banyak laki-laki yang terkena serangan jantung daripada

perempuan dan dalam usia yang lebih muda. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan

sebelum fase menopouse memiliki resiko serangan jantung lebih rendah daripada laki-

laki. Hal ini disebabkan oleh hormon estrogen yang bersifat melindungi terhadap

penyakit tersebut (Soeharto, 2000).

Universitas Sumatera Utara


50

8. Kadar kolesterol LDL.

LDL (Low Density Lipopprotein Cholesterol) adalah inti dari permasalahan

penyakit jantung koroner dan sering dinamakan kolesterol jahat. LDL di dalam darah

dapat mengendap di dinding arteri menjadi padat yang terdiri dari campuran kalsium,

fibers, dan zat-zat lain yang kesemuanya disebut plak (plaque). Terbentuknya plak

tersebut menyebabkan penyakit aterosklerosis. Sebetulnya jantung sendiri biasanya sehat,

tetapi saluran darah arterinya sering tersumbat oleh plak tersebut. Ini disebut CHD

(Coronary Hearth Disease). Makin besar kadar LDL didalam darah, resiko PJK semakin

tinggi (Soeharto, 2000).

9. Stress

Stress dianggap merupakan salah satu faktor risiko dari PJK, meskipun belum

dapat diukur berapa besar pengaruh tersebut memicu timbulnya PJK. Deskripsi yang

paling mendekati ialah suatu keadaan mental yang nampak sebagai kegelisahan,

kekhawatiran, tensi tinggi, keasyikan yang abnormal dengan suatu dorongan atau sebab

dari lingkungan yang tidak menyenangkan.

Beberapa studi kepribadian mengungkapkan bahwa kepribadian Tipe A yang

ambisius, kemauan keras, mencapai sasaran super dan mereka yang umumnya sulit

menjadi puas atau senang ternyata lebih mudah mendapatkan penyakit jantung koroner

daripada kepribadian Tipe B, yang dicontohkan sebagai orang-orang yang lebih mudah

merasa beruntung, tidak terlalu ambisius, dan mudah puas. Tingkat stress yang tinggi

dapat menyebabkan serangan jantung, teristimewa kalau faktor risiko koronber lainnya

juga hadir. (Soeharto, 2000).

Universitas Sumatera Utara


51

10. Diabetes Mellitus.

Diabetes menyebabkan faktor risiko terhadap PJK yaitu bila kadar glukosa darah

naik, terutama bila berlangsung dalam waktu yang cukup lama karena gula darah

(glucose) tersebut dapat menjadi racun terhadap tubuh, termasuk sistem kardiovaskular.

Pasien dengan diabetes cenderung mengalami serangan jantung pada usia yang masih

muda (Soeharto, 2000).

Menurut Sarafino (2006), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyakit

jantung koroner, yaitu:

a. Gaya hidup dan biologis

Yang dapat menyebabkan penyakit jantung antara lain sejarah keluarga tentang

penyakit jantung, tekanan darah tinggi, tingginya level kolesterol LDL dan low HDL,

fisik yang lemah, diabetes, obesitas, stress.

b. Emosi negatif

Berdasarkan hasil penelitian, baik pria atau wanita yang memiliki level yang

tinggi pada depresi, dan kecemasan cenderung lebih rentan terkena penyakit jantung. Ada

dua alasan yang dapat menjelaskan hal ini, yang pertama saat emosi negatif terjadi, maka

gaya hidup sehat berkurang. Alasan kedua jika emosi negatif berdampak pada psikologis

yang dapat menyebabkan penyakit jantung, Orang-orang dengan tipe kepribadian A juga

lebih cenderung terkena penyakit jantung. Sebab mereka adalah orang-orang yang reaktif,

serta memiliki tingkat kemarahan dan permusuhan yang tinggi.

Menurut Sarafino (2006) beberapa faktor risiko dari penyakit jantung koroner

telah diidentifikasi dan beberapa diantaranya digolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor

yang tidak dapat diubah dan faktor yang dapat dirubah. Faktor yang tidak dapat diubah

Universitas Sumatera Utara


52

seperti status pendidikan, mobilitas sosial, kelas sosial, usia, gender, sejarah keluarga, ras

dan lain-lain, dan faktor yang dapat diubah seperti perilaku merokok, obesitas, gaya

hidup yang menetap, stress kerja dan tipe perilaku.

3. Gejala-gejala Utama Serangan Jantung

Menurut Knight (1996) Ciri-ciri serangan jantung pada umumnya nyata dan jelas.

Itu sebabnya perlu mengenal gejala-gejala terjadinya serangan jantung yaitu:

1. Rasa nyeri di dalam dada

Inilah tanda yang paling umum, dan dialami setiap kali terjadinya serangan

jantung. Ini sama dengan oklusi koroner. Artinya pembuluh nadi koroner tersumbat

akibat adanya pembekuan darah atau throumbus.

Variasi sakit tersebut terjadi sangat besar, dan terjadi secara tiba-tiba. Terjadi di

sembarang waktu siang atau malam. Biasanya terjadi di bagain depan dada, pada

tulangdada lalu menyebar keseluruh dada, khususnya di bagian lengan kiri.

2. Shock

Shock adalah satu hal yang biasa terjadi pada orang yang mengalami infark dan

terjadi pada setiap tahap. Gejala umum dari shock termasuk rasa lemah dan pusing, atau

pingsan. Ada juga yang lebih kentara dan parah. Kulitnya pucat, dingin dan basah.

Apabila itu shock kardiak maka keadaan orang itu parah, dan sering membawa maut.

3. Gejala gagal jantung

Gejala ini terasa pada setiap kali ada infark, dan muncul dengan tiba-tiba dan

sangat berbahaya. Itu terjadi karena jantung tidak mampu melakukan tugasnya pada saat

aksi datang secara mendadak, dan gagal melakukan tugasnya secra normal.

Universitas Sumatera Utara


53

4. Denyut jantung tidak teratur

Kadang-kadang timbul ketidak teraturan denyut jantung. Kontraksi dini jantung

yang bebas dari irama jantung normal, disebut extra systolis, sering terjadi dan

kemudian akan terus tidak teratur baik kecepatan maupun kekuatannya, ini disebut

atrial fibrillation.

E. Hubungan keteraturan shalat lima waktu dengan regulasi emosi.

Regulasi emosi ialah kemampuan secara fleksibel untuk mengendalikan emosi

yang dirasakan dan ditampilkan sesuai dengan tuntutan lingkungan (Denham dalam

Coon, 2005). Saat melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau

mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif

(Kostiuk & Fouts, 2002).

Menurut Krause (dalam Coon, 2005), salah satu faktor yang mempengaruhi

regulasi emosi seseorang adalah religiusitas. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya

akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan

dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. Drikarya (dalam Widiyanta, 2005)

mendefenisikan religiusitas sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus

dilaksanakan yang berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok

orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya.

Selanjutnya, Glock dan Stark (dalam Anggarasari, 1997) mengatakan bahwa

keberagamaan seseorang menunjuk pada ketaatan dan komitmen seseorang terhadap

agamanya. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah suatu

penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen seseorang

Universitas Sumatera Utara


54

dalam melaksanakan ajaran agamanya. Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan

Suroso, 2005) religiusitas sendiri memiliki lima dimensi dan salah satunya adalah

dimensi praktek agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal

yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

Dalam keberislaman, dimensi peribadatan (praktek ibadah) menyangkut pelaksanaan

shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid

pada bulan puasa dan sebagainya.

Rahayu (2005) menyebutkan bahwa shalat adalah kegiatan yang menggabungkan

antara kegiatan fisik, mental, dan spiritual. Tidak hanya itu, shalat mampu memberikan

makna tak hanya bagi diri individu, tetapi juga bagi hubungan antara manusia dengan

Tuhannya dan hubungan sosial manusia yang satu dengan yang lain. Tegaknya shalat

berarti menyatukan pikir (akal, emosi), mental (spiritual, keikhlasan) dan lahir (fisik,

perbuatan) dalam satu titik keseimbangan yang harmonis, sehingga dapat dikatakan

bahwa salah satu bentuk penyembuhan spritual adalah shalat.

Shalat dengan gerakan tubuh dan waktunya yang teratur sangat bermanfaat untuk

tubuh, sekaligus ia merupakan ibadah ruhiyah. Dzikir, tilawah dan doa-doanya sangat

baik untuk pembersihan jiwa dan melunakkan perasaan. Berdasarkan penemuan-

penemuan mutakhir yang menyatakan bahwa kesehatan tubuh dan penyakit sebenarnya

berasal dari penyakit jiwa, dan banyak penyakit tubuh sesungguhnya dapat disembuhkan

melalui ketenangan jiwa, maka shalat dapat dilihat sebagi sarana kesehatan tubuh juga

(Banna dalam Nurdin, 2006). Menurut Sholeh (2006) Shalat jika dilakukan secara

kontinu, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan

respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-

Universitas Sumatera Utara


55

nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan

ndividu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping).

Shalat seperti meditasi mempunyai efek yang mujizat terhadap seluruh sistem

tubuh kita seperti syaraf, peredaran darah, pernapasan, pencernaan, pengeluaran, otot-

otot, kelenjar, reproduksi dan lain-lain. Shalat juga sebagai meditasi yang dapat

melepaskan diri dari kesibukan dunia yang mencemaskan, untuk masuk ke dalam suasana

tenang walau sesaat pada waktu-waktu yang telah ditentukan secara teratur, untuk berdoa

kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga dapat mengurangi kecemasan (Nizami,

1981). Shalat membuat jiwa menjadi tenang, tidak gelisah, takut atau khawatir,

membawa keteguhan hati dan sikap optimis serta ketenangan jiwa (Rafiudin & Zainudin

2004). Hal ini sejalan dengan pendapat Hasan (2000) mengatakan salah satu hikmah

shalat yaitu sebagai penenang jiwa orang resah gelisah. Basyarahil (2001) juga

mengatakan bahwasanya shalat dapat menimbulkan ketenangan hati dan ketentraman

batin.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwasanya

manfaat shalat yang dirasakan menggambarkan adanya peningkatan proses kemampuan

seseorang dalam mengatur atau meregulasi emosinya sehingga dapat diperoleh

kesimpulan bahwa keteraturan shalat lima waktu memiliki hubungan dengan regulasi

emosi.

Universitas Sumatera Utara


56

F. Kerangka Berfikir
Lansia

Perubahan/Masalah

Psikologis Kesehatan Ekonomi Sosial Budaya

PJK Gaya Hidup dan Biologis

Emosi Negatif
Karakteristik Lansia Karakteristik PJK

Sikap Terhadap Penyakit Kronis

Cemas

Emosi Negatif

Budaya
Cara Mengatasi
Jenis kelamin

Usia
Regulasi Emosi
Religiusitas Praktek Agama

Dll.
Shalat

Keteraturan Shalat
Khusyuk Gerakan

Universitas Sumatera Utara


57

Keterangan Gambar:

Melihat apakah ada hubungan

Salah satu dimensinya

Faktor yang mempengaruhi

Terdiri dari

Penyebab

G. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas, maka

hipotesa penelitian adalah : Ada Hubungan positif antara keteraturan shalat lima waktu

dengan regulasi emosi pada lansia penderita jantung koroner. Semakin teratur shalat lima

waktu lansia penderita jantung koroner maka semakin meningkat kemampuan regulasi

emosinya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai