PENGERTIAN AUTISTIK
Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos =aku, yaitu seluruh sikap anak
yang mengarah pada dunianya sendiri. Autistik pertama kali ditemukan oleh Dr. Leo
Kanner pada tahun 1943, seorang psikiatri dari Amerika sehingga istilah austistik juga
sering disebut sebagai Syndroma Kanner, di mana Kanner menggunakan metode
pengamatan terhadap 11 orang penderita sutistik dan menemukan ciri-ciri umum dari
ke-11 penderita sutistik, yakni adanya kesulitan dalam membina relasi sosial,
mengisolasi diri, perilaku aneh, dan berkomunikasi yang tidak dimengerti orang lain
(aneh).
Istilah autistik menunjukkan suatu gejala psikologis pada yang unik dan
menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang
melibatkan dirinya. Reaksi perilaku mereka tidak sesuai dengan situasi, bahkan
terkadang sama sekali tidak ada reaksi (Siti Rahayu, 1987).
Pada dasarnya, autistik bukan penyakit, tetapi merupakan sindrom (kumpulan
gejala) yang ditandai dengan penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan
berbahasa dan rendahnya kepedulian pada lingkungan sekitarnya sehingga anak
autistik hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003).
Autistik adalah suatu keadaan dimana seseorang berbuat semaunya sendiri
baik cara berpikir maupun perilaku. Kondisi ini dapat diketahui sejak usia 2-3 tahun.
autistik dapat menyerang pada siapa saja dan mengabaikan latar belakang
sosioekonomi dan etnis (Faisal, dalam Kasih, 2007).
Autistik adalah suatu gejala defisit perkembangan pervasif di awal kehidupan
anak yang disebabkan gangguan perkembangan dan ditandai terganggunya
perkembangan pola interaksi sosial, bahasa, wicara serta perilaku repititif,
stereotipikal, dan obsesif.
Mark Durand dan David H. Barlow (2007) mengatakan bahwa autistik adalah
gangguan masa kanak-kanak yang ditandai ada hendaya (ketidakmampuan) yang
signifikan pada interaksi sosial, komunikasi dan pola-pola perilaku, interes dan
aktivitas yang sangat terbatas.
Linda C. Copel (2007) mengatakan bahwa autistik adalah gangguan
perkembangan pervasif pada masa kanak-kanak yang dimanifestasikan dengan
kerusakan hebat dalam interaksi sosial dan imajinatif. Aktivitas dan gerakannya
sangat terbatas, berulang-ulang, aneh, tak sesuai, bahkan terkadang perilaku merusak.
Misal gerakan tubuh yang bergoyang-goyang, tubuh yang berputar-putar, membentur-
benturkan kepala atau menggigit bagian anggota tubuh tertentu secara ekstrem.
Jadi dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan
kompleks pada fungsi otak yang disertai dengan defisit intelektual dan perilaku dalam
rentang dan keparahan yang luas. Autisme dimanifestasikan selama masa bayi dan
awal masa kanak-kanak terutama sejak usia 18 sampai 30 bulan. Autisme terjadi
1:2500 anak, sekitar empat kali lebih sering pada lelaki dibanding perempuan
(meskipun perempuan biasanya terkena lebih parah) dan tidak berhubungan dengan
tingkat sosial ekonomi, ras atau gaya hidup orang tua.
2. EPIDEMIOLOGI
- Faktor Neurobiologis
Bukti bahwa anak autis berhubungan dengan bentuk kerusakan organnik
(otak) tertentu sangat tampak jelas. dari data prevalensi emnunjukkan bahwa
tiga dari empat oran gpenderita autistik memiliki kecenderungan retardasi
mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70% sehingga penderita autis
memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti kekakuan gerak tubuh dan
cara berjalan yang abnormal (Tsai dan Ghaziuddin, 1992).
Melalui teknologi brian imaging dan pemindaian modern menemukan
bahwa ada gambaran yang jelas mengenai terjadinya disfungsi neurobiologis
pada autistik. Para ahli menggunakan CT dan MRI dan menemukan adanya
abnormalitas cerebellum pada penderita autis. (B.S, 1991). Penemuan ini
diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang meenemukan adanya
keterkaitan abnormalitas otak bagian cerebellum terhadap pembentukan
gangguan autistik.
Riset neurobiologis lainnya menambahkan bahwa adanya pengaruh
pada komplikasi pranatal dan pascanatal pada kerusakan sistem saraf pusat,
terutama kerusakan otak kecil (cerebellum), kerusakan fungsi otak akibat
cedera otak saat dilahirkan dan adanya kelainan organik, seperti pada
phenyhetonarin, tuberios sclerosis, congenital rubella syndroma, dan fragile X
syndroma. Salah satu contohnya malfungsi pada otak hemisfer kiri yang
membuat anak sulit berbahasa dan berpikir.
- Faktor Kelahiran
Pendarahan selama masa kehamilan sering bersumber dari placenta
complication yang menyebabkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke
janin yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Pendarahan pada awal
kehamilan memiliki berat bayi yang rendah, di mana kondisi ini sangat rentan
terjadinya autistik.
Dalam periode neonatus, anak autis mempunyai insiden yang tinggi
untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa
komplikasi yang timbul pada neonatus sangat memengaruhi kondisi fisik bayi
yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling
berbahaya adalah adanya hambatan aliran darah pada otak dan oksigen ke
seluruh tubuh. Tentu organ paling sensitif terkena autistik adalah otak.
Gangguan persalinan lainnya yang memiliki risiko terkena autistik
adalah pada saat pemotongan tali pusar yang dini, asfiksia, komplikasi dan
lamanya persalinan, serta letak posisi bayi dalam kandungan dan berat badan
bayi.
- Faktor Virus
Jenis-jenis virus yang bisa memicu gangguan autis adalah virus herpes,
vaaricella, epstern basa, dan human herpes virus. Diperkirakan virus-virus ini
bisa menimbulkan kejang-kejang demieliminasi sebagai salah satu
karakteristik spektrum autistik.
- Faktor Vaksinasi
Pada saat ini, pemberian vaksin dalam kombinasi three in one, yakni
pemberian vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR = Mump, Measles and
RUbella) selama ini masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia.
Akan tetapi, pada sisi lain, berdasarkan data-data patologis ditemukan bahwa
vaksin MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan
autis regresif.
Selain itu, pemebrian vaksin hepatitis B dan MMR yang terlalu banyak
bisa berakibat dalam pembentuka autis. Diperkirakan vaksin ini mengandung
zat pengawet thimerosol yang terdiri dari etil merkuri yang menjadi penyebab
utama pada sindrom autis spectrum disorder. Namun penelitian ini masih
dalam kajian yang lebih mendalam lagi karena belum data-data yang
signifikan.
b. Faktor Psikologis dan Keluarga
- Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autis adalah
ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya
berbeda dengan oran glian, tidak emmiliki percaya diri pada kekuatan dan
potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang
terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam
relasi sosial, ketidakmampuan berbahasa, rendahnya konsep diri dan perilaku
yang tidak lazim.
- Faktor Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian terakhir yang membandingkanantara orang
tua yang memiliki anak utistik dan orang tua yang tidak memiliki anak autistik
ternyata tidak menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dalam kemampuan
membesarkan anak. Belum ada bukti yang signifikan yang mengatakan bahwa
keluarga yang menyimpang atau kumpulan faktor psikodinamika yang dapat
menyebabkan terjadinya perkembangan dan pembentukan autistik. Akan
tetapi, pasa anak autis memiliki respons stresor psikososial, seperti kelahiran
adik baru atau baru pindah rumah.
Secara historis, gangguan autistik merupakan akibat pola asuh keluarga
yang gagal. (Tinbergen dan Timbergen, 1972). Sikap orang tua dari anak
autistik ditengarai dapat memicu pembentukan autistik, seperti orang tua yang
menekankan pola perfeksionisme atau sikap dingin terhadap anak. (Rutter,
Newman, dan Bartak, 1975). Deskripsi ini mendorong agar orang tua turut
bertanggung jawab mengurangi pembentukan autistik. Bayangkan jika Anda
bersikap begitu dingin pada anak autistik, dimana sikap ini dapat
menyebabkan disabilitas yang serius dan permanen, misal ekolalia atau defisit
dalam keterampilan sosial dan komunikasi.
c. Terapi Perilaku
Berbagai jenis terapi perilaku telah lama dikembangkan untuk mendidik anak
dengan bantuan khusus, termasuk salah satunya aadalah autistik. Pola terapi
perilaku lebih menekankan usaha reduksi perilaku aneh dan tak lazim, yakni
menggantikan perilaku adaptif yang dapat diterima. Terpai perilaku sangat penting
bagi anak autis, karena mengajarkan mereka beradaptasi dengan orang lain. Terapi
perilaku bukan hanya semata dilakukan guru saat anak autistik belajar, namun yang
paling banyak berperan adalah tiap anggota keluarga, misal dengan menanamkan
sikap kebersamaan dan konsistensi.
Linda C. Copel (2007) mengatakan bahwa dalam terapi perilaku sebaiknya
berfokus tidak hanya pada usaha pengurangan perilaku yang aneh, tetapi juga
pengurnagan pada gangguan emosi, yakni dengan memberikan sikap penghargaan
untuk perilaku yang sesuai dilakukan anak autistik dan mengabaikan perilaku
negatif, misal dengan metode temper-tantrum manakala perilaku anak autis
merusak atau mengancam kehidupan jiwanya.
Perlu untuk diketahui bahwa sesi terapi perilaku sebaiknya dilakukan secara
intensif dan terkendali. Artinya terlebih dahulu dipastikan jadwal terapi, rutinitas,
bermain, dan rekreasi anak autus secara seimbang denga tujuan jangan membuat
suasana panik. Oleh sebab itu, perhatikan tingkat kemampuan kognisi dan aspek-
aspek perkembangan biopsikologis anak autis.
Jenis-jenis Terapi Perilaku
a) Terapi Okupasi
Sebagian besar penderita autistik memiliki perkembangan motorik
yang kurang baik, seperti gerak gerik kasar dan halusnya yang kurang
luwes dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Oleh sebabitu, terapi
yang tepat pada anak autis gangguan motorik adalah terapi okupasi. Terapi
okupasi menekankan pada usaha penguatan otot-otot anggota tubuh, yakni
penguatan, memperbaiki sistem koordinasi gerakan dan pengembangan
keterampilan otot-otot tubuh, misal pelatihan otot jari-jari agar merek
adapat menulis dan melakukan kegiatan keterampilan tangan.
b) Terapi Wicara
Bagi sebagian besar penderita gangguan autistik memiliki
keterlambatan dan kesulitan berbahasa. Speech therapy merupakan salah
satu metode meningkatkan bicara pada nak autistik. Penatalaksanaan
keperawatan memakai metode analisis ABA (Applied Behavior Analysis).
Metode ini dipilih karena berstruktur sehingga mudah diajarkan pada para
terapis yang manangani anak autistik. Materi yang diajarkan tersedia
dalam buku Behavioral Interventing for Young Children with Autisticm,
karya Caterine Maurice.
Jenis-jenis terapi wicara lainnya yang juga sering dipakai pada
penanganan anak autis adalah DDT (Discrete Trial Training), LEP
(Learning, Experience, and Alternative Program for Preschooler and
Parent). Option therapy, floor time and daily life therapy, holding therapy,
dan TEACH (Treatment and Education of Austict Handicapped Children).
c) Sosialisasi Reduksi Perilaku Tidak Wajar
Untuk menghilangkan perilaku tidak wajar anak autistik dan agar
dapat diterima masyarakat umum, maka metode yang tepat adalah
sosialisasi reduksi perilaku tak wajar. Metode ini dimulai dengan
kepatuhan pada kontak mata, pengenalan konsep kognitif dengan pola
behasa reseptik dan ekspresif . setelah itu anak diajarkan untuk berperilaku
sesuai tata krama. Agar seluruh perilaku asosial anak autis sapat direduksi,
maka mereka jangan dibiarkan sendirian, namun harus selalu ditemani
secara interaktif terhadap aktivitasnya, misal saat dia bangun tisur diikuti
dengan kegiatan-kegiatan interaktif yang bersifat umum dan akademik.
Membantu anak autis agr dapat mandiri, dapat belajar keterampilan
motorik, dan dapat belajar bersosialisasi, sebaiknya disertai dengan
memberikan reward yang efektif dan tepat.
d) Terapi Biomedik
Menurut Meli Budiman (1998) pemberian obat-obat pada anak autis
sebaiknya berdasarkan hasil diagnosis yang tepat, karena pemberian obat
yang tepat selian untuk menyem uhkan penyakit, dapat pula pemantauan
efek samping dan cara kerja obat tersebut. Efek samping obat diharapkan
dapat segera diketahui sedini mungkin mengingat pada dasarnya daya
tahan anak autistik sangat terbatas. Oleh sebab itu, perlu sikap waspada
dalam memberikan obat apalagi jika pemakaian obat dalam jangka waktu
relatif lama. Sebaiknya pemberian obat psikotropik pada penderita autis
sangat dipertimbangkan baik dari sisi medis maupun sisi ranah hukum.
Tujuan utama dari terapi biomedik yaitu mengurangi rasa
ansietas, agitasi osikomotorik berat dan kepekaan yang ekstrem pada
stimulasi lingkungan. Obat tidak serta-merta menjadi ujung tombak dalam
menjawab gangguan autistik. Adapun jenis-jenis obat yang dapat
digunakan dalam terapi autis antara lain :
Antipsikotik, adalah obat yang digunakan untuk mambantu dan
mereduksi perilaku agitasi, agresif, dan impulsif anak autistik.
Penggunaan antipsikotik dianggap mampu membantu dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis.
Stimulan sistem saraf, seperti dekstroamfertamin yang dipakai untuk
penenang paradorsal pada anak autistitk.
Antidepresan, seperti litium, adalah jenis obat yang dignakan sebagai
efek penenang dalam menurunkan perilaku impulsif.
e) Terapi Lingkungan Sosial
Terapi lingkungan sosial pada penderita autistik lebih menekankan
pada pemberian stimulasi pengalaman yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari secara berulang-ulang dan mempertahankan jadwal perawatan
dan aktivitas bermainnya secara konsisten. Misal saat anak melakukan
kegiatan memasukkan dan mengeluarkan mainan dari kantongan.
Tujuan terapi lingkungan adalah mengendalikan dan meminimalkan
perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, serta menurunkan atau
mengubha perilaku yang mangganggu, yakni dengan mempertahankan
tugas-tugas yang sederhana yang tidak membutuhkan kemampuan
berpikir abstrak ataupun bahsa sosial yang bersifat kompleks.
f) Terapi bermain
Agar anak autistik dapat menikmati hidupnya dengan kebahagiaan,
maka mereka juga perlu diajarkan untuk dapat bermain sengan benar. Hal
ini dimaksudkan agar dia dapat berinteraksi sosial dengan teman-
temannya dan mengungkapkan emosinya. Dia harus tetap diperlakukan
penuh kasih syang tak bersyarat, penuh perhatian, sikap penerimaan, dan
penghargaan.
Anak autis kerap kali merasa orang tua dan orang-orang di
sekitarnya dapat memahami dan menerima segala keterbatasannya
sehingga dia lebih tertarik berinteraksi kepada orang yang dapt membantu
dirinya. Oleh sebab itu, jika anak sutistik merasa bahwa lingkungan ingin
mengubah dirinya dan tidak dapat lagi menghargai keunikannya, maka dia
merasa tertekan dan akan menutup diri.
Penatalaksanaan terpai bermain, sebiaknya lebih fokus pada
penilaian klien pada lingkungna. Oleh sebab itu, terapi bermain harus bisa
mengembangkan pola interaksi sosial yang berstruktur dengan
mempraktikkan keterampilan sosial melalui pola bermain dan tetap
memberikan penguatan positif pada perilaku yang sesuai.
g) Terapi Fisioterapi
Sehubungan anak autistik mengalami gangguan terhadap gerakan
motoriknya, maka terapi yang cocok untuk gangguan ini adalah terapi
fisioterapi. Terapi ini akan memberikan kontribusi yang besar, yakni
bertujuan untuk merangsang perkembangan dan kontrol tubuh anak.
h) Terapi Psikologis
Umumnya intervensi psikologis diberikan pada anak autis salam
usaha meningkatkan kemampuan bahsa, self-help, perilaku, sosial , dan
mengurangi perilaku yang aneh. Temper tantrum adalah salah satu metode
yang dianggap dapat meningkatkan fungsi psikologis.
i) Alternatif Terapi Lainnya
Jenis-jenis alternatif terapi yang dapat digunakan dalam menangani
gangguan autistik yaitu terapi bernyanyi, menari, Son Rise Program
(Stimulasi kasih syang tidak bersyarat), terapifasilitas komunikasi, terapi
vitamin atau terapi diet (diet intervention).