BAB II Buku (Baru)
BAB II Buku (Baru)
1. PENGERTIAN PARADIGMA
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma sebagai: Basic
belief system or worldview that guides the investigator, not only in choices of
method but in ontologically and epistomologically fundamental ways. Pengertian
tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem keyakinan dasar atau cara
memandang dunia yang membimbing peneliti tidak hanya dalam memilih metoda
tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat ontologis dan epistomologis.
Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107) mendefinisikan Paradigm as
Basic Belief Systems Based on Ontological, Epistomological, and Methodological
Assumptions. Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar berdasarkan asumsi
ontologis, epistomologis, dan metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107)
menyatakan: A paradigm may be viewed as a set of basic beliefs (or
metaphysics) that deals with ultimates or first principle. Suatu paradigma dapat
dipandang sebagai seperangkat kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik
yaitu metafisik) yang bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba
(1990:18) menyatakan suatu paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga
pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi.
Selanjutnya dijelaskan:
a. Ontological: What is the nature of the knowable? or what is the nature of
reality? Ontologi: Apakah hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui? Atau
apakah hakikat dari realitas? Secara lebih sederhana, ontologi dapat dikatakan
mempertanyakan tentang hakikat suatu realitas, atau lebih konkret lagi,
ontologi mempertanyakan hakikat suatu fenomena.
29
b. Epistomological: What is the nature of the relationship between the knower
(the inquirer) and the known (or knowable)? Epistomologi: Apakah hakikat
hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti) dengan apa yang dapat
diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan epistomologi
mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau lebih
konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi
atau dapat terjadi?
c. Methodological: How should the inquirer go about finding out knowledge?
Metodologi: Bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih
sederhana dapat dikatakan metodologi mempertanyakan bagaimana cara
peneliti menemukan pengetahuan, atau lebih konkret lagi metodologi
mempertanyakan cara atau metoda apa yang digunakan oleh peneliti untuk
menemukan pengetahuan?
30
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan bahwa pandangan
Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi, epistomologi serta
metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu pandangan
Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma adalah
sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi, dan
metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan dasar
sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat
realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara
peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba (1990), Denzin
& Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan seperangkat
kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak
dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan mendasar yang
memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun dalam
penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma
didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan untuk
mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang banyak digunakan
mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam buku: Sociology
A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan gambaran
fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari,
pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu
dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi
jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling
luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas
ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain. Paradigma memasukkan,
mendefinisikan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan instrumen
yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975 dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara konsisten
(kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental tentang
pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
31
Gambar 14 : George Ritzer
32
2. PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM PENELITIAN
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian
dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan
pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma dari
setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan diuraikan
terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif
baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln,
Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan prinsip-
prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif.
a) Penelitian Kuantitatif
Landasan berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang
pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat
positivisme adalah bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-
gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus
dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda,
seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan
observasi atau mengamati fakta sosial untuk melihat kecenderungan-
kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan
demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat
diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisis yang
dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data
dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel
tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif
memusatkan perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik
tertentu dalam kehidupan manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat
hubungan antara variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang
objektif. Karena sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala,
33
sedangkan gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas
banyaknya dan tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan
hierarkinya, maka juga diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam
penelitian kuantitatif berguna untuk menggolong-golongkan dan
menyederhanakan variasi dan hierarki yang ada dengan ketepatan yang dapat
diukur, termasuk juga dalam penganalisaan dari data yang telah dikumpulkan
(Suparlan, 1994:6-7).
b) Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah pemikiran Max Weber
(1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan gejala-
gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik tindakan-
tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial
tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber
adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau penjelasan). Agar
dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang
peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat
memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam
gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan
dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai
pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi
dengan menggunakan teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran
kajiannya adalah pola-pola yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang
secara umum dan mendasar berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan
manusia, maka juga analisis terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak
harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan sebagai kerangka
acuannya. Karena kalau menggunakan kebudayaan lain atau kerangka acuan
34
lainnya maka maknanya adalah menurut kebudayaan lain; tidak objektif,
sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan (Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang fundamental
antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar terdapat
gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian
kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin & Lincoln
(1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman,
1997:14) sebagai berikut.
35
Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
a. Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan
variabel (hal-hal yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan
objektivitas, variabel tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui
kualitas atau kadar atau tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu
perusahaan dilakukan tes atau dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian
yang dalam hal ini motivasi kerja karyawan.
36
untuk mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau
beberapa variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel
pada variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple
regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu
variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik
correlation (korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-
moment) dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
d. Bebas nilai
Dalam penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak
dikaitkan dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang
melatarbelakangi fenomena tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap
fenomena tidak diperhitungkan atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah
satu komponen dari konsep diri adalah kelebihan dan kelemahan pada diri
individu. Dalam budaya Barat seorang individu untuk menyatakan kelebihan
dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi masalah. Seorang individu untuk
37
dapat dikatakan memiliki konsep diri yang positif, individu tersebut dapat
menyatakan kelemahan dan kelebihannya di samping memiliki kriteria-
kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada budaya Timur perilaku yang
demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam penelitian kuantitatif
pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena menurut paradigma
yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian kuantitatif,
kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku umum.
38
Gambar 15 : Abraham Maslow
39
artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan
pada sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
40
yang diteliti. Oleh karena itu dalam penelitian kuantitatif dikatakan peneliti
tidak memihak.
41
kapan menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana
menuntut jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif dilakukan untuk
mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu mengerti dan
menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang pemikiran
manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan
makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak
menjadi tujuan penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga
tidak menjadi aspek penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas sosial, karena
penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme yang
berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio
subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada
subjek dan bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil
pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.
42
ditarik kesimpulan. Agar dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara
harus dilengkapi dan dicek dengan hasil observasi yang dilakukan secara
khusus. Dengan observasi akan dapat diketahui tentang proses interaksi atau
kejadian-kejadiannya sendiri. Atau dengan kata lain, dengan observasi
terutama observasi langsung tidak hanya akan dapat menjawab pertanyaan
tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa. Dengan diketahuinya tentang
apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan dapat dipahami secara
mendalam (verstehen).
43
dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam
penelitian. Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal
(dapat menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman
(1997 dalam Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti
mengetahui adanya sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti)
dalam penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan
bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.
44
atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat juga
banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus
yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh penelitian
tentang Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis. Negara-
negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.
Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok
jumlah subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis
dengan statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok
jumlah subjek yang diteliti.
h. Peneliti terlibat
Berbeda dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak
dengan yang diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari
subjektivitas dari yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti
tidak mengambil jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek
yang diteliti terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan
misalnya observasi terlibat (participant observation). Dengan observasi
terlibat pemahaman terhadap subjek dapat mendalam.
45
hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian berusaha untuk
mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut
senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17), Positivisme
melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian dianggap
sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada
akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian
serta mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: The basic belief system of
positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that there exists a
reality out there, driven by immutable the natural laws. Intinya sistem
keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis yaitu percaya
akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh hukum-
hukum alam yang tetap.
Secara singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang
menyatakan kebenaran itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-
hukum alam yaitu hukum kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya
menurut Guba (1990:20) sistem keyakinan dasar para peneliti positivis dapat
diringkas sebagai berikut:
Ontology: Realist-reality exists out there and is driven by immutable
natural laws and mechanism. Knowledge of this entities, laws and
mechanisms is conventionally summarized in the form of time and context-
free generalizations. Some of these latter generalizations take the form of
cause-effect laws.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya
realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam
dan mekanisme yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri
manusia (entities), hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara
konvensional diringkas dalam bentuk generalisasi yang bersifat tidak terikat
waktu dan tidak terikat konteks. Sebagian dari generalisasi ini berbentuk
hukum sebab-akibat.
Epistomology : Dualist/objectivist it is both possible and essential for the
enquirer to adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing
46
and confounding factors are thereby automatically excluded from influencing
the outcomes.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah
mungkin dan esensial bagi peneliti untuk mengambil jarak dan bersikap tidak
melakukan interaksi dengan objek yang diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor
yang mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
Methodology : Experimental/manipulate questions and/or hypotheses are
studied in advance in propositional term and subjected to empirical tests
(falsification) under carefully controlled conditions.
Kutipan tersebut mempunyai arti asumsi metodologi: bersifat
eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis
dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji
secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog Aguste
Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Mill dari Inggris
(1843) memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile
Durkheim (Sosiolog Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam
Rules of the Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi
para peneliti ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim
(1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut
meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain.
Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam
penelitian positivisme informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada
individu yang dijadikan responden penelitian.
47
Gambar 16 : John Stuart Mill
48
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika realitas hanya
dapat dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui
jendela nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut
Guba penelitian terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya
dapat diteliti dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan
nilai. Beberapa hal lagi dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba
tetapi penjelasan Guba yang terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut:
Finally, it depicts knowledge as the outcome or consequence of human
activity; knowledge is a human construction, never certifiable as
ultimately true but problematic and ever changing (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan
konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai
kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.
Penjelasan Guba yang terakhir tersebut mengandung arti bahwa aktivitas
manusia itu merupakan aktivitas mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak
merupakan kebenaran yang tetap tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan
bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu
terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan pengetahuan hasil
konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan
Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: Cogito
Ergo Sum, yang artinya Aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan
khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil
pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan
hasil/kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh
karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut
Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dimulai
dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini
49
berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu
pihak berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada
materi. Hal ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808).
Menurut Kant ilmu pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan
pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi oleh
rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keyakinan dasar pada
peneliti Konstruktivisme dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology : Relativist Realities exist in the form of multiple mental
constructions, socially and experientially based local and
specific, dependent for their form and content on the persons
who hold them.
Asumsi ontologi: Realitivis realitas-realitas ada dalam bentuk
konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara
sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya,
tergantung pada mereka yang mengemukakannya.
Epistomogy : Subjectivist inquirer and inquired into are fused a single
(monistic) entity. Findings are literally the creation of the
process of interaction between the two.
Asumsi epistimologi: Subjektif peneliti dan yang diteliti disatukan ke
dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).
Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses
interaksi antara peneliti dan yang diteliti.
Methodology: Hermeneutic dialectic individual constructions are
elicited and refined hermeneutically, with the aim of
generating one (or a few) constructions on which there is
substantisl consensus.
Asumsi metodologi: Hermeneutik dialektik konstruksi-konstruksi
individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik
dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi
yang secara substansial disepakati
50
b) Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:
Postpositivism is best characterized as modified version of positivism.
Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists
strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and
control continue to be the aim.
Kutipan tersebut mempunyai arti Postpositivisme mempunyai ciri utama
sebagai suatu modifikasi dari Positivisme. Melihat banyaknya kekurangan
pada Positivisme menyebabkan para pendukung Postpositivisme berupaya
memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya. Prediksi dan
kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai berikut:
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan
pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran
ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada
dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang
mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia
(peneliti). Oleh karena itu secara metodologi pendekatan eksperimental
melalui metode triangulation yaitu penggunaan bermacam-macam metode,
sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat
kebenaran apabila pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat
dengan objek secara langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat
dengan objek harus bersifat interaktif, dengan catatan bahwa pengamat
harus bersifat senetral mungkin, sehingga tingkat subjektivitas dapat
dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu pandangan
Guba, Denzin dan Lincoln dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme
adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Satu
51
sisi Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu
memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada sisi lain
Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan
kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau
tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti
dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan
prinsip trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber
data, data, dan lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan dasar pada
peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
Ontology : Critical realist reality exist but can never be fully
apprehended. It is driven by natural laws that can be only
incompletely understood.
Asumsi ontologi: Realis kritis artinya realitas itu memang ada, tetapi
tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur
oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
Epistomology: Modified objectivist objectivity remains a regulatory
ideal, but it can only be approximated with special emphasis
placed on external guardians such as the critical tradition and
critical community.
Asumsi epistomologi: Objektivis modifikasi - artinya objektivitas tetap
merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus
pada penjaga eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang
kritis.
Methodology: Modified experimental/manipulative emphasize critical
multiplism. Redress imbalances by doing inquiry in more
natural settings, using more qualitative methods, depending
more on grounded theory, and reintroducing discovery into the
inqury process.
Asumsi metodologi: Eksperimental/manipulatif yang dimodifikasi,
maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar
52
yang alamiah, yang lebih banyak menggunakan metode-metode
kualitatif, lebih tergantung pada teori-grounded (grounded-
theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan
dalam proses penelitian.
53
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi ontologis, paham Teori
Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai objek atau realitas
secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh
pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi masalah ini, secara
metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan transformasi
untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara epistomologis,
hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal yang tidak
bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai
yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan
kebenaraan tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa Teori
Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai paradigma, tetapi
lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang berorientasi pada
ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme, Freireisme, dan
lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum Positivis
dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena Teori
Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan
subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran
dari realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan dasar para
peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
Ontology : Critical realist, as in the case of postpositivism.Artinya
ontologi: bersifat realis kritis, seperti Post-Positivisme.
Epistomology : Subjectivist, in the sense that values mediate
inquiry.Artinya epistomologi: subjektivis, dalam arti nilai-
nilai menjadi mediasi penelitian.
Methodology: Dialogic, transformastive; eliminate false consciousness
and energize and facilitate transformation. Artinya
metodologi: dialogis, transformatif; mengeliminasi
kesadaran palsu dan membangkitkan dan memasilitasi
transformasi.
54
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi dari
paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif lengkap dengan pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang digunakan masing-masing paradigma serta
implementasi dalam penelitian berdasarkan asumsi-asumsi dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma, sebagai
berikut:
55
56
4. INTERPRETIVE, HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI
a. Interpretive
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin &
Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
57
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam Denzin &
Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam Denzin &
Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
58
However they merely suggest directions along which to look rather than
provide descriptions of what to see.
59
kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul
wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi
namun korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun,
meninggal dunia.
60
kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat
dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak
mengedipkan mata karena sedang latihan atau melatih orang lain untuk
bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang sama yaitu
mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda.
Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang
harus melakukan thick description (lukisan mendalam), yang pada
hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog
dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: Dengan percaya pada
Max Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada
jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri, saya menganggap
kebudayaan sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak
merupakan ilmu eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu
yang bersifat interpretif untuk mencari makna.
61
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi dan statusnya
dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
62
Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani
63
problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda.
Kesulitan itu akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling
mengomunikasikan gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis
(Sumaryono, 1993: 24).
64
melalui bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau
mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain.
Hermeneutik membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang
terkandung dalam bahasa yang tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat
dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang
dimaksud oleh penulisnya.
65
mungkin dapat diketahui, objek akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain
pengetahuan itu hanya mungkin terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki
kesamaan dengan objek sebagai realitas di alam semesta ini. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hanya melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia
dapat mengetahui objek yang berada di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak
mampu mengetahui dunia dan segala isinya. Pada tingkat ini pengetahuan
manusia dianggap bersifat temporal, kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi
manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani, melainkan juga memiliki jiwa
atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu mengangkat pengetahuan
yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini berarti manusia berkat
akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan yang kongkret yang
ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan mencapai
pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek apa
saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859
1938) merupakan metoda untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya.
Fenomena adalah segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil
dalam kesadaran manusia. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun
berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun berupa kenyataan
(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105). Selanjutnya dikatakan yang penting
ialah pengembangan suatu metoda yang tidak memalsukan fenomena,
melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya. Untuk tujuan itu
fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena tersebut
tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya
menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat
memahami fenomena sebagaimana adanya.
Memahami fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali
kepada barangnya sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang
yang tampil sebagaimana adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl
dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Usaha kembali kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik.
Tidak mungkin untuk melukiskan fenomena-fenomena sampai pada hal-hal
66
yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat
fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut harus dapat
menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat mengungkapkan
diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan intuisi mengenai
hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung
terjangkau sebagaiman adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional,
artinya terarah pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri.
Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta
upaya, semuanya senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu.
Hanya dengan melakukan analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu
dapat ditemukan. Untuk itu seorang fenomenolog harus sangat cermat
menempatkan diantara tanda kurung kenyataan dunia luar agar fenomena ini
hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia luar ini memerlukan metoda
yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik atau epoche
(Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut terdiri dari 2 (dua)
macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan hakekat (eidos) dalam
fenomena, dan reduksi transendental yang menempatkan dalam tanda
kurung setiap hubungan antara fenomena dengan dunia luar. Melalui kedua
macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental, sedangkan
kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan bentuk
pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang Calra Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi
Transendental yang diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20
menekankan dunia yang menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai
manusia. Tujuannya ialah agar kembali ke barangnya/bendanya sendiri
sebagaimana mereka tampil kepada kita dan mengesampingkan atau
mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka. Dengan kata lain
fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia dengan
konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak tentang
kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling
kita (Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
67
twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as
humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us
perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know
about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is
experienced by human beings within particular contexts and at particular
times, rather than in abstract statements about the nature of the world in
general. Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our
consciousness as we engage with the world around us).
Menurut perspektif fenomenologi, tidak masuk akal untuk
berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan subjek terpisah dari pengalaman
kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek pasti hadir kepada kita sebagai
sesuatu, dan manifestasinya seperti ini atau itu membentuk realitasnya pada
suatu saat manapun. Penampilan suatu objek sebagai fenomena perseptual
bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi pandang subjek, dan terpenting,
orientasi mental dari subjek (misalnya hasrat, kebijakan, penilaian, emosi,
maksud dan tujuan). Inilah yang disebut intensionalitas. Intensionalitas
membiarkan objek menampakan diri sebagai fenomena. Ini berarti bahwa diri
dan dunia merupakan komponen-komponen makna yang tidak dapat
dipisahkan (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan merupakan sesuatu
yang ditambahkan pada persepsi, sebagai sesuatu yang dipikirkan sesudah
persepsi. Sebaliknya persepsi selalu bersifat intensional, oleh karena itu
merupakan unsur konstitutif pengalaman itu sendiri. Akan tetapi pada waktu
yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa persepsi kurang lebih
dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi
mengidentifikasikan strategi-strategi yang dapat membantu putusan
memokuskan diri di mana letak kemurnian fenomenologi (Husserl, 1931:
262), dan memantulkan apa yang kita bawa serta pada aktivitas persepsi
dengan merasa, berpikir, mengingat dan memutuskan. Hal ini merupakan
implikasi metodologi fenomenologi (Willig, 1999: 51) (According to a
phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of
objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all
objects and subjects must present themselves to us as something, and their
manifestation as this or that something constitutes their reality at any one
68
time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies
depending upon the perceivers location and context, angle of perception and
importanly, the perceivers mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements,
emotions, aims and purposes). This is referred to as intentionality.
Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that self
and world are inseparable components of meaning (Moustakas 1994: 28).
Here, meaning is not something that is added on to perception as an
afterthought; instead, perception is always intentional and therefore
constitutive of experience itself. However, at the same time, transcendental
phenomenology acknowledeges that perception can be more or less infused
with ideas and judgements. It identifies strategies that can help us to focus on
that which lies before one in phenomenological purity (Husserl, 1931:
262), and to reflect on that which we bring to the act of perception through
feeling, thingking, remembering and judging. This takes us on to the
methodological implications of phenomenology (Willig, 1999:51).
2) Metode Fenomenologi
Metode fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi,
membentuk bagian sentral yang disebut fenomenologi transendental. Husserl
menyatakan adalah mungkin mentransendensikan prasangka dan bias, dan
mengalami suatu keadaan kesadaran yang belum direfleksikan, yang
memungkinkan kita menggambarkan fenomena sebagai mana mereka yang
menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan
serangkaian tahap akan membantu filsof dari persepsi segar tentang fenomena
yang dikenal ke upaya menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang
berasal dari cara ini akan bebas dari penjelasan akal sehat dan ilmiah dan
interpretasi-interpretasi atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman
yang lain. Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang
dunia sebagai ia menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya.
(The phenomenological method of deriving forms a central part of
transcendental phenomenology. Husserl suggested that it was possible to
transcend presuppositions and biases and to experience a state of pre-
reflective consciousness, which allows us to describe phenomena as they
69
present themselves to us. Husserl identified a series of steps that would take
the philosopher from a fresh perception of familiar phenomena to the
extraction of the essences that give the phenomena their unique character.
Knowledge derived in this way would be free from the common-sense notions,
scientific explanations and other interpretations or abstractions that
characterize most other forms of understanding. It would be a knowledge of
the world as it appears to us in our engagement with it (Willig, 1999: 52).
70
judgements and interpretations to allow ourselves to become fully aware of
what is actually before us. In phenomenological reduction we describe the
phenomenon that present itself to us it in totality. This includes physical
features such as shape, size, colour and texture, as well as experiential
features such as the thought and feelings that appear in our consiousness as
we attend to the phenomenon. Through phenomenological reduction, we
identify the constituens of our experience of the phenomenon. In other words,
we become aware of what makes the experience what it is. Imaginative
variation involves an attempt to access the structural components of the
phenomenon. That is, while phenomenological reduction is concerned with
whatis experienced (i.e. its texture), imaginative variation asks how this
experience is made possible (i.e. its structure). The aim of imaginative
variation is to identify the conditions associated with the phenomenon and
whitout which it would not be what it is. This could involve time, space or
social relationships. Finally, textural and structural descriptions are
integrated to arrive at an understanding of the essence of the phenomenon)
(Willig, 1999: 52).
71
proved to be of interest to researchers in the social sciences in general and
psychology in particular. This is because phenomenology focuses upon the
content of consciousness and individuals experience of the word as Kvale
(1996 b:53) put it:
Phenomenology is interested in elucidating both that which appears and the
manner in which it appears. It studies the subjects perspectives of their word;
attempts to describe in detail the content and structure of the subjects
consciouness, to grasp the qualitative diversity of their experiences and to
explicate their essential meanings.
Selanjutnya dijelaskan: Penelitian fenomenologi empiris dalam psikologi telah
dirintis dan diaplikasikan secara ekstentif di Universitas Duquesne di Amerika
Serikat (lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975).
Topik-topik penelitian fenomenologi meliputi: pemahaman perasaan (Van
Kaam 1959), belajar (Georgi 1975, 1985), jadi korban (Fisher dan Wertz,
1979), amarah (Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari
pengalaman manusia. Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis
secara fenomenologis. Inilah alasan lain mengapa fenomenologi merupakan
pendekatan yang menarik bagi peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat
perbedaan dalam fokus dan penekanan antara fenomenologi transcendental
dan penggunaan metoda fenomenologi dalam psikologi. (Empirical
phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied
extensively at Duquesne University in the USA (see Van Kaam 1959, 1994;
Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of phenomenological
investigation included feeling understood (Van Kaam 1959), learning
(Georgi 1975, 1985), being victimized (Fisher and Wentz 1979), angry
(Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact, any
human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is
another reason why this approach appeals to psychological researchers.
However, there are differences in focus and emphasis between transcendental
phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology
(Willig, 1999:52-53).
Spinelli (1989) menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih
memperhatikan keberagaman dan variasi pengalaman manusia daripada
72
mengidentifikasi esensi-esensi dalam pengertian Husserl. Tambahan pula
penelitian-penelitian fenomenologi dalam psikologi, jika ada mengklaim
bahwa tidak mungkin menyingkirkan seluruh prasangka dan bias dalam
suatu perenungan tentang suatu fenomena. Agaknya, usaha memberi tanda
kurung pada fenomena, hanya untuk memungkinkan peneliti melakukan
pengujian secara kritis atas cara biasa untuk mengetahui sesuatu. Akhirnya
sangat penting untuk melakukan pembedaan antara perenungan fenomenologi
tentang suatu objek atau kejadian sebagaimana ia menampakan diri kepada
peneliti, dan analisis fenomenologi atas laporan pengalaman khusus seperti
yang disampaikan oleh peneliti terlibat. Perenungan fenomenologis menuntut
(mensyaratkan) intropeksi oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri,
sementara analisis terhadap laporan pengalaman terlibat merupakan upaya
masuk ke dalam pengalaman orang lain atas dasar deskripsi mereka tentang
pengalamannya. Dalam penelitian psikologi fenomenologis laporan
pengalaman terlibat dijadikan fenomena yang dianalisis oleh peneliti.
(Spinelli (1989) pointed out that phenomenological psychology is more
concerned with the diversity and variability of human experience than with the
identification of essences in Husserls sense. In addition, few, if any,
phenomenological researchers in psychology would claim that it is possible to
suspend all presuppotions and biases in ones contemplation of a
phenomenon. Rather the attempt to bracket the phenomenon allows the
researchers to engage in a critical examination of his or her customary ways
of knowing (about) it (see reflexity. p. 10). Finally, it is important to
differentiate between phenomenological contemplation of an object or event
as it present it self to the researcher, and phenomenological analysis of an
account of a particular experience as presented by a research participant. The
former requires introspective attention to ones own experience, where as the
latter an attempt to get inside someone elses experience on the basis of
their description of it. In phenomenological psychological research, the
research participotions account becomes the phenomenon with which the
researcher engages) (Willig, 1999: 53).
73