Anda di halaman 1dari 21

1

HADITS DHAIF & MAUDHU

Oleh Syamsulbahri Salihima.

A. Pendahuluan

Upaya pelestarian keotentikan hadis Nabi saw telah dilakukan sejak masa

sahabat dengan menggunakan metode kompirmasi. Setelah Nabi saw wafat,

kegiatan kompirmatif ini tentu tidak lagi dilakukan oleh sahabat. Tetapi

selanjutnya, para sahabat menanya-kan kepada orang lain yang ikut hadir

mendengar dan menyaksikan hadis itu terjadi. Kegiatan penghimpunan hadis

secara resmi dan massal, barulah dilakukan dipenghujung abad I H, atas inisiatif

dan kebijakan Khalifah Umar bin Abd. Aziz.1 Pada masa yang cukup panjang itu

setelah wafatnya Rasul, telah terjadi pemalsuan-pemalsuan hadis yang dilakukan

oleh beberapa golongan dengan tujuan tertentu. Atas kenyataan inilah, ulama

hadis berupaya menghimpun hadis Nabi. Selain harus melakukan perlawatan

1
Muhammad Abu Zahw, al-Had wa al-Muhaddizn (Mesir: Mathbaat al-Misriyah,
t.th.), h. 245.
2

untuk menghubungi para periwayat hadis yang tersebar di berbagai daerah, juga

mengadakan penelitian identitas periwayat dan menyeleksi semua hadis yang

mereka himpun.

Pada perkembangan selanjutnya para ulama hadits berusaha melakukan

klasifikasi terhadap hadis baik berdasarkan kuantitas maupun berdasarkan kualitas

hadis. Hadis jika ditinjau dari segi kuantitas perawinya, maka akan di dapatkan

dua bagian terbesar yaitu, hadis mutawatir, masyhur dan hadis ahad, sedangkan

hadis jika ditinjau dari segi kualitas perawinya, maka dapat diklasifikasi pada tiga

bagian yaitu: hadis shahih, hasan dan hadis daif.2

Penulis di dalam makalah akan membahas masalah hadis hadis daif,


kemudian akan diulas juga masalah hadis maudu Sebagai upaya menambah dan
merivew kembali pemahaman kita akan hadis Rasulullah Saw.

2
Ajjj al-Khathb, Ushul al-Had, diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-
Had (cet.I; Jakarta : Gaya Media, 1998), h. 271.
3

B. Hadis Dhaif dan Permasalahannya


1. Pengertian Hadis Daif

Kata daif , berasal dari bahasa Arab (  ) yang berarti lemah. Adapun
pengertian menurut istilah, beberapa ulama hadis berpendapat sebagai berikut :
- T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, hadis daif adalah :
3
.

  

  
- Muhammad Ajjaj al-Khatib, bahwa hadis daif adalah hadis yang yang tidak
memenuhi syarat-syarat bisa diterima.4
- Fatchur Rahman berpendapat bahwa hadis daif adalah :
5
.
 
 !  "#  $ ! %& 
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya mereka sependapat bahwa hadis daif adalah hadis yang didapati padanya
sesuatu yang menyebabkan ia lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat
hadis Sahih dan Hasan.
Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu:
(1). Ketidakmuttashilan sanad, dan (2) Selain ketidakmuttashilan sanad seperti;
cacatnya seorang atau beberapa rawi.6 Sehingga pembagian hadis daif bisa didasarkan
pada hal tersebut.

2. Pembagian Hadis Daif

3
T.M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (cet.VII; Jakarta : Bulan
Bintang, 1987), Jilid I, h. 220.
4
Ajjaj al-Khatib, op.cit h. 104.
5
Fathur Rahman, Ikhstisar Mushthalahul Hadits. (cet.VIII; Bandung : PT.Almaarif, 1995),
h. 140.
6
A. Qadir Hasan, Ilmu Mushthalaha al-Hadits. (cet. III; Bandung: CV. Diponegoro, 1987)
h. 91
4

Hadis daif termasuk banyak ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat


satu sama lain, disebabkan banyak atau sedikitnya syarat-syarat hadis sahih atau

hasan yang tidak dipenuhinya. Misalnya hadis daif yang karena tidak bersambung

sanadnya dan tidak adil periwayatnya, adalah lebih daif daripada hadis daif yang
hanya keguguran satu syarat untuk diterima sebagai hadis hasan, atau dengan kata

lain hadis daif yang keguguran tiga syarat lebih daif daripada hadis daif yang hanya

keguguran dua syarat.


Fatchur Rahman mengutip pendapat al-Iraqi, bahwa hadis adaif bisa dibagi
menjadi 42 bagian dan sebagian ulama mengatakan bahwa hadis adaif terdiri atas 129
macam, bahkan bisa lebih dari itu.7
Dalam makalah ini penulis hanya akan mengemukakan sebagian hadis daif
menurut Ajjaj al-Khatib, sebagai berikut:8
1). Hadis-hadis daif karena ketidakmuttashilan sanad:
a. Hadis Mursal
Hadits mursal yaitu: hadits yang dimarfukan oleh seoarng tabiiy kepada rasul
SAW., baik berupa sabda, perbuatan maupun taqrir, dengan tidak menyebutkan orang
yang menceritakan kepadanya: contoh hadis berikut ini:

2
:10/ +   *
9:;< 8)4# 76
5 4-
3 2 10/ + . -+ , + *
)' ' ( '

?$ 
2 %
>=
Abdullah bin Abi Bakr pada hadis di atas merupakan seorang Tabii,
sedangkan seorang tabii tidak semasa dan tidak bertemu dengan Nabi Saw. Akan

7
Fathur Rahman, loc.cit.,
8
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h,304-310
5

tetapi di tidak menyebutkan orang yang mengabarkan kepadanya sehingga dinamakan


mursal.9
b. Hadis Munqathi
Hadits munqathi yaitu dalam sanadnya gugur satu orang perawi dalam satu
tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham. Dari
segi gugurnya seorang perawi ia sama dengan hadits mursal. Hanya saja, kalu hadis
mursal gugurnya perawi dibatasi oelh tingkatan sahabat, sementara dalam hadits
munqathi seperti itu. Jadi setiap hadits yang sanadnya gugur satu orang perawi baik
awal, ditengah ataupun diakhir- disebut munqathi. Adapun contohnya sebagai
berikut:
Berkata Ahmad bin Syuib; telah mengabarkan kepada kami.
Qutaibah bin Said, telah ceritakan kepada kami. Abu Awanah, telah
menceritakan kepada kami, Hisyam bin Urwah, dari Fatimah binti
Mundzir, dari Ummi Salamah , ummil Muminin, ia berkata; telah
bersabda Rasul Saw:
1G
F)E 2# 7 "
3 DC
B4&  
A 
 1 @ 
Pada hadis tersebut di atas Fatimah tidak mendengar hadis tersebut dari
Ummu Salamah, waktu Ummu salamah meninggal Fatimah ketika itu masih kecil
dan tidak bertemu dengannya.10
c. Hadis Mudhal
yaitu hadis dari sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berturut-
turut.hadits ini sama, bahkan lebih rendah dari hadits munqathi. Sama dari segi
keburukan kualitasnya, bila munqathiannya lebih dari satu tempat. Contohnya
sebagai berikut:
kata SyafiI; telah mengabarkan kepada kami, Said bin Salim, dari Ibnu
Juraij, bahwa:
8 &< I)
.<
H 2# *
9:;< 2

9
A. Qadir Hasan, op.cit, h. 108
10
Ibid, h. 95
6

Ibnu Juraij pada hadis tersebut tidak sesaman dengan Nabi, bahkan masanya
itu di bawah tabiin, jadi antara dia dengan Rasul Saw diantarai oleh dua perantara
yaitu tabiin dengan sahabat.11
d. Hadis Mudallas
Kata tadlis secara etimologis berasal dari akar kata ad-Dalas yang berarti
adz-Dzhulman (kedzaliman). Tadlis dalam jual-beli berarti menyembunyikan aib
barang adri pembelinya. Dari sinilah disinilah diambil dalam pengertian dalam sanad.
Karena keduanya memiliki kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan
cara diam tanpa menyebutkan.
Tadlis terdiri dari dua jenis, yaitu tadlis al- Isnad dan tadlis asy-syuyukh.
(1). Tadlis al- isnad yaitu seseorang perawi (mengatakan) meriwiyatkan
sesuatu dari sesamanya yang tidak pernah ia bertemu dengan orang itu, atau
pernah bertemu tetapi diriwiyatkannya itu tidak didengar dari orang tersebut,
dengan cara menimbulkan dugaan mendengar langsung.

Diriwayatkan oleh an-Numan oleh an-Numan bin Rasyid, dari Zuhri, dari
Urwah, dari Aisyah, bahwa:

.*
F); 3 ? 2 
NM LE K  5 J  *
9:;< 2
Imam Abu Khatim berkata bahwa: Zuhri tidak pernah mendengar hadis ini dari
Urwah, ini berarti ada seorang yang tidak disebutkan oleh zuhri. Sehingga
menjadi samar.
(2). Tadlis asy- syuyukh jenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad. Karena
perawi tidak sengaja mengugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja
pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang
menunjukkan mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, memberi

11
Ibid, h. 94
7

kun-ya atau memberikan nisbat ataupun memberikan sifat yang tidak lazim
dikenal. Contohnya:
Berkata Ibnu Adi; telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin Abi Nashr
al-Humaidi, telah mengabarkan kepada kami, Abdurrahim bin Ahmad an-
Najjari, telah megabarkan kepada kami, Abdul Ghani bin Said al-Hafish,
telah menceritakan kepada kami, Abu Hasan Ali bin Abdillah bin Fadil at-
Tamimi, telah meceritakan kepada kami, Abdullah bin Zaidan, telah
menceritakan kepada kami, Harun bin Abi Burdah, telah menceritakan kepada
ku, Saudaraku Husain, dari Yahya bin Yala, dari Abdullah bin Musa, dari
Zuhri dari Sa-ib bin Yazid , Nabi bersabda:

TQ' 
S<:' 7N R . 2 PQO F@

Dalam sanad tersebut ada seorang rawi bernama Abdullah bin Musa.
Namanya yang sebenarnya dan yang masyhur adalah Umar bin Musa ar-
Rahibi. Maksudnya agar riwayatnya dapat diterima, karena jika disebut Umar
bin Musa maka tentu orang tidak akan menerima karena dia seorang pemalsu
hadis. 12

2). Hadis-hadis daif karena sebab selain ketidakmuttashilan sanad:


a. Hadis Mudhaaf
Yaitu hadis yang tidak disepakati kedaifannya. Sebagian ahli hadis
menilainya mengandung kedaifan, baik di dalam sanad maupun matan, dan
sebagian lainnya menilainya kuat. Akan tetapi penilaian daif itu lebih kuat.
b. Hadis Mudhtharib
Yaitu hadis yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling
berbeda, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagiannya atas bagian yang
lainnya. Kemudhthariban mengakibatkan kedhaifan suatu hadis, karena
menunjukkan ketidakdhabitan.

12
Ibid, h. 99-100
8

c. Hadis Maqlub
Yaitu hadis yang mengalami pemutar balikan dari diri perawi, kadang-
kadang keterbalikan itu terjadi pada sanad, yaitu terbaliknya nama seorang
perawi. Msialnya Murrah ibn Kab dan Kab bin Murrah.
d. Hadis Syadz
Imam Syafiilah yang mula-mula memperkenalkan hadis syadz ini
menurutnya bila diantara perawi tziqat ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Selanjutnya generasi setelahnya sepakat bahwa
hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbul dalam
keadaan menyimpang dari perawi lain yang lebih kuat darinya.
e. Hadis Munkar
Hadis munkar ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi daif yang banyak
kesalahannya, banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya. Oleh karena
itu kriteria hadis munkar adalah penyendirian perawinya daif dan
mukhalafah.
f. Hadis Matruk dan Mathruh
Hadis matruk ialah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh
berdusta dalam hadis nabawiy, atau sering bersdusta dalam
pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan
maupun kata-katanya. Atau yang sering sekali salah dan lupa. Misalnya
hadis-hadis Amr ibn Syamr dari Jabir al-Jafiy. Sedangkan hadis mathruh
ialah hadis yang terlempar hadisnya karena cacatnya perawinya.13
3. Kehujjaan Hadis Daif
Terkait dengan pengamalan hadis daif, terdapat beberapa pendapat Pertama,
Muhammad Ajjaj al-Khatib mengemukakan bahwa ada tiga pendapat mengenai
pengamalan hadis daif,14 yaitu :

13
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 311-315
14
Ibid., h. 315-316.
9

a. Hadis daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al-amal
maupun dalam menetapkan hukum;
b. Hadis daif bisa diamalkan secara mutlak, karena hadis daif lebih kuat daripada
ray (pendapat) perseorangan;
c. Hadis daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-amal bila memenuhi syarat.
Ibn Hajar mengemukakan syarat-syarat tersebut, yaitu :
1). Ke-daif-annya tidak terlalu lemah. Misalnya tidak terdapat periwayat pendusta
atau tertuduh berdusta serta tidak terlalu sering melakukan kesalahan;
2). Hadis daif itu masuk dalam cakupan hadis pokok yang bisa diamalkan;
3). Ketika mengamalkannya tidak diyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi
sekedar berhati-hati.
Kedua, M.Syuhudi Ismail mengemukakan bahwa ada dua pendapat tentang
boleh tidaknya diamalkan atau dijadikan hujjah hadis daif, yaitu :
a. Imam al-Bukhari, Muslim, Ibn Hazm dan Ab- Bakr ibn al-Arabi, menyatakan
bahwa hadis daif sama sekali tidak boleh diamalkan atau dijadikan hujjah,
baik untuk masalah yang berhubungan dengan hukum maupun untuk
keutamaan amal;
b. Imam Ahmad bin Hanbal, Abd al-Rahman dan Ibn Hajar al-Asqalani,
menyatakan bahwa hadis daif dapat dijadikan hujjah atau diamalkan hanya untuk
dasar keutamaan amal dengan syarat :
1). Para periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut tidak terlalu lemah;
2). Masalah yang dikemukakan oleh hadis itu mempunyai dasar pokok yang
ditetapkan oleh Alquran dan hadis sahih;
3). Tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat.15
Dengan demikian, bahwa yang dimaksud dengan fadaiI al-amal dalam hal
ini adalah bukanlah dalam arti untuk penetapan suatu hukum, akan tetapi

15
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung : Angkasa, 1991), h. 187.
10

dimaksudkan untuk menjelaskan faedah atau kegunaan dari suatu amal.16 Artinya
tidak ada hujjah bagi apapun kecuali dengan hadis Rasulullah SAW yang sahih,
minimal hasan.

Namun demikian, al-Bukhariy, Muslim, Ibn al-'Arabiy, dan Dawud al-Tahiriy

berpendapat bahwa hadis dhaif tidak dapat diamalkan, meski untuk keutamaan

beramal, supaya tidak membahasakan suatu perkataan atau perbuatan yang berasal

dari Nabi, padahal perkataan atau perbuatan tersebut tidak berasal dari Nabi saw17.

Dalam kaitan ini, al-Syawkaniy berpendapat bahwa hadis daif boleh

diamalkan untuk keutamaan amal dengan tiga syarat, yaitu:

Pertama, kelemahan hadis tersebut tidak parah, misalnya tidak diriwayatkan

oleh seorang pendusta.

Kedua, dalil yang terkandung dalam hadis itu tidak bertentangan dengan nas

yang lebih kuat.

Ketiga, ketika mengamalkan hadis tersebut tidak meyakininya sebagai hadis

yang berasal dari Nabi saw.

Menurut ulama kedhaifahn sanad hadis, bilamana sanad tersebut tidak

bersambung, periwayatnya tidak adil dan dhabit, padanya terdapat syadz dan

16
Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 232.
17
Rahmatunnair, Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif,( Jurnal STAIN Watampone PC.
Agun FS th. 2001) h.72
11

illat.18 Sedangkan kedhaifan pada matan hadis pada umumnya disebabkan terdapat

kejanggalan dan ia catat.19

Lebih lanjut M. Syuhudi Ismail menyatakan bahwa untuk mengetahui

kedhaifan matan hadis, maka tolok ukur yang digunakan adalah berpijak pada kaidah

kesahihan matan. Atau dengan kata lain, bilamana matan tersebut tidak mencakup

dalam kategori shahih, praktis ia berkualitas dhaif. Tolak ukur yang dimaksud adalah

a. Susunan bahasanya rancu. Rasulullah yang sangat fasih dalam berbahasa

Arab dan memiliki gaya bahasa yang khas, mustahil menyabadakan

pernyataan yang rancu tersebut.

b. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat

sulit diiterpretasikan secara rasional.

c. Kandungan pernyatannya bertentangan dengan tujuan pokok ajaran islam;

misalnya saja berisi ajakan untuk berbuat maksiat.

d. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan sunnatullah (hukum alam)

e. Kandungan pernyatannya bertentagan dengan fakta sejarah

f. Kandungan pernyataannya bertentangan dengan petunjuk Alquran ataupun

hadis mutawtir yang telah mengandung petunjuk secara pasti.

g. Kandungan pernyataannya berada di luar kewajaran diukur dari petunjuk

umum ajaran Islam.20

18
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Cet. I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h. 65

19
Ibid.
12

Tolok ukur di atas, dijadikan sebagai pedoman dalam menilai kriteria hadis,

dan para ulama hadis tak terkecuali al-Bany juga berpegang pada tolak ukur tersebut.

Berdasarkan hasil analisis penulis, bahwa hadis-hadis dhaif dan hadis-hadis

mawdhu yang terdapat dalam buku al-Bany berjumlah kurang lebih 1.000 (seribu)

buah hadis, dengan klasifikasi, masing-masing jilid, yakni jilid I dan jilid II terdiri

atas kurang lebih 500 (lima ratus) buah hadis.

Penulis tidak merinci lebih lanjut mengenai berapa jumlah hadis-hadis

dhaid dan berapa jumlah hadis-hadis palsu, namun dengan adanya klasifikasi

seperti yang disebutkan di atas, mem-berikan dugaan kuat bahwa hadis dhaif

berjumlah kurang lebih 500 buah, dan hadis mawdhu juga berjumlah kurang 500

buah.

Jumlah hadis-hadis dhaif dan mawdhu, sebanyak yang disebutkan di atas

memang sangat memungkinkan karena menurut al-Suyuti sesuai penelitiannya

bahwa hadis-hadis dhaif dan mawdhuf yang beredar di tengah-tengah masyarakat

kurang lebih 4.000 (empatribu) hadis.21

Selanjutnya, jika jumlah hadis-hadis dhaif dan mawdhui yang

dikemukakan al-Suyuti di atas, dijadikan sebagai jumlah standar, maka jelas

bahwa al-Bany hanya memaktubkan sebagiannya saja. Dalam hal ini, masih ada

20
Ibn Ahmad Al-Adlabi, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Had al-Nabaw,
diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq dengan judul Metodologi Kritik Matan
Hadis. (Cet. I; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), 210

21
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Masnah fi al-Ahadis al-Mawdhuah (Mesir: Maktabah al-
Islamiyah, 1352 H). h. 278-284
13

tersisah sekitar 3.000 (tigaribu) hadis dhaif dan atau hadis palsu yang belum

dilacak oleh al-Bany.

Selanjutnya, al-Bany dalam mengutip hadis-hadis dalam bukunya tersebut,

disertai keterangan mengenai status kedhaifan dan atau kemawdhuan hadis-hadis

yang bersangkutan. Misalnya, hadis ini adalah batil (F$+



6?) atau dalam
redaksi lain, hadis ini munkar ( -U

6?) dan semacamnya. Setelah itu, al-
Bany menyebutkan periwayatnya dan sebab-sebab kedhaifan dan atau

kemawdhuan hadis tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut ini di-kemukakan

sampel, yakni ;
8 F%'  8  N  F%
:?  

Artinya :

Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya

Menurut al-Bany, hadis tersebut adalah batil. Diriwayatkan oleh Imam al-

Nasi dari Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian ia lebih lebih lanjut berkata hadis ini

adalah batil munkar. Kelemahan hadis tersebut terlatak pada seorang sanadnya yang

bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal).22

C. Masalah Hadis Maudhu

1. Pengertian Hadis Maudhu

22
Lihat al-Bany, op. cit., h. 35
14

Hadis maudhu secara etimologis merupakan bentuk isim maful dari ,
J yang bermakna yang disusun, dusta yang diada-adakan, dan yang diletakkan.23
Sedangkan dari segi terminologi ulama hadis:
.[ %  8Q  8Q%  Z +6# &Y4M *
9:; 
X
WV  :?
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara mengada-ada dan
dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan beliau
taqrirkan.24

2. Sebab-Sebab pemalsuan Hadis


Ketika melakukan penelusuran dan pengkajian sebab-sebab terjadinya
pemalsuan terhadap hadis nabi, maka ditemukan sebab-sebab sebagai berikut:
a). Golongan-golongan politik
Sesaat setelah fitnah pada masa Ali ra. Maka terjadilah pertarungan
kepentingan kelompok politik dalam Islam, khsusnya antara Syiah dan Kelompok
Muawiyah, kemudian bermunculan kelompok-kelompok lain setelahnya. Kemudian
untuk mempertahankan kepentingan kelompok tertentu maka bermunculanlah hadis-
hadis palsu sebagai jalan untuk meligitimasi kepentingan kelompok-kelompok
tertentu; misalnya tentang pengukuhan wasiat Rasul Saw kepada Ali ra. Untuk
memegang khalifah setelah beliau wafat, sehingga mereka membuat hadis palsu
diantaranya:

TQ' 7 + QM  ]M TQ? \ 7 ; E:  T


Orang-orang yang saya wasiati, tumpuan hatiku, penggantiku dalam
keluargaku dan orang yang terbaik yang memegang khalifah sesudahku
adalah Ali.
Misalnya juga tentang hadis palsu oleh sebagian pengikut Muawiyah adalah:

_  F a` V, _^Y^ *


U' DUC

23
A. Qadir Hasan,op.Cit. h. 120
24
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h. 352
15

Orang-orang yang terpercaya di sisi Allah ada tiga: Aku, Jibril dan
Muawiyah

b). Perbedaan ras dan fanagtisme suku, negara dan iman.


Sebagian penguasa Banu Umayyah dalam menjalankan roda pemerintahan
dan memudahkannya bertumpu pada bangsa Arab pada khususnya. Sebagian mereka
sangat fanatik kesukuan. Memandang rendah suku-suku non Arab. Misalnya:

_ c<+ b 
9:/  6
1 Y# 2

Sesungguhnya percakapan mereka yang ada di sekitar Arsy adalah dengan


bahasa Parsi

Lalu penantangnya juga membuat hadis:

_+ 
_Uf
F? 1Y#, c<
*
X
1Y-
de+
Percakapan yang paling dibenci oleh Allah adalah dengan bahasa Persi.
Dan percakapan para penghuni surga adalah dengan bahasa Arab

c). Para tukang cerita


sebagian tukang cerita ketika melakukan pemalsuan terhadap hadis nabi tidak
lain bertujuan untuk menarik dan mengumpulkan banyak orang. Dan sebagian
mereka bertujuan untuk mendapatkan hadiah dari pendengarnya. Diantara hadis palsu
tersebut:

2`   8g < W?H  [<%U


]$ Q# F#  *
BQM *

8
 9E 
Barang siapa mengucapkan La Ilaha Illallah, maka Allah akan menciptkan
satu burung dari setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari
marjan
d). Senang kebaikan tanpa pengetahuan agama yang cukup
Sebagian orang saleh dan zahid yang melihat kesibukan masyarakat atas dunia
dan meninggalkan akhirat. Lalu mereka membuat hadis-hadis palsu berkenaan
dengan tahrib dan targhib, dengan harapan mendapatkan pahala dari Allah Swt.
Diantara hadis palsu yang dibuat oleh mereka tentang keutamaan surat demi surat
dalam Alquran, sebagian masalah perdukunan dan lain-lain. Ditanya kepada salah
seorang diantara mereka: dari mana engkau mendapatkan hadis-hadis ini, siapa
16

yang membaca begini, ia menjawab aku memalsukannya agar manusia


menyukainya
e). Perbedaan madzhab dan teologi
Disamping pemalsuan yang dilakukan oleh oleh para pengikut aliran politik
tertentu demi memperkuat pendapat golongan mereka, ada juga pemalsuan yang
dilakukan oleh para pengikut madzhab fikih dan teologi. Misalnya:

8 KY Y& A:#


\ [ & 
Barang siapa yang mengangkat tangannya ketika ruku maka tiadalah
shalat baginya

Dan tentang teologi:

2::% n  1
:E DTm; 2 %
]l k:Qj :i& iU+  h<
 

\  F#
84' ;  8o   I%Q$  *
+ # %& PiU 8E & k:Qj 2 %

Semua yang ada di langit dan yang ada di atara keduanya adalah mahluk,
kecuali Alquran. Dan akan ada orang-orang dari umatku yang mengatakan,
Alquran adalah mahluk. Siapa yang diantara mereka yang mengatakan hal
itu, maka ialah kafir kepada Allah yang maha Agung, dan isterinya tercerai
saat itu juga.25
Walaupun masih ada sebab-sebab yang lain terjadinya pemalsuan hadis,
namun menurut penulis inilah hal yang sangat mendasar terjadinya pemalsuan
terhadap hadis Nabi.
3. Tanda-tanda hadis maudhu
Sesungguhnya untuk mengetahui dan mengidentifikasi hadis palsu maka perlu
dilakukan penelitian hadis secara seksama dan mendalam baik terhadap sanad maupu
matan hadis. Namun Ada beberapa hal yang bisa menjadi indikasi sederhana
terhadap hadis palsu ialah sebagai berikut:
a). Hadis tersebut mengandung susunan yang kacau (tidak karuan), yang mana tidak
mungkin disabdakan oleh Nabi.
b). Hadis tersebut memiliki kandungan yang berhak mendapatkan celaan.

25
Ibid, h. 352- 368
17

c). Isinya bertentang dengan ketetapan agama yang kuat dan jelas.
d). Ada beberapa pengakuan yang sah yang menunjukkan kepalsuannya.
e). Bertentang dengan Alquran
f). Isinya bertentangan dengan akal,
g). Pengakuan yang dilakukan oleh si pemalsu hadis bahwa dialah yang mengada-
adakan hadis tersebut, dll.26
4. Tokoh-tokoh pemalsu hadis
Diantara nama-nama pelaku pemalsuan hadis nabi ialah berikut ini:
a). Ahmad bin Abdillah al-Juwaibari
b). Abbas bin Dlahhak
c). Abu Dawud an-Nakhi, namanya Sulaiman bin Amr
d). Ali bin Urwah ad-Damsyiqi
e). Al-Mughirah bin Syubah al-Kufi
f). Al-Waiqidi, namanya Muhamad bin Umar bin Waqid
g). Giats bin Ibrahim an-Nakhi
h). Hammad bin Amr an-Nashibi
i). Ibnu Jah-dlam
j). Ishaq bin Najih
k). Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya
l). Maisarah bin Abdi Rabbiah al-Farisi,
m). Muhammad bin Saib al-kalbi,
n). Muhammad bin Said as-Syami al-Mashlub
o). Mamun bin Ahmad al-Harawi
p). Muhammad bin Ukasyah al-Karmani
q). Muhammad bin Qasim ath-Thaikani
r). Muhammad bin Tamim al-Fariyabi
s). Umar bin Rasyid al-Madani
t). Umar bin Shabih al-Khurasani,
u). Wahb bin Wahb al-Qadli Abul Bukhtari,
v). Zaid bin Rifa al-Hasyimi.

Kebanyakan hadis maudhu terdapat dalam kitab-kitab tafsir, tarikh, dan


sebagainya, seperti: Tafsir Baidlawi, Tafsir Kalbi, Muqatil, Kitab Muhammad bin Is-
Haq tentang peperangan dan beberapa kitab al-Waqidi.27

26
A. Qadir Hasan , op. cit, 121. Lihat juga Ajjaj al-Khatib , op.cit, h. 369
18

Upaya ulama di dalam menjaga hadis dari pemalsuan tampak dalam beberapa
karya, diantaranya: Tadzikraj al-Maudhuat oleh Abu al-Fadhl Muhammad Ibnu
Thahir al-Maqdisiy, Al-Maudhuat al-Kubru oleh al-Faras Abdurrahman Ibn al-
Jauziy, al-Fawaid al-Majmuah fi al-Ahadits al-Maudhuat oleh al-Qadhy Abdillah
Muhammad Abn Ali Asy-Syaukaniy, al-Laaliy al-Mashnuah fi al-Ahadits al-
Maudhuat oleh al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthy.28

27
Ibid, h. 135
28
Ajjaj al-Khatib, op.cit, h, 371
19

KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadis daif adalah hadis yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ia
lemah. Lemah karena ia tidak memiliki syarat-syarat hadis Sahih dan Hasan.
Sebab-sebab kedaifan ketika diteliti kembali kepada dua hal pokok yaitu: (1).
Ketidakmuttashilan sanad, dan (2) Selain ketidakmuttashilan sanad
2. Untuk hal yang berkenaan dengan akidah, sebagian ulama berpendapat bahwa
hadis ahd tidak dapat dijadikan hujjah, dan sebagian yang lain berpendapat
bahwa hadis ahd yang sahih dapat dijadikan hujjah. Sedangkan untuk hal
yang tidak berkaitan dengan akidah, hadis sahih disepakati oleh ulama sebagai
hujjah dan wajib diamalkan. Untuk hadis hasan, ulama berbeda pendapat;
sebagian pendapat menerima dan sebagian lagi menolak. Tetapi pada
umumnya ulama masih menerimanya sebagai hujjah. Hadis hasan dengan
kedua pembagiannya dapat dijadikan hujjah sebagaimana hadis sahih dan
dapat diamalkan, meskipun kekuatannya lebih rendah di bawah hadis sahih.
3. Hadis maudhu ialah sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul saw, secara
mengada-ada dan dusta, yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan, dan
beliau taqrirkan.
20

DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahw, Muhammad. al-Had wa al-Muhaddizn Mesir: Mathbaat al-


Misriyah, t.th.

Al-Adlabi, Ibn Ahmad, Mabhaj Naqd al-Matn Inda Ulama al-Had al-
Nabaw, diterjemahkan oleh H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq
dengan judul Metodologi Kritik Matan Hadis. Cet. I; Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2004

Hasan, A. Qadir. Ilmu Mushthalaha al-Hadits. cet. III; Bandung: CV.


Diponegoro, 1987

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. II; Bandung: Angkasa, 1991.

__________Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya. Cet


I.; Jakarta: Gema Insani Press, 1995.

Itr, Nr al-Dn. Manhaj al-Naqd f Ulm al-Hads. Diterjemahkan oleh


Mujiyo dengan judul Ulm al-Hadis 2. Cet. II; Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1997.

Al-Khathb, Ajjj. Ushl al-Hads; Ulmuh wa Mushthalahuh.


diterjemahkan oleh Qadirun-Nur dengan judul Ushul al-Had, cet.I;
Jakarta : Gaya Media, 1998.

Rahman, Fathur. Ikhstisar Mushthalahul Hadits. cet.VIII; Bandung :


PT.Almaarif, 1995

Rahmatunnair, Tinjauan dalam Pemakaian Hadits Daif, Jurnal STAIN


Watampone PC. Agun FS th. 2001

Al-Shlih, Subhi. Ulm al-Hads wa Mushthalahuhu. Diterjemahkan oleh


Tim Pustaka Firdaus dengan judul Membahas Ilmu-Ilmu Hadis. Cet.
II; Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.

Al-Suythy, Jall al-Dn Abd al-Rahmn bin Ab Bakr. Tadrb al-Rwy f


Syarh Taqrb al-Nawawy. Cet. II; al-Madnah al-Munawwarah: al-
Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.
21

---------------, al-Masnah fi al-Ahadis al-Mawdhuah, Mesir: Maktabah


al-Islamiyah, 1352 H

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, cet.VII;


Jakarta : Bulan Bintang, 1987

Ibrhm Khithb Thhn, Ratbah. Al-Wajz f Ilm Mushthalah al-Hads Cet.


I; Kairo: al-Salm, 1993

Zuhri, Muh. Hadis Nabi, Telaah Historis dan Metodologis, cet.I; Jakarta :
PT.Tiara Wacana Yogya, 1997

Anda mungkin juga menyukai