Bab2 (Dark Infinity)
Bab2 (Dark Infinity)
Selang-selang ini melilit tubuhku seperti ular. Menancap di setiap inci kulitku
yang telanjang. Bermeter-meter. Aku mengikuti panjang selang ini. Ada
enam selang yang dapat kulihat, belum termasuk yang menancap di kulit
belakangku. Aku tidak bisa menghitung dengan pasti totalnya, tapi sejauh
yang kulihat selang-selang ini menuju ke luar dari sisi-sisi tabung akuarium
besar. Dan aku berada di dalamnya. Air mengisi seluruh volume tabung,
menenggelamkan seluruh tubuhku. Hal yang membuatku terkejut, aku bisa
bernapas dengan normal tanpa bantuan alat pernapasan apapun.
"Mom," aku berteriak tanpa suara. Mencoba menggedor kaca tabung yang
bahkan mencapainya aku tak mampu.
Terakhir kali, kurasa aku masih berumur delapan tahun. Kenapa dia
menuliskan umurku sepuluh tahun? Apa aku tidak mengingat umurku
sendiri? Bagaimana bisa kau lupa sudah berapa lama kau hidup di dunia ini?
Kecuali jika dia salah menuliskannya. Tapi jika dia tidak salah dan aku benar,
maka hanya ada satu penjelasan. Aku sudah berada di tempat ini selama
dua tahun. Dan selama itu aku berada dalam keadaan yang bisa dibilang..
koma.
Kumohon. Hentikan.
"Bagus. Dengarkan aku baik-baik. Kita akan keluar dari laboratorium ini.
Pertama-tama kita harus keluar dari tabung kita masing-masing terlebih
dahulu. Tapi kurasa sesuatu telah dicampur ke dalam air yang mengisi
tabung ini, yang menghalangi kita untuk menghancurkannya. Kau lihat anak
di sisi kananmu?"
Ya. Aku menjawab masih dengan memikirkannya. Aku ingat anak laki-laki
yang mana ibuku menyuntikkan sesuatu ke tabungnya sebelum aku.
"Dia bisa menyerap air dan mengeluarkannya di tempat lain. Dia juga bisa
mengetahui kemampuan kita. Salah satunya, kemampuanmu, adalah
teleportasi.."
"Dengarkan dulu! Pertama, dia akan menyerap air dari tabung kita masing-
masing. Jika tanpa air aneh ini, kurasa kita bisa memecahkan tabung milik
kita. Di ruangan ini hanya ada enam petugas. Sebelum mereka menangkap
kita, kau harus membawa kita teleportasi ke tempat lain."
Semudah itu? Bagaimana aku bisa melakukannya? Aku tidak tahu caranya.
Bahkan aku baru mendengarnya kalau aku bisa melakukan hal itu.
"Kita akan mencari jalan keluar yang lain. Kita pikirkan nanti setelah kita
keluar dari sini. Oke? Aku akan membuatmu melupakan rasa sakitmu.
Bangunlah."
Aku membuka mataku dan tidak merasakan rasa sakit yang kurasakan
beberapa menit lalu. Kulihat anak di sebelahku. Dari samping terlihat
matanya terpejam dan tangannya mengepal dengan kuat. Tiba-tiba air yang
mengisi tabungku sedikit demi sedikit berkurang hingga tidak tersisa setetes
pun. Aku berganti menatap anak di depanku. Air di tabungnya sudah hilang
sama sekali. Sekarang dia sedang mencoba melepas selang-selang yang
melilitnya. Aku melakukan hal yang sama. Melepas satu per satu selang
yang menempel. Setiap melakukannya, aku merasa seakan kulitku dicabut
dari dagingku. Aku menggigit bibir bawahku, mencegahku agar tidak
berteriak.
Setelah selesai melepas semua selang, yang kuhitung berjumlah tujuh belas,
aku menatap anak di sampingku. Dia sedang mengangkat tinjunya dan salah
satu kakinya bersiap untuk menendang. Dia mengisyaratkan aku melakukan
hal yang sama. Aku menirunya. Salah satu tangannya di angkat ke atas
dengan tiga jari. Tanda hitungan mundur. Kurasa tabung ini terbuat dari kaca
yang sangat tebal, aku ragu bisa memecahkannya. Ketika hitungannya
sampai pada satu jari, aku berkonsentrasi menatap satu titik tabung. Aku
menarik napas, mengumpulkan tenaga dalamku, dan menendang sekuat
yang kubisa titik yang kuincar tadi. Suara nyaring pecahan kaca bergema di
seluruh ruangan. Wow. Ini mudah. Aku memandangi pecahan-pecahan kaca
yang berserakan. Mengagumi karyaku sendiri.
Tiba-tiba sebuah tangan memegang bahuku. Tapi aku lebih cepat. Sebelum
siapapun itu melakukan apapun, aku menyambar tangannya dengan kedua
tanganku. Kuputar tubuhku 45 derajat searah jarum jam. Tanpa
mengeluarkan banyak tenaga, aku mengangkat tubuhnya ke atas yang
ternyata seorang pria dewasa. Kubanting tubuh gempalnya ke lantai dengan
keras. Terdengar suara berderak, seperti sesuatu yang patah. Kurasa tulang
rusuknya. Dia itu tidak bergerak lagi. Mulutku menganga. Aku tidak percaya
apa yang kulakukan barusan. Tanpa pikir panjang, kuambil mantel pria
gempal itu. Terlalu besar untuk ukuranku. Tapi tak apalah.
Aku mencari kedua anak laki-laki tadi. Aku melihatnya. Mereka berhasil
menjatuhkan lima pria dewasa sekaligus. Dan saat ini mereka memakai
mantel yang sama dengan yang kupakai. Aku menghampiri mereka berdua
sambil melongo.
"Entahlah. Aku hanya merasa, aku bisa melakukannya. Aku tak tahu."
"Aku juga tidak tahu. Tapi kau tadi juga hebat untuk ukuran gadis kecil. Siapa
namamu?" tanya anak laki-laki yang tadi di sampingku.
"Celine."
"Aku Mike," dia menyodorkan salah satu tangannya padaku. Sebelum aku
sempat menjabatnya, anak yang tadi di depanku menangkap tangan Mike
lebih cepat.
"Aku Rey. Senang mengenalmu." Mike memelototi Rey yang dibalas dengan
cengiran.
"Kau lihat sendiri. Mereka sudah, ya, meninggal," jawab Mike enteng. Aku
bergidik ngeri.
"Teleportasi, tentu saja," ucap Rey sambil memandang gelisah ke pintu luar.
"Bagaimana caranya?"
"Kami tidak tahu. Kau yang tahu. Coba saja." Kali ini Mike mengucapkannya
dengan kesal.
"Bagus." Rey mengedipkan salah satu matanya padaku dan tersenyum. Aku
membalas senyumnya. Terus berlari.
"Ayolah, hanya sebuah besi. Kalian kan manusia super," ujar Mike sambil
terengah-engah.
Aku melihat noda merah membekas di kain bagian paha kirinya. Dia
menyobek lengan mantelnya dan mengikatkan di bagian tersebut. Aku dan
Rey memandang penuh arti.
"Kurasa kita berdua bisa." Maksudnya aku dan Rey. Melihat kondisi Mike, aku
tak tega melibatkannya. Rey mengangguk.
Mike mengangkat tangannya ke arah pintu. Pusaran air keluar dari telapak
tangannya, menyelubungi daun pintu, menahannya.
Aku dan Rey berlari ke ujung balkon. Kami bisa melihat jalan aspal di bawah.
Mobil-mobil yang lalu lalang terlihat sangat kecil.
"Seberapa tinggi?"
"Sekitar dua ratus meter, mungkin lebih," jawab Rey setengah tersenyum.
"Oh ayolah. Bisa kita cari yang lebih tinggi?" cicitku khawatir.
Rey mengangkat salah satu alisnya seolah mengatakan aku gila. Dia
mengedarkan penglihatannya ke bawah. Mendadak, matanya berbinar-binar.
"Kau lihat mobil pick up di sana?" tanya Rey menunjuk ke arah jam dua.
"Ya."
Sebuah pemahaman muncul di otakku.
"Dengan kecepatannya seperti itu, dia akan sampai tepat di bawah kita
dalam tiga menit.
Dan jika terjun dari ketinggian kita saat ini, kurasa dalam tiga puluh detik
kita akan mendarat di tanah."
"Satu menit empat puluh tujuh detik lagi kita harus lompat."
"Jika gagal?"
"Kita mati."
"Satu menit."
"Tiga."
"Lompat."
"Kau berhasil," puji Rey tersenyum puas. Dia juga basah kuyup.
Ketika aku terbangun, aku berada di sebuah tempat tidur kecil. Rey duduk di
sebelahku. Dia berbeda dari yang kulihat sebelumnya. Lebih.. dewasa. Jauh
lebih dewasa.