Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN FARMAKOLOGI

KELOMPOK B

PERCOBAAN SULFAS ATROPIN PADA KELINCI

MODUL BIOMEDIS

CHALCHI RUHITA MLATTI (I1011151055)


CATHERINE SUGANDI (I1011151045)
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD FAISAL HARIS (I1011151024)
FARAH DHAIFINA FITRI (I1011151056)
ADE CAHYO ISLAMI (I1011151060)
PRIHAN FAKRI (I1011151018)
KARTIKA NURUL FATMI (I1011151013)
MOCH. TAUFIQ WIDIATMOKO (I1011151009)
LALA UTAMI (I1011151032)
RIZAL MUKHLISIN (I1011151062)
M. RIVALDO (I1011151037)
IMAM AGUS FAISAL (I1011151047)
NINA NAFILA RITONGA (I1011151038)
UMMUL HAYATI (I1011151006)
MARGARETA SILVIA (I1011151076)
MARIZCA OKTA SYAFANI (I1011151048)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2015

1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Atropin (campuran d- dan /- hiosiamin) merupakan alkaloid aktif
yang memiliki nama senyawa Atropin ditemukan pada Atropa
belladonna dan Datura stramonium. (Ganiswara dkk., 1995)[1]
Atropin mempunyai nama dan struktur kimia yaitu Atropine
sulfate; a-(Hydroxymethyl) benzeneacetic acid 8-mehtyl-8
azabicyclo(3.2.1)oct-3-yl ester tropine topate, d,l- hyosciamine.
(C17H23NO3)2.H2SO4.H2O. Selain itu senyawa yang berbentuk kristal
putih, rasa sangat pahit, titik lebur 115 dan terdiri dari amine
antimuscarinic tersier.(Mursyidi,1989)[2]
Sulfas atropin termasuk golongan antikolinergik atau
parasimpatolitik yang bekerja pada reseptor muskarinik dengan
menghambat transmisi asetilkolin yang dipersarafi serabut
pascaganglion kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot
rangka,penghambatan akan terjadi dalam dosis yang sangat besar.
Kelompok obat ini memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi
dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat pada dosis
kecil (sekitar 0.25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air
liur, mukus bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan
akomodasi dan penghambatan N. Vagus terhadap jantung baru terlihat
pada dosis yang lebih besar (0.5 - 1.0 mg). (Ganiswara dkk., 1995) [1].
Namun hambatan yang bersifat reversible tersebut dapat diatasi
melalui penggunaan asetilkolin atau antiasetikolinesterase. Oleh
karena itu, atropin sulfat juga dikatakan obat yang berperan sebagai
antagonis kolinergik yang pada hal ini juga berfokus dapat menyekat
semua aktivitas kolinergik mata dan menyebabkan efek lain terhadap
kondisi tubuh.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana efek tubuh terhadap sulfas atropin yang diberikan
melalui injeksi intravena pada percobaan terhadap hewan kelinci ?
2. Bagaimana mekanisme kerja sulfas atropin di dalam tubuh hewan
percobaan kelinci ?
3. Apa efek yang dapat diamati pada kelinci percobaan setelah
pemberian sulfas atropin ?

1.3 TUJUAN PERCOBAAN


1. Mengamati pengaruh obat sulfas atropin yang diberikan secara
intravena pada hewan uji.
2. Mengenal dan mengamati efek midriatik dan miosis pada pupil
mata.
3. Melihat efek antidotum pada keracunan atau over dosis (DO)
Sulfas Atropin

1.4 MANFAAT PERCOBAAN


1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami kerja obat kolinergik
dan antikolinergik pada hewan uji yaitu kelinci.
2. Mahasiswa dapat mengenal efek midriatik dan miosis pada pupil
mata.
3. Dapat melatih mahasiswa untuk menghitung dosis obat yang tepat
yang akan diberikan pada hewan uji.
4. Dapat memberi suntikan obat yang tepat sesuai dengan petunjuk.

2. ALAT DAN BAHAN


2.1 ALAT
Baskom besar
Spuit
Handscoon
Sarung tangan tebal
Neraca OHauss
2.2 BAHAN
Kelinci 1 ekor
Sulfas Atropin 2 mL
Alcohol pad
3. CARA KERJA
1. Timbang kelinci yang akan dijadikan hewan uji
2. Hitung dosis Sulfas Atropin yang sesuai untuk diberikan kepada
kelinci.
3. Masukkan sulfas atropine yang telah dihitung dosisnya ke dalam spuit.
4. Bersihkan area dorsal telinga kelinci dengan alcohol pad.
5. Injeksikan secara intravena pada area dorsal telinga kelinci yang telah
dibersihkan.
6. Pegang kelinci agar kelinci tetap tenang sambil menginjeksikan sulfas
atropine.
7. Bersihkan bekas injeksi dengan menggunakan alcohol pad sambil
menekan luka injeksi untuk menghentikan pendarahan.
8. Catat hasil yang diperlihatkan oleh kelinci

4. HASIL

Setelah pemberian Sulfas Atropin


ebelu
m

embe
rian

ulfas
Atro
pin

ikap ktif
Keli dan
nci
erdiri
tegak
efle enah
ks an
obat kaki
iam
eter
pupi
,7 cm
l

cm)

reku
ensi
nap 84x /
as/ menit
men
it

eny
ut 36
nadi

5. PEMBAHASAN
A. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Atropine memblok aksi kolinomimetik pada
reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu,
hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin
atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini
menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan.
Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti
pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di akibatkan oleh
asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya. (Tjay dan Kirana, 2002)[3]

Atropin dapat menimbulkan beberapa efek, misalnya pada susunan


syaraf pusat, merangsang medulla oblongata dan pusat lain di otak,
menghilangkan tremor, perangsang respirasi akibat dilatasi bronkus, pada
dosis yang besar menyebabkan depresi nafas, eksitasi, halusinasi dan
lebih lanjut dapat menimbulkan depresi dan paralisa medulla oblongata.
Efek atropin pada mata menyebabkan midriasis dan siklopegia. Pada
saluran nafas, atropin dapat mengurangi sekresi hidung, mulut dan
bronkus. Efek atropin pada sistem kardiovaskuler (jantung) bersifat
bifasik yaitu atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun
tekanan darah secara langsung dan menghambat vasodilatasi oleh
asetilkolin. Pada saluran pencernaan, atropin sebagai antispasmodik yaitu
menghambat peristaltik usus dan lambung, sedangkan pada otot polos
atropin mendilatasi pada saluran perkencingan sehingga menyebabkan
retensi urin (Hidayat, 2005)[4]

B. Analisis Hasil
C. Farmakodinamik
Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun
eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. [1]

a. Susunan Saraf Pusat


Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak.
Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang Indonesia mungkin 0,3 mg)
atropin merangsang N.Vagus dan frekuensi jantung berkurang. Efek
penghambatan sentral pada dosis ini belum terlihat. Depresi yang
timbul khusus dibeberapa pusat motorik dalam otak, dapat
menghilangkan tremor yang terlihat pada parkinsonisme.
Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi
dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertentu, atropin tidak berguna
merangsang respirasi. Bahkan pada dosis yang besar sekali, atropin
menyebabkan depresi nafas, eksitasi, disorientasi, delirium,
halusinasi dan perangsangan lebih jelas dipusat-pusat lebih tinggi.
Lebih lanjut terjadi depresi dan paralisis medulla oblongata.

b. Mata

Alkaloid belladonna menghambat M.constrictor pupilae dan


M.Ciliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan
siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis
mengakibatkan fotofobia, sedangkan siklopegia menyebabkan
hilangnya daya melihat jarak dekat.

Sesudah pemberian 0,6 mg atropine SK pada mulanya terlihat


efek terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salvias, serta
brakikardi sebagai hasil perangsangan N.Vagus, midriasis baru
terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (>1 mg). Mula timbulnya
midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat
daripada hilangnya efek terhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada
mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung
lama sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar dieliminasi
dari cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladonna dapat
diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP. Tekanan intraokular pada
mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan.tetapi pada
penderita glaukoma, penyeluran dari cairan intraokular akan
terhambat, terutama pada glaukoma sudut sempit, sehingga dapa
meningkatkan tekanan intraokular. Hal ini disebabkan karena dalam
keadaan midriasis muara saluran schlemm yang terletak disudut bilik
depan mata menyempit, sehingga terjadi bendungan cairan bola
mata.

c. Saluran Nafas
Alkaloid belladonna mengurangi sekret hidung, mulut, faring
dan bronkus. Pemakaiannya adalah pada medikasi preanastetik untuk
mengurangi sekresi lender pada jalan nafas. Sebagai bronkodilator,
atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau
aminofilin. Ipratropium bromida merupakan antimuskarinik yang
memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.

d. Sistem kardiovaskular
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifastik. Dengan
dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung
berkurang, mungkin disebabkan karena perangsangan nukleus
N.Vagus. Brakikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai
perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2
mg, yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida
organosfat, terjadi hambatan N.Vagus dan timbul suatu takikardi.
Atropin dalam hal ini lebih efektif daripada skopolamin. Obat
ini juga dapat menghambat brakikardi yang ditimbulkan oleh obat
kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun
tekanan darah secara langsung, tetapi menghambat vasodilatasi oleh
asetikolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap
sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah hampir
tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka
dan leher terjadi pada dosis yang besar dan toksik. Kelainan ini
mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang menyebabkan
kemerahan kulit didaerah tersebut, vasodilatasi ini disertai dengan
naiknya suhu kulit, Hipotensi ortostatik kadang-kadang dapat terjadi
setelah pemberian dosis 2 mg.

e. Saluran Cerna
Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus,
atropin juga disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap
asetkolin eksogen (atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap
asetikolin endogen hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan
berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. Pada
tukak pektik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCl, karena
sekresi asam ini lebih dibawah control fase gaster daripada oleh
N.Vagus. Gejala-gejala ulkus peptikum setelah pemberian atropin
terutama dikurangi oleh hambatan motilitas lambung, inipun
memerlukan dosis yang selalu disertai dengan keringnya mulut.
Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan tertahan untuk
waktu yang agak lama.
Atropin hampir tidak mengurangi sekresi cairan pankreas,
empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh faktor
hormonal. Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang
afinitasnya lebih jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi
pirenzepin pada M1, kira-kira 5 kali konstante disosiasi pada M2.
Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung
dan pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain.
Sekresi asam lambung pada malam hari dapat diturunkan sampai
44%. Dengan dosis 100 mg sehari, sekresi saliva dan motilitas kolon
berkurang. Pengosongan lambung dan faal pankreas tidak
dipengaruhi obat ini.

f. Otot polos lain


Saluran kemih dipengaruhi oleh atropin dalam dosis agak besar
(kira-kira 1 mg). Pada piolegram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis,
ureter dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin.
Retensi urin disebabkan urin disebabkan relaksasi M. destrusor
konstriksi sfingter uretra. Bila ringan akan berupa kesulitan miksi
yaitu penderita harus mengejan sewaktu miksi. Efek antispasmodik
pada saluran empedu, tidak cukup kuat untuk menghilangkan kolik
yang disebabkan oleh batu dalam saluran empedu. Pada uterus yang
inervasi otonomnya berbeda dari otot polos lainnya, tidak terlihat
relaksasi, sehingga atropin hampir tidak bermanfaat untuk
pengobatan nyeri haid.

g. Kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin
ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat
aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar; kulit
menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher.
Hal ini menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu
badan meningkat. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak
jelas.

D. Farmakokinetik

Alkaloid belladonna mudah diserap dari semua tempat, kecuali


kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak
dapat menyebabkan absorbsi dalam jumlah yang cukup besar lewat
mukosa nasal, sehingga menimbulkan efek sistemik dan bahkan
keracunan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan penekanan kantus
internus mata setelah penetesan obat agar larutan atropin tidak masuk ke
rongga hidung, terserap dan menyebabkan efek sistemik. Dari sirkulasi
darah, atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami
hidrolisis enzimatik oleh hepar. Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam
bentuk asal. Atropin mudah diserap, sebagian dimetabolisme di dalam
hepar dan dibuang dari tubuh terutama melalui air seni. Masa paruhnya
sekitar 4 jam.[1]

6. DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswarna,S. Farmakologi dan Terapi. Ed ke 4. Jakarta: FK UI Bagian
Farmakologi. 1995:50-52
2. Mursyidi, Achmad. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta:UGM. 1989
3. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Ed ke 6. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo. 2007: 262, 269-271
4. Hidayat, Amrun. M. Alkaloid Turunan Triptofan. 2005

Anda mungkin juga menyukai