Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Polip Nasi

DISUSUN OLEH :

Faisal Zakiri
1102012080

PERSEPTOR
dr. H. W. Gunawan Kurnaedi, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN
RSU Dr. SLAMET GARUT

PERIODE OKTOBER NOVEMBER 2016

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul Polip
Nasi ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam
mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF THT di RSUD dr. Slamet
Garut. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya referat ini tidak lepas dari
bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Dr. Gunawan Kurnaedi, Sp.THT-KL selaku dokter pembimbing penulisan
referat.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF THT RSUD dr. Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD dr. Slamet Garut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang
baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan
berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para
pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan
dalam menjalani aplikasi ilmu.

Garut, November 2016

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Sumbatan hidung adalah salah satu masalah yang paling sering dikeluhkan
pasien ke dokter pada pelayanan primer. Ini adalah gejala bukan diagnosis,
banyak faktor dan kondisi anatomi yang dapat menyebabkan sumbatan hidung.
Penyebab dari sumbatan hidung dapat berasal dari struktur maupun sistemik. Yang
disebabkan struktur termasuk perubahan jaringan, trauma, dan gangguan
congenital. Yang disebabkan sistemik terkait dengan perubahan fisiologis dan
patologis. Polip merupakan salah satu dari penyebab rasa hidung tersumbat.1
Polip hidung sampai saat ini masih merupakan masalah medis, selain itu
juga memberikan masalah sosial karena dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya seperti di sekolah, di tempat kerja, aktifitas harian dsb. Gejala utama
yang paling sering dirasakan adalah sumbatan di hidung yang menetap dan
semakin lama semakin berat keluhannya, hal ini dapat mengakibatkan hiposmia
sampai anosmia. Bila menyumbat ostium sinus paranasalis mengakibatkan
terjadinya sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan hidung berair.1,2
Polip nasi merupakan massa edematous yang lunak berwarna putih atau
keabu-abuan yang terdapat di dalam rongga hidung dan berasal dari
pembengkakan mukosa hidung atau sinus. Etiologi dan patogenesis dari polip nasi
belum diketahui secara pasti. Sampai saat ini, polip nasi masih banyak
menimbulkan perbedaan pendapat. Dengan patogenesis dan etiologi yang masih
belum ada kesesuaian, maka sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan
tanda polip nasi untuk mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.1,2,3

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung1,2,4,5

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali


tentang anatomi hidung.

Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagianbagiannya dari atas ke
bawah :
Pangkal hidung (bridge)
Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M.
Nasalis pars allaris. Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar
dan menyempit. Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks
(akar), antara radiks sampai apeks (puncak) disebut dorsum nasi.

Gambar 1. Bagian-bagian pembentuk hidung luar

4
Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang dibatasi oleh:
Superior : os frontal, os nasal, os maksila
Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor
dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.
Bagian ini diperdarahi oleh:
a. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A>
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
b. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris
interna, cabang dari A. Karotis interna)
c. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan
yang membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini
berhubungan dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas batas kavum nasi :
Posterior : berhubungan dengan nasofaring
Atap: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale
dan sebagian os vomer
Lantai: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horizontal,
bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap.
Bagian ini dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan
(dekstra dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi

5
oleh kulit, jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari
septum yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os
etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Gambar 2. Septum nasi

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah.
Ruangan di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid
yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang-kadang konka nasalis suprema
dan meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah
A.sfenopalatina yang merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale
anterior yang merupakan cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus
yang terletak submukosa yang berjalan bersama-sama arteri.
Persarafan anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N.
Trigeminus yaitu N. Etmoidalis anterior. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh
serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk melalui foramen sfenopalatina
kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N. Sfenopalatinus.

6
Gambar 3. Konka nasalis

Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat
pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang
terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut
lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Silia yang terdapat pada
permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang
teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan
obat-obatan.

7
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan
tidak bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya
dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor
penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.

Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
etinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama
seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan
udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan
cara:
Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari
lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi
sebaliknya.
Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh :
Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi

8
Silia
Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada
palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh
gerakan silia.
Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2.2 Polip Nasi


a. Definisi1,2
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung.
Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu-abuan, mengkilat,
lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang

9
sudah lama dapat berubah menjadi kekuning-kuningan atau kemerah-
merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa).

Gambar 4. Polip Nasi

Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel


an dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan
tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal.

b. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%
(Drake Lee 1997, Ferguson et al.2006). Polip nasi dapat mengenai semua
ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasi biasanya terjadi
pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai empat kali
lebih sering terjadi pada pria (Kirtsreesakul 2005, Ferguson et al 2006,
Erbek et al 2007).3
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,3% di Finlandia. Dengan perbandingan pria dan wanita 2- 4:1 (Fransina
2008). Di Amerika Serikat diperkirakan 0,3% penduduk dewasanya
menderita polip nasi, sedangkan di Inggris lebih tinggi lagi, yaitu sekitar
0,2-3%.3 Frekuensi kejadian polip nasi meningkat sesuai dengan umur,
dimana mencapai puncaknya pada umur sekitar 50 tahun. Kejadian polip
nasi lebih banyak dialami pria dibanding wanita dengan perbandingan
2,2:1. Polip nasi jarang ditemukan pada anak-anak. Anak dengan polip

10
nasi harus dilakukan pemeriksaan terhadap kemungkinan adanya cystic
fibrosis karena cystic fibrosis merupakan faktor resiko bagi anak-anak
untuk menderita polip (Fransina 2008).2,3
Prevalensi alergi pada pasien polip nasi dilaporkan bervariasi antara
10- 64%. Kern et al menemukan polip nasi pada pasien dengan alergi
sebesar 25,6% dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9% (Fokkens et
al,2007). Settipane dan Chaffe melaporkan 55% dari 211 pasien polip nasi
memiliki tes kulit positif. Keith et al melaporkan 52% dari 87 pasien
memiliki tes kulit positif (Grigoreas et al,2002). Bertolak belakang dengan
penelitian di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih sering terdapat
pada pasien polip nasi, dilaporkan beberapa penelitian yang menunjukkan
hasil yang berbeda (Fokkens et al,2007). Seperti penelitian Grigoreas et al
di Yunani tahun 1990-1998 menemukan polip nasi lebih banyak ditemukan
pada pasien non alrergi dibandingkan dengan pasien alergi (10,8% vs
2,1%). Pada penelitian ini 37,5% dari 160 pasien polip nasi memiliki tes
kulit positif. Pada penelitian Drake Lee et al dijumpai 44% dari 200 pasien
polip nasi memiliki tes kulit positif. Pada penelitian Small et al dijumpai
47% dari19 pasien polip nasi memiliki hasil tes kulit positif (Grigoreas et
al.2002).4,5
Polip nasi banyak dijumpai pada ruang transisi antara hidung dan
sinus. Kami menemui 75% polip nasi berdekatan pada resesus etmoidalis.
Banyak polip nasi yang unilatral (63%), dan polip nasi bilateral dijumpai
37% pada kadaver (Tos & Larsen 2001)4,5

c. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif
atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan
polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada keragu-raguan
bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan
bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan
permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun

11
ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan
interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai
ujung saraf atau pembuluh darah.1,2,6
Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak-
anak. Pada anak-anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik
fibrosis. Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara
lain:6,7
1. Alergi terutama rinitis alergi.
2. Sinusitis kronik.
3. Iritasi.
4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan
hipertrofi konka.

d. Patogenesis

Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip


telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf
autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan
dengan polip nasi, yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip
nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan polip nasi non eosinofilik,
biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997; Ferguson & Orlandi,2006;
Mangunkusumo & Wardani 2007).7,8
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari
adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi
yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps
(King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir
melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif
sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area
yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media. Walaupun

12
demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasi dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar & Mangunkusumo
2001).7,8

e. Patofisiologi

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,


disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bernstein,
terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan
kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh
permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.1,8
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular
yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan
menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1,2,8
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan
membentuk tangkai.1,2

f. Manifestasi Klinis

Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang


menetap dengan derajat yang bervariasi tergantung dengan lokasi dan
ukuran polip. Umumnya, penderita juuga mengeluh rinore cair dan post
nasal drip. Anosmia atau hiposmia dengan gangguan pengecapan juga
merupakan gejala polip nasi. Rinoskopi anterior dan posterior dapat
menunjukkan massa polipoid yang berwarna keabuan pucat yang dapt
berjumlah satu atau multipel dan paling sering muncul dari meatus media
dan prolaps ke kavum nasi. Massa tersebut terdiri dari jaringan ikat
longgar, sel inflamasi, dan beberapa kapiler serta kelenjar dan ditutupi oleh

13
epitel torak berlapis semu bersilia (ciliated pseudostratified collumner
epithelium) dan diantaranya terdapat sel-sel goblet. Penelitian
menunjukkan bahwa eosinofil merupakan sel-sel inflamasi yang paling
sering ditemukan pada polip nasi. IL-5 yang menyebabkan eosinofil
bertahan lama sehingga berdasarkan histokimia polip nasi dapat dibedakan
dengan rinosinusitis.6,7,8
Polip nasi hampir selalu ditemukan bilateral dan jika ditemukan
unilateral diperlukan pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan
kemungkinan keganasan. Polip nasi tidak sensitif terhadap sentuhan dan
jarang berdarah.6,7,8

Gambar 5. Polip nasi

g. Gambaran Histopatologi
Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak
sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang
pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan
sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses
peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan

14
polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-
kuningan karena banyak mengandung jaringan epitel.1,2
Tepmpat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal
di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.
Ada polip yang tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah
nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari
dalam sinus maksila dan disebut juga polip anterokoana. Ada juga
sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.1,2

Mikroskopis
Secara mikroskipos tampak epitel pada mukosa polip serupa
dengan mukosa hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia
dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel
plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung sel-
sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip
yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering
terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.1,2
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan
menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik.1,2

h. Penegakkan Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi dalah hidung rasa tersumbat
dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen,
hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada
hidung disertai rasa sakit kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi
sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala
sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut, suara sengau,
halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.1,8,9

15
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip dengan asma.
Selain itu, harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi
terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.1,8,9

Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang massif dapat menyebabkan deformitas hidung
sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat
yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. 1,8,9

Naso-endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu
diagnosis kasus polip nasi yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-
kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak
dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering
dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus
maksila. 1,8,9

Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Cadwell dan lateral)
dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di
dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan
tomografi computer (TK, CT Scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses
radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks
osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis
dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. 1,8,9

i. Klasifikasi1,10
Pembagian polip nasi menurut Mackay dan Lund (1997), yaitu:

16
Stadium 0: Tidak ada polip, atau polip masih beradadalam
sinus
Stadium 1 : Polip masih terbatas di meatus media
Stadium 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di
rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung
Stadium 3: Polip yang masif

j. Diferensial Diagnosis9,10
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri-cirinya
sebagai berikut :
Tidak bertangkai
Sukar digerakkan
Nyeri bila ditekan dengan pinset
Mudah berdarah
Dapat mengecil pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cukup mudah untuk membedakan polip
dan konka polipoid, terutama dengan pemberian vasokonstriktor yang juga
harus hati-hati pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena bisa menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan
darah yang berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit
jantung lainnya.8
Diagnosa banding lainnya adalah angiofibroma nasofaring
juvenile. Etiologi dari tumor ini belum diketahui. Menurut teori, jaringan nasal
tumor ini mempunyai tempat perleketan spesifik di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Dari anamnesis diperoleh keluhan adanya sumbatan pada
hidung dan epistaksis berulang yang massif. Terjadi obstruksi hidnung
sehingga timbul rhinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Oklusi
pada tuba eustachius menimbulkan ketulian atau otalgia. Jika ada keluhan
sefalgia menandakan adanya perluasan tumor ke intracranial.9

17
Pada pemeriksaan fisik dengan rinoskopi posterior terlihat adanya tumor
yang konsistensinya kenyal, warna bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda, diliputi oleh selaput lender keunguan. Mukosa mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan
penunjang radiologic konvensional akan terlihat gambaran klasik sebagai
tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang.9,10
Pada pemeriksaan CT Scan dengan zat kontras akan tampak perluasan
tumor dan destruksi tulang sekitarnya. Angiofibroma nasofaring juvenile
banyak terjadi pada anak-anak atau remaja laki-laki. 9,10
Diagnosis banding lainnya adalah keganasan pada hidung. Etiologi belum
diketahui, diduga adanya zat-zat kimia seperti nikel, debu, kayu, formaldehid,
kromium, dan lain-lain10

k. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip
tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan
kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.1,2,10
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid:4,10
1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10
hari, kemudian dosis diturunkan perlahan-lahan (tappering off).
2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon
0,5 cc, tiap 5-7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan
obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai
lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini
sangat kecil, sehingga lebih aman.
Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau
polip yang sangat masih dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat

18
dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau
cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi
ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila.
Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan
tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional) atau FESS.1,4,6,10

l. Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya
juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang
paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen
penyebab dan eliminasi.8,10
Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa
dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung
kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan
cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.8,10

m. Kompetensi Dokter Umum11

Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2013, penyakit


polip nasi termasuk dalam level 2, yaitu mendiagnosis dan merujuk.
Lulusan dokter diharapkan mampu membuat diagnose klinik terhadap
penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga diharapkan mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

19
BAB III
SIMPULAN

1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit THT yang memberikan keluhan
sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dirasakan.
2. Etiologi polip di literatur terbanyak merupakan akibat reaksi hipersensitivitas
yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan bersamaan dengan
adanya rinitis alergi.
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, anosmia, adanya
riwayat rinitis alergi, keluhan sakit kepala daerah frontal atau sekitar mata,
adanya sekret hidung.
4. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak, bertangkai,
mudah digerakkan, tidak ada nteri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal.
5. Penatalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun operatif,
yang biasanya dipilih dengan melihat ukuran polip itu sendiri dan keluhan dari
pasien sendiri.
6. Pada pasien dengan riwayat rinitis alergi, polip nasi mempunyai kemungkinan
yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan pasien harus
menjalani polipektomi beberapa kali dalam hidupnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty. Iskandar, Nurbaiti. Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok edisi IV cetakan I. Balai Penerbit FK-UI,
Jakarta. 2000
2. Soepardi, Efiaty. Hadjat, Fachri. Iskandar, Nurbaiti. Penatalaksanaan
dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok edisi II. Balai Penerbit FK-
UI, Jakarta. 2000
3. Van Der Baan. Epidemiology and natural history dalam Nasal
Polyposis. Copenhagen: Munksgaard, 1997. 13-15
4. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid I hal. 113 114. Penerbit
Media Aesculapius FK-UI. 2000
5. Adams, George. Boies, Lawrence. Higler, Peter. Buku Ajar Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok. W.B. Saunders, Philadelphia. 1989
6. Ballenger, John Jacob. Diseaes of The Nose Throat Ear Head and
Neck. Lea & Febiger 14th edition. Philadelphia. 1991
7. Newton, JR. Ah-See, KW. A Review of nasal polyposis. Therapeutics
and Clinical Risk Management 2008:4(2) 507512
8. Polip Nasal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31926/4/Chapter
%20II.pdf diakses pada 29 Maret 2014
9. Drake Lee AB. Nasal Polyps. In: Scott Browns Otolaryngology,
Rhinology. 5th Ed Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR ests)
Butterworths. London, 1987: 142-53
10. Darusman, Kianti Raisa. Referat: Polip Nasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Trisaksi. 2002
11. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2013. Konsil Kedokteran
Indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai