Anda di halaman 1dari 16

1.

PENGERTIAN AUTISTIK

Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos =aku, yaitu seluruh sikap anak
yang mengarah pada dunianya sendiri. Autistik pertama kali ditemukan oleh Dr. Leo
Kanner pada tahun 1943, seorang psikiatri dari Amerika sehingga istilah austistik juga
sering disebut sebagai Syndroma Kanner, di mana Kanner menggunakan metode
pengamatan terhadap 11 orang penderita sutistik dan menemukan ciri-ciri umum dari
ke-11 penderita sutistik, yakni adanya kesulitan dalam membina relasi sosial,
mengisolasi diri, perilaku aneh, dan berkomunikasi yang tidak dimengerti orang lain
(aneh).
Istilah autistik menunjukkan suatu gejala psikologis pada yang unik dan
menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang
melibatkan dirinya. Reaksi perilaku mereka tidak sesuai dengan situasi, bahkan
terkadang sama sekali tidak ada reaksi (Siti Rahayu, 1987).
Pada dasarnya, autistik bukan penyakit, tetapi merupakan sindrom (kumpulan
gejala) yang ditandai dengan penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan
berbahasa dan rendahnya kepedulian pada lingkungan sekitarnya sehingga anak
autistik hidup dalam dunianya sendiri (Handojo, 2003).
Autistik adalah suatu keadaan dimana seseorang berbuat semaunya sendiri
baik cara berpikir maupun perilaku. Kondisi ini dapat diketahui sejak usia 2-3 tahun.
autistik dapat menyerang pada siapa saja dan mengabaikan latar belakang
sosioekonomi dan etnis (Faisal, dalam Kasih, 2007).
Autistik adalah suatu gejala defisit perkembangan pervasif di awal kehidupan
anak yang disebabkan gangguan perkembangan dan ditandai terganggunya
perkembangan pola interaksi sosial, bahasa, wicara serta perilaku repititif,
stereotipikal, dan obsesif.
Mark Durand dan David H. Barlow (2007) mengatakan bahwa autistik adalah
gangguan masa kanak-kanak yang ditandai ada hendaya (ketidakmampuan) yang
signifikan pada interaksi sosial, komunikasi dan pola-pola perilaku, interes dan
aktivitas yang sangat terbatas.
Linda C. Copel (2007) mengatakan bahwa autistik adalah gangguan
perkembangan pervasif pada masa kanak-kanak yang dimanifestasikan dengan
kerusakan hebat dalam interaksi sosial dan imajinatif. Aktivitas dan gerakannya
sangat terbatas, berulang-ulang, aneh, tak sesuai, bahkan terkadang perilaku merusak.
Misal gerakan tubuh yang bergoyang-goyang, tubuh yang berputar-putar, membentur-
benturkan kepala atau menggigit bagian anggota tubuh tertentu secara ekstrem.
Jadi dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan
kompleks pada fungsi otak yang disertai dengan defisit intelektual dan perilaku dalam
rentang dan keparahan yang luas. Autisme dimanifestasikan selama masa bayi dan
awal masa kanak-kanak terutama sejak usia 18 sampai 30 bulan. Autisme terjadi
1:2500 anak, sekitar empat kali lebih sering pada lelaki dibanding perempuan
(meskipun perempuan biasanya terkena lebih parah) dan tidak berhubungan dengan
tingkat sosial ekonomi, ras atau gaya hidup orang tua.

2. EPIDEMIOLOGI

Seperti kita ketahui bahwa autistik merupakan hambatan perkembangan yang


sudah diketahui dan tampak pada tahun-tahun awal kehidupan. Gangguan autistik
dapat menyerang siapa saja yang mengabaikan latar belakang, kelompok masyarakat,
status ekonomi kaya, miskin, di kota, di desa, lintas budaya atau kelompok etnis.
Akan tetapi, gangguan autistik lebih banyak menyerang pada anak-anak di negara
maju. Namun bukan berarti tidak menyerang anak-anak dari negara berkembang.
Faktor penyebab sebenarnya adalah kesempatan untuk mendiagnosis anak-anak di
negara-negara maju lebih awal sehingga penatalaksanaan keperawatan lebih dini dan
lebih memuaskan.
Kini jumlah anak penderita autis makin bertambah dengan perbandingan
antara dua hingga lima kasus per 100.000 anak atau sekitar 0,02% - 0,05% pada
tingkat usia di bawah 12 tahun. Di Kanada dan Jepang pertambahan autistik telah
mencapai 40% sejak tahun 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 terdapat
sembilan kasus sutistik per harinya. Di Amerika Seriakt penderita autistik telah
mencapai 15.000-60.000 anak di bawah usia 15 tahun. Di Inggris pada tahun 2002
angka autistik telah meningkat pesat, yakni satu di antara sembilan anak. Sementara di
Indonesia dengan jumlah penduduk 200 juta orang, hingga saat ini belum ada angka
yang pasti, namun diperkirakan telah mencapai 150.000-200.000 orang.

3. GAMBARAN KLINIS AUTISTIK


a. Usia 0-6 Bulan
Nayi tampak tenang atau sebaliknya hipersensitif sehingga gamppang terusik,
gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama saat mandi, tidak ditemukannya
senyum sosial hingga usia 10 minggu, tidak ada kontak mata, terutama usia tiga
bulan dan perkembangan motorik sangat kasar dan tidak tenang.
b. Usia 6-12 Bulan
Bayi tampak sangat tenang dan jarang menangis atau terlalu sensitif sehingga
gampang terusik atau terganggu, munculnya gerakan tangan dan kaki berlebihan,
sulit apabila akan digendong, menggigit tangan dan badan orang lain secara
ekstrem, tidak ditemukannya senyum, tidak ada kontak mata dan perkembangan
motorik tampak abnormal.

c. Usia 12-24 Bulan


Ciri-ciri autis anak pada usia ini terlihat dari perilaku kaku saat digendong,
tidak mau bermain pada permainan yang sederhana, misal ci luk ba, dan tidak
mengeluarkan kata. Pasa anak perempuan tampak tidak ada ketertarikan pada
boneka, kerap kali memerhatikan tangannya, mengalami keterlambatan
perkembangan motorik halus-kasar, dan tidak dapat menerima asupan makan cair.

d. Usia 2-3 Tahun


Ciri-ciri anak autis pada usia ini menunjukkan tidak adanya ketertarikan untuk
bersosialisasi dengan anak-anak lain, selalu melihar orang sebagai benda, kontak
mata yang sangat terbatas dan tertarik pada benda-benda tertentu, dan kaku jika
digendong.

e. Usia 4-5 Tahun


Anak autis pada usia ini sering kali membeo (ekolalia) pembicaraan atau
mengeluarkan kata-kata yang dia sendiri tidak mengerti apa makna ucapannya,
mengeluarkan suara-suara aneh (terkadang nada sangat tinggi atau dengan nada
yang sangat datar), marah apabila rutinitasnya terganggu, tertarik pada benda-
benda tertentu, tidak tertarik bersosialisasi dengan teman sebayanya, menyakiti
dirinya, seperti suka membentur-benturkan kepala ke lantai dan adanya perilaku
agresif terutama bila permainan atau rutinitasnya terganggu.

4. CIRI-CIRI KHAS AUTISTIK

a. Gangguan pada Kognitif


Dalam bidang kognitif mereka masih mempunyai ingatan yang cukup baik,
namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga memiliki sifat
ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, karakter khayalan, binatang,
ataupun peran orang dewasa.
b. Gangguan pada Bidang Interaksi Sosial
Anak autistik sering memperlihatkan kurangnya respons sosial dan gagal
membentuk ikatan sosial sekalipun sudah terbiasa bergaul dengan pengasuhnya.
Orang-orang di sekitarnya kerap kali dimanifestasikan sebagai objek pencapaian
kebutuhannya. Akibat anak autis kurang memiliki respons sosial ketika dia terluka,
sakit atau kelelahan menyebabkan mereka sama sekali tidak mencari atau
membutuhkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan.
Demikian juga dengan keterlibatan interaksi sosial anak autistik pada teman-
teman sebayanya sangat rendah sehingga dia sama sekali tidak mau terlibat dalam
kegiatan sosial. Dia lebih memilih permainan individual. Dalam berkomunikasi
anak autistik berespon dengan menggunakan komunikasi nonverbal abnormal,
yakni menggerak-gerakkan badan yang ekstrem, tatapan mata yang terus-menerus,
dan melakukan tindakan maladaptif sosial.
Ciri-ciri umum gangguan bidang interaksi sosial pada anak autis adalah
menolak dan menghindari tatapan muka dengan orang lain, tidak mau menoleh saat
dipanggil sehingga terkadang dia diduga tuli, merasa tidak tenang bila dipeluk, dan
bila menginginkan sesuatu kerap kali dia menarik tangan orang-orang terdekat
dengan harapan orang lain mau melakukannya. Dia tidak mau berbagi kesenangan
dan tidak suka didekati saat bermain. Jika bermain anak autistik selalu
menunjukkan sifat yang sangat monoton dan aneh, seperti menderetkan sabun
menjadi satu deretan panjang ataupun memutar bola pada permainan mobil-
mobilan. Saat bermain dia selalu mengamati benda permainannya dalam kurun
waktu yang lama. Umumnya, anak autistik tidak suka terhadap boneka, gelang
karet, baterai atau benda-benda lain karena dianggapnya sebagai hal yang
menjijikkan.
Anak autistik tidak mampu meniru tindakan-tindakan dari teman-temannya.
Dia juga tidak mampu emmulai permainan yang bersifat pura-pura atau peran.
Anak autistik sering menunjukkan perilaku ritual (ritualistic behavior)dan pada
saat bepergian dia harus mengikuti rute yang sama.

c. Gangguan Bidang Komunikasi


Sejak dilahirkan, anak autistik emmiliki kontak sosial yang sangat terbatas.
Perhatian mereka hampir tidak ada, terfokus kepada orang lain, melainkan pada
benda-benda mati yang disertai dengan taktil kinestetis, yakni gerakan yang
dibarengi dengan nafsu meraba-raba dirinya sendiri. Ciri-ciri gangguan komunikasi
pada anak autistik adalah hambatan perkembangan bahasa verbal dan nonverbal,
sehingga sering mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat
dimengerti orang lain, adanya percakapan yang tak jelas dan hanya muncul dalam
bentuk bubling , senang membeo (ekolalia), sering meniru dan mengulang kata-
kata tanpa dimengertinya, memakai neologisme, simbol kata-kata, memiliki
komentar-komentar yang tak relevan dan menggunakan kata ganti yang
berlawanan, misalnya saat dia mengatakan mau minta minum digantikannya
dengan mengatakan kamu mau minum.

d. Gangguan dalam Persepsi Sensoris


Gangguan dalam bidang persepsi sensoris ditandai dengan perilaku mencium-
cium, menggigit-gigit mainan atau benda-benda, dan bila mendengarkan suara
yang baru mereka langsung menutup telinganya. Anak autis juga tidak menyukai
rabaan dan pelukan.
Mark Durand dan David H. Barlow (2007) mendeskripsikan ciri-ciri yang
berhubungan dengan gangguan persepsi sensoris yakni memiliki hipersensitifitas
pada cahaya, pendengaran, sentuhan, ciuman, dan rasa, perilaku menggigit,
mencium atau menjilat-jilat benda-benda mati. Salah satu contoh hipersensitifitas
pada sensoris adalah saat dia akan dimandikan, di mana mereka sering menangis,
terutama jika rambutnya akan dicuci. Dan bila dikenakan pakaian yang tidak biasa
dipakainya, anak autis akan merasa tidak nyaman. Demikian juga saat digendong
mereka kerap kali berusaha untuk melepaskan diri.

e. Gangguan dalam Perilaku


Gangguan perilaku pada anak autis ditandai dengan perilaku yang berlebihan
(excessive) dan perilaku yang sangat kurang (defisit), seperti impulsif, repetitif dan
pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan melakukan permainan yang
monoton. Hal ini diakibatkan pola kelekatan terhadap benda-benda tertentu.

f. Gangguan dalam Bidang Perasaan


Gangguan bidang perasaan ditandai dengan kurangnya rasa empati (kurang
mampu berbagi perasaan), tidak memiliki simpati, toleransi yang sangat rendah,
misal tertawa, menangis, marah atau mengamuk (temper tantrum)tanpa sebab dan
sulit dikendalikan, terutama apabila tidak mendapatkan sesuatu yang
diinginkannya, maka perilaku agresi atau merusaknya sulit dikontrol. Apalagi jika
perubahan rutinitas harian terganggu, maka dia sering mengalami distress.

5. CIRI-CIRI AUTISTIK MENURUT KATEGORI DSM-IV


Menurut kategori DSM-IV-TR (American Psychiatric Association) bahwa ciri-
ciri gangguan autistik adalah adanya hendaya dalam interaksi sosial, hendaya dalam
komunikasi, dan hendaya dalam perilaku, intress dan aktivitas yang terbatas.

a. Hendaya dalam Interaksi Sosial


Salah satu ciri khas gangguan autistik adalah mereka tidak mampu
mengembangkan relasi sosial yang diharapkan orang-orang yang sebayanya. (Mark
Durand dan David H. Barlow, 2007). Anak autis selalu membatasi diri kepada
orang dewasa dan menggunakan orang dewasa sebagai alat bantu untuk meraih apa
yang diinginkan. Ciri-ciri masalah sosial anak autistik adalah kegagalan melakukan
keterampilan atensi bersama. Misal saat anak autis duduk bersama dengan orang
tuanya dan di depan mainan favoritnya, maka anak autistik menilai keterlibatan
orang tuanya dengan mainan secara bergantian, misalnya tersenyum melihat
keterlibatan orang tuanya dalam menikmati mainanya
Berdasarkan penelitian dari Kin, Jones, Volkmar, dan Cohen (2002)
menemukan bahwa hendaya dalam interaksi sosial anak autistik ditandai dengan
ketidaktertarikan pada situasi sosial sehingga mereka sulit menikmati hubungan
sosial yang bermakna dengan orang lain. Sementara menurut Mark Durand dan
David H. Barlow (2007) bahwa hendaya interaksi sosial anak autis tampak pada
perilaku nonverbal, seperti ketidakmampuan memandang dari satu mata ke mata
lain, tidka mampu menampilkan ekspresi wajah, gerakan postur tubuh yang tidak
lazim dna kesulitan dalam mengembangkan relasi dengan teman-teman sebaya,
tidak adanya minat untuk berbagi kegembiraan atau prestasi dengan orang lain dan
tidak adanya relasi yang emosional dan timbal balik.
Hal serupa juga dikatakan Kaplan (1997) bahwa hendaya sosial anak autistik
ditandai dengan tidak adanya relasi yang timbal balik dalam hubungan sosial dan
emosional, emngalami gangguan perilaku nonverbal, seperti kontak mata, ekspresi
wajah, tubuh dan gerakan interaksi sosial serta tidak adanya keinginan untuk
berbagi dalam hal kesenangan, minat dan percakapan dengan orang lain. Anak
autistik juga tidak tertarik memamerkan atau menunjukkan benda-benda yang bisa
memberikan daya tarik minat.

b. Hendaya dalam Komunikasi


Penderita autistik memiliki maslaah-masalah berar dalam komunikasi (Mundy,
Sigman dan Kasari, 1990). Hampir 50% dari penderita autistik tidak mampu
berbicara signifikan. (Volkmar, dkk, 1994). Terkadang dia gagal berkomunikasi
dengan lazim, bahkan dia kerap kali mengulangi ucapan orang lain, misal jika
Anda mengatakan, Nama saya Juan, siapa namanu? , maka penderita autistik
akan mengulangi seluruh atau sebagian ucapan anda dan berkata Nama saya Juan,
siapa namamu ? Selain itu, juga anak autis bukan hanya mengulangi ucapan,
bahkan hingga pada intonasi percakapan pun akan ditirunya.
Menurut pandangan Mark Durand dan David H. Barlow (2007) bahwa ciri-ciri
hendaya komunikasi anak autistik ditandai dengan keterlambatan dalam
perkembangan bahasa lisan, hendaya memulai ataupun mempertahankan
percakapan dengan orang lain, selalu menggunakan bahasa stereotype, retitif, atau
idiosinkrasi , ketidakmampuan melakukan permainan peran dan senang meniru
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Hal serupa juga dikatakan Kaplan (1997)
bahwa hendaya komunikasi anak autis ditandai keterlambatan atau sama sekali
tidak ada perkembangan bahasa, ucapan, tidak adanya gerakan atau mimik wajah,
ketidakmampuan memulai ataupun mempertahankan percakapan dengan orang
lain, pemakaian bahasa idiosinkratik secara stereotip dan berulang-ulang serta tidak
adanya bentuk permainan imajinasi.

c. Hendaya dalam Perilaku, Minat, dan Aktivitas


Ciri-ciri yang amat memprihatinkan pada anak autis adalah pasa pola perilaku,
interest dan aktivitasnya yang sangat terbatas. Anak autis akan marah besar bila
terjadi perubahan rutinitasnya, misal saat kamarnya dirubah tata letaknya atau
benda-benda permainannya dipindahkan ke tempat lain. Preferensi intens status
quo seperti ini disebut maintenance of sameness.
Penderita autis sering menghabiskan waktunya berjam-jam melakukan
pekerjaan yang stereotyped and ritualistic behavior dan melakukan gerakan
stereotyped, seperti berputar-putar membentuk lingkaran, melambai-lambai tangan,
menggeleng-gelengkan kepala, menggigit-gigit jari atau tangannya. Kondisi ini
pernah dideskripsikan oleh Kaplan (1997) bahwa hendaya pada perilaku, minat dan
aktivitas anak autis bersifat preokupasi dengan satu atau lebih pola minat yang
stereotip, terbatas dan abnormal baik pada intensitas atau fokusnya, ketaatan pada
rutinitas yang spesifik dan fungsional. Salah satu contoh gerakan motorik yang
stereotip dan berulang-ulang terlihat dari keinginannya memuntirkan jari-jari
tangan atau gerakan refleks tubuh.

6. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB AUTISTIK


Penemuan faktor-faktor penyebab utama gangguan autistik hingga kini masih
belum pasti. Masih banyak pertentangan antara para ahli. Namun demikian, beberapa
ahli telah menilai bahwa faktor penyebab autistik bersifat multifaktorm yakni faktor
biologis, psikologis, dan sosial. Seperti yang dikatakan Kanner (dalam Siti Rahayu,
1987) bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara autis dan gangguan skizofrenia,
Skizofrenia merupakan salah satu bentuk gangguan mental yang memiliki kesamaan
simtom autis, yakni perilaku aneh.
a. Faktor Biologis
- Faktor Genetik
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa gangguan autistik lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan,
yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada laki-laki. Namun tingkat keparahannya
lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi jika memiliki riwayat
keluarga autistik (Mark Durand dan David H. Barlow, 2007).
Demikian juga pada penelitian berikutnya melaporkan bahwa anak
autistik lebih banyak menyerang pada keluarga dengan latar belakang
sosioekonomi tinggi. Akan tetapi, hal ini mengalami bias, dimana ternyata
dalam kurun waktu 25 tahun belakangan ini anak autistik juga ditemukan pada
mereka yang berlatar belakang ekonomi rendah dan hal ini mengalami
pengingkatan. Penelitian ini membuktikan bahwa resiko terkena gangguan
autis mengakibatkan latar belakang dan status sosial.
Semula para ilmuwan mengira bahwa gangguan autistik adalah akibat
gangguan genetik sekalipun riset genetik ini masih belum mampu
mengidentifikasikan satu kromosom yang spesifik. Hasil penelitian genetik
hanya menunjukkan bahwa anak autistik jaran gmemiliki kelainan bentuk
tubuh dan wajah seperti halnya gangguan mental retardation, terutama down
syndrome.
Penelitian Cook (2001) menemukan bahwa gangguan autis memiliki
komponen genetik dari keluarga yang emmiliki anak autistik berkisar 3-5%.
Hasil penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya
kesesuaian den gangguan autis pada anak kembar monozigotik dengan angka
kontribusi diperkirakan sekitar 36% (Kaplan, dkk., 1997).

- Faktor Neurobiologis
Bukti bahwa anak autis berhubungan dengan bentuk kerusakan organnik
(otak) tertentu sangat tampak jelas. dari data prevalensi emnunjukkan bahwa
tiga dari empat oran gpenderita autistik memiliki kecenderungan retardasi
mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70% sehingga penderita autis
memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti kekakuan gerak tubuh dan
cara berjalan yang abnormal (Tsai dan Ghaziuddin, 1992).
Melalui teknologi brian imaging dan pemindaian modern menemukan
bahwa ada gambaran yang jelas mengenai terjadinya disfungsi neurobiologis
pada autistik. Para ahli menggunakan CT dan MRI dan menemukan adanya
abnormalitas cerebellum pada penderita autis. (B.S, 1991). Penemuan ini
diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang meenemukan adanya
keterkaitan abnormalitas otak bagian cerebellum terhadap pembentukan
gangguan autistik.
Riset neurobiologis lainnya menambahkan bahwa adanya pengaruh
pada komplikasi pranatal dan pascanatal pada kerusakan sistem saraf pusat,
terutama kerusakan otak kecil (cerebellum), kerusakan fungsi otak akibat
cedera otak saat dilahirkan dan adanya kelainan organik, seperti pada
phenyhetonarin, tuberios sclerosis, congenital rubella syndroma, dan fragile X
syndroma. Salah satu contohnya malfungsi pada otak hemisfer kiri yang
membuat anak sulit berbahasa dan berpikir.

- Faktor Kelahiran
Pendarahan selama masa kehamilan sering bersumber dari placenta
complication yang menyebabkan gangguan transportasi oksigen dan nutrisi ke
janin yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Pendarahan pada awal
kehamilan memiliki berat bayi yang rendah, di mana kondisi ini sangat rentan
terjadinya autistik.
Dalam periode neonatus, anak autis mempunyai insiden yang tinggi
untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa
komplikasi yang timbul pada neonatus sangat memengaruhi kondisi fisik bayi
yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling
berbahaya adalah adanya hambatan aliran darah pada otak dan oksigen ke
seluruh tubuh. Tentu organ paling sensitif terkena autistik adalah otak.
Gangguan persalinan lainnya yang memiliki risiko terkena autistik
adalah pada saat pemotongan tali pusar yang dini, asfiksia, komplikasi dan
lamanya persalinan, serta letak posisi bayi dalam kandungan dan berat badan
bayi.

- Faktor Imunologis dan Bahan Kimia


Beberapa penelitian telah menemukan bahwa inkompabilitas imunologis
ibu dan embrio dapat menyebabkan timbulnya gangguan autistik. Hal ini
terlihat dari limposit beberapa anak autis bereaksi dengan antibody maternal
yang meningkatkan neural embrionik dan ekstra embrionik. Sebuah laporan
dari . National Academic of Science (NAS) menemukan bahwa kombinasi
neurotoksin dan genetik memberikan kontribusi pada pembentukan autistik
sekitar 25%. Bahan-bahan kimia yang diwaspadai adalah jenis Polyhorinated
Biplenyis (PcBs) dan pestisida organofosfot. Diperkirakan bayi yang
mempunyai PcBs dalam jumlah tertentu akan memperlihatkan tingkat
kemampuan yang buruk, terutama pada pengenalan, dan kecerdasan.

- Faktor Virus
Jenis-jenis virus yang bisa memicu gangguan autis adalah virus herpes,
vaaricella, epstern basa, dan human herpes virus. Diperkirakan virus-virus ini
bisa menimbulkan kejang-kejang demieliminasi sebagai salah satu
karakteristik spektrum autistik.

- Faktor Vaksinasi
Pada saat ini, pemberian vaksin dalam kombinasi three in one, yakni
pemberian vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR = Mump, Measles and
RUbella) selama ini masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia.
Akan tetapi, pada sisi lain, berdasarkan data-data patologis ditemukan bahwa
vaksin MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan
autis regresif.
Selain itu, pemebrian vaksin hepatitis B dan MMR yang terlalu banyak
bisa berakibat dalam pembentuka autis. Diperkirakan vaksin ini mengandung
zat pengawet thimerosol yang terdiri dari etil merkuri yang menjadi penyebab
utama pada sindrom autis spectrum disorder. Namun penelitian ini masih
dalam kajian yang lebih mendalam lagi karena belum data-data yang
signifikan.
b. Faktor Psikologis dan Keluarga
- Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autis adalah
ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya
berbeda dengan oran glian, tidak emmiliki percaya diri pada kekuatan dan
potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang
terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam
relasi sosial, ketidakmampuan berbahasa, rendahnya konsep diri dan perilaku
yang tidak lazim.

- Faktor Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian terakhir yang membandingkanantara orang
tua yang memiliki anak utistik dan orang tua yang tidak memiliki anak autistik
ternyata tidak menunjukkan ada perbedaan yang signifikan dalam kemampuan
membesarkan anak. Belum ada bukti yang signifikan yang mengatakan bahwa
keluarga yang menyimpang atau kumpulan faktor psikodinamika yang dapat
menyebabkan terjadinya perkembangan dan pembentukan autistik. Akan
tetapi, pasa anak autis memiliki respons stresor psikososial, seperti kelahiran
adik baru atau baru pindah rumah.
Secara historis, gangguan autistik merupakan akibat pola asuh keluarga
yang gagal. (Tinbergen dan Timbergen, 1972). Sikap orang tua dari anak
autistik ditengarai dapat memicu pembentukan autistik, seperti orang tua yang
menekankan pola perfeksionisme atau sikap dingin terhadap anak. (Rutter,
Newman, dan Bartak, 1975). Deskripsi ini mendorong agar orang tua turut
bertanggung jawab mengurangi pembentukan autistik. Bayangkan jika Anda
bersikap begitu dingin pada anak autistik, dimana sikap ini dapat
menyebabkan disabilitas yang serius dan permanen, misal ekolalia atau defisit
dalam keterampilan sosial dan komunikasi.

7. CARA PENANGANAN GANGGUAN AUTISTIK


a. Peran Orang Tua
Peran orang tua dalam penyembuhan anak autistik sangat penting. Selain harus
melakukan pengobatan medis, orang tua juga dituntut bijak dan sabar dalam
menghadapi kondisi anak. Namun pada kenyataannya masih banyak orang tua
tidak bijak dan tidak sabar menghadapi anak autis sehingga mereka mengutamakan
terapi daripada penggalian akar masalahnya. Seperti yang dikatakan oleh
Premitawati (2005) bahwa sangat perlu diketahui orang tua bahwa terapi pada
penderita autistik harus dimulai sedini mungkin sebelum usia lima tahun, karena
dianggap sebagai era perkembangan otak, yakni dua hingga tiga tahun. bila
penatalaksanaan keperawatannya setelah usia lima thun kemungkinan hasilnya
akan berjalan lebih lambat, bukan berarti terapi ini tidak diperlukan lagi. Pada
intinya tidak ada pilihan selian memberikan terapi.
Orang tua juga diharapkan mampu mengetahui dinamika perkembangan dan
kebutuhan psikologis anak autistik. Hal ini dapat dilakukan melalui sikap
penerimaan dan pemberian kasih sayang serta pemahaman kekurangan anak autis
dari orang tua, terutama sikap ibu dan anggota keluarga lainnya. Selain itu, sikap
ibu yang peduli dan penambahan pengetahuan tentang autis juga memberikan
kontribusi besar pada terapi anak autis.
Keberhasilan terapi gangguan autistik sangat dipengaruhi beberapa faktor,
yakni :
Tergantung pada berat ringannya gejala autistik, terutama jika gangguan autistik
berkaitan pada kerusakan otak/. Jika semakin parah tingkat kerusakan otak,
maka makin sulit memberikan terapi penyembuhan gangguan autistiknya.
Usia. Jika semakin dini dalam mendiagnosa gangguan autistik, maka semakin
besar kemungkinan berhasilnya.
Kecerdasan. Jika semakin cerdas anak autistik, maka akan baik kemungkinan
dalam prognosisnya.
Bicara dan bahasa. Jika hanya 20% ketidakmampuan bicara atau berbahasa,
maka kemungkianan bisa bicara dan berbahasa sekalipun dengan tingkat
kefasihan yang berbeda-beda.
Terapi yang intensif dan terpadu, yakni penggabungan dari beberapa terapi yang
disesuaikan dengan tingkat kesulitan dan kebutuhan anak autis tersebut.

b. Asuhan Kepada Keluarga


Guna membantu penyembuhan gangguan autistik, maka peran keluarga dalam
kegiatan terapis sangat dibutuhkan. Adapun asuhan kepada keluarga yang
dimaksudkan yaitu dengan cara :
Memberikan pedoman sntisipatif untuk interaksi orang tua dengan anak
sehingga dapat mempelajari bagaimana menggunakan pola respons yang efektif
terhadap perilaku anak.
Mendiskusikan dengan anggota keluarga salam menangani perilaku anak yang
mengganggu.
Memberikan fasilitas diskusi agar keluarga tidak memiliki rasa bersalah dan
rasa malu yang berkaitan dengan kondisi anak yang autistik.
Cegah keluarga dari isolasi sosial dengan menggabungkan keluarga dengan
kelompok pendukung bagi orang tua yang memiliki anak autistik. Artinya
keluarga berusaha keras mendapatkan perawatan anak yang profesional dan
tepat.
Mnegajari orang tua dalam menangani perilaku yang aneh anak di rumah
dengan mendorong orang tua untuk fokus pada sikap menolong kebutuhan anak.
Mendorong orang tua untuk tetap memiliki harapan masa depan yang
berhubungan dengan kondisi anak autis.
Menanamkan metode respite care and day care pada orang tua dalam
menghadapi anak autistik.

c. Terapi Perilaku
Berbagai jenis terapi perilaku telah lama dikembangkan untuk mendidik anak
dengan bantuan khusus, termasuk salah satunya aadalah autistik. Pola terapi
perilaku lebih menekankan usaha reduksi perilaku aneh dan tak lazim, yakni
menggantikan perilaku adaptif yang dapat diterima. Terpai perilaku sangat penting
bagi anak autis, karena mengajarkan mereka beradaptasi dengan orang lain. Terapi
perilaku bukan hanya semata dilakukan guru saat anak autistik belajar, namun yang
paling banyak berperan adalah tiap anggota keluarga, misal dengan menanamkan
sikap kebersamaan dan konsistensi.
Linda C. Copel (2007) mengatakan bahwa dalam terapi perilaku sebaiknya
berfokus tidak hanya pada usaha pengurangan perilaku yang aneh, tetapi juga
pengurnagan pada gangguan emosi, yakni dengan memberikan sikap penghargaan
untuk perilaku yang sesuai dilakukan anak autistik dan mengabaikan perilaku
negatif, misal dengan metode temper-tantrum manakala perilaku anak autis
merusak atau mengancam kehidupan jiwanya.
Perlu untuk diketahui bahwa sesi terapi perilaku sebaiknya dilakukan secara
intensif dan terkendali. Artinya terlebih dahulu dipastikan jadwal terapi, rutinitas,
bermain, dan rekreasi anak autus secara seimbang denga tujuan jangan membuat
suasana panik. Oleh sebab itu, perhatikan tingkat kemampuan kognisi dan aspek-
aspek perkembangan biopsikologis anak autis.
Jenis-jenis Terapi Perilaku
a) Terapi Okupasi
Sebagian besar penderita autistik memiliki perkembangan motorik
yang kurang baik, seperti gerak gerik kasar dan halusnya yang kurang
luwes dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Oleh sebabitu, terapi
yang tepat pada anak autis gangguan motorik adalah terapi okupasi. Terapi
okupasi menekankan pada usaha penguatan otot-otot anggota tubuh, yakni
penguatan, memperbaiki sistem koordinasi gerakan dan pengembangan
keterampilan otot-otot tubuh, misal pelatihan otot jari-jari agar merek
adapat menulis dan melakukan kegiatan keterampilan tangan.
b) Terapi Wicara
Bagi sebagian besar penderita gangguan autistik memiliki
keterlambatan dan kesulitan berbahasa. Speech therapy merupakan salah
satu metode meningkatkan bicara pada nak autistik. Penatalaksanaan
keperawatan memakai metode analisis ABA (Applied Behavior Analysis).
Metode ini dipilih karena berstruktur sehingga mudah diajarkan pada para
terapis yang manangani anak autistik. Materi yang diajarkan tersedia
dalam buku Behavioral Interventing for Young Children with Autisticm,
karya Caterine Maurice.
Jenis-jenis terapi wicara lainnya yang juga sering dipakai pada
penanganan anak autis adalah DDT (Discrete Trial Training), LEP
(Learning, Experience, and Alternative Program for Preschooler and
Parent). Option therapy, floor time and daily life therapy, holding therapy,
dan TEACH (Treatment and Education of Austict Handicapped Children).
c) Sosialisasi Reduksi Perilaku Tidak Wajar
Untuk menghilangkan perilaku tidak wajar anak autistik dan agar
dapat diterima masyarakat umum, maka metode yang tepat adalah
sosialisasi reduksi perilaku tak wajar. Metode ini dimulai dengan
kepatuhan pada kontak mata, pengenalan konsep kognitif dengan pola
behasa reseptik dan ekspresif . setelah itu anak diajarkan untuk berperilaku
sesuai tata krama. Agar seluruh perilaku asosial anak autis sapat direduksi,
maka mereka jangan dibiarkan sendirian, namun harus selalu ditemani
secara interaktif terhadap aktivitasnya, misal saat dia bangun tisur diikuti
dengan kegiatan-kegiatan interaktif yang bersifat umum dan akademik.
Membantu anak autis agr dapat mandiri, dapat belajar keterampilan
motorik, dan dapat belajar bersosialisasi, sebaiknya disertai dengan
memberikan reward yang efektif dan tepat.
d) Terapi Biomedik
Menurut Meli Budiman (1998) pemberian obat-obat pada anak autis
sebaiknya berdasarkan hasil diagnosis yang tepat, karena pemberian obat
yang tepat selian untuk menyem uhkan penyakit, dapat pula pemantauan
efek samping dan cara kerja obat tersebut. Efek samping obat diharapkan
dapat segera diketahui sedini mungkin mengingat pada dasarnya daya
tahan anak autistik sangat terbatas. Oleh sebab itu, perlu sikap waspada
dalam memberikan obat apalagi jika pemakaian obat dalam jangka waktu
relatif lama. Sebaiknya pemberian obat psikotropik pada penderita autis
sangat dipertimbangkan baik dari sisi medis maupun sisi ranah hukum.
Tujuan utama dari terapi biomedik yaitu mengurangi rasa
ansietas, agitasi osikomotorik berat dan kepekaan yang ekstrem pada
stimulasi lingkungan. Obat tidak serta-merta menjadi ujung tombak dalam
menjawab gangguan autistik. Adapun jenis-jenis obat yang dapat
digunakan dalam terapi autis antara lain :
Antipsikotik, adalah obat yang digunakan untuk mambantu dan
mereduksi perilaku agitasi, agresif, dan impulsif anak autistik.
Penggunaan antipsikotik dianggap mampu membantu dalam
meningkatkan kemampuan komunikasi anak autis.
Stimulan sistem saraf, seperti dekstroamfertamin yang dipakai untuk
penenang paradorsal pada anak autistitk.
Antidepresan, seperti litium, adalah jenis obat yang dignakan sebagai
efek penenang dalam menurunkan perilaku impulsif.
e) Terapi Lingkungan Sosial
Terapi lingkungan sosial pada penderita autistik lebih menekankan
pada pemberian stimulasi pengalaman yang biasa terjadi dalam kehidupan
sehari-hari secara berulang-ulang dan mempertahankan jadwal perawatan
dan aktivitas bermainnya secara konsisten. Misal saat anak melakukan
kegiatan memasukkan dan mengeluarkan mainan dari kantongan.
Tujuan terapi lingkungan adalah mengendalikan dan meminimalkan
perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, serta menurunkan atau
mengubha perilaku yang mangganggu, yakni dengan mempertahankan
tugas-tugas yang sederhana yang tidak membutuhkan kemampuan
berpikir abstrak ataupun bahsa sosial yang bersifat kompleks.
f) Terapi bermain
Agar anak autistik dapat menikmati hidupnya dengan kebahagiaan,
maka mereka juga perlu diajarkan untuk dapat bermain sengan benar. Hal
ini dimaksudkan agar dia dapat berinteraksi sosial dengan teman-
temannya dan mengungkapkan emosinya. Dia harus tetap diperlakukan
penuh kasih syang tak bersyarat, penuh perhatian, sikap penerimaan, dan
penghargaan.
Anak autis kerap kali merasa orang tua dan orang-orang di
sekitarnya dapat memahami dan menerima segala keterbatasannya
sehingga dia lebih tertarik berinteraksi kepada orang yang dapt membantu
dirinya. Oleh sebab itu, jika anak sutistik merasa bahwa lingkungan ingin
mengubah dirinya dan tidak dapat lagi menghargai keunikannya, maka dia
merasa tertekan dan akan menutup diri.
Penatalaksanaan terpai bermain, sebiaknya lebih fokus pada
penilaian klien pada lingkungna. Oleh sebab itu, terapi bermain harus bisa
mengembangkan pola interaksi sosial yang berstruktur dengan
mempraktikkan keterampilan sosial melalui pola bermain dan tetap
memberikan penguatan positif pada perilaku yang sesuai.
g) Terapi Fisioterapi
Sehubungan anak autistik mengalami gangguan terhadap gerakan
motoriknya, maka terapi yang cocok untuk gangguan ini adalah terapi
fisioterapi. Terapi ini akan memberikan kontribusi yang besar, yakni
bertujuan untuk merangsang perkembangan dan kontrol tubuh anak.
h) Terapi Psikologis
Umumnya intervensi psikologis diberikan pada anak autis salam
usaha meningkatkan kemampuan bahsa, self-help, perilaku, sosial , dan
mengurangi perilaku yang aneh. Temper tantrum adalah salah satu metode
yang dianggap dapat meningkatkan fungsi psikologis.
i) Alternatif Terapi Lainnya
Jenis-jenis alternatif terapi yang dapat digunakan dalam menangani
gangguan autistik yaitu terapi bernyanyi, menari, Son Rise Program
(Stimulasi kasih syang tidak bersyarat), terapifasilitas komunikasi, terapi
vitamin atau terapi diet (diet intervention).

Anda mungkin juga menyukai