Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teripang

2.1.1. Morfologi teripang

Teripang adalah salah satu anggota hewan berkulit duri (Echinodermata),

tetapi tidak semua jenis teripang mempunyai duri pada kulitnya. Duri-duri pada

teripang tersebut sebenarnya merupakan rangka atau skelet yang tersusun dari zat

kapur dan terdapat di dalam kulitnya (Widodo, 2013).

Teripang laut memiliki tubuh bulat panjang atau silindris, dengan mulut

berada di ujung dan dubur di ujung lainnya. Mengingat bentuknya yang bulat

panjang atau silindris menyerupai mentimun, maka teripang laut juga dikenal

sebagai sea cucumber. Mulutnya dikelilingi oleh 20 tentakel atau lengan peraba

yang bercabang-cabang yang berfungsi untuk menangkap makanan, dan dalam

tentakel ini terdapat gigi yang tersusun seperti lampu yang disebut lentera

aristoteles. Tubuh seperti berlemak, tipis atau tebal dan licin, dengan kulit halus

atau berbintil. Punggung lurus dengan 3-6 lingkaran tak beraturan, sedangkan

pada bagian perut yang pipih atau rata dijumpai banyak kaki tabung. Warna

tubuh teripang bervariasi, ada yang hitam, cokelat dan abu-abu. Teripang bergerak

sangat lambat/lamban dan dalam melindungi diri dari musuhnya, teripang

menggunakan lendir yang beracun dalam tubuhnya (Kuncoro, 2004).

2.1.2. Klasifikasi teripang

Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian

Oseanografi, Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), klasifikasi teripang

Pearsonothuria graeffei adalah sebagai berikut :

6
Universitas Sumatera Utara
Filum/Divisi : Echinodermata

Kelas/Class : Holothuroidea

Bangsa/Ordo : Aspidochirotida Grube, 1840

Suku/Famili : Holothuriidae Ludwig, 1894

Marga/Genus : Pearsonothuria Levin, Kalin & Stonink, 1984

Jenis/Species : Pearsonothuria graeffei (Semper, 1868)

2.1.3. Kelamin dan reproduksi teripang

Teripang termasuk hewan dioecious atau dengan alat kelamin berumah

dua sehingga alat kelamin jantan dan betina terletak pada individu yang berlainan.

Jenis kelamin ini dapat diketahui bila dilakukan pembedahan, karena untuk

membedakannya secara morfologis sulit dilakukan. Kelamin jantan biasanya

berwarna putih seperti cairan susu sedangkan kelamin betina bulat berwarna

kuning dengan ukuran 160-180 m (Wibowo, dkk., 1997).

Pembuahan teripang bersifat eksternal atau terjadi diluar tubuh,

biasanya di dalam air. Telur yang sudah dibuahi akan tenggelam dan menetas

setelah 32 jam membentuk larva. Teripang masuk ke fase Auricularia, Doliolaria,

Pentactula setelah fase larva dan terakhir menjadi teripang muda dengan kurun

waktu 60 hari (Wibowo, dkk., 1997).

2.1.4. Habitat dan penyebaran

Teripang dapat ditemukan hampir di seluruh perairan pantai, mulai daerah

pasang surut yang dangkal sampai perairan yang lebih dalam. Teripang umumnya

menempati ekosistem terumbu karang dengan perairan yang jernih, bebas dari

polusi, air relatif tenang dengan mutu air cukup bagus (Wibowo, dkk., 1997).

Cara hidup teripang ada yang berkelompok dan ada pula yang hidup soliter

(sendiri). Makanan yang disukai teripang di antaranya organisme-organisme kecil,

7
Universitas Sumatera Utara
detritus, diatomi, protozoa, nematoda, dan juga foraminifera, radiolaria, dan

partikel pasir atau hancuran karang (Widodo, 2013).

Penyebaran teripang di Indonesia sangat luas, antara lain perairan pantai

Madura, Bali, Lombok, Aceh, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Belitung,

Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Timor dan Kepulauan Seribu (Widodo, 2013).

2.1.5. Kandungan gizi dan manfaat

Teripang atau gamat telah dikenal dan dimanfaatkan sejak lama oleh

bangsa Cina sebagai makanan mewah dan juga obat tradisional. Teripang

digunakan untuk membantu mengatasi keluhan seperti menyembuhkan luka,

meredakan rasa sakit di persendian, memperlancar sirkulasi darah dan secara

umum dikonsumsi sebagai hidangan spesial untuk menjaga kesehatan karena

dinilai sebagai ginseng laut (Widodo, 2013). Masyarakat Indonesia juga telah

lama mengenal teripang. Masyarakat di sekitar pesisir sudah mengkonsumsi

teripang secara turun temurun dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan

secara sederhana, seperti perebusan dan pengasapan serta pengawetan dilakukan

dengan cara menjemur di panas matahari (Anonim, 2003).

Kandungan gizi yang terdapat pada teripang diantaranya vitamin A,

vitamin B1 (thiamin), vitamin B2 (riboflavin), vitamin B3 (niasin), dan mineral

khususnya kalsium, magnesium, zat besi, zinc, fosfor, natrium, kalium (Bordbar,

dkk., 2011). Kandungan nutrisi teripang dalam kondisi kering terdiri dari protein

sebanyak 82%, lemak 1,7%, kadar air 8,9%, kadar abu 8,6% dan karbohidrat 4,8%

(Martoyo, dkk., 2006). Kandungan kimia teripang dalam keadaan basah yaitu 44 -

45% protein, 3 - 5% karbohidrat, dan 1,5% lemak (Anonim, 2003).

Beberapa aktivitas farmakologi dari teripang yaitu antikanker,

antikoagulan, antihipertensi, antiradang, antimikroba, antioksidan, antitumor, dan

8
Universitas Sumatera Utara
antitrombosis. Manfaat pengobatan dari teripang ini dapat dihubungkan oleh

adanya kandungan bioaktif, seperti triterpen glikosida (saponin), kondroitin sulfat,

glycosaminoglycan (GAGs), sterol, fenol, lektin, peptida, glikoprotein, dan asam

amino esensial (Bordbar, dkk., 2011).

Menurut Zhang, dkk. (2006), senyawa metabolit yang dominan dihasilkan

teripang adalah saponin. Saponin adalah suatu glikosida alami yang tersebar luas

pada tumbuhan tinggi, tetapi dijumpai juga pada hewan seperti invertebrata laut

(Podolak, dkk., 2010). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat

seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa

dan menghemolisis sel darah (Harborne, 1987).

Saponin terdiri dari bagian glikon dan aglikon. Bagian aglikon dapat

memiliki struktur steroid atau triterpenoid (Podolak, dkk., 2010). Steroid adalah

triterpena yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren.

Steroid dahulu dianggap sebagai senyawa satwa, tetapi pada tahun-tahun terakhir

ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan

(Harborne, 1987).

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa

alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tidak berwarna,

berbentuk kristal, sering kali bertitik leleh tinggi dan aktif optik, yang umumnya

sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan

adalah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat-asam sulfat pekat) yang

dengan kebanyakan triterpena dan steroid memberikan warna hijau biru.

Triterpenoid dapat dibedakan menjadi sekurang-kurangnya empat golongan

9
Universitas Sumatera Utara
senyawa, yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung

(Harborne, 1987).

2.2. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung (Depkes RI, 1979).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia

yang di ekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang

tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain (Depkes RI,

2000).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut berdasarkan Depkes RI, 2000

yaitu:

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip

metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti

dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti

dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan

maserat pertama, dan seterusnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

10
Universitas Sumatera Utara
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap

maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan

ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya

1-5 kali bahan.

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara

umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

d. Infundasi

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur

96-98 oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah infundasi pada waktu yang lebih lama ( 30 menit)

dan temperatur sampai titik didih air.

11
Universitas Sumatera Utara
2.3. Ekstraksi Cair-Cair

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik yang mana suatu larutan

(biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya

pelarut organik), yang pada hakikatnya tidak tercampurkan, pada proses ini terjadi

pemindahan satu atau lebih zat terlarut (solute) kedalam pelarut yang kedua

(Bassett, dkk., 1994).

Pemisahan yang dilakukan bersifat sederhana, bersih, cepat dan mudah,

yang dapat dilakukan dengan cara mengocok-ngocok dalam sebuah corong pisah

selama beberapa menit (Bassett, dkk., 1994). Analit-analit yang mudah

terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan

secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar.

Senyawa-senyawa yang mudah mengalami ionisasi dan senyawa polar lainnya

akan tertahan dalam fase air (Rohman, 2007).

Pelarut organik yang dipilih untuk ekstraksi pelarut ialah pelarut yang

mempunyai kelarutan yang rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga

memudahkan penghilangan pelarut organik setelah dilakukan ekstraksi, dan

mempunyai kemurnian yang tinggi untuk meminimalkan adanya kontaminasi

sampel (Rohman, 2007).

2.4. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode uji

toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang

bersifat toksik dari bahan alam. Metode ini dapat digunakan sebagai bioassay

guided fractionation dari bahan alam karena mudah, cepat, murah, dan cukup

reprodusibel. Beberapa senyawa bioaktif yang telah berhasil diisolasi dan

12
Universitas Sumatera Utara
aktivitasnya dimonitor dengan BSLT menunjukkan adanya korelasi terhadap

suatu uji spesifik antikanker. Toksisitas ditentukan dengan melihat harga LC 50

yang dihitung berdasarkan analisis probit. Ekstrak ditentukan dengan melihat

LC50 nya lebih kecil atau sama dengan 1000 mcg/ml (Harmita, dkk., 2008).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) adalah pengujian yang sederhana, ini

didasari pada kemampuan membunuh dari senyawa yang diuji pada organisme

zoologi yaitu Artemia salina. BSLT digunakan secara luas untuk mengevaluasi

toksisitas logam berat, pestisida, obat-obatan khususnya ekstrak tumbuhan (Wu,

2014). Hasil uji BSLT yang menunjukkan bahwa ekstrak tumbuhan bersifat toksik

maka dapat dikembangkan ke penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa

sitotoksik tumbuhan sebagai usaha pengembangan obat alternatif antikanker

(Kurniawan, 2012).

2.5. Artemia salina Leach

2.5.1. Klasifikasi Artemia salina Leach

Artemia adalah jenis udang-udangan kecil tingkat rendah yang

digolongkan sebagai zooplankton. Artemia atau yang juga dikenal dengan nama

brine shrimp merupakan hewan dari kelas crustacea yang hidup di air bergaram.

Crustacea ini sangat populer di kalangan pembenih udang karena dapat memacu

pertumbuhan benih, mudah di cerna, dan kandungan nutrisinya yang tinggi,

terutama karena kandungan proteinnya (40-60% dari berat total) dan kaya akan

asam lemak esensial. Klasifikasi artemia biasanya dilakukan berdasarkan lokasi

berkembangnya artemia tersebut. Artemia yang berkembang secara alami di suatu

lokasi atau kawasan mempunyai karakteristik morfologi dan taksonomi yang

berbeda (Wibowo, dkk., 2013).

13
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi Artemia salina :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Subfilum : Crustacea

Kelas : Branchiopoda

Ordo : Anostraca

Famili : Artemiidae

Genus : Artemia

Spesies : Artemia salina (Linnaeus, 1758) ( Dumitrascu, 2011).

2.5.2. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach

Gambar 2.1. Siklus pertumbuhan Artemia salina Leach (Bachtiar, 2003).

Artemia berkembangbiak dengan dua cara, yakni secara partenogenesis

dan biseksual. Seluruh populasi artemia pada perkembangbiakan secara

partenogenesis adalah betina. Artemia betina ini kemudian bertelur, menetas dan

Menghasilkan individu baru berupa embrio tanpa dibuahi oleh sperma artemia

14
Universitas Sumatera Utara
jantan. Populasi artemia yang berkembangbiak secara biseksual terdiri atas jenis

jantan dan betina yang melakukan perkawinan, yang kemudian menghasilkan

embrio (Bachtiar, 2003).

Daur hidup artemia mengalami beberapa fase sebagai berikut :

a. Fase kista (telur)

Fase kista adalah suatu kondisi istirahat pada hewan crustacea tingkat rendah

seperti artemia. Ketika direndam ke dalam air laut, kista atau telur akan

menyerap air (hidrasi), akibatnya di dalam kista terjadi proses metabolisme

embrio yang aktif. Berselang 24-48 jam kemudian, cangkang kista akan pecah

dan muncul embrio yang masih terbungkus oleh selaput penetasan.

b. Fase nauplius

Nauplius adalah larva stadium tingkat pertama dari artemia. Embrio yang

masih terbungkus selaput penetasan akan berkembang menjadi organisme baru

yang dapat berenang bebas di perairan. Fase ini diawali oleh pecahnya selaput

penetasan yang masih membungkus embrio (nauplius). Larva ini berwarna

jingga kecokelatan karena membawa kuning telur yang melekat pada tubuhnya.

Panjang tubuh nauplius 0,4-0,7 mm dengan berat 15-20 mcg.

c. Fase dewasa

Fase dewasa adalah kondisi nauplius yang telah berkembang menjadi artemia

dewasa. Ciri artemia dewasa adalah terdapat sepasang mata majemuk dan

antena sensor pada kepala serta memiliki saluran pencernaan. Tubuh artemia

dewasa dapat mencapai 1-2 cm dan beratnya sekitar 10 mg (Bachtiar, 2003).

2.5.3. Penggunaan Artemia sebagai hewan uji toksisitas

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode uji

toksisitas untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik. Metode ini

15
Universitas Sumatera Utara
menggunakan larva Artemia salina Leach sebagai hewan coba. Uji toksisitas

dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut, yaitu efek toksik dari

suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat setelah pemberian dosis uji

(Wibowo, dkk., 2013).

Penggunaan Artemia salina ini memang tidak spesifik untuk antikanker

maupun fisiologis aktif tertentu, namun beberapa penelitian terdahulu

menunjukkan adanya korelasi yang signifikan terhadap beberapa bahan, baik

berupa ekstrak tanaman atau aksinya sebagai antikanker secara lebih cepat

dibandingkan dengan prosedur pemeriksaan sitotoksik yang umum, misalnya

dengan biakan sel kanker. Melihat adanya potensi sebagai antikanker tersebut,

maka penelitian lanjutan dapat dilanjutkan, yaitu dengan mengisolasi senyawa

berkhasiat yang terdapat di dalam ekstrak disertai dengan monitoring aktivitasnya

dengan uji larva udang atau metode yang lebih spesifik sebagai antikanker

(Meyer, dkk., 1982).

Pengujian menggunakan BSLT diterapkan dengan menentukan nilai

Lethal Concentration 50% (LC50) setelah perlakuan 24 jam. Nilai LC50

merupakan angka yang menunjukkan konsentrasi suatu bahan penyebab kematian

sebesar 50% dari jumlah hewan uji (Wibowo, dkk., 2013).

16
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai