Anda di halaman 1dari 72

1

DAYA DUKUNG LAHAN


(Bahan Kajian MK. Landuse Planning & Land
Management
Smno.psdl.pdip.pdkl.ppsub.Okt2013)

1. PENDAHULUAN

Membangun suatu wilayah pada hakikatnya


merupakan upaya untuk memberi nilai tambah terhadap
kualitas kehidupan. Proses pemberian nilai tambah terhadap
kualitas kehidupan dilakukan dengan memperhatikan
internalitas dan eksternalitas suatu wilayah. Internalitas
diantaranya meliputi kondisi fisik wilayah, potensi sumber
daya (alam, manusia, dan buatan), serta kondisi sosial
ekonomi dan lingkungan hidup, sedang eksternalitas yang
perlu diperhatikan diantaranya adalah situasi geostrategi,
geopolitik, dan geoekonomi.
Pemahaman terhadap kondisi fisik wilayah, kelestarian
sumber daya alam, peningkatan kapasitas sumber daya
manusia dengan dukungan sumber daya buatan, serta
pemahaman terhadap eksternalitas suatu wilayah, menjadi
kunci keberhasilan perencanaan pembangunan. Hal ini
mengindikasikan pentingnya merencanakan pembangunan
melalui perspektif yang lebih luas dan tidak sekedar
administratif parsial atau sektoral saja. Untuk itu pendekatan
kewilayahan atau spasial dalam pelaksanaan penataan
ruang, memegang peranan yang vital dalam perencanaan
pembangunan.

Memperbaiki daya dukung lahan kering:


Konservasi Lahan Kering dengan Perbaikan
Erosi

Lahan kering dalam keadaan alamiah biasanya peka


terhadap erosi, terutama bila keadaan tanahnya miring
atau tidak tertutup vegetasi, tingkat kesuburannya
rendah, air merupakan faktor pembatas dan biasanya
tergantung dari curah hujan serta lapisan olah dan
lapisan bawahnya memiliki kelembaban yang amat
rendah. Menurunnya produktivitas lahan pada tanah
datar dapat pula terjadi karena hilangnya unsur hara dari
solum tanah melalui pencucian hara dan aliran
permukaan. Di daerah-daerah yang penduduknya masih
menggunakan sistem ladang berpindah dengan
2

mempergunakan lahan yang berlereng curam, masih ada


kegiatan-kegiatan usahatani pangan semusim dimana
para petani tidak atau belum memperhatikan konservasi
lahan.

Pola tanam ganda yang menanam aneka jenis tanaman pada waktu
yang bersamaan dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
lahan dan sekaligus daya dukung lahan.

Degradasi lahan kering biasanya terjadi karena tindakan


manusia yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi
tanah dan air dalam mengelola usahataninya, hal ini
merupakan kemunduran dalam penggunaan sumber daya
alam lahan. Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bencana,
misalnya banjir, kekeringan, erosi, dan lain-lain. Oleh karena
itu dalam pengelolaan sumberdaya lahan harus senantiasa
memperhatikan tindakan konservasi (teknologi usahatani
konservasi).

2. PENYUSUN DAYA DUKUNG LAHAN


3

Daya dukung lahan diukur menurut berbagai kriteria:


1. Ekologi
2. Ekonomi
3. Estetika (keindahan)
4. Rekreasi
5. Psikologi (agar orang tetap tenang)
6. Pertanian
7. Cagar alam
8. Kehidupan penduduk

Masing-masing mempunyai persyaratan sendiri, tetapi harus


saling mengisi. Misalnya:
Ekologi cagar alam
Estetika rekreasi
Pertanian ekonomi
Psikologi kehidupan penduduk

Perlu diingat bahwa daya dukung yang dimaskud adalah yang


alami. Akan tetapi dapat ditingkatkan dengan teknologi.
Walaupun demikian ada batas maksimalnya.

Ekosisitem pertanian, agar dapat dipertahankan dengan baik


memerlukan pengelolaan secara benar. Kalau tidak, maka
dapat terjadi penurunan nilai. Mengelola dalam arti
mengatur proses sehingga secara sinambung dapat
bermanfaat lebih sesuai, memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Misalnya ekosistem lahan sawah, pengelolaannya
dimulai dari pengolahan tanah, penanaman bibit padi,
pemeliharaan tanaan padi, hingga panen padi.
4

Ekosistem lahan sawah yang baru ditanami dengan bibit padi (Foto
Soemarno, Desember 2011)

Ekosistem lingkungan binaan (non alami), kolam resapan air hujan


dibuat di bagian terendah dari bentang lahan
5

Ekosistem adalah sistem kehidupan yang terselenggara


dengan interaksi antara makhluk hidup dengan habitat
(lingkungan hidup) dan antar makhluk dalam suatu habitat.

Eko = rumah, tempat hidup.


Macam ekosistem tergantung pada makhluk yang
menempati. Adapun ekosistem pertanian melibatkan
makhluk hidup: manusia, ternak, tanaman dan lahan sebagai
konsep habitat (abiotik). Adapun tujuan pengelolaan
ekosisitem adalah meningkatkan produktivitas. Ekosistem
gurun mempunyai produktivitas rendah. Ekosistem tropika
mempunyai produktifitas tinggi. Ekosistem dapat dibagi
menjadi ekosistem alamiah dan ekosistem budaya (misalnya
pertanian).

Penggunaan lahan (Tataguna lahan) memikirkan:


1. Matra tempat, yang berarti ditentukan oleh faktor
sumberdaya (pewilayahan usaha)
2. Matra waktu, yang menyangkut perkembangan
persepsi penggunaan sumberdaya (dinamika usaha).

Perencanaan Wilayah bermatra tempat dan waktu, akses jalan dan


transportasi sangat m,enentukan laju perkembangan lahan (Foto,
soemarno, desember 2011)

Latar belakang manusia menggunakan lahan untuk pertanian


ada 3 macam, tergantung pada kemahiran:
6

1. Pertanian subsisten (untuk pemenuhan kebutuhan


sendiri)
2. Pertanian komersial, untuk jual beli, di sini pemenuhan
kebutuhan tidak langsung dari hasilnya.
3. Pertanian bahan mentah industri, misalnya menggali
pasir (sebagai anasir lahan) untuk dijual

Pertanian subsisten, sawah untuk


membudidayakan padi

Komponen lahan yang harus dipertahankan dalam ekosistem


pertanian adalah:
1. Abiotik:
a. Iklim: curah hujan, energi matahari, suhu
b. Tanah: air, hara tanaman,udara, rhizosphere
(tempat berpangkal tanaman). Di sini tanaman
tidak dapat memanfaatkan air langsung dari
hujan, tetapi diubah dalam bentuk lengas.
2. Biotik:
a. tumbuhan pendukung, misalnya Rhizobium
b. pengganggu, yang mengganggu fungsi, yaitu
hama dan penyakit
c. perusak, kerugian fisik, misalnya penggerek daun
atau buah

Untuk dapat menjalankan tataruang memerlukan sistem


pengharkatan, sehinga tataruang berwawasan lingkungan.
Pengharkatan dapat menurut berbagai faktor:
a. Sebagai kenyataan: misal: jenis tanah, morfologi
permukaan
7

b. Sebagai fakta: klasifikasi fungsi


c. Sebagai persepsi: nilai

Tanah
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di
bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan
menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar.
Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat
yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga
menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi
sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk
hidup dan bergerak. Tanah merupakan kompenen lahan
yang sangat penting.

Definisi Tanah.

1. Pendekatan Geologi (Akhir Abad XIX)


Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang berasal dari
bebatuan yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh
gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit (lapisan
partikel halus).

2. Pendekatan Pedologi (Dokuchaev 1870).


Pendekatan Ilmu Tanah sebagai Ilmu Pengetahuan Alam
Murni. Kata Pedo =i gumpal tanah.
Tanah adalah bahan padat (mineral atau organik) yang
terletak dipermukaan bumi, yang telah dan sedang serta
terus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor: Bahan Induk, Iklim, Organisme, Topografi, dan Waktu.

3. Pendekatan Edaphologis (Jones dari Cornel


University Inggris)
Kata Edaphos = bahan tanah subur. Tanah adalah media
tumbuh tanaman

Perbedaan Pedologis dan Edaphologis

1. Kajian Pedologis:
Mengkaji tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah
secara alamiah atau berdasarkan Pengetahuan Alam Murni.
Kajian ini meliputi: Fisika Tanah, Kimia Tanah, Biologi tanah,
Morfologi Tanah, Klasifikasi Tanah, Survei dan Pemetaan
Tanah, Analisis Bentang Lahan, dan Ilmu Ukur Tanah.

2. Kajian Edaphologis:
8

Mengkaji tanah berdasarkan peranannya sebagai media


tumbuh tanaman.
Kajian ini meliputi: Kesuburan Tanah, Konservasi Tanah dan
Air, Agrohidrologi, Pupuk dan Pemupukan, Ekologi Tanah, dan
Bioteknologi Tanah.

Paduan antara Pedologis dan Edaphologis:

Meliputi kajian: Pengelolaan Tanah dan Air, Evaluasi


Kesesuaian Lahan, Tata Guna Lahan, Pengelolaan Tanah
Rawa, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.

Definisi Tanah (Berdasarkan Pengertian yang lebih


komprehensif)

Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik


berfungsi sebagai tempat tumbuh & berkembangnya
perakaran penopang tegak tumbuhnya tanaman dan
menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi
berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi
(senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur
esensial seperti: N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, Cl); dan
secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme)
yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan
zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang
ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas
tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik
tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan,
maupun kehutanan.

Fungsi Tanah
1. Tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran
2. Penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara,
dan unsur-unsur hara)
3. Penyedia kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat
pemacu tumbuh: hormon, vitamin, dan asam-asam
organik; antibiotik dan toksin anti hama; enzim
yang dapat meningkatkan kesediaan hara)
4. Sebagai habitat biota tanah, baik yang berdampak
positif karena terlibat langsung atau tak langsung
dalam penyediaan kebutuhan primer dan sekunder
tanaman tersebut, maupun yang berdampak
negatif karena merupakan hama & penyakit
tanaman.

Dua makna penting tentang Tanah:


9

1. Tanah sebagai tempat tumbuh dan penyedia


kebutuhan tanaman, dan
2. Tanah juga berfungsi sebagai pelindung tanaman
dari serangan hama & penyakit dan dampak negatif
pestisida maupun limbah industri yang berbahaya.

Profil Tanah
Profil Tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan
paling atas hingga ke batuan induk tanah. Profil dari tanah
yang berkembang lanjut biasanya memiliki horison-horison
sbb:

O A E B - C R.

Solum Tanah terdiri dari :OAEB


Lapisan Tanah Atas meliputi :OA
Lapisan Tanah Bawah :EB

Keterangan:
O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT)
hasil dekomposisi serasah (Oa)
A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap
E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar
(BOT, liat silikat, Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa
(seskuoksida) dan mineral resisten lainnya tinggi, berwarna
terang
B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-
bahan yang tercuci dari harison diatasnya (akumulasi bahan
eluvial).
C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan
induk (R) atau belum terjadi perubahan
R : Bahan Induk tanah .

Kegunaan Profil Tanah


(1) untuk mengetahui kedalaman lapisan olah
(Lapisan Tanah Atas = O - A) dan solum tanah (O
A E B)
(2) Kelengkapan atau differensiasi horison pada profil
(3) Warna Tanah

Komponen Tanah
Empat macam komponen penyusun tanah :
(1) Bahan Padatan berupa bahan mineral
(2) Bahan Padatan berupa bahan organic
(3) Air
(4) Udara.
10

Bahan tanah tersebut rata-rata 50% bahan padatan (45%


bahan mineral dan 5% bahan organik), 25% air dan 25%
udara.

Deskripsi profil tanah: Pengharkatan menurut faktor


sebagai kenyataan
11

Profil tanah memperlihatkan beberapa horizon tanah.(Sumber:


http://id.wikipedia.org/wiki/Tanah)

Contoh hasil deskripsi dan evaluasi profil tanah

Deskripsi profil tanah Seri Tempur

1. Lokasi : Dukuh Tempur, Desa Pagak , Kecamatan


Pagak, Malang

2. Serie Tempur
Serie ini terdiri atas tanah-tanah yang solumnya
sangat dalam, drainagenya baik , permeabilitasnya lambat,
padfa lereng uang konveks, bahan induknya hasil lapukan
material klastik-vulkanik yang terletak di atas batukapur yang
telah lapuk; gradien slope 1-65%, rataan suhu udara tahunan
25oC, dan rataan curah hujan tahunan 1900 mm.

3. Kelas taksonomi : Udertic Paleustalfs,


isohyperthermik

4. Profil pewakil
Tanah liat Tempur ini terletak pada lereng konveks
yang menghadap ke Timur , lahan garapan berteras bangku
12

dengan lebar teras 3-15 m dan tinggi tebing 30- 60cm, untuk
menanam tanaman tebu , slope 3- 7%.
Ap (kedalaman 0-12 cm); liat coklat tua kemerahan
(5YR 3/3) dan coklat tua (10 YR 4/3) bila kering; granuler
halus lemah; konsistensi agak keras, gembur, plastis dan
lekat; banyak pori halus, pori medium dan pori kasar yang
tidak teratur ; banyak akar halus ; celah-celah lebar 3-5 cm;
reaksinya agak masam ; batas horison smooth abrupt
(tebalnya 9-15 cm)
Bt1 (kedalaman 12-47 cm); liat coklat tua kemerahan
(5 YR 3/3) ; prismatik sangat kasar lemah hingga gumpal
bersudut medium moderat; konsistensi teguh, plastis dan
lekat; ada selaput liat cklat tua kemerahan pada permukaan
ped dan pori; banyak akumulasi Mn ; banyak pori halus,
sedikit pori medium dan pori kasar tubuler dan vesikuler;
akar halus dan kasar sedikit ; celah-celah selebar 2-4 cm;
reaksinya netral; batas horison smooth diffuse
Bt2 (kedalaman 47-68 cm); liat coklat tua kemerahan
(5YR 3/3) ; sedikit material vulkanik-klastik keputihan beruku-
ran pasir; struktur prismatik sangat kasar lemah hingga
gumpal bersudut, medium , moderat, dan gumpal;
konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat
tua kemerahan (5YR 3/4) pada permukaan ped dan pori; agak
banyak akumulasi Mn; pori halus, dan medium sedikit ; akar
halus dan kasar sedikit; celah-celah lebarnya 2-3 cm;
reaksinya agak alkalin ; batas horison smooth gradual .
Bt3 (kedalaman 68- 97 cm); Liat coklat tua kemerahan
( 5YR 3/4); banyak material keputihan berukuran pasir
dengan becak-becak keputihan halus; struktur gumpal
bersudut medium dan kasar moderat; gumpal membulat;
konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada selaput liat coklat
tua kemerahan (5YR 3/3) pada ped dan pori; akumulasi Mn
cukup banyak; sedikit pori halus, dan pori medium tubuler;
celah-celah selebar 1-2 cm; reaksinya netral ; batas horison
smooth diffuse .
Bt4 (kedalaman 97 -115 cm); liat coklat kemerahan;
banyak material vulkanik-klastik berukuran pasir keputihan;
struktr prismatik sangat kasar lemah dan gumpal membulat
lemah; konsistensi sangat teguh, plastis dan lekat; ada
selaput liat yang jelas, coklat tua kemerahan(5YR 3/3) pada
permukaan ped dan pori; banyak akumulasi Mn pada
permukaan ped; pori halus agak banyak, pori medium dan
pori kasar tubuler sedikit; celah-celah selebar 1-2 cm;
reaksinya netral; batas horison smooth jelas..
13

Bt5 (kedalaman 115-142 cm); liat coklat kuat (7.5YR


4/6); struktur gumpal bersudut , kasar dan medium, lemah;
konsistensi teguh, plastis dan lekat; ada sedikit selaput liat
coklat tua kemerahan (5YR 3/3) pada permukaan ped ; sedikit
akumulasi Mn yang jelas ; kerikil batukapur 5% ; reaksinya
agak alkalin; batas horison smooth jelas (Tebalnya gabungan
horison Bt adalah 110- 165 cm).
2C (kedalaman 142-161 cm); liat coklat kuat (7.5YR
5/6); masif; sangat teguh, plastis dan lekat; nodul besi merah
(10YR 4/8) 5%; sedikit akumulasi Mn yang jelas; kerikil
batukapur 5%; agak alkalin.

5. Karakteristik Umum
Solum tanah 150-180 cm , dan kedalaman hingga
bahan litologis yang diskontinyu 80-130 cm, kedalaman
hingga batuan induk lebih dari 150 cm. Celah-celah mulai
terjadi pada permukaan tanah dan meluas hingga kedalaman
50-140 cm selama musim kering, lebarnya 3-5 cm di
permukaan tanah dan 0.5 cm pada kedalaman 140 cm.
Fragmen batuan kapur 1-5% di sebelah bawah diskontinyu;
reaksinya agak masam hingga agak alkalis di sebelah atas
lapisan diskontinyu dan agak masam hingga agak alkalis di
sebelah bawah lapisan diskontinyu.
a. Horison Ap mempunyai hue 10YR - 5YR , value 3
atau 4, dan khroma 2 atau 3 bila kering dan bila
basah mempunyai hue 10YR-5YR, value 3 dan
khroma 2 atau 3; teksturnya liat , lempung liat, dan
lempung debu; reksinya agak masam.
b. Horison Bt mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value 3
atau 4 , khroma 3 - 6 , teksturnya liat , akumulasi
Mn sedikit hingga agak banyak; persentase kerikil
batukapur 1-5%; reaksinya netral hingga agak
alkalis.
c. Horison 2C mempunyai hue 5YR atau 7.5YR, value
4 atau 5 , khroma 6 - 8 , teksturnya liat ; nodul besi
di beberapa horison 1-5%; reaksinya agak alkalis.

6. Tatanan Geografis
Tanah-tanah ini ditemukan pada punggung bukit yang
konveks, dan lereng sisi yang lurus , bahan induknya
material vulkanik- klastis yang terletak di atas hasil lapukan
batukapur; gradien slope 1% pada punggung bukit yang
datar hingga 65% pada lereng sisi; rataan suhu udara 24-
26oC, rataan curah hujan tahunan 1700-2100 mm.
14

7. Drainase dan Permeabilitas


Drainage tanah baik , limpasan permukaan lambat
hingga sangat cepat, permeabilitasnya lambat.

8. Penggunaan lahan dan vegetasi


Sebagian besar digunakan sebagai lahan tegalan
dengan tanaman jagung, tebu, ubikayu , kelapa, kapok
randu, pisang ; kayu jati, dan bambu.

Hasil analisis contoh tanah, hasil analisis neraca lengas


lahan, dan evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel-
tabel berikut.
15

Hasil analisis contoh tanah dari Profil Tanah Seri


Tempur

No. Analisis Kedalaman; cm:


0-12 12-47 47-68 68-97 97- >115
115
1. Tekstur:
Pasir; % 23 11 12 5 2 2
Debu; % 26 20 19 28 15 16
Liat; % 51 69 69 67 83 82
2. Reaksi tanah:
pH(H2O) 6.5 7.1 7.5 7.3 7.3 7.4
pH(KCl) 4.9 5.2 5.3 5.6 6.2 6.4
3. Kesuburan
C; % 0.89 0.46 0.42 0.40 0.30 0.26
N; % 0.07 0.04 0.03 0.03 0.04 0.02
C/N 13 12 14 13 8 13
P-Olsen; ppm 5 2 7 2 4 7
Total P; kg/ha 5
Total K; kg/ha 120
4. Kation Tukar:
KTK; me/100g 27.49 34.17 34.66 36.10 33.08 33.70
Ca 14.60 20.33 20.65 22.08 23.32 25.95
Mg 2.40 2.54 2.44 3.18 3.67 4027
K 1.37 0.59 0.23 0.20 0.19 0.16
Na 0.27 0.67 0.80 0.82 0.65 0.62
KB; % 68 63 70 73 84 91
5.Lengastanah;v/
v
pF 2.54 35.4 41.5 43.4 48.4 42.6 49.8
pF 4.2 23.9 17.9 18.2 26.8 26.3 31.2
Air tersedia 11.5 23.6 25.2 21.6 16.3 18.6
6. Faktor erodi-
bilitas; k 0.30 0.10 0.10 0.15 0.10 0.10
Sumber: Soemarno, 1994
16

Neraca lengas tanah (soil moisture) bulanan di Lokasi


Tempur, Pagak

Unsur-unsur Bulan:
Iklim Jan Fbr Mrt April Mei Juni Juli Agust Sept. Okt. Nop Des.
1. ETP terkoreksi 120.6 104 118 112 114.5 106.3 106.9 111.8 112.7 124 128 124
2. C. hujan 330 263 170 165 67 74 80 30 52 126 243 275
3. SA 209.4 159 51.6 53.4 -47.5 -32.3 -26.9 -81.8 -60.7 2.4 115 151
4. APWL 0 0 0 0 47.5 79.8 106.6 188.4 249.1 0 0 0
5. Kadar air
tanah (KAT) 486 486 486 486 446.2 421 401.2 346.3 310.5 313 486 486
6. Perubahan
d(KAT) 0 0 0 0 -39.8 -25.2 -19.9 -54.9 -35.8 2.4 173. 0.0
7 .ETA 120.6 104 118 112 106.8 99.2 99.9 84.9 87.8 124 128. 124
8. Defisit 0 0 0 0 7.7 7.1 7.0 26.9 24.9 0 0 0
9. Surplus 209.4 159 51.6 33.4 0 0 0 0 0 0 0 151

Keterangan: Kedalaman tinjau tanah = 115 cm; KL = 486 mm;


APWL = Akumulasi daya penguapan; Defisit = ETP ETA; Surplus =
CH - ETP - d(KAT); Titik Layu Permanen (TLP) = 260 mm. Sumber:
Soemarno, 1994

Hasil Analisis Kesesuaian Lahan untuk Profil Tanah Seri


Tempur

No. Jenis Tingkat kesesuaian :


Tanaman
S1 S2 S3 N
1. Padi sawah
2. Padi gogo S2r.n
3. Ubikayu S2r.n
4. Ubijalar S2r.n
5. Kacangtanah S2r.n
6. Kedelai S2r.n
7. Pisang S3d.n
8. Pepaya S3d.n
9. Mangga S2r.n
10.Alpokat S2r.n
11.Jeruk S2r.n
12. Rambutan S3c.r.n
13. Apel N
14. Tebu S2r.n
15. Kelapa S2r.n
16. Kopi S2r.n
17

17. Cokelat S2r.n


Keterangan faktor pembatas: c = iklim (suhu udara dan tinggi
tempat); d = kekeringan; n = kesuburan tanah; r =
pembatas zone perakaran (tanah padat, dangkal, berkerikil,
berbatu); w = drainase buruk. Sumber: Soemarno, 1994.

Kesesuaian lahan pada hakekatnya merupakan peng-


gambaran dan pengharkatan tingkat kecocokan sebidang
lahan untuk suatu penggunaan tertentu, termasuk untuk
budidaya tanaman pertanian. Brinkman dan Smyth (1973)
telah menemukan beberapa kualitas lahan yang menentukan
tingkat kesesuaian lahan bagi tanaman. Kualitas lahan ini
adalah ketersediaan air tanah, ketersediaan unsur hara, daya
menahan unsur hara, kemasaman, ketahanan terhadap
erosi, sifat olah tanah, kondisi iklim, dan kondisi daerah
perakaran tanaman. Konsepsi ini telah dikembangkan lebih
lanjut oleh Soepraptohardjo dan Robinson (1975), yang telah
mengemukakan beberapa faktor penting lainnya, yaitu
kedalaman efektif tanah, tekstur tanah di daerah perakaran,
pori air tersedia, batu-batu di permukaan tanah, kesuburan
tanah, reaksi tanah, keracunan hara, kemiringan, erodibilitas
tanah, dan keadaan agroklimat.
Dalam hubungannya dengan produksi tanaman
pertanian, setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan
tertentu uantuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik.
18

Proses produksi tanaman: Pengharkatan menurut faktor


sebagai produksi primer (SUMBER:
http://www.seafriends.org.nz/enviro/soil/ecology.htm)

Berikut ini disajikan Persyaratan Kesesuaian Lahan untuk


Tanaman Pertanian: JAGUNG (Zea mays)

1. Iklim
Temperatur berkisar antara 16 - 32oC, dan kisaran
optimumnya 20-26oC. Curah hujan berkisar 500-5000
mm/th, kisaran optimumnya 1000-1500 mm/th.

2. Tanah
Persyaratan kebutuhan tanah adalah : tanah dalam,
konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase agak
cepat hingga baik, tingkat kesuburan tanah sedang, tekstur
lempung dan lempung berdebu dengan kandungan humus
sedang, reaksi tanah (pH ) antara 5.2 - 8.5 dan kisaran
optimumnya 5.8-7.8.
19

Sumber:
www.obamagardensofhope.com/gallery2/v/South+D...

Penurunan hasil dapat terjadi karena salinitas dengan


daya hantar listrik (DHL) mencapai > 1.7 dS/m. Penurunan
hasil dapat mencapai 50% kalau DHL mencapai 5.9 dS/m
atau ESP mencapai 15%, dan tanaman tidak mampu
berproduksi (penurunan hasil 100%) kalau DHL = 10 dS/m.
Kehilangan hara (kg/h/siklus pertumbuhan) untuk produksi
tinggi yaitu: N = 165; P2O5 = 55; K2O = 135.
3. Hasil tanaman jagung

Produksi tanaman jagung Tadah hujan yang


diusahakan pada berbagai kondisi dan manajemen sbb:
Komersial = 6-9 ton biji/ha ( 33 ton pakan
ternak/ha)
Rataan petani = 0.5-1.5 ton biji/hha

Tanaman jagung dengan Irigasi:


Komersial = 6-9 ton biji/ha (80 ton pakan ternak/ha)
20

Pengolahan tanah tegalan untuk menanam jagung (Sumber:


http://www.krjogja.com/)
21

Pemupukan nitrogen tanaman jagung manir (Sumber:


http://2.bp.blogspot.com/_P58UeJfTNP8/SfBguy) Persyaratan
kesesuaian penggunaan lahan untuk Tanaman Jagung

Persyaratan penggunaan/ Karakteristik lahan


Kelas kesesuaian lahan: S1 S2 S3 N
Temperatur (tc)
Temperatur rataan (oC) 20-26 - 16-20 <16
26-30 30-32 >32
Ketersediaan air (wa)
Curah hujan, mm 500- 1200- >1600
1200 1600 300-400 <300
400-500
Kelembaban, % >42 36-42 30-36 <30
Ketersediaan oksigen
(oa)
Drainase Baik Agk Terhamb Sgt trhb-
Agk cepat at Cepat
terhamb
at
Media perakaran (rc)
Tekstur h, s ah ak K
Bahan kasar (%) <15 15-35 35-55 >55
Kedalaman tanah (cm) >60 60-40 40-25 <25
Gambut:
Ketebalan (cm( <60 60-140 140-200 >200
+ dg sisipan/pengkayaan <140 140-200 200-400 >400
Kematangan Saprik+ Saprik Hemik Fibrik
Hemik+ Fibrik+
Retensi hara (nr)
KTK liat (cmol) <16 <= 16
Kejenuhan basa (%) >50 35-50 <35
PH (H2O) 5.8-7.8 5.5-5.8 < 5.5
7.8-8.2 > 8.2
C-organik (%) >0.4 <= 0.4
Toksisitas (xc) <4 4.6 6.8 >8
Salinitas, dS/m
Sodositas (xn) <15 15-20 20-25 >25
Alkalinitas, ESP, %
Bahaya sulfidik (xs):
Kedalaman sulfidik (cm) >100 75-100 40-75 <40
Bahaya erosi (eh)
Lereng (%) <8 8-16 16-30 >30
Bahaya erosi sr R - sd b Sb
Bahaya banjir (fh): F0 = F1 >F2
Genangan
Penyiapan lahan (lp)
Batuan di permukaan (%) <5 5-15 15-40 >40
22

Singkapan batuan (%) <5 5-15 15-25 >25


Keterangan: Tekstur: h = halus; ah= agak halus; s = sedang; ak =
agak kasar
+ : gambut dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral. Bahaya
erosi: sr=sagat ringan; r= ringan; sd= sedang; b= berat; sb= sngt
berat.

Pengolahan tanah untuk memperbaiki kualitasnya sebagai media


tumbuh tanaman (foto, soemarno april 2011)
23

Sumber: http://tipspetani.blogspot.com/2010/05/cara-
meningkatkan-produksi-jagung.html
24

3. SUMBERDAYA AIR

3.1. Ketersediaan Air


Air merupakan salah satu unsur yang sangat penting
bagi kelangsungan hidup manusia maupun mahkluk hidup
lainnya yang ada di muka bumi. Sejalan dengan
pertambahan dan perkembangan penduduk serta industri,
maka kebutuhan terhadap air bersih semakin meningkat.
Peningkatan kebutuhan akan air ini tidak diimbangi oleh
jumlah air yang tersedia, karena sumberdaya air di dunia ini
tidak akan pernah bertambah jumlahnya. Oleh karena itu,
sudah selayaknya sumber-sumber air yang telah ada perlu
dijaga dan dilestarikan. Apabila memungkinkan
ditingkatkan ketersediaannya meskipun memerlukan jangka
waktu yang panjang.
Pertumbuhan penduduk dan aktvitas pembangunan
yang tinggi, serta adanya eksploitasi sumberdaya alam
secara intensif dan berlebihan, memberikan peringatan
kepada kita untuk menyusun suatu strategi yang lebih baik
dalam mengelola sumberdaya alam air. Strategi ini harus
diproyeksikan terhadap matra waktu berjangka pendek dan
berjangka panjang. Peningkatan jumlah penduduk
cenderung meningkatkan permintaan akan sumber daya air,
dilain pihak yang terjadi justru sebaliknya, yakni air menjadi
sumber daya yang keberadaannya semakin tak
berketentuan. Dalam memahami keberadaan air perlu
dicermati daur (siklus) air yang terjadi di alam. Di samping
itu perlu difahami bahwa keberadaan air akan berfluktuasi
dengan fungsi waktu.
25

Bagan Silklus air di alam (sumber:


http://www.globalchange.umich.edu/globalchange1/current/lectures
/kling/water_nitro/water_and_nitrogen_cycles.htm)

Contoh-contoh diagram yang menggambarkan kondisi


klimatik di suatu lokasi.

Contoh Agihan curah hujan bulanan


26

Sumber:
http://www.schweich.com/imagehtml/climdiag.html

Pasokan air tidak hanya diperlukan untuk kebutuhan


rumah tangga, tetapi juga untuk pengairan dan air minum, di
samping juga untuk keprluan industri. Sumber air primer di
bumi adalah presipitasi (curahan). Di samping itu ada juga
embun dan salju. Di daerah iklim kering, air hujan langsung
dipanen untuk berbagai penggunaan. Air hujan ditampung
dalam embung. Air dalam embung dapat dimanfaatkan untuk
keperluan air minum, irigasi, atau air minum ternak.
Sehingga air hujan tidak diusahakan meresap, tetapi
dibiarkan sebagai runoff, yang kemudian ditampung. Contoh
di Timor air ditampung di tempat yang kedap air (embung),
atau menimbun tanah dengan sisa hasil panen agar air tidak
cepat menguap.

EMBUNG

Embung adalah bangunan konservasi air berbentuk


kolam untuk menampung air hujan dan air limpahan
atau air rembesan di lahan sawah tadah hujan yang
berdrainase baik.
27

Menurut Pedoman Membuat Desain Embung Kecil untuk


Daerah Semi Kering di Indonesia (1997) oleh Departemen
Pekerjaan Umum, embung adalah bangunan penyimpan air
yang dibangun di daerah depresi, biasanya di luar sungai.
Embung akan menyimpan air di musim hujan, kemudian airnya
dapat dimanfaatkan oleh suatu desa hanya selama musim
kemarau atau saat kekurangan air. Itu pun dalam memenuhi
kebutuhan harus dengan urutan prioritas, yaitu penduduk,
ternak, dan sedikit kebun.
Menurut Pedoman Teknis Konservasi Air Melalui Pengembangan
Embung (2007) oleh Departemen Pertanian, embung
merupakan waduk berukuran mikro di lahan pertanian (small
farm reservoir) yang dibangun untuk menampung kelebihan air
hujan di musim hujan yang memenuhi kriteria air bersih. Air
bersih yang ditampung tersebut selanjutnya digunakan sebagai
sumber irigasi suplementer untuk budi daya komoditas
pertanian bernilai ekonomi tinggi (high added value crops) di
musim kemarau atau di saat curah hujan makin jarang.

Berdasar pengertian di atas maka embung dapat


digolongkan sebagai salah satu upaya atau teknik pemanenan
air (water harvesting) yang sangat sesuai di segala jenis
agroekosistem. Di lahan rawa namanya pond, yang berfungsi
sebagai tempat penampungan air drainase saat kelebihan air
di musim hujan dan sebagai sumber air irigasi pada musim
kemarau. Pada ekosistem tadah hujan atau lahan kering
dengan intensitas dan distribusi hujan yang tidak merata,
embung dapat digunakan untuk menahan kelebihan air dan
menjadi sumber air irigasi pada musim kemarau.

Pada prinsipnya, secara operasional embung berfungsi untuk


mendistribusikan dan menjamin kontinyuitas ketersediaan
pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak di musim
kemarau dan penghujan. Sehingga, nuansa pembangunan
embung adalah lebih kental untuk konservasi air.
Secara historis dan teoritis, konsep dasar konservasi air adalah
jangan membuang-buang sumber daya air. Pada awalnya
konservasi air diartikan sebagai penyimpan air dan
menggunakannya untuk keperluan yang produktif di kemudian
hari. Konsep ini disebut konservasi segi suplai. Perkembangan
selanjutnya mengarah pada pengurangan atau pengefisienan
penggunaan air, dikenal sebagai konservasi sisi kebutuhan.
Konservasi air yang baik merupakan gabungan dari kedua
konsep tersebut, yaitu menyimpan air di kala berlebihan dan
menggunakannya sesedikit mungkin untuk keperluan tertentu
yang produktif. Sehingga, konservasi air domestik berarti
menggunakan air sesedikit mungkin untuk mandi, mencuci,
menggelontor toilet, dan penggunaan rumah tangga lain.
Konservasi air mempunyai efek berganda; mengurangi
kerugian akibat air, mengurangi biaya pengolahan air,
28

mengurangi ukuran jaringan pipa, dll. Dalam kurun dua


dekade, konservasi air menjadi kunci untuk meningkatkan
suplai air bersamaan dengan peningkatan manajemen
kebutuhan.

Beberapa teknik konservasi air antara lain dengan pembuatan


embung, sumur resapan, rorak, dam aprit dan cara lain untuk
mengurangi penguapan (evaporasi) dengan memanfaatkan
mulsa. Air yang mengisi embung dapat berasal dari saluran
drainase yang ada di sekitar embung. Dalam hal ini, tujuan
embung adalah untuk mengurangi kelebihan debit air saja dari
saluran drainase yang berpotensi menimbulkan banjir.

Embung penampung air hujan (Sumber:


http://bebasbanjir2025.wordpress.com/teknologi-pengendalian-
banjir/embung/)

Indonesia sebagai negara tropis sebagian besar


wilayahnya mempunyai curah hujan yang cukup tinggi yaitu
4000 mm/tahun, namun pada beberapa daerah memilki
curah hujan yang cukup rendah yaitu 800 mm/tahun.
Meskipun potensi curah hujan cukup tingi, namun pada
kenyataannya besarnya aliran mantap (base flow) yang
terjadi secara kontinyu setiap tahun, hanya sekitar 25 30%
dari aliran permukaan total.
29

Berdasarkan perhitungan curah hujan tersebut,


ketersediaan air di Indonesia adalah 3.279 milyar m 3 per
tahun sedang jumlah kebutuhan air adalah 88,5 milyar m 3
per tahun. Jika dinyatakan dalam nilai Indeks Ketersediaan
Air (IKA) untuk jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa pada
tahun 1999, maka IKA Indonesia adalah sebesar 14.000
m3/kapita/tahun. Dengan laju pertumbuhan penduduk yang
demikian pesat (sekitar 2,5% per tahun), nilai IKA bisa turun
secara drastis mencapai ambang toleransi sebesar 1000
m3/kapita/tahun.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk dan
peningkatan pendapatan akan memacu pertumbuhan
sektor-sektor lainnya (termasuk sektor industri).
Pertumbuhan tersebut memerlukan tersedianya air tawar
dalam jumlah yang cukup besar, baik untuk irigasi, untuk
mencukupi kebutuhan hidup, pembangkit listrik, kebutuhan
industri, dan lain-lain, sedangkan ketersediaan sumberdaya
air relatif tetap.
Pertumbuhan industri yang kurang terencana akan
menghasilkan buangan air limbah ke sungai, sehingga
dikhawatirkan tingkat pencemaran air terutama di sungai-
sungai utama akan meningkat bila upaya pengendaliannya
tidak memadai. Kerusakan hutan, alih fungsi lahan melalui
perambahan kawasan hutan, perluasan kawasan budidaya,
dan permukiman serta industri dapat merusak ekosistem
dan kesetimbangan daur/siklus lingkungan, termasuk
diantaranya siklus hidrologi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengurangan luas hutan dari 36% menjadi 25%, 15%
dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-turut
12,7%, 58,7% dan 90,4%, dan meningkatkan laju erosi
sebesar 10%, 60% dan 90%.
30

Pencemaran sungai akibat pembuangan sampah


rumahtangga dan kota (Sumber:
http://tripwow.tripadvisor.com/slideshow-photo/pencemaran-sungai-
malaysia-malaysia.html?sid=17608562&fid=upload_12997741212-
tpfil02aw-4531).

3.2. Pengelolaan air


Dalam hubungannya dengan pengelolaan air, ada
istilah Surjan lahan surjan yaitu kenampakan lahan dengan
surjan, analoginya lahan sawah. Pertanian sistem surjan:
ragam pertanian sistem surjan (menjadikan lahan surjan).
Bonorowo: lahan yang pada waktu musim hujan beno, akan
tetapi pada waktu kemarau kering. Sehingga untuk
mengurangi gagal risiko panen dibuat sistem surjan.
31

Pertanian sistem surjan. Sumber:


http://edypekalongan.blogspot.com/2011/06/makna-busana-jawa-surjan.html

Dalam konteks tataguna lahan, lahan memperlihatkan dua


potensi yaitu:
1. Potensi maslahat (Potensi), yaitu potensi yang
disediakan oleh lahan untuk kepentingan manusia.
2. Potensi mudarat (Masalah), yaitu yang dapat
mengganggu atau merusak kehidupan manusia.
Misalnya lahan dengan kemiringan curam berpotensi
erosi dan longsor.

Lahan Kritis merupakan lahan yang keadaan fisiknya


demikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat
berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya
sebagai media produksi maupun sebagai media tata
air.
32

Budidaya tanaman cabe pada lahan miring, rawan erosi dan


longsor. Sumber:
http://edijabonpadalarang.wordpress.com/2010/10/12/menyelamatk
an-lahan-kritis/

4. POTENSI LAHAN
4.1. Potensi Maslahat

Potensi maslahat diukur dengan harkat:


1. Kemampuan (indikator biofisik)
2. Kesesuaian (indikator ekonomi)
3. Keselarasan (indikator sosial)
4. Kelayakan (indikator bisnis)

Harkat lahan sebagai mutu hanya dapat ditaksir secara:


1. Empirik, sbagai faktanya adalah alami.
2. Percobaan, faktanya dibuat
3. Teknik simulasi dengan parameter-parameter.

4.1.1. Kemampuan Lahan


Kemampuan lahan (land capability) dinilai menurut
macam pengelolaan yang disyaratkan berdasarkan
pertimbangan biofisik untuk mencegah terjadinya kerusakan
lahan selama penggunaan. Makin rumit pengelolaan yang
diperlukan, berarti lahan makin rentan usikan, kemampuan
33

lahan dinilai makin rendah untuk macam penggunaan yang


direncanakan. Berkenaan dengan peruntukan lahan maka
kemampuan lahan menjadi pedoman pemilihan macam
penggunaan lahan yang paling aman bagi keselamatan
lahan.
Kemampuan Lahan merupakan daya yang dimiliki oleh
lahan untuk menanggung kerusakan lahan. Yang menentukan
adalah faktor biofisik. Untuk lahan yang datar mempunyai
kemampuan yang lebih tinggi daripada lahan yang miring.
Penilaian kemampuan lahan dengan empat kriteria:
1. Ketahanan lahan menghadapi usikan
2. Macam dan tingkat risiko yang muncul dalam
penggunaan lahan. Di sini ada dalam sistem penilaian.
3. Ketinggian kemampuan aktual (asli) yang dapat
dicapai dengan masukan teknologi
4. Jaminan kemanfaatan yang memadai secara
ketetrlanjutan, yaitu Persoalan pengelolaan.

4.1.2. Kesesuaian lahan


Kesesuaian lahan (land suitability) dinilai berdasarkan
pengelolaan khas yang diperlukan untuk mendapatkan
nisbah (ratio) yang lebih baik antara manfaat/maslahat yang
dapat diperoleh dan korbanan/biaya/masukan yang
diperlukan. Makin rumit pengelolaan khas yang diperlukan,
berarti makin lmah daya tanggap lahan terhadap masukan
teknologi, kesesuaian lahan dinilai rendah untuk macam
penggunaan yang direncanakan.
Kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi. Dalam
memperuntukkan lahan bagi suatu keperluan tertentu
diutamakan pertimbangan kemungkinan mengoptimumkan
masukan berkenaan dengan keluaran yang diinginkan.
Pengoptiman ini dapat direncanakan menurut konsep ekologi
(adaptasi) atau menurut konsep ekonomi (efisiensi), baik
dalam hal konservasi fungsi lahan maupun dalam hal
peningkatan kapasitas produktif.
Adapun kecocokan lahan untuk penggunaan khusus menurut
konsep ekonomi. Dalam hal ini sudah ada pemilihan
komoditas.
34

Bagan analisis penggunaan lahan berbasis kesesuaian dan


kemampuan lahan. Pentahapan dalam evaluasi lahan secara tidak
langsung (McRae dan Burnham, 1981 dalam Sitorus, 1985)
(Sumber:
http://younggeomorphologys.wordpress.com/2011/03/18/konsepsi-
evaluasi-sumberdaya-lahan-analisis-dan-manfaatnya-dalam-
kehidupan/

Analisis Kesesuaian lahan secara kuantitatif

Metode Parametrik
Metode evaluasi lahan semikuantitatif seperti penilaian
parametrik diposisikan di tengah antara metode kualitatif dan
kuantitatif. Ini berasal dari efek disimpulkan numerik dari berbagai
karakteristik tanah pada perilaku potensi sistem penggunaan lahan.
Sistem aritmatika mempertimbangkan faktor-faktor yang paling
signifikan dan memperhitungkan interaksi antara faktor-faktor yang
signifikan tersebut, baik dengan perkalian sederhana maupun dengan
penambahan faktor tunggal indeks.
Sistem ini mengalikan nilai peringkat masing-masing
karakteristik lahan atau faktor, dan kemudian mengambil produk dari
semua peringkat faktor tersebut sebagai indeks peringkat akhir.
Sistem ini memiliki keuntungan karena faktor- faktor produktivitas
yang penting ikut menentukan rating.
Keuntungan lainnya adalah bahwa nilai rating
keseluruhan tidak dapat bernilai negatif. Keterbatasan dari
35

sistem ini adalah bahwa peringkat akhir mungkin jauh lebih


rendah dibandingkan dengan peringkat masing-masing faktor
individual.
Upaya pertama dan paling banyak dikenal untuk
menguraikan, mengalikan kriteria untuk rating produktivitas
tanah melalui penilaian induktif, dikembangkan oleh R. Storie
(1933). Indeks Storie (SIR) dihitung dengan mengalikan
peringkat masing-masing karakteristik, yaitu profil tanah (A),
tekstur tanah permukaan (B), kemiringan lahan (C), dan kondisi
modifikator seperti kedalaman tanah, drainase, atau alkalinitas
tanah (X).

SIR = A . B . C . X (1)

Storie made it quite clear that the factor ratings he


provided were to be taken as guides rather than as absolute
values and that the ratings were to be changed as soil
scientists gained experience with the index.
Three other well-known systemsthe Universal Soil
Loss Equation (USLE), the Modified Universal Soil Loss
Equation (MUSLE), and the Revised Universal Soil Loss
Equation (RUSLE)take a very similar form to the Storie
Index, and operate by multiplying the most critical factor
values. The USLE has, in many cases, superseded the USDA
Land Capability System for on-farm planning function in the
1980s.
Additive systems also allocate a numerical value to the
most important land factors, but instead of being multiplied
these parameters are added. These numbers are either
summed up or subtracted from a maximum rating of 100 to
derive a final rating index. Additive systems have the
advantage of being able to incorporate information from
more land characteristics than do multiplying systems.
Experience has shown that four or five factors appear to be a
good average to use in multiplying systems; otherwise most
final ratings become so low that the approach can no more
distinguish small differences in response. Additive systems
allow the consideration of many more criteria, both single
and in combination with the effects of other factors. Other
advantages of this approach are that no single factor can
have enough weight to unduly influence the final rating, and
that it is generally easier to specify the criteria and their
factor ratings for an unambiguous land performance
determination.
36

Limitations of additive systems stem from their


complexity. As the number of factors evaluated increases, so
does the difficulty in juggling factor ratings so that the final
ratings derived for a number of land units or soils are all
realistic. Another problem might occur in cases where
negative ratings have to be taken into consideration.
Combined methods for rating soil productivity levels
utilize both additive and multiplying procedures. Most
combined methods use additive processes to derive single-
factor ratings, and subsequently multiply these single-factor
ratings together to derive final rating indexes. It is obvious
that each of the factors taken into consideration has to be
judged and validated through individual response curves
before these can be integrated in the formula. The major
advantage of these combined systems is that they allow us to
integrate information from several selected factors without
creating an unrealistically low or even negative final result.
The complexity of the approach is obviously higher than that
of simple multiplying systems. Most of the combined methods
have been derived from Stories original concept.

Sistem Evaluasi Lahan secara Statistik


Metode evaluasi lahan secara statistik adalah metode
semikuantitatif yang handal untuk memprediksi kesesuaian lahan
berdasarkan karakteristik lahan yang terpilih. Korelasi dan analisis
regresi berganda telah digunakan untuk menyelidiki kontribusi relatif
dari karakteristik lahan tersebut. Kalau tersedia data dasar dan data
respon yang sesuai, model statistik dapat memberikan dasar untuk
penilaian atribut tanah secara objektif. Kesesuaian lahan atau variabel
respon Y dianalisa sebagai fungsi:

Y = (X1, X2, , Xn) + (2)

where Xn corresponds to the selected land characteristics or


independent variables (e.g., soil depth, clay content, organic
matter, caption exchange capacity, pH, sodium saturation,
etc.), and measures the residual factors.

Karena bentuk matematika tidak diketahui , fungsi ini


dapat diperkirakan secara memuaskan , dalam skenario
eksperimen , dengan menggunakan persamaan polinomial .
Kalibrasi model polinomial ini dapat diperlakukan secara statistik
sebagaimana regresi berganda . Koefisien regresi ( R2 ) yang
dihasilkan oleh analisis ini merupakan indeks validasi induktif
dari model yang sesuai dengan nilai persentase kontrobusi atas
37

variasi yang diamati . Dalam pengembangan sistem ini , analisis


korelasi menyediakan titik awal yang mudah dalam pemilihan
variabel X , menurut pengaruh sederhana X terhadap variabel
Y , serta kemungkinan interaksi antara variabel independen .
Metodologi ini telah digunakan untuk memprediksi
produktivitas tanah untuk tanaman pertanian , dan didasarkan
pada pengetahuan yang terpadu dari berbagai disiplin ilmu .
Oleh karena itu , ahli statistik yang kompeten , agronomi , dan
ilmuwan tanah harus bekerja sama untuk mengembangkan
regresi polinomial untuk manfaat secara maksimal analisis
statistik tersebut. Namun, dalam interpretasi survei tanah untuk
keperluan teknik, hubungan statistik seringkali digunakan untuk
memperkirakan sifat geoteknik tanah tertentu , ( misalnya ,
plastisitas , pemadatan , dan status air ) , dari karakteristik
pedological ( misalnya , kandungan liat , bahan organik , bulk
density ) . Dalam kasus terakhir ini , lebih baik menggunakan
fungsi pedo transfer daripada sistem evaluasi lahan .

Sistem Faktor Tunggal


As a real step of the quantification trend in land
evaluation, the single-factor systems try to
mathematically express the influence of individual land
characteristics on the performance of land use. These
schemes are best where a single land characteristic
has an extreme positive or negative effect on a
proposed land use, such as, for example, soil depth on
crop productivity. Soil depth is positively correlated to
crop production, strongly so when the soil is shallow
and tending to an asymptote when the depth
approaches the rooting depth of the crop. An
interpreting response curve to express the sufficiency
of the individual factor soil depth on crop production
could be as shown in Figure 1.
38

Figure 1. Typical response curve of the single-factor


systems

In this case,

Si = 1 exS (3a)

where Si is the soil depth index, on a scale from 0 to 1;


x is a crop-specific coefficient, in cm1; and S is the soil
depth, in cm. The value of coefficient x has been 0.02 cm1
which could be specific for forest trees. All relations and the
values of all coefficients used are to be established or
validated by field experiment.
A logical refinement of this response curve could be
formulated on the basis of the assumption, that a minimum
soil depth is required before production can take place. If a
threshold value of 20 cm is considered as minimum soil
depth, equation 3a can be modified to:

Si =1 ex(S 20) (3b)

valid for S > 20 cm and Si = 0 for S < 20 cm

Although these systems do not take into account the


combined effects of two or more land characteristics, the
39

calculated values for few significant single land


characteristics can be combined to generate a suitability
index.

4.1.3. Daya Dukung Lahan

Daya dukung lahan (Land Carrying Capacity) dinilai


menurut ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu
ekosistem menahan keruntuhan akibat penggunaan. Daya
dukung lahan ditentukan oleh banyak faktor baik biofisik
maupun sosial-ekonomi-budaya yang saling mempengaruhi.
Daya dukung tergantung pada persentasi lahan yang dapat
digunakan untuk peruntukan tertentu yang berkelanjutan dan
lestari, persentasi lahan ditentukan oleh kesesuaian lahan
untuk peruntukan tertentu.
Konsep daya dukung harus merujuk pada aras (level)
penggunaan lahan yang akan meluangkan pemeliharaan
secara sinambung suatu aras mutu lingkungan tertentu
dalam suatu aras tujuan pengelolaan tertentu yang
ditetapkan dengan mengingat biaya pemeliharaan mutu
sumberdaya pada suatu aras yang akan mendatangkan
kepuasan pengguna sumberdaya.
Daya dukung lahan merupakan gabungan kemampuan
dan kesesuaian
1. Ditaksir berdasarkan batas ketahanan suatu ekosistem
dalam menghadapi dampak penggunaan yang
bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan
manfaatnya yang masih dapat mendatangkan
kepuasan kepada pemakainya
2. Bergantung pada imbangan kemampuan lahan yang
dijadikan tolok ukur dengan latar belakang keperluan
dan kepentingan yang dipilih. Ada daya dukung
ekologi, ekonomi, fasilitas, rekreasi, estetika, psikologi,
keterlanjutan fungsi, dsb.
3. Kelayakan lahan menurut pertimbangan kemampuan
dan kesesuaian.

4.2. Potensi Mudarat

Potensi mudarat diukur dengan indikator risiko. Dalam


menetapkan risiko dilakukan:
Analisis risiko
Penilaian risiko: berat, sedang, ringan
40

Pengelolaan risiko dengan tujuan tidak mengganggu


dalam penggnunaan lahan

Risikomengimplikasikan kemungkinan:
Pelukaan, misalnya jalan licin menyebabkan tergelincir
Perusakan, misanya banjir, longsor, angin ribut
Penggangguan
Efek-efek atau dampak yang merugikan dan yang tidak
diinginkan.
Catatan: risiko merupakan kejadian umum dalam kehidupan
kita.

Kerusakan lahan (land degradation) merujuk kepada


penurunan kapasitas lahan bagi produksi atau penurunan
bagi pengelolaan lingkungan yang dengan kata lain ialah
penurunan mutu lahan.

5. ANALISIS DAYA DUKUNG LAHAN


Salah satu faktor yang berpengaruh besar dan juga
sangat dipengaruhi oleh pembangunan adalah faktor
sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan, yang
sebenarnya merupakan sumberdaya lahan. Sumber daya
alam dan daya dukung lingkungan ini salah satunya adalah
lingkungan fisik yang merupakan tempat dilaksanakannya
pembangunan. Dari kenyataan tersebut diperlukan adanya
keserasian antara pembangunan yang dilakukan dengan
daya dukung fisik. Untuk mencapai keserasian tersebut, hal
yang perlu dilakukan adalah mengetahui kemampuan daya
dukung lingkungan fisik. Dengan diketahuinya daya dukung
lingkungan fisik, maka dapat ditentukan juga kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan daya dukung tadi.
Dalam penentuan kesesuaian lahan ini dilakukan
delineasi wilayah menjadi kawasan lindung dan budi daya.
Misalnya, untuk kawasan budi daya difokuskan pada
kesesuaian lahan untuk pertanian, hal ini didasari oleh
peranan sektor pertanian yang masih dominan dan sesuai
dengan arahan pengembangan suatu wilayah yang secara
umum difokuskan pada sektor pertanian. Faktor-faktor
penentunya ditekankan pada aspek fisik dasar yang meliputi
kemiringan, ketinggian, jenis tanah, curah hujan dan tekstur
tanah.
41

Dari hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan


lindung terutama hutan lindung lebih terkonsentrasi di
wilayah utara dan tengah. Untuk kawasan budi daya, dari
hasil analisis kesesuian lahan gabungan terdapat enam
kombinasi. Kombinasi ini secara umum merupakan
kesesuaian lahan untuk beberapa kegiatan dalarn suatu
kawasan. Dari hasil analisis kesesuaian lahan gabungan
dengan penggunaan lahan saat ini (existing), akan diperoleh
penggunaan lahan yang telah sesuai dengan daya
dukungnya. Di samping itu dari pertampalan dengan Arahan
Penatagunaan Lahan juga dapat terjadi perbedaan, sehingga
dapat dikatakan sebagai konflik. Misalnya kawasan lindung
hasil analisis yang dijadikan kawasan budidaya dan
sebaliknya. Sehingga ini sebagai bukti perlunya evaluasi
terhadap perencanaan pengembangan wilayah yang didasari
perkembangan daya dukung lingkungan dan adanya
beberapa ketidaksesuaian peruntukan lahan dengan daya
dukung lingkungan.

5.1. Analisis Carrying Capacity Ratio (CCR)


Dalam menganalisis jumlah KK maksimum untuk
penyediaan lahan budidaya lahan sawah dan ladang
digunakan metode CCR. Metode ini menggunakan data luas
lahan yang dipanen dalam setahun, persen penduduk petani
dikalikan jumlah KK, dan rata-rata lahan dimiliki petani.
Perhitungan metode ini adalah sebagai berikut:

Axr
CCR = ----------------------------------
Hxhxf
Sehingga diperoleh:
Axr
H = ------------------------------
CCR x hx f
Keterangan
CCR : Kemampuan daya dukung (Carrying Capacity
Ratio)
A : Jumlah total area yang digunakan untuk
kegiatan pertanian
r : Frekuensi panen per hektar
H : Jumlah KK (rumah tangga)
h : Persentase jumlah penduduk yang tinggal
f : Ukuran lahan pertanian rata-rata yang dimiliki
petani
42

Pola pergiliran tanaman tergantung pada hujan. Sumber:


http://www.nzdl.org/gsdlmod?e=d-00000-00---off-0fnl2.2--00-0----0-
10-0---0---0direct-10---4-------0-1l--11-en-50---20-about---00-0-1-00-
0--4----0-0-11-10-0utfZz-8-
00&cl=CL3.33&d=HASHd3b46cd4916b56b3547bcc.4.5&gt=1

5.2. Analisis Peruntukan Lahan

5.2.1. Analisis Peruntukan Lahan


Analisis Pertuntukan lahan dapat dilakukan dengan
mendasarkan SK Menteri Pertanian no 837/KPTS/UM/11.1980.
Dalam metode analisis ini ditentukan tiga faktor, yaitu: 1)
kemiringan lereng, 2) jenis tanah dan 3) curah hujan. Ketiga
faktor tersebut masing-masing ditetapkan skornya kemudian
hasilnya dijumlah dan menghasilkan indeks lokasi. Indeks
lokasi <125 dan kemiringan lereng <8% direkomendasikan
sebagai kawasan permukiman dan tanaman semusim.
Indeks lokasi <125 dan kemiringan lereng <15%
direkomendasikan sebagai kawasan budidaya tanaman
tahunan. Daerah dengan indeks lokasi 125-175
diperuntukkan sebagai Kawasan Fungsi Penyangga. Daerah
43

dengan indeks lokasi >175 diperuntukkan sebagai Kawasan


Lindung.

Tabel 1. Penilaian Kriteria Kelayakan Fisik Wilayah Untuk


Pemanfaatan Lahan

No
Kriteria Klasifikasi Keterangan Skor
.
0-8 % Datar 20
8-15 % Landai 40
Lereng/Kemirin 15-25 % Agak curam 60
1.
gan 25-45 % Curam 80
Sangat
>45 % 100
curam
Aluvial, Tanah Glei,
Planosol, Hidromorf,
Tidak peka 15
Kelabu, Lateria air
tanah
Latosol Agak peka 30
2. Jenis Tanah Brown Forest Soil, New
Kurang Peka 45
Calcie
Andosol, Lateritic,
Peka 60
Grumosol, Renzina
Regosol, Litosol,
Sangat Peka 75
Oranosol, Renzina
Sangat
0,0-13,6 mm/hh 10
rendah
13,6-20,7 mm/hh Rendah 20
3. Curah Hujan 20,7-27,7 mm/hh Sedang 30
27,7-34,8 mm/hh Tinggi 40
Sangat
>34,8 mm/hh 50
tinggi
hh = hari hujan
Sumber: SK Menteri Pertanian Nomer 837/KPTS/UM/11.1980

5.2.2. Evaluasi Kesesuaian Lahan Untuk Non


Pertanian

Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Daerah


Wisata/Rekreasi

1. Lapangan tempat bermain (play ground)


Tempat bermain dalam hal ini adalah tanah lapang
yang dapat digunakan untuk bermain sepakbola, bola voli,
badminton, baseball, dan olah raga permainan lainnya.
Dengan demikian permukaan lahan akan terus diinjak-injak
oleh para pemain dan penonton. Oleh karena itu dierlukan
44

daerah yang datar, drainasenya baik, mempunyai tekstur


dan konsistensi yang mampu mendukung permukaan tanah
menjadi teguh, juga tidak berbatu.

Kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk tempat


bermain

Sifat Tanah Kelas kesesuaian dan faktor penghambat


Baik Sedang Buruk
Drainase Cepat, agak Agak baik dan Agak jelek,
tanah cepat, baik agak jelek, jelek, sngat
jelek-
dan agak baik
Air tanah lebih Air tanah lebih Air tanah
dari 75cm dari 50cm kurang 50cm

Bahaya Tidak pernah Sekali dalam Lebih satu


banjir
dua tahun kali dlm 2
tahun.
Prmeabilitas Sgat cepat, Agk lambat, Sangat
sdg lmbt lambat-
Kemiringan 0-2% 2-6% > 6%
Tekstur lp,lph,lpsh lli,llip, lip, lid,
tanah
permukaan* l, ld llid, pl li,p,pl,tnh org.
)
Dalamnya > 100 cm 50-100 < 50 cm
batuan
Kerikil dan
kra-
kal (0.2- 0% < 20% > 20%
25cm)
Batu ( > 25 0 0.01-3% > 3%
cm)
Batuan 0 0.01-0.1% > 0.1%
Keterangan: *) lp = lempung berpasir; lph = lempung berpasir
halus; lpsh = lempung berpasir sangat halus; l = lempung; ld =
lempung berdebu; lli = lempung liat; llip = lempung liat berpasir;
llid = lempung liat berdebu; pl = pasir berlempung; lip = liat
berpasir; lid = liat berdebu; li = liat; p = pasir; pl = pasir
berlempung.
45

2. Kesesuaian Lahan untuk tempat berkemah


(camping ground)
Tempat berkemah adalah tempat untuk menginap
dengan menggunakan tenda, beserta kendaraan kemah dan
segenap aktivitas di luar perkemahan "(outdoor living)".
Dalam kondisi seperti ini tanah harus dapat dilewati
berulang-kali oleh manusia atau secara terbatas oleh
kendaraan.

3. Kesesuaian lahan untuk Kawasan Piknik


Daerah untuk piknik adalah daerah semacam taman
yang secara intensif digunakan untuk berpiknik. Kendaraan
yang melewati jalan- jalan dalam taman tersebut dibatasi
inten-sitasnya. Kriteria untuk evaluasi kesesuaian lahannya
disajikan berikut.

4. Kesesuaian lahan untuk Jalan setapak (paths


dan trails)
Jalan setapak yang dimaksud adalah jalan setapak
yang sering digunakan untuk lintas alam (cross country).
Daerah ini akan digunakan sebagai jalan setapak seperti
dalam keadaan aslinya dan tidak ada pemindahan material
tanah, baik dengan penggalian maupun penimbunan.

Kriteria evaluasi lahan untuk tempat berkemah


Sifat tanah Kesesuaian lahan
Baik Sedang Buruk
Drainase*) c, ac,b,ab ab, aj. aj, j, sj.
Air tanah le- Air tanah le- Air tanah ku
bih dari 75cm Bih dari 50cm rang 50cm
Banjir Tanpa Tanpa dalam Banjir dalam
musim kemah musim kemah
Permeabilitas Sangat cepat, Agak lambat, Sangat lam-
sedang lambat bat
Kemiringan 0-8% 8-15% > 15%
Tekstur tanah lp,lph,lpsh lli,llip, lip,lid,
permukaan l, ld llid, pl, p pasir lepas
(bukan pasir (mudah ter-
lepas) bang,organik
Kerikil dan 0-20% 20-50% > 50%
Kerakal
Batu 0-0.1% 0.1 - 3% > 3%
Batuan 0.01 0.01-0.1 > 0.1%
46

*) c = cepat; ac = agak cepat; b = baik; ab = agak baik; aj = agak


jelek; j = jelek; sj = sangat jelek. Sumber: USDA, 1971

Kriteria evaluasi lahan untuk daerah piknik

Sifat tanah Kesesuaian lahan:


Baik Sedang Buruk
Drainase c, ac, b, ab. ab, aj. Muka j, sj. Muka
Muka air air tanah ku air tanah ku-
tanah
> 50 cm rang 50 cm rang 50 cm
hingga
permukaan
Banjir Tanpa Banjir 1-2 ka- Banjir lebih
li selama 2 kali sela-
musim
piknik ma piknik
Kemiringan 0-8% 8-15% > 15%
Tekstur lp,lph,lpsh, lli,llip, llid,pl, lip,lid,li,
tanah
permukaan l, ld p, (tidak p(lepas), organik
lepas)
Kerikil/kerak 0-20% 20-50% > 50%
al
Batu 0-3% 3 -15 > 15%
Batuan 0-0.1% 0.1-3% > 3%
Sumber: USDA, 1971

Kriteria Kesesuaian lahan untuk jalan setapak

Sifat tanah Kesesuaian Lahan:


Baik Sedang Buruk
Drainase c,sc,b,ab. aj. Muka air j,sj. Muka
Muka air tanah < 50 air
tanah lebih tanah<50cm,
dari 50cm sering dekat
dngn
permukaan
Banjir Sekali 2-3 kali Lebih 3
setahun atau kurang kalisetahun
setahun
Kemiringan 0-15% 15-25% >25%
Tekstur tanah lp,lph,lpsh, llid,llip, lip,lid,li,
permukaan l, ld lli ,pl p, organik
Kerikil/kerakal 0-20% 20-50% > 50%
Batu dan
Batuan 0-0.1% 0.1-3% > 3%
47

Sumber: USDA, 1971

4. Kesesuaian Lahan untuk Gedung Tempat Tinggal


Bangunan gedung tempat tinggal yang dimaksud di
sini adalah bangunan gedung yang bebannya tidak lebih dari
tiga lantai. Penentuan kesesuaian lahannya didasarkan pada
kemampuan tanah sebagai penopang pondasi bangunan.
Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah,
dan sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan biaya penggalian
dan konstruksi. Daya dukung tanah ditentukan oleh
kerapatan (density), tata air tanah (wetness), bahaya banjir,
plastisitas dan tekstur, potensi mengembang dan mengkerut.
Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi ditentukan
oleh tata air tanah, kemiringan, kedalaman tanah hingga ke
hamparan batuan, dan keadaan batu di permukaan (USDA,
1971).
48

Kriteria kesesuaian Lahan untuk untuk tempat tinggal

Sifat tanah Kesesuaian lahan:


Baik Sedang Buruk
Drainase Bangunan dengan ruang bawah tanah:
Baik hingga sangat Sedang Agak buruk-
baik terhambat
Tanpa ruang bawah tanah:
Sedang hingga Buruk hingga Agak Terhambat
Sngt cepat buruk

Air tanah musiman Dengan ruang bawah tanah:


( > 1 bulan ) > 150 cm > 75 < 75
Tanpa ruang bawah tanah:
> 57 cm > 50 < 50
Banjir Tanpa Tanpa Jarang-sering
Lereng 0 - 8% 8 - 15% > 15%
Potensi mengembang Rendah Sedang Tinggi
dan mengkerut
Besar butir*) GW,GP,SP,GM ML, CL, GC,SM,SC,CL
CH,MG,OL,OH dengan PI>= 15
dengan PI<15
Batu kecil Tanpa-sedikit Sedang Agak banyak-
sangat banyak
Batu besar Tanpa Sedikit Sedang-sgt banyak

Dalamnya hampar Tanpa ruang bawah tanah:


an batuan > 150 cm 100-150 <100 cm

Dengan ruang bawah tanah:


> 100 cm 50-100 < 50 cm
*) LL = liquid limit; PI = indeks plastisitas; GW = gravel GP =
gravel, SP = pasir; SM = pasir berlempung; CL = liat; ML =
lempung; CH = liat berdebu; MG= lempung berdebu.

6. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Penimbunan


Sampah
(berbentuk galian).

Tempat penimbunan sampah berbentuk galian


merupakan suatu galian untuk menimbun sampah setiap
hari, kemudian ditutupi dengan lapisan tanah setebal kira-
kira 15 cm. Bahan tanah penutup diperoleh dari tanah
bekas galian tersebut. Setelah galian tanah penuh sampah,
permukaan ditutup dengan lapisan tanah setebal sekitar 60
cm. Kesesuaian suatu bidang tanah untuk tempat
penimbunan sampah dipengaruhi oleh tata air tanah
(drainase tanah, kedalaman permukaan air bumi , dan
49

permeabilitas tanah), lereng, tekstur, kedalaman hamparan


batuan, dan jumlah batu di permukaan tanah (USDA, 1971).
Kemungkinan terjadi pencemaran terhadap air bumi oleh
tempat penimbunan sampah dapat ditunjukkan oleh
kedalaman muka air bumi dan permeabilitas tanah. Air bumi
akan tercemar apabila dekat dengan dasar galian
penimbunan sampah dan apabila tanahnya permeabel.
Untuk mencegah pencemaran terhadap air bumi pada tanah
yang sarang (permeabel), dasar dan dinding galian harus
dipadatkan.

Kriteria kesesuaian lahan untuk pembangunan jalan

Sifat tanah Kesesuaian lahan


Baik Sedang Buruk
Drainase c, ac,b,ab aj j, sj
Banjir Tanpa kung dari se Lebih dari
kali dlm 5 th sekali
Lereng 0-8% 8-15% >15%
Dalamnya >100 cm 50-100 <50
hampar-
an batuan
Subgrade:
Indeks AASHO 0-4 5-8 >8
Unified GW,GP,SW,SP, GM,GC,SM, >= 15,CH,MH
CL dengan PI SC < 15 , OH,OL,Pt
CL dgn PI
Potensi Rendah Sedang Tinggi
mengem-
Bang-
mengkerut
Batu 0-3% 3-15% > 15%
Batuan besar 0-0.01% 0.01-0.1% > 0.1%
Sumber: USDA, 1971

7. Kesesuaian Lahan untuk Tempat Pembuangan


Sampah Terbuka
Sampah dibuang di atas permukaan tanah. Material
tanah yang digunakan untuk menutup tempat sampah, yang
dilakukan setiap hari atau setelah smapah penuh dida-
tangkan dari tempat lain.
50

Kriteria kesesuaian tempat penimbunan sampah berbentuk


galian

Sifat tanah Kesesuaian lahan


Baik Sedang Buruk
Dalamnya air
bumi musiman >= 180 cm >= 180 < 180
(g)

Drainase (d) c,ac,b,ab aj,ab j, sj


Ancaman banjir Tanpa Jarang Sering
(f)
Permeabilitas (p) <= 5 cm/jam <= 5 >5

Lereng (s) 0-15% 15-25% > 25%


Tekstur hingga Lmpung Lempung Liat,gambut
ke- berpasir liat
dalaman 150 cm lempung, berdebu, kerikil,liat
(t) lmpng lmpung berdebu, liat
berdebu, berliat berpasir,
lmpung liat pasir
berpasir berlempung
Dalamnya >= 180 >= 180 cm < 180
hamparan
Batuan (i)
Batu (sb) 0-0.1% 0.1-3% > 3%
Batu besar (sr) 0-0.01% 0-0.01% > 0.01%
Sumber: USDA, 1971

Kriteria kesesuaian lahan untuk tempat pembuangan sampah


secara terbuka

Sifat tanah Kesesuaian lahan:


Baik Sedang Buruk
Kedalaman > 150 cm 100-150 < 100
groundwater
Drainase tanah c,ac,b,ab aj j, sj
Banjir Tanpa Jarang Sering
Permeabilitas < 5 cm/jam <5 >5
cm/jam
Lereng 0-8% 8-15 > 15
Sumber: USDA, 1971

8. Kesesuaian lahan untuk Septic-tank


Penentuan kelas kesesuaian didasarkan atas
kemampuan tanah untuk menyerap aliran dari septic-tank.
Kemampuan tanah ini ditentukan oleh permeabilitas, tinggi
51

muka air bumi, dalamnya tanah hingga hamparan batuan,


perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di
permukaan. Penentuan kelas kesesuaian didasarkan atas
kemampuan tanah untuk menyerap aliran dari "septic-tank".
Kemampuan tanah ini ditentukan oleh permeabilitas, tinggi
muka air bumi, dalamnya tanah hingga hamparan batuan,
perkolasi tanah, bahaya banjir, lereng dan keadaan batu di
permukaan.

Kriteria kesesuaian lahan untuk septic-tank

Sifat tanah Kesesuaian lahan


Baik Sedang Buruk
Permeabilitas Cepat,agak Peralihan Agak
cepat-sedang sedang - lambat,lambat
agak agk cepat-
lambat sdg
Konduktivitas > 25 mm/jam 15-25 < 15
hidraulik
Perkolasi < 18 18-24 > 24
menit/cm
Dalamnya air > 180 cm 120-180 < 120
bumi
Banjir Tidak pernah Jarang Kadang-
kadang
atau sering
Lereng 0-8% 8-15 > 15
Dalamnya lapisan
Kedap air, batuan >180 cm 120-180 <120
Banyaknya batu Tanpa - Sedang Agak banyak -
kecil Sedikit Sangat
banyak
Batu besar Tanpa Sedikit Sedang-
sangat
banyak

Sumber: USDA, 1971

5.3. Analisis Alih Guna Lahan

Konversi lahan dapat diartikan sebagai berubahnya


fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula
seperti direncanakan menjadi fungsi lain yang berdampak
negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Misalnya, berubahnya peruntukan fungsi lahan persawahan
52

beririgasi menjadi lahan industri, dan fungsi lindung menjadi


lahan pemukiman. Hal ini sejalan dengan penelitian di Desa
Sintuwu dan Desa Berdikari dimana lahan yang dikonversi
merupakan kawasan hutan lindung yang kemudian dijadikan
kawasan pemukiman oleh mereka.

Konversi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan


secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian
sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan
lainnya. Secara umum kasus yang tercantum pada bagian
sebelumnya menjelaskan hal yang serupa seperti
pengubahan fungsi sawah menjadi kawasan pemukiman.

Berdasarkan fakta empirik di lapangan, ada dua jenis


proses konversi lahan sawah, yaitu konversi sawah yang
langsung dilakukan oleh petani pemilik lahan dan yang
dilakukan oleh bukan petani lewat proses penjualan.
Sebagian besar konversi lahan sawah tidak dilakukan secara
langsung oleh petani tetapi oleh pihak lain yaitu pembeli.
Konversi yang dilakukan langsung oleh petani luasannya
sangat kecil. Hampir 70 persen proses jual beli lahan sawah
melibatkan pemerintah, yaitu ijin lokasi dan ijin pembebasan
lahan.
Proses konversi yang melalui proses penjualan lahan
sawah berlangsung melalui dua pola, yaitu pola dimana
kedudukan petani sebagai penjual bersifat monopoli sedang
pembeli bersifat monopsoni, hal ini terjadi karena pasar lahan
adalah sangat tersegmentasi bahkan cenderung terjadi
asimetrik informasi diantara keduanya. Sehingga struktur
pasar yang terbentuk lebih menekankan pada kekuatan
bargaining. Sedangkan tipe yang kedua adalah konversi
lahan dengan bentuk monopsoni. Keterlibatan pemerintah
dimungkinkan karena kedudukan pemerintah sebagai
planner yang bertugas mengalokasikan lahan, dimana secara
teoritis harus disesuaikan dengan data kesesuaian lahan
suatu daerah lewat rencana tata ruang wilayahnya.
Berdasarkan faktor-faktor penggerak utama konversi
lahan, pelaku, pemanfaatan dan proses konversi, maka
tipologi konversi terbagi menjadi tujuh tipologi, yaitu:

1) Konversi gradual-berpola sporadik, pola konversi


yang diakibatkan oleh dua faktor penggerak utama
yaitu lahan yang tidak/kurang
produktif/bermanfaat secara ekonomi dan
keterdesakan pelaku konversi.
53

2) Konversi sisitematik berpola enclave, pola konversi


yang mencakup wilayah dalam bentuk
sehamparan tanah secara serentak dalam waktu
yang relatif sama.

3) Konversi adaptif demografi, pola konversi yang


terjadi karena kebutuhan tempat
tinggal/pemukiman akibat adanya pertumbuhan
pendudukan.

4) Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial,


pola konversi yang terjadi karena motivasi untuk
berubah dari kondisi lama untuk keluar dari sektor
pertanian utama.

5) Konversi tanpa beban, pola konversi yang


dilakukan oleh pelaku untuk melakukan aktivitas
menjual tanah kepada pihak pemanfaat yang
selanjutnya dimanfaatkan untuk peruntukan lain.

6) Konversi adaptasi agraris, pola konversi yang


terjadi karena keinginan untuk meningkatkan hasil
pertanian dan membeli tanah baru ditempat
tertentu.

7) Konversi multi bentuk atau tanpa pola, konversi


yang diakibatkan berbagai faktor peruntukan
seperti pembangunan perkantoran, sekolah,
koperasi, perdagangan, dan sebagainya.

Sawah menjadi Rumah

Jika anda pergi ke desa-desa atau daerah pinggiran


kota yang masih memiliki areal persawahan. Cobalah anda
perhatikan, apakah di sekitarnya telah muncul perumahan-
perumahan baru ataukah tetap seperti dulu saat pertama kali
anda melihatnya? Beberapa bulan belakangan ini saya sering
menyaksikan sawah-sawah di daerah sekitar Magelang-
Yogyakarta- Klaten Hingga Solo semakin berkurang.
Disekitarnya tumbuh beberapa pemukiman penduduk, mulai
dari yang sederhana hingga yang tampak mewah.
54

Rumah adalah kebutuhan pokok setiap manusia dan


setiap keluarga. Rumah adalah tempat tinggal yang penting
bagi manusia. Memiliki makna sebagai tempat untuk
berlindung, tempat menjalani suka duka bersama seluruh
keluarga, dan tempat di mana selalu kita ingin merasa
kembali ke sana. Dari rumah kita mengenal cinta kasih orang
tua, dari rumah kita tahu rahasia-rahasia yang ada dalam
keluarga, dan dari rumah kita belajar menjadi diri kita saat
ini.

Pentingnya kebutuhan akan rumah menjadikan setiap


orang menginginkan rumah milik sendiri. Kebutuhan ini
tampak dengan menjamurnya bisnis perumahan. Sangat
mudah kita menemukan iklan-iklan tentang perumahan di
televisi, baliho di jalan raya, dan iklan di koran. Bisnis
perumahan tampaknya merupakan bisnis yang akan tetap
ada dan diminati banyak orang. Namun pertambahan
perumahan baru untuk pemukiman penduduk menjadi salah
satu dari sekian banyak hal yang dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan sekitar.

Bertambahnya perumahan bagi penduduk negeri ini


ternyata menimbulkan dampak lain dalam kehidupan. Yang
paling sering kita temukan adalah alih fungsi lahan pertanian
seperti persawahan untuk perumahan. Akibat alih fungsi ini
adalah dapat mengurangi produksi pangan. Akibatnya harga
pangan akan naik. Selain itu kehidupan makhluk hidup yang
ada di sawah juga akan terganggu. Lebih lanjut lagi, jika
lahan yang diubah menjadi perumahan adalah daerah yang
dulunya banyak pepohonan, misal pinggiran hutan, maka hal
ini dapat mengurangi lahan hijau yang penting bagi
kehidupan.
55

Alih fungsi sawah menjadi perumahan telah mencapai tingkat


mengkhawatirkan swasembada beras nasional. (foto soemarno,
desember 2011)

5.4. Klasifikasi kemampuan lahan

Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian


komponen lahan yang menurut Arsyad (1989) adalah
penilaian komponen-komponen lahan secara sistematis dan
pengelompokan ke dalam berbagai kategori berdasar sifat-
sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam
penggunaan lahan. Lahan digolongkan kedalam 3 (tiga )
kategori utama yaitu kelas, sub-kelas dan satuan
kemampuan lahan. Struktur klasifikasi kemampuan lahan
yang menjelaskan bahwa pendekatan klasifikasi lahan ini
dapat diterapkan untuk berbagai tingkatan skala
perencanaan. Perencanaan penggunaan lahan di wilayah
propinsi dapat menggunakan klasifikasi pada tingkat kelas
dan untuk wilayah kabupaten menggunakan sub kelas .
Kemampuan lahan dapat dicerminkan dalam bentuk peta
kemampuan lahan. Peta kemampuan lahan dapat
menggambarkan tingkat kelas potensi lahan secara
keruangan dan dapat dipakai untuk menentukan arahan
penggunaan lahan pedesaan secara umum.
56

Klasifikasi kemampuan lahan dapat diterapkan sebagai


metode perencanaan penggunaan lahan (Hockensmith dan
Steele, 1943). Selanjutnya Klingebiel dan Montgomery (1961)
menganalisis hubungan antara kelas kemampuan lahan
dengan intensitas dan macam penggunaan lahan.
57

Skema Baru Klasifikasi Kemampuan Lahan

(A Treatment-Oriented Scheme especially for Hilly Watersheds.


http://www.fao.org/DOCREP/006/T0165E/t0165e10.htm)

Symbols for most intensive tillage or uses:

C1 : Cultivable land 1, up to 7 slope, requiring no, or few


intensive conservation measures, e.g. contour cultivation,
strip cropping, vegetative barriers, rock barriers and in
larger farms, broadbase terraces.

C2 : Cultivable land 2, on slopes between 7 and 15, with


moderately deep soils needing more intensive
conservation, e.g. bench terracing, hexagon, convertible
terracing for the convenience of four -wheel tractor
farming. The conservation treatments can be done by
medium-sized machines such as Bulldozer D5 or D6.

C3 : Cultivable land 3, 15 to 20, needing bench terracing,


hexagons and convertible terracing on deep soil and
hillside ditching, individual basin on less deep soils.
Mechanization is limited to small tractor or walking
tractor because of the steepness of the slope. Terracing
58

can be done by a smaller tractor with 8 ft (2.5 m) wide


blade.

C4 : Cultivable land 4, 20 to 25, all the necessary


treatments are likely to be done by manual labour.
Cultivation is to be practised by walking tractor and hand
labour.

P : Pasture, improved and managed. Where the slope is


approaching 25, and when the land is to wet, zero
grazing should be practised. Rotational grazing is
recommended for all kinds of slopes.

FT : For food trees or fruit trees. On slopes of 25 to 30,


orchard terracing is the main treatment supplemented
with contour planting, diversion ditching and mulching.
Because of steepness of the slopes, interspaces should
be kept in permanent grass cover.

F : Forest land, slopes over 30, or 25 to 30 where the soil


is too shallow for any of the above -mentioned
conservation structures.

1. Slopes and the number of slope classes can be modified


to meet country's needs and some F lands between 25
to 30 can be used for agroforestry purpose.

2. Any land which is too wet, occasionally flooded or too


stony, which prevents tillage and treatment should be
classified as: (a) below 25: pasture; (b) above 25:
forest.

3. Gully dissected lands which prevent normal tillage


activities: forest (over 25) or pasture below 25,.

4. Mapping Symbols: It could be labelled as follows:

Most intensive use

soil - slope - depth


59

C2

example: --------------------

32 - 2 - D

Cultivable Land 2

means: ------------------------------------------------------------

Wirefence Clay Loam - 7 to 15 - 36 in(90 cm)

Or, it could be simple labelled as C2.

REMARKS:

(a) Slope classification

Slopes are divided into six categories, each having its


implications for conservation treatments and the kind of tools
to be used:

< 7 Flat to gently sloping. Broadbase terraces or other


simple conservation treatments can be used up to 7. Full
mechanization for cultivation is applicable in this category.
This slope class may not be common in hilly watersheds.

7-15 Moderately sloping. Medium-sized machines such as


a Bulldozer D5 or D6 can be employed for bench terracing.
Four wheel tractor mechanization for cultivation can be
applied.

15-20 Strongly sloping. Small-sized machines such as b4


can be employed for conservation treatments. Small tractors,
or walking tractors can be used for cultivation.
60

20-25 Very strongly sloping. Manual for building the


structures Hand labour and walking tractor for cultivation.

25-30 Steep. Only for permanent tree crops such as food


trees, fruit trees, forest or agroforestry. Manual labour for
treatments.

>30 Very steep. Needs forest cover.

(b) Soil depth

Soil depth is divided into four classes. Here the depth refers
to the effective depth of the soil which machine or manual
labour can cut for conservation treatments and which plant
roots can penetrate.

< 8 in Very shallow. Only on nearly level land can cultivation


be (20 cm) practised.

8-20 in Shallow. Only below 20 slopes can this be cultivated


with (20-50 cm) conservation treatments.

20-36 in Moderately deep. On a 25 slope, for instance, it


needs about (50-90 cm) 30 in (76 cm) of soil to make narrow
terraces of 8 ft (2.5 m) wide.

> 36 in Deep. No further soil depth classification is needed


because (90 cm) the riser or terrace is limited to 6 ft height
which is 3 ft cut and 3 ft fill.

(c) Other limiting factors

Land which is too wet, has poor drainage, occasionally floods


or is too stony; which permanently limits the tillage or
treatment, should be classified for lower or less intensive
uses. On slopes under 25 such land can be used as pasture,
whereas on slopes over 25 forest cover is proper so far as
erosion control is concerned. Gully -dissected land which
prevents any tillage activity should be put under permanent
cover.

(d) Capability classes


61

Land is classified into its most intensive tillage or use. T ere


are four major classes - cultivable land, pasture, food trees
and forest . Only cultivable land has four sub -classes, each
having implications for needed conservation treatments and
tools to be employed. Use according to or within the
capability class is encouraged, whereas use beyond the
capability class is discouraged.

(e) Soil conservation treatment

In addition to the most popular conservation treatments on


gentle slopes (below 7) such as broadbase terraces and strip
cropping, etc., six major treatments for steeper slopes are
taken into account for the basis of the new classification
scheme. These six treatments, which have been established
in the hill slopes of Taiwan as well as in the western part of
Jamaica under the UNDP/FAO project JAM/67/505, are
particularly suited for the humid tropics. Bench terraces,
hillside ditches and individual basins can be used to treat
slopes up to 25 if the soils are deep enough. Orchard
terracing can be applied from 25 to 30 slope. Convertible
terracing and hexagons for full mechanization are to be
employed on slopes up to 20. All of them are mainly reverse
sloped terraces of varying widths. Later another type of
terracing was added: Intermittent terraces (see FAO
Conservation Guide 13/3).
62

Pertanian organik dapat meningkatkan produktivitas lahan.


Sumber: http://www.tribunnews.com/2011/03/20/pertanian-
organik-tingkatkan-produktivitas-lahan-gambut.

5.5. KEMAMPUAN WILAYAH


1. Kemampuan wilayah

a. Cara penilaian Kemampuan wilayah


Sambil menunggu cara kwantitatif yang lebih
sempurna, maka disini dikemukakan suatu cara penilaian
kemampuan wilayah. Cara ini merupakan integrasi cara
penilaian angk-angka oleh LPTP bogor dengan cara penilaian
fakta-fakta lapang oleh SCS, Amerika Serikat. Dasarnya ialah
kuantitati. Sifatnya diaknotik dan umum. Prinsip penilaian
ialah membandingkan besarnya peranan faktor-faktor
penghambat dan bahaya dalam usaha penilaian terhadap
sifat-sifat tanah. Sebagai dasar digunakan satuan peta tanah
dari jenis peta tanah.
Faktor dibagi dalam faktor menguntungkan dan faktor
merugikan. Sifat-sifat tanah digolongkan faktor
menguntungkan. Sifat ini terdiri dari:
- kandungan unsur hara tanaman (Plant Nutrient
Contents = PNC)
- hubungan kelembaban tanah-tanaman (Plant
Soil Moisture Relationhip = PSM)
- Permeabilitas (Permeability = P)
63

- daya tahan terhadap erosi (Erosion Susceptibility


= ES)
- kadar cadangan mineral (Mineral reserve = M).

Faktor lingkungan dibagi dalam faktor penghambat dan


faktor bahaya, keduanya merupakan faktor merugikan.
Faktor penghambat meliputi : Batu Besar ( Rock = R),
Batu Kecil (Stone = S), kongkresi ((Contretions = Cn), padas
(Panlayer = Pa), muka air tanah (Grounwater Table = GW),
relief mikro (Micro Relief = MR), relief makro mikro (Macro
Relief = Re), dan lereng (Slope = Sl).
Faktor bahaya meliputi : kekeringan (Droughtness = D),
salinitas (Salinity = Sa), kadar racun (Toxicity = T),
pengerutan (Shrinkage = Sh), banjir (Overflow + O), dan
erosi (Erosion = E).
Semua faktor tersebut dinilai dan dibandingkan secara
relatif. Cara penilaian mengikuti gagasan JONES, et al (1950)
dengan beberapa modifikasi.

b. Dasar penilaian
Dasar-dasar penilaian angka-angka laboratorium ialah
golongan harkat menurut WICAKSONO (1953). Dasar
penilaian fakta-fakta lapang berpedoman pada penggolongan
oleh SOEPRAPTOHARDJO, et al (Dok LPTP, 1964.
Angka yang diberikan kepada setiap unsur kemampuan
wilayah merupakan penilaian relatif dengan dasar : peranan
tertinggi sesuatu sifat terhadap unsur kemampuan diberi
angka tertinggi (Lampiran 1).
Sifat-sifat tanah merupakan faktor menguntungkan dan
dinilai dengan angka positif ; ditinjau sifat fisik dan kimia
lapisan atas (50 cm), kecuali permeabilitas dan kedalaman
efektif. Faktor sekeliling merupakan faktor merugikan dan
dinilai dengan angka negatif. Jumlah nilai (positif dan negatif)
menentukan nilai kemempuan wilayah.

c. Arti Kelas Kemampuan Wilayah


Masing-masing kelas kemampuan wilayah tersebut
diatas mempunyai perbedaan dalam taraf kemampuannya
untuk digunakan. Semakin besar pembatasannya, makin
jelek kemampuannya, makin terbatas kemungkinan
penggunaannya.
64

Kawasan lahan kering kritis di pegunungan. Sumber:


http://perbaikan-ummat.com/

5.6. INDEKS STORIE


Menurut Storie (Storie index) ada 4 faktor untuk
mengharkatkan lahan, yaitu
A. Faktor untuk mengharkatkan profil fisik dari tanah yang
bersangkutan. Menurut faktor A tanah dikelompokkan
menjadi 8 kelompok. Adapun keterangan beberapa
kelompok sbb:
1. Tanah-tanah yang tedapat dalam kipas aluvial
ditemukan di lembah atau yang terdapat di dataran
banjir atau endapan-endapan sekunder lainnya yang
masih muda yang belum mengembangkan profil
atau yang profilnya masih seragam.
2. Mencakup tanah-tanah seperti no 1 tetapi sudah
memperlihatkan perkembangan profil.
3. Mencakup tanah-tanah yang sudah memperlihatkan
perkembangan profil yang jelas.
4. Tanah-tanah yang terdapat di dataran yang lebih tua
atau teras-teras yang memiliki profil yang sudah
jelas berkembang dan sudah membentuk horizon B
65

(horizon argilik). Penilaian ini didasarkan atas


ketebalan profil tanah atau kedalaman tanah yang
menghambat pertumbuhan akar. Profil yang tidak
ada perlapisan dinilai 100. apabila terdapat lapisan
pembatas tetapi pada jeluk lebih dari 1 m diberi nilai
70. Untuk yang mempunyai lapisan pembatas
kurang dari jeluk 1 m diberi nilai 50-60. Semakin
tua tanah maka nilainya semakin menurun,
kandungan haranya semakin rendah. Sehingga
untuk tanah-tanah muda diberi nilai 100, sedang
untuk tanah-tanah tua diberi nilai 95-100. Menurut
Storie, lapisan pembatas akar tanaman nilainya
dianggap sama dan lebih penting daripada
ketersediaan hara.

B. Faktor yang mencakup tekstur tanah lapisan atas.


1. Menurut Storie: Tekstur yang paling baik
adalah tekstur sedang yaitu geluh pasiran
sangat halus, geluh pasiran halus, geluh, dan
geluh debuan diberi nilai 100.
2. Tekstur yang paling jelek adalah pasir, kerikil,
kerakal (gravely sand) diberi nilai 20-30
3. Pasir batuan diberi nilai 10-40.

C. Berdasarkan lereng
1. Yang paling baik adlah lerng datar sampai
hampir datar dengan kemiringan 0-2%, dan
diberi nilai 100
2. Yang paling jelek adalah tanah yang
lerengnya sangat curam dengan kemiringan
45%, dan diberi nilai 5-30
Lereng yang curam atau sangat curam maka tanah-
tanah yang berada mudah tererosi.

D. Faktor X
Dengan memperhatikan kadar atau keadaan tanah:
1. Drainase
Yang paling baik diberi angka 100 sedang yang
paling jelek (rawa) diberi angka 10-40.
2. Alkalinitas
Alkalinitas berkaitan dengan pH. Jika pH tanah 8,5
maka dapat dikatakan bahwa tanah tersebut alkalin
karena kadar Na nya tinggi. Tanah yang sangat
alkalin diberi nilai 5-15, sedang yang bebas dinilai
100. Sodik: lapisan tanah yang kaya Na
3. Kandungan hara atau kesuburan tanah
66

Jika kandungan hara tinggi maka diberi nilai 100.


Sedang serendah-rendahnya kandungan hara
(miskin) diberi nilai 60-80. Hal ini karena
penangannannya dapat dilakukan dengan mudah,
yaitu pemupukan.
4. Kemasaman
Bergantung pada tingkat kemasaman, dan diberi
nilai 80-95. Perbedaan nilai juga ditentukan olah
tanaman yang mampu menyesuaikan dengan pH
yang rendah.
5. Erosi
Erosi yang dimaksud adalah erosi yang sudah
berlangsung. Jika erosi nya kecil diberi nilai 100.
Di wilayah yang nampak parit-parit dari hasil erosi
berarti erosi yang berlangsung intensif dan terjadi
pada masa lampau dan diberi nilai 10-70. Untuk
nilai 70 jika parit dalam dan rapat sehingga tidak
ada lagi tempat tanaman hidup, sedang untuk 10
jika masih adal lahan yang masih dapat ditumbuhi
tanaman.
6. Relief mikro
Relief mikro hubungannya dengan penggunaan
tanah. Jika permukaan tanah rata (licin) maka diberi
nilai 100, jika kelihatan ada alur-alur kecil diberi
nilai 60-95. Untuk Vertisol yang mempunyai
kenampakan berupa gilgai maka dapat menurunkan
nilai.
67

Tabel dan Kolom Penilaian Kesesuaian Lahan dengan Metode


Indeks Storie

N PARAMETER NILAI
O
A B C X
1 1
2
3
4
5
6
Rata-rata
2 1
2
3
4
5
6
Rata-rata
3 1
2
3
4
5
Rata-rata

Kriteria Penetapan kelas kemampuan lahan (USDA)

No Parameter K E L A
I II III IV
1 Lereng Datar Landai Agk miring Curam
2 Solum Dalam Dangkal Dangkal
3 Erosi S kecl Peka Sgt peka Sgt peka
4 Drainase Baik Buruk Buruk
5 Pengolahan Mudah
6 WHC Baik Rendah Rendah
7 Respon pemupukan respon Rendah
8 Struktur tanah Sdkt krg baik
9 Permeabilitas Sgt lambat
68

Kritria klasifikasi kemampuan lahan (Kliengebiel & Montgomery,


1961)

N Ciri lahan Kelas lahan


o
I II III IV V VI VII VIII
1 Lereng Datar Landai Sedang- Curam Landai Curam Sangat Sangat
curam curam curam
2 Bahaya t.a. Sedang Tinggi Membaha Membaha Membahay Membah Membaha
erosi yakan yakan akan ayakan yakan
3 Bahaya t.a. Kadang Sering Sering Sering - - -
banjir
4 Jeluk tanah Ideal Kurang Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal Dangkal
dari ideal
5 Struktur Baik Kurang - - - - - -
tanah dan mendukun
kemudahan g
pengolahan
6 Drainase Baik Dapat Sangat Menggena - Menggenan Mengge Menggena
diperbaiki lambat ng g nang ng
dg drainas
7 WHC Baik Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah
8 Salinitas t.a. Sedikit- sedang Membaha - Membahay Membah Membaha
sedang yakan akan ayakan yakan
9 Status hara Baik Sedang Rendah - - - - -
1 Iklim Mendukun Sedikit Sedang Kurang Tidak Tidak Tidak Membaha
0 g pembatas mendukun mendukung menduku yakan
g ng
1 Pengelolaa Biasa Hati-hati Khusus Kadang Tidak Tidak dapat Tidak Tidak
1 n dapat dapat ditanami dapat dapat
ditanami ditanami ditanami ditanami
1 Kebatuan - - - Beberapa Membaha Membahay Membah Membaha
2 yakan akan ayakan yakan
Kelas kemampuan lahan dan tipe landuse (Kliengebiel &
Montgomery, 1961)

No Tipe Landuse Kelas Lahan


I II III IV V
Sesuai untuk budidaya tanaman dan Umu
penggunaan lain
1 Tanaman semusim + + + +
2 Rumput + + + + +
3 Rangeland + + + + +
4 Hutan kayu + + + + +
5 Hutan alami + + + + +

PENUTUP

Dengan mempelajari materi daya dukung lahan ini


diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan pentingnya daya
dukung lahan yang digunakan dalam menilai mutu lahan.
Kualitas lahan sangat menentukan ketegaran dalam
menghadapi gangguan lahan yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia dalam memanfaatkan lahan. Pemanfaatan lahan
bukan merupakan usaha untuk membagi-bagi lahan saja,
tetapi penata-gunaan lahan harus memperhatikan daya
dukungnya, kelestarian fungsi dari sumberdaya dan
kemungkinan kerusakan yang dapat ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, A. 1990. Pengaruh berbagai teknik konservasi tanah


terhadap erosi, aliran permukaan dan hasil tanaman
pangan pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran.
Pembahasan Hasil-hasil dan Perencanaan
Penelitian. P3HTA - Badan Litbang Pertanian, 11-13
Januari 1990, Puncak- Bogor.
Djaenuddin, D., Marwan H., H. Subagyo, dan A. Mulyani.
1997. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas
Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,
Departemen Pertanian , Bogor.
Djaenudin, D., M. Hendrisman, A. Hidayat, dan H.
Subagyo. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan
untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah,
Bogor.
Driessen, P.M. 1971. Parametric Land Classification.
Lembaga Penelitian Tanah, Bogor.
Easter, K.W. and M.M. Hufschmidt. 1985. Research for
Integrated Watershed Management in Developing
Countries. (Draft paper). East-West Center,
Honolulu, Hawaii.

FAO. 1976. Comprehensive Integrated Watershed


Development. Paper W/K 0653. Rome.

FAO. 1976a. A framework for land evaluation. Soils Bulletin


No. 12. FAO, Rome.
FAO. 1979. Watershed Development, with Special
Reference to Soil and Water Conservation. FAO Soils
Bulletin 44. Rome.

FAO. 1983. Guidelines: Land Evaluation for Rainfed


Agriculture.

FAO. 1985. Guidelines: Land Evaluation for Irrigated


Agriculture. FAO. 1987. Guidelines for Economic
Appraisal of Watershed Management Projects.
Conservation Guide 16. Rome.
FAO. 1999. Land Evaluation and Farming System Analysis for
Land Use Planning. FAO Working Doc. 3rd Edition. FAO,
Rome.
Fausett, L., 1994, Fundamentals of Neural Network,
Architecture, Algorithms and Applications, Prentice
Hall, New Jersey
Hardjowigeno, S. 1981. Perkembangan survei dan pemetaan
tanah di Indonesia. Seminar Ikatan Surveyor Indonesia
(ISI) di Institut Pertanian Bogor.
Hendrisman, M. dan D. Djaenudin. 1998. Evaluasi lahan
secara kuantitatif; Studi kasus di daerah Pringgabaya,
Kabupaten Lombok Timur, Provinsi NTB. Prosiding.
Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Jayadinata, J.T. 1992. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan
Pedesaan Perkotaan & Wilayah, ITB,Bandung.
Kaiser, Edward J, David R. Godschalk and F. Stuart Chapin,
1995, Urban Land . Use Lanning, Urbana and Chicago,
University of Illinois Press.
Kusumadewi, S., 2003, Artificial Intelligence (Teknik dan
aplikasinya), Graha Ilmu Yogyakarta
Nasution, Z. 2005. Evaluasi Lahan Daerah Tangkapan Hujan
Danau Toba Sebagai Dasar Perencanaan Tata Guna
Lahan Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Notohadiprawiro, T. 1991. Kemampuan dan Kesesuaian
Lahan: Pengertian dan Penetapannya. Makalah.
Lokakarya Neraca Sumberdaya Alam Nasional. DRN
Kelompik II. Bogor: Bakosurtanal.
Notohadiprawiro, T. 1992. Konsep dan Kegunaan Evaluasi dan
Inventarisasi Harkat Sumberdya lahan dengan uraian
khusus mengenai gatra tanah. Diktat Kuliah.
Yogyakararta: Fakultas Pertanian UGM.
Poh, H.L., 1994, A Neural Network Approach to Decision
Support, International Journal of Applied Expert
Systems, Vol. 2 No. 3
Puslittanak (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat). 2000a.
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Jakarta.
Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan.
Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.
Ritung S, Wahyunto, Agus F, Hidayat H. 2007. Panduan
Evaluasi Kesesuaian Lahan dengan Contoh Peta Arahan
Penggunaan Lahan Kabupaten Aceh Barat. Balai
Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre
(ICRAF), Bogor, Indonesia.
Rossiter, D.G. 1988. The Automated Land Evaluation System.
A Micro-Computer Program to Assist in Land
Evaluation. Cornell Univ. Microfilm An Arbor, MI.
Rossiter, D.G. and A.R. Van Wambeke. 1997. Automated Land
Evaluation System, ALES Version 4.65d Users Manual.
Cornell Univ. Dept. Soil Crop and Atmospheric Science,
SCAS, Ithaca, NY.
Sitorus, S.R.P. 1998. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung:
Tarsito.
Sitorus, S.R.P. 2003. Pengembangan Sumberdaya Lahan
Berkelanjutan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soemarno. 2007. Konsepsi Ekonomi Sumberdaya Lahan.
Makalah Bahan Kajian Ekonomi Sumberdaya Lahan,
PPSUB.
Soepraptohardjo, M. 1961. Sistem Klasifikasi Tanah di Balai
Penyelidikan Tanah. KNIT I, Bogor.
Sujarto, D. 1982. Nilai Dan Harga Tanah dalam
Pengembangan Wilayah. Bandung: Institut Teknologi
Bandung.
Sys, C., V.Ranst and J.Debaveye. 1991. Land Evaluation Part
II: Methods in Land Evaluation, General Administration
for Development Cooperation, Brussels.
Van Reeuwijk, L.P. 1983. Introduction to Physico-Chemical
Aspects. Lecture Note, International Institute for Aerial
Survey and Earth Sciences, ITC, Enschede the
Netherlands.
Van Wambeke, A. and T. Forbes. 1986. Guidelines for Using
Soil Taxonomy, the Names of Soil Map Units. SMSS.
Tech. Monogr. No. 10. SCS, USDA, New York, Cornell
Univ. Dept. Agric.
Wahyuningrum,N, C. Nugroho, Wardojo, Beny H, Endang S,
Sudimin, Sudirman. 2003. Klasifikasi Kemampuan Dan
Kesesuaian Lahan .INFO DAS Surakarta No. 15 Th.
2003
Widiatmika, S.Hardjowigeno. 2007. Evaluasi Kesesuaian
Lahan & Perencanaan Tata Guna Lahan, Gadjah Mada
Uneversity Press, Jogyakarta
Wood, S.R. and F.J. Dent. 1983. LECS, A Land Evaluation
Computer System Methodolgy. AGOF/INS/78/006.
Manual 5, Version 1, Center for Soil Research, Bogor.
Worosuprodjo, S. 2005. Klasifikasi Lahan untuk Perencanaan
Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta. Forum Perencanaan
Pembangunan Edisi Khusus Januari 2005.

Anda mungkin juga menyukai