KELOMPOK B
MODUL BIOMEDIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2015
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Atropin (campuran d- dan /- hiosiamin) merupakan alkaloid aktif
yang memiliki nama senyawa Atropin ditemukan pada Atropa
belladonna dan Datura stramonium. (Ganiswara dkk., 1995)[1]
Atropin mempunyai nama dan struktur kimia yaitu Atropine
sulfate; a-(Hydroxymethyl) benzeneacetic acid 8-mehtyl-8
azabicyclo(3.2.1)oct-3-yl ester tropine topate, d,l- hyosciamine.
(C17H23NO3)2.H2SO4.H2O. Selain itu senyawa yang berbentuk kristal
putih, rasa sangat pahit, titik lebur 115 dan terdiri dari amine
antimuscarinic tersier.(Mursyidi,1989)[2]
Sulfas atropin termasuk golongan antikolinergik atau
parasimpatolitik yang bekerja pada reseptor muskarinik dengan
menghambat transmisi asetilkolin yang dipersarafi serabut
pascaganglion kolinergik. Pada ganglion otonom dan otot
rangka,penghambatan akan terjadi dalam dosis yang sangat besar.
Kelompok obat ini memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi
dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat pada dosis
kecil (sekitar 0.25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air
liur, mukus bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan
akomodasi dan penghambatan N. Vagus terhadap jantung baru terlihat
pada dosis yang lebih besar (0.5 - 1.0 mg). (Ganiswara dkk., 1995) [1].
Namun hambatan yang bersifat reversible tersebut dapat diatasi
melalui penggunaan asetilkolin atau antiasetikolinesterase. Oleh
karena itu, atropin sulfat juga dikatakan obat yang berperan sebagai
antagonis kolinergik yang pada hal ini juga berfokus dapat menyekat
semua aktivitas kolinergik mata dan menyebabkan efek lain terhadap
kondisi tubuh.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana efek tubuh terhadap sulfas atropin yang diberikan
melalui injeksi intravena pada percobaan terhadap hewan kelinci ?
2. Bagaimana mekanisme kerja sulfas atropin di dalam tubuh hewan
percobaan kelinci ?
3. Apa efek yang dapat diamati pada kelinci percobaan setelah
pemberian sulfas atropin ?
4. HASIL
embe
rian
ulfas
Atro
pin
ikap ktif
Keli dan
nci
erdiri
tegak
efle enah
ks an
obat kaki
iam
eter
pupi
,7 cm
l
cm)
reku
ensi
nap 84x /
as/ menit
men
it
eny
ut 36
nadi
5. PEMBAHASAN
A. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Atropine memblok aksi kolinomimetik pada
reseptor muskarinik secara reversible (tergantung jumlahnya) yaitu,
hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin
atau agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini
menunjukan adanya kompetisi untuk memperebutkan tempat ikatan.
Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah aksi seperti
pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang di akibatkan oleh
asetilkolin atau antagonis muskarinik lainnya. (Tjay dan Kirana, 2002)[3]
B. Analisis Hasil
C. Farmakodinamik
Hambatan oleh atropin bersifat reversible dan dapat diatasi dengan
pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian
antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun
eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. [1]
b. Mata
c. Saluran Nafas
Alkaloid belladonna mengurangi sekret hidung, mulut, faring
dan bronkus. Pemakaiannya adalah pada medikasi preanastetik untuk
mengurangi sekresi lender pada jalan nafas. Sebagai bronkodilator,
atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinefrin atau
aminofilin. Ipratropium bromida merupakan antimuskarinik yang
memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.
d. Sistem kardiovaskular
Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifastik. Dengan
dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantung
berkurang, mungkin disebabkan karena perangsangan nukleus
N.Vagus. Brakikardi biasanya tidak nyata dan tidak disertai
perubahan tekanan darah atau curah jantung. Pada dosis lebih dari 2
mg, yang biasanya hanya digunakan pada keracunan insektisida
organosfat, terjadi hambatan N.Vagus dan timbul suatu takikardi.
Atropin dalam hal ini lebih efektif daripada skopolamin. Obat
ini juga dapat menghambat brakikardi yang ditimbulkan oleh obat
kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun
tekanan darah secara langsung, tetapi menghambat vasodilatasi oleh
asetikolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap
sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah hampir
tidak dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka
dan leher terjadi pada dosis yang besar dan toksik. Kelainan ini
mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang menyebabkan
kemerahan kulit didaerah tersebut, vasodilatasi ini disertai dengan
naiknya suhu kulit, Hipotensi ortostatik kadang-kadang dapat terjadi
setelah pemberian dosis 2 mg.
e. Saluran Cerna
Karena bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus,
atropin juga disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap
asetkolin eksogen (atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap
asetikolin endogen hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan
berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. Pada
tukak pektik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCl, karena
sekresi asam ini lebih dibawah control fase gaster daripada oleh
N.Vagus. Gejala-gejala ulkus peptikum setelah pemberian atropin
terutama dikurangi oleh hambatan motilitas lambung, inipun
memerlukan dosis yang selalu disertai dengan keringnya mulut.
Tetapi sekali terjadi blokade, maka blokade akan tertahan untuk
waktu yang agak lama.
Atropin hampir tidak mengurangi sekresi cairan pankreas,
empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh faktor
hormonal. Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang
afinitasnya lebih jelas pada reseptor M1, konstante disosiasi
pirenzepin pada M1, kira-kira 5 kali konstante disosiasi pada M2.
Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung
dan pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain.
Sekresi asam lambung pada malam hari dapat diturunkan sampai
44%. Dengan dosis 100 mg sehari, sekresi saliva dan motilitas kolon
berkurang. Pengosongan lambung dan faal pankreas tidak
dipengaruhi obat ini.
g. Kelenjar eksokrin
Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin
ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat
aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar; kulit
menjadi kering, panas dan merah terutama dibagian muka dan leher.
Hal ini menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu
badan meningkat. Efek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak
jelas.
D. Farmakokinetik
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Ganiswarna,S. Farmakologi dan Terapi. Ed ke 4. Jakarta: FK UI Bagian
Farmakologi. 1995:50-52
2. Mursyidi, Achmad. Analisis Metabolit Sekunder. Yogyakarta:UGM. 1989
3. Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Ed ke 6. Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo. 2007: 262, 269-271
4. Hidayat, Amrun. M. Alkaloid Turunan Triptofan. 2005