Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit infeksi


penyebab utama kematian di dunia. Dalam hal angka kejadian baru TB tiap
tahunnya, Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan
China, dengan perkiraan 539.000 kasus baru untuk setiap gejala klinis pada
tahun 2004. National Household Health Survey (NHHS) Indonesia pada tahun
2001 mencatat TB sebagai penyebab kematian ketiga, yaitu sebesar 9,4%.
(Three-fold reduction, tesis).
Ketersediaan terapi anti-tuberkulosis di Indonesia tetap tidak mencegah
penyakit ini menjadi sebuah kegawatdaruratan global. Kebutuhan memberikan
terapi TB dengan pengobatan multipel telah menjadi tantangan bagi klinisi di
Indonesia dalam memberikan terapi yang efektif. Sementara itu, terlepas dari
tingginya cakupan program Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)
di Indonesia, TB tetap menjadi salah satu beban kesehatan tertinggi. (4_6)
Di Indonesia, termasuk Provinsi Bali, program pengendalian TB yang
direkomendasikan oleh WHO diimplementasikan oleh fasilitas kesehatan
primer yaitu Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Di luar pembayaran
standar pendaftaran pasien Puskesmas, program DOTS menyediakan
pemeriksaan sputum secara gratis. Bila seorang suspek TB dinyatakan positif
TB dari hasil pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) sputum, maka
diberikanlah obat antituberkulosis (OAT) secara gratis, dengan regimen awal
selama 6 bulan, meski pengobatan dapat diperpanjang bila pasien belum
dinyatakan sembuh sempurna. Anggota keluarga diberdayakan untuk
mengobservasi pasien secara langsung dalam mengkonsumsi OAT setiap hari.
Sementara itu, suspek TB yang tidak menunjukkan hasil BTA sputum positif
di Puskesmas tetap menerima pengobatan secara gratis setelah TB didiagnosis
oleh dokter spesialis dengan dasar foto polos toraks; meski demikian,
pemeriksaan ini tidak tersedia di puskesmas dan biaya tidak digratiskan. (4_6)
Informasi epidemiologis kasus TB di Bali belum tercatat dengan baik.
Data yang tersedia di Departemen Kesehatan Provinsi Bali menyebutkan
bahwa sebanyak 1.258 penduduknya terdiagnosis TB paru pada tahun 2000,
atau dengan kata lain sebanyak 40 kasus per 100.000 populasi. (4_6)

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium tuberculosa dan ditularkan melalui udara (droplet
nuklei) pada saat seorang pasien batuk dan percikan ludah yang mengandung
bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas.

2.1.2 Karakteristik Mycobacterium Tuberculosa

Bakteri Mycobacterium tuberculosa ditemukan pertama kali oleh Robert Koch


pada 1882. Hasil penemuan ini diumumkan di Berlin pada tanggal 24 Maret
1882 dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya kemudian diperingati sebagai hari
Tuberkulosis. (Girsang)
Karakteristik utama kuman ini adalah mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x
0,3-0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tapi mempunyai lapisan luar
tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini dapat
bertahan terhadap pencucian warna dengan asam atau alkohol, sehingga
disebut basil tahan asam (BTA), tahan terhadap zat kimia dan fisik, serta tahan
dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. (Girsang)
Bakteri ini mati pada pemanasan 100C selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60C selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30
detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara, di tempat yang lembab dan
gelap bisa berbulan-bulan namun tidak tahan terhadap sinar matahari atau
aliran udara. Data pada tahun 1993 menyebutkan bahwa untuk mendapatkan
90% udara bersih dari kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran
udara per jam. (Girsang)
2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi (consensus)

Tuberkulosis primer terjadi bilamana kuman masuk melalui saluran napas dan
bersarang di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-
sama dengan limfangitis regional dikenal dengan kompleks primer. Kompleks
ini selanjutnya akan mengalami salah satu dari tiga berikut:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotic, sarang pengapuran di hilus)
3. Menyebar, dengan cara:
a. Perkontinuitatum (menyebar di sekitarnya). Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelectasis. Kuman akan menjalar
sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelectasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus tersebut.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya.
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh serta jumlah dan
virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan,
akan tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat maka penyebaran
ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis miliar,
meningitis tuberkulosis, maupun typhobacillosis Landouzy. Penyebaran
ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, genitalia, dan sebagainya. Komplikasi ini
mungkin berakhir dengan: (1) sembuh dengan meninggalkan sekuele,
(2) meninggal.

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian


tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. tuberkulosis post-
primer ini mempunyai nama yang bermacam-macam, diantaranya tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk inilah yang terutama menjadi problem kesehatan masyarakat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior
maupun inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik
kecil dan selanjutnya mengikuti salah satu jalan berikut:
1. Diresorbsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan
cacat.
2. Sarang mula-mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi
lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan kaseosa (jaringan keju) dan menimbulkan kavitas
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan kaseosa. Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan kaseosa ini keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kavitas sklerotik). Nasib kavitas ini selanjutnya:
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang ini mengikuti pola perjalanan seperti di atas.
b. Dapat memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi
dapat pula aktif kembali, mencair kembali dan menjadi kavitas lagi.
c. Dapat menjadi bersih dan menyembuh, yang disebut open healed
cavity, atau kavitas menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir dengan kavitas yang terbungkus, dan
menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate-shaped).

Batuk yang merupakan salah satu gejala tuberkulosis paru terjadi karena
kelainan patologis pada saluran pernapasan akibat kuman M. tuberculosis.
Kuman ini sangat aerobic, sehingga mudah tumbuh di dalam paru, terlebih di
daerah apeks karena tekanan parsial oksigen (pO2) alveolus di daerah ini
paling tinggi.
Kelainan jaringan terjadi sebagai respons tubuh terhadap kuman. Reaksi
jaringan yang karakteristik ialah terbentuknya granuloma, kumpulan pada sel
makrofag. Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi adalah
berupa sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonuklear (PMN) maupun
sel fagosit mononukleus. Kuman berproliferasi di dalam sel, dan akhirnya
mematikan sel fagosit. Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan
membentuk agregat. Kuman berproliferasi terus, dan sementara makrofag
(yang berisi kuman) mati, sel fagosit mononukleus masuk dalam jaringan dan
menelan kuman yang baru terlepas. Jadi terdapat pertukaran sel fagosit
mononukleusu yang intensif dan berkesinambungan. Sel monosit semakin
membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah banyak dan
tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat mirip
sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan
bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel.
Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel datia berinti banyak, dan
sebagian sel ini berbentuk sel datia Langhans (inti terletak melingkar di tepi)
dan sebagian lainnya berupa sel datia benda asing (inti tersebar dalam
sitoplasma). Lama-kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel
plasma, kapiler, dan fibroblast. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang
disebut perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab dan jumlah
mikroba berkurang. Granuloma dapat mengalami beberapa perkembangan,
bila jumlah mikroba terus berkurang akan terbentuk simpai jaringan ikat
mengelilingi reaksi peradangan. Lama-kelamaan terjadi penimbunan garam
kalsium pada bahan perkijuan. Bila garam kalsium berbentuk konsentrik maka
disebut cincin Liesagang. Bila mikroba virulen atau resistensi jaringan rendah,
granuloma membesar secara sentrifugal, terbentuk pula granuloma satelit
yang dapat berpadu sehingga granuloma membesar. Sel epiteloid dan
makrofag menghasilkan protease dan hidrolase yang dapat mencairkan bahan
kaseosa. Pada saat isi granuloma mencair, kuman tumbuh cepat ekstrasel dan
terjadi perluasan penyakit.
Reaksi jaringan yang terjadi berbeda antara individu yang belum pernah
terinfeksi dan yang sudah pernah terinfeksi. Pada individu yang telah
terinfeksi sebelumnya reaksi jaringan terjadi lebih cepat dan keras disertai
nekrosis jaringan. Akan tetapi pertumbuhan kuman tertahan dan penyebaran
infeksi terhalang. Ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas dan
sekaligus imunitas.

2.1.4 Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi (consensus, retno)

Gejala penyakit TB dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosis secara klinis. Alur penegakan diagnosis tuberkulosis paru
diantaranya melalui anamnesis (terhadap pasien maupun keluarga),
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang (laboratorium, patologi anatomi,
foto polos toraks, uji tuberculin).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih, dahak dapat disertai darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama. Perlu
diketahui pula bahwa gejala-gejala tersebut dapat juga dijumpai pada penyakit
paru selain TB, seperti bronkiektasis maupun bronkitis kronis.
Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia masih sangat tinggi, maka
setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala-gejala di atas dianggap
tersangka (suspek) pasien TB, dan karena itu perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta
skoring pada pasien anak.
Pemeriksaan dahak berfungsi menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan terapi dan menentukan potensi penularan. Dahak diperiksa pada
semua suspek TB yakni dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan, berupa dahak
sewaktu-pagi-sewaktu (SPS):
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa pot dahak untuk
mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur, pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
UPK.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat
menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB paru pada remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya


kuman TB pada pemeriksaan sputum sebagai standar baku. Pemeriksaan lain
digunakan sebagai penunjang sepanjang sesuai dengan indikasi. Tidak
dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja,
karena sering menimbulkan overdiagnosis. Foto toraks diindikasikan pada
kasus-kasus sebagai berikut:
1. hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA positif. Pada kasus
ini pemeriksaan foto toraks diperlukan untuk mendukung diagnosis TB
paru BTA positif.
2. Ketiga specimen dahak hasilnya negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (non fluoroquinolone).
3. Pada pasien diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan khususu (seperti pneumotoraks, pleuritis
eksudativa, efusi pericarditis, efusi pleura) dan pasien dengan hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergilloma).

Tuberkulosis paru dapat diklasifikasi berdasar hasil pemeriksaan dahak dan


berdasarkan tipe penderita.
Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA).
1. Tuberkulosis paru BTA (+)
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif.
b. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologis menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
c. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif.
2. Tuberkulosis paru BTA (-)
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinis dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif serta
tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas.
b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
positif.
c. Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa.
Berdasarkan Tipe Penderita.
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Tipe
yang ada yaitu:
1. Kasus baru.
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
2. Kasus kambuh (relaps).
Adalah penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologis sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan kemungkinan infeksi sekunder, infeksi jamur, atau TB paru
kambuh.
3. Kasus pindahan (transfer in).
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Kasus lalai berobat.
Adalah penderita yang sudah berobat minimal 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang lagi berobat. Umumnya penderita
tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Kasus gagal. Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan). Kasus gagal dapat pula terjadi bila penderita dengan hasil
BTA negatif, gambaran radiologis positif, kemudian menjadi BTA positif
pada akhir bulan ke-2 pengobatan, dan/atau pada gambaran radiologis
ulang hasilnya perburukan.
6. Kasus kronik.
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
7. Kasus bekas TB.
Yaitu bila hasil pemeriksaan dahak mikroskopi (biakan jika ada fasilitas)
negatif dan gambaran radiologis paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologis serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Kasus
bekas TB juga terklasifikasi bila ada kasus dengan gambaran radiologis
meragukan lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT
selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologis.

2.1.5 Penatalaksanaan
2.2 TB CENTER

Anda mungkin juga menyukai