1. Silsilah (Pedigree)
Pedigree adalah garis keturunan dari suatu hubungan keluarga antara satu
individu sapi perah dengan individu lainnya yang menjadi tetua-tetuanya atau
yang menurunkannya. Silsilah ini dapat digunakan untuk mengadakan seleksi
ternak apabila seleksi individu berdasarkan informasi performansnya sulit atau
tidak didapatkan (tidak ada datanya). Atau apabila melakukan seleksi
terhadap ternak-ternak sapi perah muda yang belum berproduksi dan juga
apabila berhadapan dengan individu-individu yang mempunyai tingkat
produksi yang relatif sama.
Arjuna
(pejantan)
Adam
No.2544
Neli (induk)
No.078
Umur Susu Lemak Laktasi
Tamara (th-bl) (Kg) (%) (hari)
No.125 3-1 4227 3.5 300
4-3 4449 3.3 315
Rama
No.23479
Meti
No.135
Sinta
No.056
Umur Susu Lemak Laktasi Umur Susu Lemak Laktasi
(th-bl) (Kg) (%) (hari) (th-bl) (Kg) (%) (hari)
3-0 4953 3.5 304 3-4 3690 3.2 298
4-0 4985 3.4 299 4-8 3875 3.1 303
5-0 5050 3.5 308
C C
B X
E M
A Z
D Y
C C
A A
D D
X Y
E E
B B
F F
Berapa hubungan x dan y (R-xy)?
X A
X
A (1/2)2 = 0,25
Y B Y
X
B (1/2)2 = 0,25
Y
Rxy = 0,50
4. Koefisien Inbreeding
Fx = Koefisien Inbreeding
M = Banyaknya Generasi
Fa = Koefisien inbreeeding tetua (ancestor)
Contoh:
H
F D
C
A G A F
F
D
X H X C
F G
C
B G B I
I
E E
J J
Beberapa koefisien inbreeding x? (Fx)
a. Fx melalui
A
C
B = 1/2 (1/2)2 (1 + Fc)
= 1/2 (1/2)2 (1 + 0) = 0.125
b. Fx melalui
A D
F = 1/2 (1/2)4 ( 1 + Ff )
B C = 1/2 (1/2)4 ( 1 + 0 ) = 0,03125
Fx = a + b = 0,15625
1. Sifat kualitatif
- Sifat yang dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok dan
pengelompokkan itu berbeda jelas satu sama lainnya.
- Diatur oleh satu atau beberapa pasang gena
- Tampak dari luar dan tidak dapat diukur
- Dikontrol sepenuhnya oleh gen
- Cacat genetik lebih bersifat kualitatif
- Tidak mempunyai nilai ekonomis
- Seleksi bibit hanya sedikit bersifat kualitatif
Contoh sifat kualitatif adalah warna bulu/rambut, sapi bertanduk dan tidak
bertanduk.
2. Sifat kuantitatif
- Tidak dapat dikelompokkan dengan jelas
- Diatur oleh banyak pasang gena
1. Lethal
Sifat lethal adalah sifat genetis yang menyebabkan kematian dari individu saat
dilahirkan atau sesudah individu dilahirkan di dalam keadaan pemeliharaan
(manajemen) yang baik dan normal. Sifat-sifat lethal ini timbul karena telah
terjadi perubahan keadaan dari prenatal ke postnatal mengenai: berat jantung,
berat paru-paru, mekanisme tractus digestivus atau mekanisme pengaturan
temperatur.
2. Sub Lethal
Pada keadaan sub lethal telah terjadi perubahan fisiologis dan anatomis
sewaktu hewan dilahirkan. Hewan kemudian mati karena tidak mendapatkan
makanan yang cukup misalnya karena pergelangan kaki yang bengkak pada
FH.
3. Semi Lethal
Semi lethal misalnya terjadi hernia yang dalam beberapa keadaan tertentu
dapat menyebabkan kematian. Usus dari hewan masuk ke dalam kantong
hernia dan tergencet. Ada beberapa cara mengetahui gena lethal, yaitu:
1. Tes pejantan sebelum digunakan secara intensif, misalnya mengawinkan
pejantan dengan anak-anaknya (1 : 16-20 ekor anak betina) untuk
mendapatkan gena lethal secara fenotipik.
2. Pejantan dikawinkan dengan saudara perempuan (inbreeding)
3. Mengamati pedigree sapi-sapi betina tua, cara ini yang terbaik apabila
progeny test tidak dapat dilakukan.
VG VA + VD + VI
H2 = =
VG + VE VP
VA
h2 =
VP
VG = ragam genotip
VP = ragam fenotip
VE = ragam lingkungan
VA = ragam aditif
VD = ragam dominan
VI = ragam interaksi
Heritabilitas dalam arti sempit lebih banyak digunakan dalam pemuliaan karena
lebih mudah diduga dan dapat langsung menduga nilai pemuliaan. Ragam aditif
paling responsif terhadap seleksi.
Nilai heritabilitas berkisar antara 0 dan 1. Secara ekstrim apabila heritabilitas
sama dengan satu berarti seluruh variasi fenotip disebabkan oleh variasi genetik,
sedangkan apabila heritabilitas sama dengan nol berarti seluruh variasi fenotip
disebabkan oleh variasi lingkungan.
Heritabilitas dapat dibagi dalam 3 katagori, yaitu katagori rendah (< 0,1), sedang
(0,1-0,3) dan tinggi (>0,3)
Jika sebuah sifat mempunyai heritabilitas tinggi, maka ternak yang mempunyai
performans tinggi cenderung akan menghasilkan anak-anak (keturunan) yang
mempunyai performans tinggi dan ternak yang berformans rendah cenderung
menghasilkan turunan yang mempunyai performans rendah pula. Sebaliknya jika
sebuah sifat tidak begitu heritable (rendah), maka produksi tetua hanya
mengungkapkan sangat sedikit tentang performans turunannya.
Kemudian untuk pemahaman di lapangan, apabila heritabilitas suatu sifat tinggi,
maka nilai pemuliaan untuk sifat tersebut belum tentu tinggi, karena heritabilitas
yang tinggi hanya menunjukkan adanya hubungan yang kuat antar nilai fenotipik
VG + VEP
r =
VP
NP = h2 ( P - P ) + P
nh2
h2 =
1 + (n-1)r
nh2
NP = P P
1 + (n-1)r
Ada beberapa metode yang sering dilakukan untuk seleksi sapi betina:
nh2
MPPA = P P
1 + (n-1)r
nh2
ERPA = P PH
1 + (n-1)r
Dengan demikian, perbedaan MPPA dan ERPA adalah pada MPPA rata-
rata produksi betina dibandingkan dengan rata-rata populasi sedangkan
pada ERPA dengan rata-rata produksi herdmatenya. Herdmate adalah
semua induk yang ada dalam peternakan yang sama, dan beranak dalam
waktu yang relative bersamaan tetapi bukan saudara tiri sebapak.
Nilai pemuliaan seekor sapi induk dapat diduga dengan perhitungan sebagai
berikut :
nh2
NP = P PH
1 + (n-1)r
Dalam meningkatkan produksi susu dan lemak, seleksi calon pejantan jauh lebih
penting artinya daripada seleksi sapi calon induk pengganti. Hal ini disebabkan
seekor pejantan akan mempunyai anak jauh lebih banyak daripada seekor induk,
terutama dengan teknik Inseminasi Buatan. Dalam waktu yang sama semen beku
dari seekor pejantan dapat disebarluaskan ke berbagai wilayah, meskipun
pejantan tersebut sudah mati. Karena seekor pejantan tidak dapat menghasilkan
susu maka pendugaan kemampuan genetik seekor pejantan untuk menghasilkan
susu harus diduga dari produksi anak-anak betinanya (keturunannya). Pejantan
dipilih berdasarkan performans turunan-turunannya (Uji Zuriat atau Progeny
Testing). Hasil uji zuriat yang diperoleh dapat membantu kita dalam hal :
1. Memutuskan apakah seekor pejantan akan tetap dipakai
2. Menentukan pejantan muda yang akan dipakai atau disingkirkan
3. Mengevaluasi mutu genetik nak-anaknya yang jantan
4. Memilih betina induk, berdasarkan nilai anak-anak betina dari bapaknya
4. Contemporary Comparison
Metode ini didasarkan atas produksi susu laktasi pertama dari anak-anak
pejantan yang diuji terhadap produksi susu laktasi pertama dari anak-anak
pejantan lain yang beranak pada tempat, tahun dan musim yang sama.
6. Cummulative Difference
Metode ini merupakan pengembangan dari penggunaan metode Contem-
porary Comparison, dengan memasukkan unsur pejantan pembanding.
Namun metode ini menggunakan 2 sumber informasi yaitu informasi dari
pejantan yang sedang diuji pada saat itu (t) dan informasi yang berupa rata-
rata nilai genetic pejantan pada saat sebelumnya (t-1), sehingga dapat
menilai kemajuan genetiknya.
9. Predicted Difference
Metode ini didefinisikan sebagai ramalan beda produksi dari anak seekor
pejantan terhadap produksi dalam kelompoknya. Jadi PD dapat diartikan
sebagai daya penerus seekor pejantan untuk mewariskan sifat-sifat genetic
kepada anaknya. Meramalkan PD sama dengan meramalkan setengah dari
Nilai Pemuliaan-nya.
W ( )
CC =
W
Keterangan :
CC = Nilai Contemporary Comparison
= Produksi susu rata-rata laktasi pertama anak betina pejantan
pembanding
= Produksi susu rata-rata laktasi pertama anak betina pejantan yang
diuji
W = Jumlah betina efektif
n1 x n2
W =
n1 + n2
Bertitik tolak dari hal tersebut, ada 5 pola untuk meningkatkan mutu genetik
ternak, yaitu :
SAPI BETINA
LOKAL
Seleksi dimulai dari populasi peternakan rakyat untuk memilih sapi-sapi induk
yang superior untuk menghasilkan anak jantan. Anak-anak jantan dari induk yang
superior tersebut ditempatkan secara terpusat dan dikelola oleh pemerintah/
swasta sehingga informasi mengenai kecepatan pertumbuhan dan perkembang-
annya dapat diperoleh untuk selanjutnya dilakukan seleksi calon pejantan.
Pejantan yang telah diseleksi kemudian disebarkan lagi ke peternakan rakyat
untuk dikawinkan dengan sapi betina lokal baik secara alam maupun dengan
inseminasi buatan. Demikian dilakukan seterusnya sampai terjadi peningkatan
mutu genetik sapi perah rakyat.
PUSAT
PEMBIBITAN
(menghasilkan SAPI BETINA LOKAL
GENERASI 1
pejantan) di Peternakan Rakyat
KELOMPOK SAPI
Peternakan
BETINA YG SUDAH Seleksi Pertama Rakyat
DISELEKSI
Seleksi baru
50% KELOMPOK
dikeluarkan stlh SAPI BETINA
HASIL
SELEKSI
Menghasilkan
PEJANTAN
Pada metode ini dimulai dengan menseleksi sekelompok ternak sapi betina dari
peternakan rakyat dan kemudian menempatkannya pada Lembaga Penelitian
yang dikelola pemerintah atau kalau mungkin di peternakan komersil (swasta).
Kelompok sapi betina tersebut diteliti selama satu masa laktasi (satu siklus
produksi). Setelah satu periode laktasi, 50 % harus dikeluarkan dari jumlah betina
yang ada dan 50% dipertahankan. Prosedur seleksi terhadap betina tersebut
diulang selama beberapa tahun, paling sedikit tiga tahun dan yang paling baik
sampai lima tahun, sampai dihasilkan pejantan dari kelompok induk hasil seleksi.
PEJANTAN
ATAU Sapi Betina Lokal
SEMEN ke 1 Peternakan
IMPOR Rakyat
ke 2 SAPI BETINA
50 % IMPOR
50 % LOKAL
ke 3
SAPI BETINA
75 % IMPOR
ke 4 25 % LOKAL
SAPI BETINA
ke 5 87,5 % IMPOR
12,5 % LOKAL
dan
SETERUSNYA
Metode ini merupakan pendekatan yang umum dilakukan di daerah tropis yaitu
grading up sapi lokal dengan pejantan atau semen impor. Cara ini mencakup
sekelompok sapi betina dan pejantan yang menggunakan system persilangan
grading up antara sapi betina lokal dengan pejantan atau semen impor,
menghasilkan kelompok betina yang mempunyai komposisi darah 50 % lokal dan
50 % impor. Kemudian dikawinkan lagi dengan pejantan/semen impor sehingga
diperoleh kelompok betina dengan komposisi darah 25 % lokal dan 75 % impor,
demikian seterusnya sampai diperoleh komposisi darah yang diinginkan. Namun,
dalam hal ini peternak harus sudah siap menerima kelompok sapi tersebut dengan
perlakuan makanan dan tata laksana yang lebih baik. Apabila peternak belum
siap, hendaknya dipertahankan sampai 75 % impor sehingga cocok untuk
peternakan-peternakan yang tatalaksana dan pakannya belum sempurna.
Pemerintah/Swasta
Kelompok
PEJANTAN ATAU Sapi
SEMEN IMPOR
Betina
Lokal
Y
INTERSE MATED
F1 PERSILANGAN Pejantan 75 % LOKAL
Persilangan 25 % IMPOR
dan
SETERUSNYA
Pada metode ini, sapi betina lokal yang sudah diseleksi disilangkan dengan
pejantan atau semen impor untuk menghasilkan F1 baik jantan maupun betina
dengan komposisi darah 50 % lokal dan 50 % impor, kemudian diseleksi diantara
kelompoknya dan disilangkan lagi dengan betina lokal. Setelah itu diadakan
perkawinan antar F1 (inter se mated) yang menghasilkan jantan persilangan yang
kemudian disebarkan ke peternakan rakyat. Sesara teoritis, generasi pertama
mengandung komposisi darah 25% impor dan 75% lokal. Pada generasi berikutnya
masuk stock impor berturut turut sebesar 12,5 % pada generasi tiga dan 16 % pada
generasi empat kemudian diikuti seleksi. Pada metode ini kenaikan darah impor
dan penurunan darah lokal lambat sehingga memungkinkan peternak untuk
bersiap-siap menerima kelompok sapi tersebut.
PEJANTAN
P-R
INTI
- PEMERINTAH
- SWASTA
- BUMN P-R
- IPS
- KOPERASI
P-R
SAPI
AFKIR
P-R
KOPERASI
Daftar Pustaka
Rice, V.A., F.N. Andrews, E.J Warwick and J.E. Legates. 1957. Breeding and
Improvement of Farm Animals. McGrow-Hill Book Company Inc. Kogakusha
Company, Ltd. Tokyo
Warwick, E.J., J. Everett, and J.E. Legates. 1979. Breeding and Improvement of
Farm Animals. 7th Ed. McGraw-Hill Book Co., New York.
Warwick, E.J., J. Maria Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan Ternak.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.